Kamis, 13 Agustus 2009

EKO TUNAS PUJI PENAMPILAN TAMBARI GUSTAM


Eko Tunas:i
Tambari Memukau Penonton dengan

’Dadiya Siji Tlembuk-tlembuk Kota Jakarta’

JANJI
seniman pentolan Tegal H. Tambari Gustam mengguncang malam Mengenang Rendra, menjadi kenyataan bukan umbrusé tok (gede kosong -red). Dengan membacakan sajak ‘Dadiya Siji Tlembuk-tlembuk Kota Jakarta’, ia tampil memukau disaksikan para seniman dari berbagai kota, Rabu (12/8) malam di pelataran Gedung PKK Jalan Setiabudi, Kota Tegal. Bahkan budayawan Eko Tunas pun merasakan penampilan Tambari Gustam menjadi bintang selama berlangsungnya acara tersebut.
“Haji Tambari Gustam tampil memukau dengan pelacur-pelacur Kota Jakarta, dalam iringan musik dan konfigurasi cewek-cewek sexy. Puisi tegalan yang dibawakan dia sekaligus sebagai tanda acara Rendra yang lebih spesifik hanya di Tegal,” puji sastrawan Eko Tunas ketika mengomentari penampilan Tambari dalam pembacaan puisi ‘Dadiya Siji Tlembuk-tlembuk Kota Jakarta’ terjemahan dari sajak ‘Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta’ karya WS. Rendra.
Tambari tampil dengan mengusung cewek-cewek ABG sexy yang berperan sebagai ‘tlembuk-tlembuk Kota Jakarta’. Dengan baju yang sexy dan mengundang, serta liukan tarian diiringi kelompok Musik Wayang Sastra Balo-balo pimpinan Tambari Gustam, pementasan malam itu menjadi sebuah puncak aksi diantara para seniman Tegal, Brebes, Slawi dan dari luar Kota Tegal. Sungguh daya pukau, kejutan, dan gelegar sastra tegalan yang dibawakan dia menandai adanya kebesaran puisi Tegalan yang saat ini telah menjadi booming.
“Saya sampai merinding dan tergeriap menyaksikan sajak ‘Dadiya Siji Tlembuk-tlembuk Kota Jakarta’ yang dibawakan Tambari plus cewek-cewek sexy dan musik yang disuguhkan, serta kostum bagus, gerak tampilan teatral, vokal terjaga dalam puisi panjang. Hingga di akhir pementasan para pengunjung pun ikut berjoget bersama Tambari dan cewek-cewek sexy,” papar Eko Tunas yang bola matanya tak bekedip.
Rabu (12/8) malam Tambari Gustam memang tampil habis-habisan dengan seluruh daya ledakan ekspresi keseniman yang dia miliki, penuh gemuruh mengejutkan. Agaknya dia menyiapkan betul dan penuh kesungguhan dalam mempersiapkan pementasan itu.
Pukau kebesaran sajak-sajak tegalan yang saat ini telah menjadi ikon Kota Tegal itu, pertama kali meledak dan menggemparkan saat novelis ‘Pengendara Badai’ Lanang Setiawan mengusung sajak-sajak terjemahan karya WS. Rendra ke dalam bahasa Tegal itu terjadi di tahun 1994 bersama para seniman Tegal di Taman Budaya Surakarta. Sejak lawatan sastra tegalan itu, booming sajak tegalan mengundang kegemparan dan pada akhirnya banyak undangan yang dating bertubi-tubi. Diantaranya undangan ke Indramayu, komunitas ‘Wapres’, Bulungan Jakarta, sampai kemudian Walikota dan Bupati Tegal; Adi Winarso dan Agus Riyanto tampil dalam acara ‘Jed-jedad Maca Puisi Tegalan’ beberapa tahun silam.
Tak mengherankan pula, sejak meledaknya puisi-puisi tegalan, para seniman Tegal pun menetapkan ‘Hari Sastra Tegalan’ jatuh pada tanggal 26 Nopember. Setahun lalu, ‘Hari Sastra Tegalan’ itu dirayakan secara besar-besaran oleh para seniman Tegal di Taman Budaya Raden Saleh, Semaran, Taman Budaya Surakarta, dan di Rumah Dinas Wakil Walikota Dr. Maufur.
Tidak mengherankan ketika malam Mengenang Rendra, penampilan H. Tambari Gustam yang saat ini banyak disebut sebagai Juragan Wangsalan itu, sangat menawan dan menjadi bintang dari seluruh penampil sepanjang tiga hari acara tersebut digelar oleh Dewan Kesenian. Hal ini, menurut penyair pentolan Dwi Ery Santoso lantaran sajak yang dibuat dalam bahasa tegalan demikian akrab dengan bahasa ibunya. “Puisi yang ditulis dalam bahasa ibu, menjadi daya pukau dan sangat dekat dengan masyarakatnya. Tidak mustahil jika Tambari Gustam menjadi pusat perhatian,” ucap Dwi Ery Santoso.
Hal yang sama ketika di ‘Rumpres (rumah apresiasi) Muaratua’ H. Tambari Gustam digelar acara yang sama, sajak ‘Rick Sing Corona’, ‘Tembangan Banyak’ terjemahan Lanang Setiawan dari sajak Rendra berjudul ‘Rick Dari Corona’, dan ‘Nyanyian Angsa’ membuat kehebohan dan kejutan penuh pukau (*)

Senin, 10 Agustus 2009

KESAKSIAN DWI ERY TENTANG RENDRA


Mengenang Rendra
Kesaksian Penyair Pentolan
Dwi Ery Tentang Rendra

KESAKSIAN bagi orang yang sudah wafat menjadi momen penting sebagai sebuah catatan bahwa dia pernah hidup. Lebih lagi bagi orang sebesar Rendra yang selama hidupnya begitu konsen terhadap perkembangan sastra, budaya dan teater, tentu tak bisa dibiarkan berlalu ketika dia telah berpulang. Maka, untuk mengenang ketokohan Rendra, peristiwa kebudayaan perlu digeber meski sebelum itu di Rumpres Muaratua H. Tambari Gustam, Jumat (7/8) lalu diselenggarakan acara ‘Malam Tahlin dan Baca Puisi Tegalan’, dan Teater Qi juga menggelar acara yang sama, sehari setelah itu. Kini pada malam ke empat kematian WS. Rendra, para seniman Tegal kembali mengusung acara yang mesti dinilai latah, tapi tetap digelar acara serupa. Namun latah tidak latah, acara tersebut laik diselenggarakan mengingat ‘Si Burung Merak’ itu merupakan figur pembaru dalam dunia kesenian. Pada malam ini, Selasa (11/8) salah satu pentolan penyair tegalan Dwi Ery Santoso siap menggedor 3 buah puisi karyanya dalam dua bahasa; tegalan dan nasional. Tiga buah puisi yang akan digeber berjudul Lengang, Sepotong Jalan (bahasa nasional), dan satu puisinya yang ditulis dalam bahasa tegalan berjudul Rumah Sakit. Tiga puisi itu akan dibacakannya di depan gedung kesenian, pukul 20.00 wib.
Menurut dia, proses penciptaan 3 sajak itu didasari dari rasa priatin mendalam atas berita kematian Rendra yang terkabarakan lewat sebuah pesan singkat dari sahabat dari Jakarta. Ketika mendapat sms itu, ia merasa seluruh tulang-belulangnya serasa tercerabuti dan membuat sekujur tubuhnya lemas seperti ada yang hilang. Dari situlah maka lahirlah sepotong sajak Lengang. “Seperti ada yang hilang ketika saya mendapat sms tentang kematian seorang Rendra,” katanya.
Pada proses penciptaan puisi Sepotong Jalan, ia mengisahkah tentang kesaksian atas kepasrahan Rendra ketika memulai bersujud kepada sang khaliq atas kebesaran Agama Islam yang dia anut hingga namanya pun rela diganti menjadi Wahyu Soeleman Rendra. “Keperpindahan Rendra dari pemeluk Khatolik taat menjadi penganut Agama Islam, menjadi sebuah kecerdasan rokhani menuju ke Khaliq yang sebenarnya, karena baginya Agama Islam itulah agama yang diridhoi Allah,” tandas Ery.
Pada sajak Rumah Sakit, Ery dengan tegas mengisahkan tentang pandangan Rendra terhadap perkara sakit atau tidak sakit, bukanlah milik Rendra melainkan semua itu milik Allah semata. Nilai kepasrahan total yang dimiliki Rendra adalah sebuah kesaksian Ery saat menilai Rendra terhadap Allah yang dia yakini sebagai Tuhan Seru Sekalian alam. “Bagi Rendra, sakit tidak sakit adalah milik Allah. Aku tidak sakit. Hanya organ-organ tubuhku yang telah tua, maka ketuaan adalah rahmat” tandas Ery mengutip omongan Rendra saat ajal akan menjemput.
Dalam acara ‘Mengenang Rendra’ malam ini, ia bakal tampil dengan kekuatan vokal dan teaterikan. Semua itu bakal menjadi pijakan Ery saat membawakan 3 puisinya itu. Ia siap memberikan sajian lain dari biasanya. Pada malam yang sama, acara mengenang Rendra juga digelar di komplek Radio CBS Klonengan, menampilkan para penyair, pejabat, Bupati Tegal Agus Riyanto, dan sejumlah wartawan (LS)



Minggu, 09 Agustus 2009

TAMBARI GUSTAM dan SEABREK AKTIVITAS

Tambari Gustam dan Seabrek Aktivitasnya

KIPRAH H. Tambari Gustam sebagai penggerak budaya, melesat tidak cuma di dunia puisi, teater, lawak, tulis menulis, dan pemain film, tapi juga menjadi sosok penyampai kritik ternama yang berpengaruh saat dia memimpin demo, mendobrak kezaliman. Figur yang bisa kemana-mana dan ada dimana-mana ini, sering menjadi Tambari Gustam sebagai tempat mengadu dan tumpuhan dari seabrek strata sosial dan sekelompok orang yang berkepentingan.
Sebagai penulis puisi, ia banyak melahirkan sajak protes yang kerap kali dikemas dengan bait-bait pantun atau wangsalan tegalan. Muatan sosial dan nilai kesalehan menjadi pijakan saat dia menulis puisi. Sajak dia terangkum pada banyak antologi dan tersebar di media lokal. Ia mengaku menulis puisi karena dorongan hati nurani yang tidak rela melihat situasi yang karut-marut. “Jiwa saya sering termotivasi untuk menulis puisi protes saat melihat ketimpangan sosial yang menganga, dan kesewenang-wenangan,” katanya.
Tambari yang lahir di Tegal pada tanggal 18 Oktober 1964 itu memang memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Sebagai aktor lawak, ia pernah mengisi acara guyonan yang dikemas dalam ‘Obralan Santai (Obras)’ bersama Ki Slamet Gundono dan Agus Salim di radio RCA Tegal dari tahun 1995-1997. Acara tersebut menjadi acara unggulan karena memiliki daya sengat yang membuat para pendengar terpingkal-pingkal dengan rentetan wangsalan Tegalan yang melucu meluncur dari mulut mereka, saat acara itu mengudara.
Wangsalan-wangsalan Tegalan yang kerap diudarakan itu, oleh Tambari sempat dibukukan dalam kumpulan berjudul Pantun Warteg. Dalam buku tersebut, seorang Remy Silado bahkan berkenan memberi pengantar dan dia sangat berkesan dengan upaya Tambari mengumpulkan pantun-pantun yang bermuatan lokal jenius. Secara khusus, Remy Silado menulis bahwa kumpulan pantun Tegalan itu menjadi buku yang sangat penting sebagai kekayaan Tegal dan perlu dimiliki. Ia pun membukukan kumpulan tulisan anehdotnya berjudul Guyon Gustam dalam Wacana Politik Lokal. Dan dua karyanya yang mendapat penghargaan dari Kepala Pusat Perbukuan Indonesia berjudul Kami Cinta Indonesia dan Selamatkan Pantai Kita.
Sebagai pemain teater dan film, juga tak diragukan. Ia pernah main dibayak lakon teater. Di Teater RSPD tampil di lakon Qasidah Berzanji dan Ki Gede Sebayu sebagai pangeran Benowo versi ketoprak dengan sutradara Yono Daryono. Juga main teater bersama Teater Mbeling pimpinan Remy Silado dalam lakon Gita Cinta Anak SMA, main drama Selendang Sutra, sebagai aktor sekaligus sutradara, dan main sandiwara radio Sangkuriang Kesiangan. Sementara di Teater Massa Hisbuma main di lakon Patung Kekasih karya Emha Ainun Nadjib sutradara Dwi Ery Santoso, termasuk menjadi pemain dilakon Sebayu Gugat dan Pengadilan Sastra Chairil Anwar karya Eko Tunas.
Kegilaannya pada pembacaan puisi membawa Tambari tak segan melakukan lawatan budaya ke kantong-kantong budaya bersama Dwi Ery Santoso, diiringi kelompok Musik Wayang Sastra Balo-balo yang dia pimpin. Baca sajak spektakuler berbahasa Tegalan pada acara ‘Jèd-jèdan Maca Puisi Tegalan’ di Gedung Kesenian Tegal dan di ‘Wapres’ Bulungan, Jakarta, dia lakukan dengan membawakan puisi terjemahan karya WS. Rendra berjudul Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta yang dipremak habis-habisan menjadi Dadiya Siji Tlembuk-tlembuk Kota Jakarta. Ia melakukan pembacaan sajak terjemahan itu bersama Bupati Tegal Agus Riyanto dan para pentolan seniman Tegal lainnya. Begitu juga dia berkali-kali melakukan pentas drama bebahasa tegalan di Taman Mini Indonesia indah dengan menggelar lakon Mantu Poci, Lupit Slenteng Badanan, Sumadi Semedi, dan Matoloyo Matopuro. Sementara itu, sebagai pemain film ia pernah main di film Laut Aku Kembali, Ikan Sisa-sisa (produksi Bagian Humas dan Protokol Pemkot Tegal), dan Sinar Lembayung produksi film negara sebagai aktor.
“Di film garapan Limbad, saya pun didapuk sebagai tokoh Pangeran Benowo dalam film berjudul Mentari di Tlatah Tegal,” katanya.
Ada yang bilang, Tambari adalah figur yang tak pernah lelah beraktivitas di berbagai bidang. Semua bidang dimasuki, karena dia mampu bermain dengan kesungguhan yang dimiliki. Jarang sekali orang bisa berperan seperti dia dengan seabrek kegiatan. Sekali waktu dia masuk di wilayah kesenian, pada lain kesempatan dia bergerak menjadi tokoh pendemo. Tapi menurut dia, semua itu dijalani bukan dengan atas dasar dendam atau pun nafsu, melainkan rasa ingin melihat negara ini berjalan dengan tatanan yang harmonis, bukan dibangun dengan kebusukan atau kesewenang-wenangan para pemegang kekuasaan.
“Niatan saya terjun sebagai pendemo, bukan didasari rasa dendam, dengki, atau semacamnya. Saya ingin para penguasa dimanapun berpihak pada rakyat, aja dumeh menjadi penguasa berlaku tanpa batas,” tandasnya.
Tak hanya dalam dunia kesenian, teater, film, dan sebagai tokoh pergerakan, dia pun ternyata suntuk juga di dunia jurnalistik. Ia mendirikan koran mingguan hingga sekarang masih eksis, dan pernah menjadi pengurus PWI Karesidenan Pekalongan termasuk dipercaya sebagai pengurus Dewan Kesenia Kota Tegal, juga ditunjuk sebagai Dewan Pembina Paguyuban Sosial Warga Tionghoa Tegal. Pada tahun 2001 bersama Agustian Nurwanda menggagas keberadaan “Bahari Taksi” di Kota Tegal. Mendirikan LSM Cordova dan MAKs (Masyarakat Anti Korupsi), dan rela pelataran rumahnya dijadikan acara kliwonan ‘Mimbar Budaya Muaratua’ sebagai ajang pementasan, seperti yang terjadi pada acara malam Tahlil dan Baca Puisi Tegalan mengenang almarhum penyair WS. Rendra pada Jumat (7/8) pukul 20.30 Wib di Jalan Brawijaya No 46 Muarareja, Kecamatan Tegalsari, kediamannya (LS)


BIODATA
Nama : H. Tambari Gustam
Tempat/Tgl Lahir : Tegal, 18 Oktober 1964
Alamat : Jalan Brawijaya No 46 Muarareja, Kota Tegal


Karya :
Komik Tegalan; Jeritan Sing Laut
Kumpulan Pantun Warteg
Kami Cinta Indonesia
Selamatkan Pantai kita
Guyon Gustam Dalam Wacana Politik Lokal
Misteri Kalisoka
Potret Reformasi Dalam Puisi Tegalan (antologi puisi)
Ngranggeh Katuranggan (kumpulan puisi Tegalan)

Film:
Laut Aku Kembali (produksi Humas Tegal)
Sinar Lembayung (produksi Nasional)
Mentari di Tlatah Tegal (produksi Limbad)
Ikan Sisa-sisa (produksi Humas Tegal)

Jabatan :
Dewan Pembina Paguyuban Sosial Warga Tionghoa Tegal.
Ketua Badan Pengawas KUD Karya Mina
Pengawas KSU Segara Biru
Penasehat Koperasi Bahari Taksi

Organisasi:
Pengurus PWI Karesidenan Pekalongan tahun 2005-2009
Pengurus Dewan Kesenia Kota Tegal (due periode tahun 2003 – 2009)
Ketua Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia)
Mendirikan LSM Cordova dan MAKs (Masyarakat Anti Korupsi)
Turut Mendirikan Kiret (Komite Refomasi Tegal) tahun 1998
Turut Mendirikan LSM Amardaya tahun 1999
Ikut Mendirikan LSM Pencinta Merah Putih Indonesia (PMPI)
Penasehat LSM Laskar Merah Putih
Forum Buruh Bersatu

Motto :
Hidup itu seperti melempar bola ke tembok, semakin keras lemparannya semakin keras pula pantulannya. Semakin saya berbuat jahat pada orang, kejahatan itu akan menimpa saya lagi. Sebaliknya semakin kita berbuat baik pada orang, kebaikan itu akan kembali kepada kita sebanyak mungkin.

MALAM TAHLIL dan BACA SAJAK TEGALAN MENGENANG WS RENDRA

Aktor Monolog Abidin Abror


Mengenang Rendra
Abidin Abror Bawakan ‘Tembangan Banyak’

LAMA tak nongol digegap gempita panggung kesenian, monologer Abidin Abror, masih menyisakan daya pukau pada acara malam ‘Tahlil dan Baca Puisi Tegalan’ mengenang almarhum penyair WS. Rendra yang digelar di “Rumpres Muaratua” H. Tambari Gustam, Jalan Brawijaya No 46 Muarareja, Kecamatan Tegalsari, Jumat (7/8) pukul 20.30 Wib kemarin.
“Aku memimpikan acara semacam ini, karena WS Rendra sang maestro tidak hanya sebagai penyair, teaterawan, tapi dia adalah juga figur yang memukau yang diakui dunia. Acara mengenang almarhum Rendra menjadi momen penting, dan aku mau tampil karena acara ini,” ucap Abidin sebelum tampil.
Pada malam itu dia tampil dengan membawakan sajak Nyanyian Angsa karya Rendra yang telah dialih bahasakan tegalan menjadi Tembangan Banyak. Dengan mengenakan baju lengan panjang warna biru dan berkaca mata, Abidin menyalakan bait-bait sajak itu://Jam telu awan/srengèngèné trus ngobong/semromong kaya pati angin/Maria Zaitun mlaku/minggring-minggring kemlopok/nang dalan garing ring//ujug-ujug mbeneri dèwèké nyabrang/keplèsèt tai asu/ora nganti tiba mung getihé metu/sing borok plakangané/lan ndlèwèr maring sikilé…//.
Saat membacakan sajak tersebut, Abidin sanggup menghadirkan aura tataran sosial dan politik lewat sosok Maria Zaitun sebagai pelacur tua berpenyakitan, lewat letupan vokalnya yang kadang meledak, melemah, tapi tiba-tiba kembali syahdu menghujam. Abidin piawai mengolah gejolak tokoh Maria Zaitun, suasana pencemoohan sajak Tembangan Banyak yang ditujukan bagi kaum politisi dan agamawan yang biasa berpidato dan berkhotbah tetapi tidak bisa menyelesaikan masalah, divisualisasikan lewat penghayatannya yang dalam. Tak mengherankan sepanjang pembacaan itu, penonton yang banyak dihadiri wartawan dari media cetak dan elektronik, merasakan sesuatu nilai sosial, relijius, dan sekaligus sayatan luka Maria Zaitun yang dibangun dengan pengalaman pentasnya selama ini. Sungguh, malam kali pertama Abidin tampil kembali dalam acara tersebut, sanggup menyumbangkan ruh puisi terjemahan tegalan atas sajak-sajak Rendra dengan menawan (LS)




DUET – Dengan gayanya yang teaterikal aktor teater Slamet Ambari berduet bareng Vera Sandrayani membacakan sajak ‘Rick Sing Corona’, di acara malam ‘Tahlil dan Baca Puisi Tegalan’ mengenang almarhum Rendra di “Rumpres Muaratua” H. Tambari Gustam, Jumat (7/8) malam kemarin (Foto: Lanang Setiawan)


Malam Tahlil dan Baca Puisi Tegalan
untuk (Alm) WS. Rendra

BERTEPATAN malam tahlil hari pertama kematian penyair WS. Rendra di Padepokan Bengkel Teater Rendra, di Kota Tegal, Jumat (7/8) pukul 20.30 Wib berlangsung acara ‘Tahlil dan Baca Puisi Tegalan’ bertempat di ‘Rumpres (rumah apresiasi) Muaratua’ H. Tambari Gustam, jalan Brawijaya No 46 Muarareja, Kecamatan Tegalsari.
Sebelum pembacaan puisi digeber, para seniman, wartawan dan puluhan warga Muarareja memenuhi halaman ‘Rumpres Muaratua’ untuk melakukan tahlil, dipimpin oleh ustadz H. Tarjani.
Dalam sambutan Tambari mengatakan, acara tersebut diselenggarakan untuk mengenang dan mendo’akan sang maestro ‘Si Burung Merak’ Rendra yang selama hidupnya banyak berjasa bagi kebesaran kesusastraan, teater, dan kebudayaan nasional pada umumnya. “Rendra adalah pahlawan yang tak pernah menyimpang dari hati nurani. Sajak-sajak Rendra berperan sangat penting atas lahirnya sastra tegalan yang ditandai dengan munculnya sajak Tembangan Banyak yang cukup popular dari sajak aslinya berjudul Nyanyian Angsa karya Rendra,” terang Tambari.
Dari kedekatan emosional semacam itu, para seniman Tegal dan masyarakat sekitar menggelar ‘Tahlil dan Baca Puisi Tegalan’. Tidak tanggung-tanggung seniman pentolan Tambari Gustam menghadirkan juga kelompok Musik Wayang Sastra Balo-balo (MWSB) sebagai pengiring.
Tampil sebagai pembuka acara kelompok MWSB dengan mengusung puji-pujian tegalan yang mampu memberikan nuansa trasendental hingga meresap dan menggedor-gedor ulu hati. Kelompok tersebut selanjutnya memberikan juga sentuhan-sentuhan sakral saat mengiringi Tambari Gustam lewat pembacaan sajak terjemahan Dadiya Siji Tembuk-tlembuk Kota Jakarta dari sajak karya WS. Rendra berjudul Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta.
Selanjutnya pembacaan sajak Rick Sing Corona dibawakan aktor teater Slamet Ambari dan wartawan Vera Sandrayani. Duet tersebut mampu menghadirkan situasi asmara menggila antara Rick dan Betsy, dan karut-marutnya suasana sajak yang dibangun sedemikian rupa dengan derapan dentam musik balo-balo. Puncaknya adalah penampilan monologer Abidin Abror membawakan sajak Nyanyian Angsa karya Rendra yang telah dipremak habis-habisan dalam bahasa Tegal menjadi Tembangan Banyak. ‘Malam Tahlil dan Baca Puisi’ mengenang almahum Rendra itu, sungguh menjadi fragmen religi yang mendalam bagi semua pengunjung (LS)


Seniman Tegal Kenang WS. Rendra

NAMA Rendra bagi kalangan seniman Kota Tegal tak asing lagi. Pada tahun 1950-an ia pernah bolak-balik ke Tegal melihat kiprah komunitas Ikatan Seniman Muda Tegal pimpinan Woerjanto saat aktor teater Sudjai S menyutradarai dan main dalam satu lakon. Kala itu WS. Rendra mengagumi betul seniman-seniman Tunas terutama kesemsem pada dedengkot teater Sudjai S saat dia main dalam lakon Malam Jahanam karya Motinggo Busye di Gedoeng Tawang Samudra tahun 1960 bersama Parto Tegal.
Dari ketertarikan itu, langsung saja Rendra menawarkan pada mereka untuk bergabung di Bengkel Teater Yogyakarta. Parto Tegal akhirnya suntuk di teater pimpinan Rendra sedang Sudjai S menolak dengan alas an untuk menjaga kelangsung dunia perteateran di Kota Tegal (baca: novel Pengendara Badai).
Keakraban Rendra dengan para seniman teater di Kota Tegal, menyebakan dia menjuluki Kota Tegal sebagai ‘kota yang tak pernah tidur’, dalam artian Tegal sebagai ‘kota teater’. Hingga beberapa tahun lalu, Rendra kembali menyempatkan diri ke Tegal dalam rangka baca puisi dan melakukan acara diskusi. Termasuk datang di Kabupaten Tegal untuk even pembacaan puisi pada HUT Kemerdekaan, di Pendapa Ki Gede Sebayu Kabupaten Tegal.
Tak heran kalau kemudian secara emosional kalangan seniman Tegal serentak menggelar pbegitu mendengar kematian ‘Si Burung Merak’ pada (6/8) kemarin, Teater Qi menyelenggareristiwa budaya akan acara ‘Doa dan Mengenang WS. Rendra’ di halaman gedung kesenian, Sabtu (8/8) pukul 20.00 Wib.
Menurut Rudi Iteng selaku ketua penyelenggara menuturkan, maksud dan tujuan digelar acara tersebut yakni untuk merefleksikan karya-karya Rendra sebagai spirit dan kontemplasi agar karya Rendra tetap hidup. “Bagaimanapun, Rendra itu tokoh pembaharu yang namanya tidak hanya dicat pada tingkat nasional tapi dunia,” kata Rudi.
Pada malam itu, acara dibuka dengan diskusi bersama menampilkan Nurhidayat Poso dan Yono Daryono dengan melempar satu makalah berjudul Jejak Rendra pada Sastra Tegal, Nana Ernest memilih tema bahasan Rendra, Spirit dan Motivator Kawula Muda dalam Berkarya.
Acara memakin menarik ketika para seniman Tegal melanjutkannya dengan pembacaan puisi karya-karya Rendra. Mereka yang tampil pada pembacaan itu diantaranya Bramanthi S. Riyadi, HM. Enthieh Mudakir, Nana Ernets, Albadruasykin, Apas Khafasi, Linda, Atho, Titis Hening, dan teaterikal puisi oleh Teater Qi. Penampilan mereka rata-rata menarik dan suntuk mendalami karya-karya Rendra sang maestro penyair itu. Sebelumnya, Jumat (7/8) pukul 20.30 Wib berlangsung juga acara ‘Tahlil dan Baca Puisi Tegalan’ bertempat di ‘Rumpres (rumah apresiasi) Muaratua’ H. Tambari Gustam, jalan Brawijaya No 46 Muarareja, Kecamatan Tegalsari (LS )





Kamis, 06 Agustus 2009

KARENA SAJAK WS. RENDRA, LANANG BIKIN NOVEL PENGENDARA BADAI


Karena Sajak WS. Rendra
Novel Pengendara Badai Lahir

Majikan umah tlembukan
ngomong kambèn dèwèké:
"Wis rong minggu kowen mung
bisané ngatang-ngatang
tur larané tambah ndadi
ora ngasilna pisan
kiyé nggawé mlarat tok
ngentong-ngentongna beras bibit
aku ora sanggup/saiki raimu lunga, mèrad kana"....


Itu sajak WS. Rendra yang cukup popular. Tapi oleh Lanang Setiawan sajak yang aslinya berjudul Nyanyian Angsa, dipremak habis-habisan menjadi Tembangan Banyak dalam Bahasa Tegalan. Sajak terjemahan itu pertama kali diterbitkan di media local ‘Kontak’ tahun1994.Dalam perkembangan selanjutnya, sajak tersebut kemudian diusung ke berbagai kantong-kantong budaya seperti Taman Budaya Surakarta, Indramayu, sampai kemudian Bupati Tegal Agus Riyanto membawakan puisi tersebut di Gedung Kesenian Tegal dan diundang ke ‘Wapres’ Bulungan Jakarta.Dengan dasyatnya sajak Rendra dan lawatan seniman-seniman Tegal menggeber puisi-puisi terjemahan itu, sebuah novel yang ditulis Lanang Setiawan segera hadir ditengah-tengah masyarakat. Novel yang rencananya terbit pada bulan Agustus ini berjudul Pengendara Badai. Novel ini berkisah tentang heroik lawatan para seniman Tegal dengan membawakan sajak-sajak terjemahan salah satu diantaranya sajak Tembangan Banyak yang sempat menghetak dan cukup menghebohkan dalam kazanah kesusastraan nasional.
Menurut penulis novel Pengendara Badai, Lanang Setiawan, ia mengaku lahirnya novel tersebut salah satunya dipicu oleh sajak Rendra yang diterjemahakan dalam bahasa Tegalan itu. Ia menilai bahwa sajak Nyanyian Angsa yang diterjemahkan itu memiliki nuasa kesamaan dengan kondisi di daerah Tegal. Karena sajak itu bercerita tentang seorang pelacur yang di Tegalan banyak terdapat lokalisasi.
“Terus terang saja, ilmah yang menguatkan saya menulis novel Pengendara Badai karena sajak yang ditulis WS. Rendra yang saya terjemahkan dalam bahasa Tegal,” katanya.
Dalam novel tersebut, juga dikisahkan tentang eksistensi para seniman Tegal di era tahun 50-an. Betapa gegap gempitanya para teaterawan Tegal masa itu, menggerakan kehidupan kesenian di Kota Tegal. Sampai Rendra pun kerap mampir ke Tegal dan menjuluki Tegal sebagai ‘kota yang tak pernah mati’. Ada juga kisah-kisah pilu, heroik, sekaligus sendu dalam percintaan yang dialami oleh penulisnya, bisa dinikmati dalam novel tersebut. Oleh sang penulisnya, rencananya novel Pengendara Badai bakal terbit pada bulan Agustus ini. Tunggu saja (EK)

Sabtu, 01 Agustus 2009

YOLLA Pamela, SENENG BANGET MAIN FILM


Yolla dan H. Tambari Gustam saat main di Film Ikan Sisa-sisa, Sabtu (01/8) lalu di Tempat Pelelangan Ikan Jongor, Kota Tegal (Foto : Lanang Setiawan)

Yolla Pamela, Seneng Banget Main Film

BARU pertama kali main film, gadis manis karyawan Bagian Humas dan Protokol Pemkot Tegal ini, seperti layaknya bintang film yang sudah biasa terjun di dunia akting. Di hadapan kamera, ia tak canggung. Pembawaannya tenang, dialog tokoh yang diperankan meluncur wajar tanpa halangan berarti, meski harus berhadapan dengan lawan main yang berpengalaman. Kira-kira seperti itu kesan mendalam ketika, Sabtu (01/8) siang lalu menyaksikan dia memerankan tokoh Yanti dalam pembuatan film Ikan Sisa-sisa.
Yolla Pamela, demikian nama gadis itu, mengaku main film karena diajak Yono Daryono untuk melakukan uji casting. Dari uji tersebut, dia kemudian dinyatakan figur paling pas sebagai tokoh Yanti. Ia sendiri, sebetulnya tidak punya skill dalam urusan akting.
“Sejak kecil hobi saya menyanyi. Dulu saya paling sering nyanyi pas kuliah di Jakarta, dan waktu kerja di Pekalongan. Sebenarnya kalau ikut produksi film sih udah pernah beberapa kali untuk tugas-tugas kampus, tapi jadi pemain film baru pertama kali,” ujar jebolan D3 UI Jurusan Penyiaran Departemen Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di sela-sela syuting, di TPI Jongor, Kota Tegal, Sabtu (01/8) siang kemarin.
Gadis asli kelahiran Tegal itu mengaku, waktu di Jakarta betapa suntuknya menggembleng diri lewat event festival demi festival paduan suara. Begitu pun saat di Pekalongan kerap berlaga di gelar festival atau parade band, dan bahkan ngeband regular di kafe amatlah sering.
“Di Tegal juga punya band, tapi nggak terlalu diseriusi karena personelnya kerja semua di luar kota, jadi kumpul kalau ada waktu aja terus cuma festival. Kalau untuk solo, saya paling sukanya ikut lomba nyanyi atau karaoke, tapi sayangnya akhir-akhir ini di Tegal jarang ada event lomba lagi,” katanya panjang lebar.
Sebagai penyanyi solo, Yolla pernah ikut Rita Idol mendapat juara 3 dan favorit, trus kebanyakan menyabet juara pada paduan suara. Tapi main di film? Awalnya sempat kawatir karena takut jelek banget aktingnya.
“Pertamanya kaku tapi waktu pra produksi kan di situ ada proses reading, ditambah sang astrada Marjo telaten ngajari, dan pas mulai produksi ternyata sutradaranya baik, ngga marah-marah. Pak Yono juga kasih saran dan kritik, didukung pemain-pemain yang sudah pengalaman memotivasi supaya akting saya nggak terlalu njomplang. Mereka baik-baik dan rendah hati, malah seringnya mereka ngajak latihan duluan,” katanya.
Masih mau main film? Ditanya soal itu, gadis kelahiran 4 Oktober 1985 itu dengan tegas menjawab:
“Main film seneng banget. Tapi masalahnya harus banyak belajar kayanya, kalau pengin main lagi” (LS)






MAUFUR TILIK PEMBUATAN FILM IKAN SISA SISA

MENINJAU - Mantan Wakil Walikota Tegal Dr. Maufur (tengah) saat meninjau langsung pembuatan film Ikan Sisa-sisa bersama H. Tambari Gustam (paling kiri), penulis naskah Yono Daryono, dan dua tamunya dari Bandung, Sabtu (01/8) siang di TPI Jongor (Foto : Lanang Setiawan)


Mantan Wakil Walikota Tegal
Tilik Syuting ‘Ikan Sisa-sisa’

PEMBUATAN film Ikan Sisa-sisa tidak saja menyedot daya tarik masyarakat umum, mantan Wakil Walikota Tegal Dr. Maufur pun menyempatkan diri untuk tilik syuting di lokasi TPI Jongor, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal, Sabtu (01/8). Kedatangan mantan Wakil Walikota Tegal yang tiba-tiba itu sungguh diluar dugaan, dan membuat para seniman dan pekerja film seperti Yono Daryono, H. Tambari Gustam, Moch. Azizi, Slamet Ambari, Bramanti S Riyadi, Damayanthi, dan pedangdut Atika Tegal tergopoh-gopoh menyambut kehadiran dia.
Dalam kunjungan itu, Maufur tidak datang sorang diri melainkan bersama rombongan dari Bandung. Ia mengaku datang ke lokasi syuting itu karena ingin melihat proses pembuatan film tersebut dari dekat, sekaligus berkeinginan bersilaturahmi dengan para seniman Tegal. “Kami dari terminal langsung ke lokasi syuting, karena kebetulan lagi menjemput tamu dari Bandung. Saya ingin silaturahmi sama kawan-kawan seniman sambil melihat proses pembuatan film,” kata Maufur.
Ia menilai, proses pembuatan film dengan upaya mengangkat potensi lokal seperti yang dilakukan Humas cukup bagus. Hanya, menurutnya, hal itu perlu peningkatan pendistribusian hasilnya. “Selama ini pendistribusiannya masih terbatas di acara syukuran 17-an dan perwakilan pelajar,” katanya.
Mestinya, katanya lebih lanjut, bisa dilakukan lebih luas dan seyogyanya potensi lokal itu diupayakan diangkat sampai ke tingkat nasional. Maksudnya, Pemkot Tegal ada upaya membuat film yang bisa diangkat ke TV atau ke layar lebar. Dengan demikian, gaung potensi lokal bisa menasional.
Ia juga sepakat dan sepaham dengan apa yang diomongkan sastrawan Eko Tunas, bahwa novel Pengendara Badai karya Lanang Setiawan merupakan tema kelokalan yang layak diangkat ke dalam layar lebar atau TV. Karena disana banyak mengetengahkan kegigihan para seniman Tegal dengan mengangkat budaya Tegalan. “Kalau novel tersebut diangkat ke dunia film, orang akan tahu potensi para seniman Tegal,” katanya.
Sekadar diketahui, hari kedua pembuatan film Ikan sisa-sisa, mengambil beberapa scene adegan pemeran Bik Rohilah (Damayanthi), Dul Jalil (H. Tambari Gustam), Yanti (Yolla), Bu Imroh (Atika Tegal), dan beberapa pemain pendukung lainnya. Syuting dimulai dari pukul 08.00 s/d malam hari. Pada hari yang sama, hadir pula Walikota dan Wakil Walikota Tegal, H. Ikmal Jaya dan H. Habib Ali meninjau pembuatan film tersebut bersama para pejabat Pemkot Tegal.
Menurut sang penulisnya, Yono Daryono, film Ikan Sisa-sia mengisahkan seorang ibu bernama Bik Rohilah (45) memiliki dua anak cerdas yakni Yanti (18) dan Unggul (15). Sepeninggal Katono suaminya, akibat diterjang badai, praktis Bik Rohilah banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup dua anaknya. Mereka tinggal di perkampungan nelayan di pesisir Tegal. Dia yang berpendidikan rendah hanya bisa bekerja di tempat Pak Duljalil (55) sebagai buruh pengolah ikan yang mengurusi pembuatan ikan asin. Karena kekreatifan dan keuletannya itu, mendorong dirinya untuk kreatif dengan membuat ikan-ikan sisa yang tidak diolah di tempat kerjanya agar tidak terbuang percuma. Ia mengumpulkan ikan-ikan itu untuk dibuat makanan ringan seperti kerupuk dan lainnya. Bersama kedua anaknya, dia merangkai kerang laut atau membuat jala ikan mini untuk dijadikan hiasan. Kesemuanya dia titip jual-kan di warung Bik Kodrah.
Sebagai ibu, Bik Rohilah sering merasa sedih karena ketika anaknya Yanti terancam tidak bisa masuk kuliah karena harus membayar uang sumbangan pembangunan yang cukup besar. Keinginan yang besar agar bisa menyekolahkan Yanti sering jadi omongan para tetangga, mereka menganggap dia tidak berkaca diri. Tapi dengan tekad besar dia menambah porsi kerja. Dibantu oleh dua anaknya, ia mengumpulkan ikan sisa tak hanya dari tempatnya bekerja, tapi diambil dari tempat lain. Produksi kerupuk ia naikkan dan dipasarkan kemana-mana. Tapi akibat kerja kerasnya ia jatuh sakit. Dalam kesusahannya itu, datanglah Pak Duljalil bermaksud membantu, namun secara terang-terangan ia mengajukan syarat untuk menikahi Yanti. Bik Rohilah menolak secara sopan. Yanti yang prihatin akan keadaan itu mengatakan untuk tidak usah kuliah. Namun Bik Rohilah menolak dengan bermacam alasan. Dalam kegalauannya itu, ia pun sempat tergoda untuk kembali meminjam uang dari Ibu Imroh, rentenir yang beberapa kali menawari pinjaman dalam jumlah besar. Namun bila teringat beratnya mengembalikan utang yang berbunga-bunga, ia mengurungkan niat itu. Lalu bagaimana kelanjutan kisah Bik Rohilah yang berkeinginan menyekolahkan Yanti sampai keperguruan tinggi? Putusan terakhir dan satu-satunya jalan terbaik, adalah dengan usaha mandiri. Itulah potongan kisah Ikan Sasa-sisa (*)