Selasa, 23 September 2008

Wawancara dengan HADI UTOMO tokoh Tegalan

Wawancara:

Moch. Hadi Utomo, Budayawan Tegal
Bahasa Tegal itu Liar dan ‘Dlawèran’

SEJAK bahasa Tegal diperkenalkan menjadi bahasa yang lebih memiliki greget dalam riuhnya kreativitas para seniman melalui ‘perlawanan’ pemberontakan terhadap bahasa ‘wètanan’. Salah satunya menterjemahkan puisi-puisi nasional ke dalam bahasa Tegalan dan membacakannya di Teater Arena Taman Budaya Surakarta, 28 Juli 1994 lalu. Ini menjadi tonggak sejarah Tegalan lahir dan amat menggemparkan. Tidak mengherankan kalau kemudian sejumlah literature terbitan Tegal, kaset sandiwara, naskah-naskah drama dan lagu-lagu Tegalan serta tulisan para sastrawan Tegal telah terdokumentasi di perpustakan ‘School of Social Sciences Curtin University, Kent St. Bentley, 6102 WA, Perth Australia Barat’. Hal ini berkat kegilaan Dr. Richard Curtis, seorang peneliti bahasa dan budaya lokal yang dalam tesisnya ‘Popular Performance and Wong Cilik Sentiment In Tegal During The 1990s’ banyak mengambil referensi sastra dan budaya Tegalan.
Untuk mengetahui sejauhmana keberadaan bahasa lokal yang ditengarai UNESCO mengalami kepunahan, wartawan dan redaktur Nirmala Post mewancarai Moch. Hadi Utomo, salah seorang budayawan Tegal yang konsisten mengamati perkembangan arus budaya Tegalan, khususnya menyangkut penggunaan Bahasa Tegal di kalangan masyarakat. Berikut ini petikan wawancaranya.
Apa yang menarik anda mengeluti bahasa Tegal?
Karena bahasa Tegal itu cukup menarik dan menggelitik. Saya menggeluti bahasa Tegal tak pernah bosan. Apalagi ketika bahasa Tegalan ini diangkat menjadi sarana bahasa penulisan maupun pembacaan puisi, seperti yang terjadi saat Walikota Tegal, Bupati Tegal, Ketua DPRD Kota Tegal dan para anggota dewan bersama seniman Tegal, membawakan puisi Tegalan dalam acara ‘Jèd-jèdan Maca Puisi Tegalan’ (Rabu, 31 Mei 2006 –red). Ini menandakan bahwa Tegalan sudah mendapat tempat. Tidak mengherankan kalau bahasa Tegal itu kemudian banyak dipakai untuk himbauan-himbauan, jingle iklan radio berbahasa Tegal, kaset dan VCD lagu-lagu Tegalan, brosur, spanduk promosi sampai pada slogan ‘Tegal Keminclong Moncèr Kotané’ dan Kabupaten Tegal dengan ‘Ngangeni lan Mbetahi’. Sungguh bahasa Tegal telah menjadi sebuah kebanggaan dan jatidiri masyarakat Tegal.
Komentar anda tentang bahasa Tegal yang sering diberi predikan ‘kasar’?
Bahasa daerah yang lain juga memiliki kekasaran yang sama. Misalnya orang Jakarta, Surabaya, Semarang juga memiliki kata; maknyé dirodok, diancuk, kakèkané dan lain-lain. Tergantung konteknya. Kalau memaki ya paka bahasa kasar.
Jadi jelasnya bagaimana?
Ya…bahasa Tegal itu sebuah karakter yang keras dan lugas, vulgar, egaliter dan blakasuta. Karakter yang menjadikan keunikan bahasa Tegal dalam tataran fonetis-fonologis, morfologis, sintaksis, dan semantic. Penebalan fonem pada beberapa huruf serta pelafalan dengan cengkok dan gaya bahasa yang spesifik. Kosakata bahasa Jawa baku yang berubah total seperti teka menjadi anjog, nyruduk menjadi numbleg, nglongok menjadi nglodod, rusak menjadi bodol, dan ratusan kosakata lainnya dengan fonem yang ditebal-tebalkan. Hal itu, menurut Drs. Irawan Gunadi M.Pd yang menyebabkan bahasa Tegal terdengar ‘kasar’.
Orang Tegal juga gemar menciptakan istilah yang unik dan spesifik untuk mengungkapkan perasaannya. Apakah ini pertanda bahwa orang Tegal itu kreatif?
O, ya! Orang Tegal itu kreatif. Misalnya, untuk menyebut ‘kikir’ atau ‘pelit’, orang Tegal membuat istilah ‘tainé digorèng’. Untuk mengungkapkan ‘tidak tahu diri’ dengan istilah ‘kaya ora weruh sing nggèyong’ dan masih banyak lagi istilah-istilah lainnya. Pokoknya orang Tegal itu kaya dengan istilah.
Apakah istilah-istilah tersebut tergolong kosa kata yang kasar?
Tidak!
Misalnya kata dlawèran itu menurut anda?
Dlawèran itu dari tembung lingga dari kata ‘dlèwèr’ yang berarti alir, dengan ater-ater atau awalan huruf ‘N’ menjadi ‘ndlawèr’ artinya mengalir. Ketika diimbuh penambang atau akhiran ‘AN’ menjadi dlawèran. Sehingga orang yang berkata-kata dengan mengalir begitu saja dari mulutnya tanpa dipikir dan tidak ada bukti, disebut ‘dlawèran’.
Berarti kata ‘dlawèran’ itu tidak kasar?
Tidak. Yang kasar itu justru kata ‘dobol’.
Bagaimana kita menyikapi bahasa Tegal yang begitu komplek?
Kita harus memahami karakter bahasa Tegal dan orang Tegal itu sendiri. Sehingga tidak terjadi salah pengertian dan salah faham.
Dalam kaitan keprihatinan UNESCO tentang bahasa ibu yang terancam punah, bagaimana prospek bahasa Tegalan?
Bahasa Tegalan tidak akan punah! Karena bahasa Tegalan berkembang dengan liar secara otonom tanpa campur tangan birokrasi dan lembaga-lembaga resmi lainnya. Lebih-lebih apresiasi masyarakat Tegal terhadap bahasanya sendiri sudah tidak malu lagi mengekspresikannya dalam berbagai kegiatan seni. Rasa percaya diri ini, tumbuh dan berkembang menjadi pembicaraan yang spektakuler di kalangan para seniman kraton, ketika para seniman Tegal yang dikomandani Lanang Setiawan ramai-ramai melakukan ‘perlawanan’ pemberontakan terhadap bahasa ‘wètanan’ dengan menerjemahkan puisi-puisi nasional ke dalam bahasa Tegalan dan membacakannya di Taman Budaya Surakarta tahun 1994. Dari sanalah, awal tonggak sejarah Tegalan melangkah dan amat menggemparkan atas lahirnya saja terjemahan ‘Tembangan Banyak’ terjemahan Lanang Setiawan dari sajak ‘Nyanyian Angsa’ karya WS Rendra. Belakangan para dalang Tegal juga mulai ‘membrontak’ terhadap pakem yang dinilai mengekang kreativitas jagad pewayangan dengan menggunakan bahasa Tegalan.
Kegiatan anda saat ini?
Saya sedang menginventarisasi kosakata dan idiom yang digunakan dalam bahasa Tegal. Sudah ratusan yang terkumpul sampai sekarang belum kelar dan tidak akan selesai. Permasalahannya, perkembangan kosa kata Tegalan itu liar dan ‘dlawèran’ tak pernah mandeg! (*)


CATATAN:
Dikutip dari Harian Pagi Nirmala Post, terbitan pada hari Senin 26 Februari 2007, halaman 1 bersambung pada halaman 7.


Tidak ada komentar: