Sabtu, 28 Maret 2009

Mendiang Parto Tegal


Jumat Kagetan
Mendiang Parto Tegal

Rasanya baru kemarin dia datang di rumahku. Sosok bayangan berkacamata ray baen, dan rambut klimis berombak itu masih membekas di alam pikiranku. Dia berdiri di sirip pintu masuk tampak gagah dan bugar mengenakan kaos putih dan celana biru levis, siapa sangka jika siang ini dia berpulang? Sedemikian cepat waktu menghabisi usianya dengan ganas. Kabar itu mengejutkan dan memaksa degub jantungku menghilang untuk sejenak.
“Sing bener baé Ud. Aja guyon….”
“Éh, blèh percaya?”
“Parto Tegal mati?”
“Ya!”
“Inna lillahi wa inna illaihi rojiun….”
Seratus hari yang lalu Parto Tegal membawa berita lelayu tentang kematian sahabatnya, Jai. Kini dengan perasaan terpapas aku ditimbuni duka nestapa ketika Udi datang membawa kabar kematian Parto, aktor film yang biasa berperan sebagai tokoh antagonis.
“Nguburé jam pira Ud?”
“Ba’da Jumat”
Udi berlalu. Aku menyandarkan diri pada kursi penjalin. Kupandangi atap-atap rumah sambil kuredakan kegalauan gaduh yang sekonyong-konyong menyerbu dalam dada dengan cara menghisap sigaret. Kepulan asap kubiarkan menderas melesat dari mulut seperti lajunya kembara anganku memunguti potongan kenangan bersama dia.
Tiga tahun silam aku kenal Parto ketika masih bekerja pada Mingguan Swadesi. Kami berjumpa di siang berawan di studio Serenada dalam suasana paseduluran. Kami ngobrol soal budaya Tegal dan memoar dirinya selama dia bergulat dalam dunia teater dan perfilman. Dia, tergolong orang yang enak diajak ngobrol, bicaranya blak-blakan dengan tawa berderai seperti tidak ada beban. Ada sekitar dua jam kami ngobrol santai.
“Jadi tahun limapuluhan sampeyan sudah bergabung di komunitas Tunas?” kataku.
“Ya. Tapi tepaté aku berteater di Tunas tahun limapuluh sembilan. Istilah dulu bukan teater tapi senidrama. Aku bergabung dalam Ikatan Seniman Muda (ISM) Tunas pimpinan Woerjanto dengan arahan sutradara Kang Jai ” ungkap Parto Tegal dalam wawancara itu.
“Awal main film?”
Parto menghempaskan nafas. Semua obrolan aku catat di block note.
“Secara kebetulan saja. Waktu itu Usmar Ismail sedang bikin film dokumenter ‘The Fish Man’ yang mengambil lokasi syuting di Tegal. Dia pernah melihatku main teater dan tertarik kemudian aku diajak untuk mendukung film itu. Dari situ aku terlanjur basah nyemplung, sekalian saja memantapkan diri ke film”
“Sebelum itu pernah juga di Bengkel Teater Rendra ya, Pa?”
“Ya, itu waktu aku main bersama Jai dalam ‘Malam Jahanam’ karya Motinggo Busye, Mas Willy sempat nonton. Mas Willy agaknya terkesan menyaksikan aku bermain, trus bubar pementasan langsung memintaku untuk masuk di Bengkel Teater. Sebetulnya sih bukan aku saja yang maunya diajak Mas Willy. Kang Jai dan Imam Sumarto juga ditawari bergabung, tapi mereka keberatan. Alasan Jai, kalau semua hijrah ke Jogja siapa yang mengurusi teater di Tegal? Bagus juga pikiran Jai, barangkali tamat sudah sejarah perteateran Tegal jika waktu itu boyong ke Jogja semua!”
Itu hasil wawancaraku dengan Parto yang masih kusimpan dalam buku harian. Tapi pergaulanku dengan dia tidak saja putus di situ. Belakang hari, kami disatukan oleh Hadi untuk memperkuat tim kreativitas Guyon Tegalan. Aku ditugasi sebagai penulis dan Parto tetap mendalami keaktoran peran sekaligus merangkap sebagai sutradara.
Ada kenangan yang tak gampang terlupakan selama aku bergaul dengan dia. Pada suatu hari, aku ditugasi Hadi Utomo untuk menulis epos perjuangan wong Tegal tahun 1947. Kukebut naskah sandiwara radio Tegal Bledugan itu karena mendesak untuk menyambut perayaan Tahun Emas HUT RI Ke-50. Usai menyelesaikan naskah itu, aku didaulat Hadi untuk memilih siapa saja pemeran yang layak diikutkan dalam sandiwara radio di Serenada. Salah satu pemeran yang aku pilih untuk memerankan tokoh Jayeng Laga adalah Parto Tegal. Namun beberapa hari setelah aku memberikan naskah itu, dia keberatan. Tak tahu kenapa Parto menolak peran itu dan memintaku untuk menukar peran lain. Padahal, dalam benakku, tokoh Jayeng Laga cukup pas dimainkan dia.
“Bisané njaluk ganti Kang?” aku coba korek alasan dia saat aku bertandang di rumahnya yang bercokol di Desa Pepedan, Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal.
“Aku lebih sreg memerankan tokoh Bekel Subur, Nang. Biar saja peran Jayeng Laga dimainkan Endhy Kepanjen,” katanya.
“Kaya kuwé, Kang?”
“Ya”
Aku menyadari keputusan yang diambil Parto. Berpuluh tahun dia bergelimang di dunia perfilman, peran antagonis sudah mendarah daging dalam dirinya, membuat kejenuhan bertumpuk begitu mendapatkan peran seorang bajingan. Dalam usia dia yang sudah berangkat senja, imaj kepahlawan yang penuh heroik menjadi sebuah idaman kegairahan bagi dirinya. Dan itu merupakan keputusan yang sedang dia perjuangkan. Tak salah kalau kemudian dia memilih peran Bekel Subur, seorang pejuang dari Laskar Rakyat, sebagai pengganti peran Jayeng Laga. Namun sungguh, pada saat itu aku dan Endhy seperti merasakan ada getaran gaib yang menyelubungi jiwa. Terutama pada dialog sangar bertudung kutukan.
“Aja kakèhen cocot Bekel Subur, sedèlat maning raimu bakal modar!”
Ketika ucapan itu dimuntahkan Endhy Kepanjen, aku melihat perubahan wajah Parto menjadi pucat pasi dengan bibir menggigil. Sekonyong-konyong aku merasakan nada gertakan Endhy seperti mengandung suara gaib berkekuatan misteri. Begitu merinding telingaku mendengarnya saat rekaman adegan itu berlangsung. Sampai pulang dari rekaman, aku mendiskusikan perasaan itu pada Endhy.
“Saya miris waktu ènté mengucapkan sumpah serapah pada Parto. Suasana di studio rekaman seperti dikepung aroma magis. Kowen ngrasakna belih, Ndih?” kataku.
“Saya membentak-bentak Pak Parto bukan bermaksud kurangajar, tapi karena tuntutan skenario saya harus bisa menjiwai karakter antagonis yang dimaui sang sutradara. Tapi betul juga katamu, Nang. Pada saat adegan percekcokan itu berlangsung, saya merasakan sekali ada suasana misteri” katanya.
Diskusi panjang itu, kini baru terjawab. Suasana misteri yang berteka-teki diantara kami itu menjadi kenyataan dengan adanya berita kematian Parto Tegal.
“Ajib ya Nang? Kata-kata yang aku ucapkan itu jebulé dadi kasunyatan!” kata Endhy ketika aku berkeliling mengabari berita lelayu kematian Parto.
“Ya, itulah kata-kata. Kadang bertuah dan berbisa!”
Aku mohon diri dan motor bututku merayap bergegas menyambangi kediaman Bontot Sukandar. Bontot adalah teman lama di Teater Puber, juga seorang wartawan Pos Film setelah Gaharu.
“Parto Tegal wis ora nana…” kataku tanpa basa-basi.
Kuperhatikan wajah Bontot sekonyong-konyong berubah dratis. Matanya melotot seperti hendak mencolot dari tempatnya dengan leher tercekik begitu aku lucurkan berita lelayu.
Kowen aja guyonan, Nang! Tanggal 27 winggi enyong tembé wawancara karo Parto” katanya tak percaya.
Pokoké kowen teka melayat. Kanca-kanca dikabari kabèh, ya?
Bontot linglung. Kuperhatikan wajahnya pias dengan bola mata menerawang kosong seperti orang yang baru saja siuman dari pingsan seharian. Aku mengerti bagaimana redamnya hati Bontot karena sosok Parto Tegal pernah menjadi ikon kekaguman dalam hidupnya sebelum dia berjumpa secara fisik dengannya. Kekaguman dia pada Parto boleh dibilang begitu heroik. Dia pernah mengekspresikan kekagumannya pada Parto lewat sebuah cerpen berjudul Parto. Cerpen itu dia dikirim ke Mingguan Suara Karya, tapi gagal dimuat. Dia revisi lagi dan dikirim ke lain penerbitan, juga gagal. Dan entah sudah berapa kali cerpen Parto dia revisi dan dia kirim ke Kompas, juga gagal sampai kemudian dia bertemu secara fisik dengan Parto Tegal, baru cerpen itu tak lagi dia kirimkan!
Mengingat keheboh Bontot semacam itu, aku bisa meraba bagaimana perasaan dia menerima berita lelayu ini. Kuperhatikan wajahnya tengadah ke langit putih dengan bola mata menatap hampa. Aku tepuk pundaknya, sekonyong-konyong dia tersadar dari lamunan.
Éh, pibèn Nang? Kowen miki ngomong apa?
“Parto Tegal meninggal. Kanca-kanca dikabari
Aku meninggalkan Bontot dalam ketermanguan gulita. Tapi rasa terpukul itu agaknya tak hanya dirasakan oleh Bontot belaka melainkan dirasakan pula oleh Hadi ketika aku mengambarinya lewat telpon.
“Iya Nang. Nyong wis ngarti saka Ida Hamidah. Tulang belulangku seperti dilepasi. Nyong sedih dan bukan perkara gampang melupakan peranan Parto di Guyon Tegalan” aku Hadi dalam rasa pilu yang mendalam..
Amat logis jika Hadi merasakan kesedihan yang menimbulkan kegalauan pilu sampai tak terperihkan karena sebelum Parto meninggal, jauh-jauh dia sudah menulis beberapa judul lakon yang siap diproduksi di Radio Star dimana dia menangani radio itu setelah hengkang dari Serenada. Dia berminat menghidupkan kembali kejayaan Guyon Tegalan kendati tokoh Kang Jai telah berlalu. Tapi apalah dikata, manusia berencana tapi Tuhan jua yang menentukan.
“Bukan kepalang saya kaget. Durung rampung gagasané enyong repan ngumpulna kanca-kanca Tegalan, nyong olih telpon Mas Parto ora nana sing Kasri. Apa kiyé ora gawé gelané enyong? Mangkané enyong uwis gawé naskah Tegalan pirang-pirang…” katanya.
Hadi pantas terpuruk dan diliputi perasaan remuk redam. Dua kali dia menerima kenyataan pahit semacam itu. Seratus hari yang lalu, dia bersamaku dan Parto bareng melayat dan mengabari kawan-kawan. Kini, orang yang bareng melayat Kang Jai itu telah berpulang mendahului kita untuk selama-lamanya.
Bukan hanya Hadi yang kehilangan satu teman lagi, tapi hatiku juga dirajam kepiluan nestapa. Kesedihan serasa menggumpal, bergulung-gulung dan menghantam dadaku.
Di langit, matahari mulai memanas. Suara orang mengaji sayup-sayup terdengar. Hari ini memang jatuh pada hari Jumat. Sebentar lagi orang berbondong menuju masjid melakukan sholat Jumat. Bergegas aku memacu motorku menuju rumah Woerjanto. Sampai di sana, aku dicegat istri Pak Woer di plataran rumah.
“Ada kabar apa Mas Lanang?” Bu Woer seakan menangkap maksud kedatanganku.
“Pak Woer ada bu?”
“Lagi istirahat. Ada apa sih?”
“Parto Tegal meninggal!”
Mulut Bu Woer ternganga dengan bola mata seperti melihat belis gundul dalam keremangan malam.
“Parto Tegal meninggal? Kapan?” sergap Bu Woer.
“Iya. Semalam”
Sing bener ah…”
“Betul Bu. Saya mau mengabari Pak Woer”
“Jangan! Saya tidak boleh. Kemarin saja waktu Mas Lanang ngabari Jai meninggal, Pak Woer kepikiran terus. Maaf ya Mas Lanang, Pak Woer jangan dikasih tahu. Nanti saya yang kasih tahu saja. Maaf ya, maaf” pinta Bu Woer wanta-wanti.
“Gitu Bu? Gak masalah, saya hanya mau menyampaikan amanat ini agar Pak Woer tahu. Ya wis Bu nyong pamit
Aku berlalu. Dalam hati aku mahfum. Aku menyadari kondisi Pak Woer yang belakangan suka sakit-sakitan tidak etis jika aku memaksa bertemu dengan dia. Gambaran wajah dia saat mendapat kabar kematian Jai, masih kukenang. Kala itu sorot mata Pak Woer selalu dan selalu menerawang jauh. Aku bisa meraba kepedihan jiwa dia, karena antar Parto dan Jai adalah sahabat seperjuangan dalam komunitas Tunas. Perasaan kehilangan yang dalam tentu menyelebungi jiwanya yang renta. Biarlah urusan ini ditangani sang istri bagaimana cara dia menyampaikan kabar duka.
Bergegas aku menjemput Gaharu. Setelah sholat Jumat, kami melaju ke rumah duka. Kami inginkan hari ini mendayung dua pulau sekaligus, melayat dan memburu data tambahan tentang kiprah Parto untuk bahan laporan pada Jurnal Tegal Tegal. Saat ini kamu memang sedang membangkitkan kembali tabloid Tegal Tegal dalam format majalah yang berfokus pada dunia seni dan budaya

*

Rumah Duka
Tidak seperti kesenyapan nestapa yang melanda di rumah duka Jai saat dia meninggal, di rumah duka Parto Tegal justru sebaliknya berjejal orang taziah. Kursi berjejer memenuhi halaman rumah. Di samping rumah, terlihat segerombolan orang kampung sedang mengukir nama, tanggal lahir, dan hari kematian almarhum. Ada Hadi di sana dengan wajah kuyu. Umi Azizah pemeran Yu Jenah, juga Bu Sri Redjeki pemeran Yu Kapsah tampak hadir dengan wajah sembab karena linangan air mata. Bontot Sukandar memasang wajah murung. Rasa kehilangan dia lampiaskan dengan menghisap rokok kuat-kuat. Hal serupa terlihat juga pada Udi. Berulangkali aku perhatikan kepulan asap rokok menggumpal di sekitar bibir. Ia mengaku kehilangan betul karena saat-saat terakhir jelang kematian Parto, dia kerapkali bertandang ke rumahnya untuk menangani pijat refleksi manakala Parto mengeluhkan kondisi kesehatannya yang gampang droup.
“Hampir dua hari sekali aku nyambangi Pak Parto. Kemarin lusa aku ngontrol, kondisi dia kelihatan segar bregas. Tapi hari ini aku tersentak dan tak percaya semua ini terjadi. Aku datang jam sembilan pagi tadi, melihat banyak orang berkumpul di depan rumah, jebulé Pak Parto ora nana…”
Kudengan nada bicara Udi diselubungi rasa pedih. Terasa berat dan serak waktu dia mengucapkan kalimat itu. Matanya merkabak seperti hendak menangis. Semua kata yang aku dengar dari para pelayat aku rekam dalam batok kepalaku sebagai pelengkap data untuk bahan tulisan. Siapapun yang merasa mengenal Parto, diobrak-abrik perasaan duka. Tapi lain lagi yang aku amati pada diri Yono Daryono. Ia yang belakangan menjadi repoter RCTI, berdiri di pojok pagar tapi matanya plorang-plorong seperti ada sesuatu yang dia cari. Dia menenteng tas besar berisi sebuah kamera.
Enté cari sapa, Jon?” aku menyapanya sambil mendekat dia dengan panggilan ‘Jon’ sebagai kebiasaan orang Tegal menyebut nama lelaki.
“Sapa ya yang bisa diajak ngomong tentang Parto?”
“Hadi Utomo juga bisa” usulku.
“Pak Woer layat ora ya?”
Kayané ora. Aku mau mana wongé lagi turu. Parani baé nang umahé oh …”
“Ya wis. Bar layat aku langsung mana, bèn ngko bengi bisa tayang”
Tepat pukul dua siang, almarhum diusung keranda menuju pemakaman Desa Pepedan. Berkelok-kelok para pelayat melewati jalur gang kemudian bablas menyebrang jalan raya. Sepuluh menit sampai di pemakaman. Keranda diturunkan, tiga orang masuk dalam liang lahat. Tiga orang lainnya membopong jenazah ditangkap tiga orang yang ada di liang lahat. Proses pemakaman berlangsung singkat. Dan aku pulang dengan membawa pikiran kelabu. Satu tokoh yang dengan bangga menyantumkan nama Tegal dibelakang namanya itu, kini telah berkalang tanah!

*


Kenangan Pak Woer
Sejak hari kematian Parto Tegal, kami; aku dan Gaharu berniat bikin laporan panjang di Jurnal Tegal Tegal tentang apa dan siapa Parto di dunia teater dan film. Sebagian data tentangnya sudah kami kumpulkan. Kini tinggal menunggu tulisan dari Pak Woer. Sudah seminggu lalu kami meminta tulisan pada Woerjanto lewat sang istri. Penerbitan perdana Jurnal Tegal Tegal segera saja meluncur, kami jadi cemas menunggu kiriman tulisan Woerjanto. Bagi kami, tulisan itu dia sangat penting karena ditulis oleh orang yang pernah bergumul dengan Parto saat berkecimpung di Tunas tahun 50-an.
Tulisan Woerjanto yang kami tunggu-tunggu akhirnya datang juga diantar sang istri. Aku mendapatkan tulisan itu lewat istriku sore hari karena sepanjang siang kami liputan.
Dadaku berdegup waktu membuka sampul berwarna putih. Apakah Woerjanto menulis catatan tentang Parto Tegal dalam bentuk sajak seperti dulu dia mengenang mendiang Kang Jai?
Aku kenali watak Woerjanto bukan tipe orang yang suka banyak kata. Ia lebih sublime mengekspresikan gejolak jiwanya melalui karyanya ketimbang obrolan tanpa cuntrung. Dia cerdas, kebapakan, dan reverensi tentang seni dia kuasai. Tak mengherankan kalau dia sering didapuk sebagai ketua berbagai bidang kesenian.
Aku menyandarkan diri pada kursi di ruang tengah. Pelan-pelan surat dari Pak Woer aku buka dan kubaca.
“Hari itu Sabtu 18 Januari 1997, Parto Tegal datang ke rumah saya membawa berita duka tentang meninggalnya sahabat kami Sudjai S. Dengan rasa harus, seharian itu saya bersama Parto Tegal dan teman-teman seniman yang lain mengatakan rasa bela sungkawa, mengikuti prosesi pemakaman almarhum dari awal hingga selesai. Sedikitpun saya tidak mengira, bahwa saat-saat itu merupakan saat-saat terakhir saya dapat bertemu dengan Parto Tegal. Waktu itu Parto Tegal nampak sehat tak ada sedikitpun tanda, bahwa ia mengidap satu penyakit. Selang seratus hari kemudian Lanang Setiawan datang ke rumah memberitakan, bahwa Parto Tegal meninggal dunia. Rasa kaget dan masgul sempat membuat saya shok. Betapa cepat rasanya waktu berlalu. Seperti baru kemarin sahabat saya Sudjai pergi buat selama-lamanya, sekarang seorang lagi sahabatnya meningalkan kita semua.
Parto Tegal dan Sudjai S memang merupakan dua bersahabat yang sejati. Baik dalam pergaulan sehari-hari maupun dalam kegiatannya sebagai sesama seniman. Mereka berdua bersama-sama mengawali kariernya dibidang senidrama dan bersama-sama pula mengakhiri kariernya itu.
Parto Tegal bergabung dalam ikatan Seniman Muda (ISM) “Tunas” Tegal sejak tahun 1959 menyusul langkah Sudjai S yang pada waktu itu menjadi Ketua Seksi Senidrama sejak berdirinya ISM Tunas pada tahun 1954. Ketika pada tahun 1960 Parto Tegal bermain bersama Sudjai S dalam drama ‘Malam Jahanam’ karya Motinggo Busye, sempat menarik perhatian WS Rendra yang waktu itu menyaksikan pergelaran tersebut di Gedoeng Tawang Samudra Tegal. Dan langsung saja Rendra mewawarkan kepada Parto Tegal dan Sudjai S serta Imam Sumarto untuk bermain bersama Bengkel Teater di Yogyakarta.
Pengalaman Parto Tegal yang lebih lama mukim di Yogya, memberi manfaat besar bagi perkembangan ISM Tunas dalam memperjuangkan kehidupan senidrama di Tegal. Menyusul diselenggarakannya pergelaran-pergelaran drama yang disutradarai dan/atau diperani oleh Parto Tegal, antara lain: ‘Penggali Intan’ karya Kirjo Mulyo, ‘Suara-suara Mati’ karya saduran Sunarto Timur atas karya asli Manuel Van Legen, ‘Tanda Silang’ karya Eugene Ionescu, ‘Hanya Satu Kali’ karya Sitor Situmorang dll.
Parto Tegal adalah sosok yang suka belajar dari siapa saja yang dianggapnya mempunyai kelebihan dari dirinya. Dan ia pun dengan senang hati memberikan pengalamannya kepada rekan-rekan sesama seniman. Sebagai aktor maupun sebagai sutradara, ia selalu bertindak cermat. Tehnik dramaturgi dipegangnya baik-baik, sehingga ia mampu menampilkan pergelaran drama yang memenuhi selera estetika.
Dalam kegiatannya di bidang teater di Tegal pada waktu itu, seingat saya ia belum menggunakan nama Parto Tegal. Ia masih menggunakan nama aslinya Suparto Prayitno. Saya tidak ingat mulai kapan ia dengan bangga menggunakan nama Parto Tegal. Kalau tidak salah, nama itu digunakannya setelah ia terjun ke dunia film. Minatnya terhadap dunia film mulai tumbuh ketika ia mendapat kesempatan ikut bermain dalam film dokumenter karya Usmar Ismail “The Fish Man” yang mengambil lokasi syuting di Tegal.
Cukup lama ia tinggal di Jakarta dalam upayanya menggeluti dunia film dengan menghadapi berbagai macam tantangan. Setelah kurang lebih 20 tahun, Parto Tegal pulang mudik ke kampung halamannya di Tegal. Dan satu-satunya teman yang pertama kali ditemuinya adalah sahabat sejatinya: Sudjai S.
Ia mengajak sahabatnya itu untuk mengadakan kegiatan seperti dulu. Dan bidang yang dipilihnya adalah membuat drama radio bersama Moch. Hadi Utomo yang mengelola Radio Serenada di Slawi. Maka mulailah memancar acara “Guyon Tegalan” yang ternyata mendapat simpati dari para pendengarnya.
Setelah 5 tahun suara Parto Tegal dan Sudjai S terdengar melalui radio Serenada, Sudjai S terkena strooke yang kemudian menyebabkan kematiannya. Dan seratus hari kemudian Parto Tegal menyusul sahabat sejatinya itu. Padahal akhir-akhir ini ia sedang banyak mendapat kesempatan dan tawaran main sinetron, seperti pada serial “Imung” yang hingga sekarang (tahun 1997 –red) dapat disaksikan setiap Minggu sore melalui layar kaca SCTV. Tetapi apa hendak dikata. Manusia dapat berharap dan berusaha, namun Tuhan jualah yang menentukan segalanya. Selamat Jalan sahabatku. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun”
Surat Woerjanto itu ditulis dengan tangan di atas kertas folio bergaris. Semua huruf ditulis dalam condong dan cukup rapih. Berulangkali tulisan itu aku baca tak kunjung perasaan kelu bergejolak dalam diriku.
Lama aku menyandarkan diri pada kursi baru kemudian tulisan Woerjanto aku salin pada computer. Sekarang sudah lengkap bahan-bahan penerbitan Jurnal Tegal Tegal tinggal dilay out dan dicetak.


KETERANGAN : tulisan di atas salah satu bagian dari Novel Pengendara Badai karya Lanang Setiawan.

Keterangan Gambar : Parto Tegal dalam cover Junal TEGAL TEGAL.







Jumat, 27 Maret 2009

SAJAK DI PUNCAK


Lanang Setiawan

Sajak Di Puncak

Di Kaligua
kabut gunung slamet mendera
mengepung perdu perkebunan
jarak pandangku lenyap
aku kehilangan sinyal

Lereng dan lembah ngarai
jadi jebakan tipudaya antara negeri di awan
dan lautan kabut

paguyangan maret 2009


Kamis, 26 Maret 2009

TRADISI BEDAH BUKU


Tradisi Bedah Buku Tegalan Perlu Dilestarikan

PENTOLAN
budayawan Tegalan, M. Hadi Utomo menilai, acara diskusi buku antologi puisi Tegalan Ngranggèh Katuranggan yang digelar Komunitas Roti Bakar Dian Gendut di Lesehan sebelah selatan Masjid Agung Kota Tegal itu, sangat penting untuk memperluas wawasan.
“Silakan saja setiap komunitas bikin acara diskusi. Topik dan nara sumber harus gonti-ganti. Tapi jangan digunakan untuk ajang pembantaian” tandasnya.
Menurut dia, diskusi Kamis (19/3/2009) malam itu mustinya dibutuhkan moderator yang bisa mengendalikan acara. Hal ini karena suasananya dikemas secara santai dan informal jadi kadang-kadang melebar ke mana-mana.
“Kalau topiknya tentang sebuah buku ya namanya bedah buku. Biasanya penyelenggara membagikan buku” katanya.
Keliaran dan kelinglungan arah diskusi terasa sekali bagi peserta karena diskusi yang menghadirkan nara sumber Eko Tunas dan Imam Chumaedi Ssos kehilangan arah. Para peserta cuma mendapatkan panduan makalah dari Eko Tunas yang mengupas satu puisi milik Atmo Tan Sidik. Mereka tidak mendapatkan gambaran secara utuh keseluruhan puisi yang terangkum dalam antoloji Ngranggèh Katuranggan. Tak ada pilihan lain memaksa diskusi melebar kemana-mana dan tidak fokus.
“Terus terang saja, saya bingung. Saya tidak mendapat gambaran utuh dari puisi-puisi yang terangkum dalam antologi Ngranggèh Katuranggan. Bedah buku kok yang dibedah cuma satu puisi” keluhnya.
Dia berharap, kalau nanti digelar diskusi serupa, hendaknya panitia jangan segan-segan membagikan buku yang akan dibahas. Antoloji puisi tersebut sebetulnya ada 59-an judul puisi yang ditulis dari berbagai kalangan, dari Walikota dan Wakil Walikota Tegal, anggota DPRD, guru, seniman, sampai kalangan masyarakat kelas bawah. Cukup beragam warna dan tema puisi yang termuat dalam bukut itu. Namun karena kecekakan penulis makalah mengupas bait-bait puisi yang ada, menjadikan audien kehilangan pegangan.
“Saya menyayangkan pemakalah yang kurang memberikan gambaran dari isi puisi yang ada pada buku antoloji itu. Parahnya lagi, panitia juga tidak membagikan buku yang sedang kita diskusikan. Tapi secara penyelenggaraan udah bagus, gayeng dan hidup. Makanya tradisi macam ini perlu dilanjutkan” kata audien.
Hal serupa juga dikatakan HM. Yamin SH perlunya kesinambungan diskusi serupa. ”Saya usul diskusi serupa perlu ditindaklanjuti. Kita diskusi di ruang terbuka macam ini cukup bagus,” katanya yang diamini juga oleh Ir.H. Teguh Juwarno.
Atmo Tan Sidik selaku pihak penyelenggara merencanakan, diskusi berikutnya segera membedah novel Tegal Oreg yang ditulis oleh seniman Tegal (*)


SERIUS - Suasana diskusi antologi puisi Tegalan Ngranggèh Katuranggan, Kamis (12/3) malam di Lesehan sebelah selatan Masjid Agung Kota Tegal, tampak gayeng dan serius (Foto: Ekadilah Kurniawan)



Rabu, 25 Maret 2009

NARASI BUDAYA HADI UOMO


Peluncuran Buku Tegalan
Momen Penundaan Kepunahan Bahasa Tegal

GAIRAH berpuisi Tegalan, sejatinya sebuah kehangatan dalam pelukan seorang ibu. Bahasa yang kita dengar pertamakali sesaat setelah kita menghirup udara kehidupan. Bahasa yang mengajarkan kita mengenal dan memahami dunia dan lingkungan kita. Bahasa ibu adalah bahasa yang paling dekat, paling kuat berakar dalam diri seseorang.
Demikian pentolan budayawan Tegalan, Moch Hadi Utomo saat menyampaikan Narasi Budaya dalam acara Peluncuran Buku Kumpulan Puisi Tegalan Ngranggèh Katuranggan dan novel tegalan Oreg Tegal serta Baca Puisi, di Pendapa Ki Gede Sebayu Kota Tegal, Kamis (12/3/2009) malam pukul 19.30 WIB.
“Bahasa adalah karya tertinggi dari umat manusia. Bahasa bukanlah hanya sederet atau sekumpulan kosakata belaka. Bahasa adalah rumah kebudayaan dan ruang kesadaran bagi penuturnya,” tandas Hadi di depan tamu udangan.
Menurut dia, Bahasa Tegal yang digunakan untuk sebuah karya sastra berupa puisi dan novel malam itu, adalah sebuah bahasa yang unik, berbeda, dan berkarakter. Ia mencontohkan, ketika dia memasukkan kosakata untuk Kamus Tegalan tak kunjung selesai. Ia pun sempat terkagum-kagum pada para leluhur Tegal saat merekonstruksi gagasan menjadi sebuah kata. “Begitu rinci dan teliti. Antara teles dan garis kita mengenal kata cepel. Ada cebrik, bècèk, paluh, mblekuk, bula-bula, mboran, kongseb, hampad, pèh, rog, mar, jog, , ceg, cul, srog, sat dan seterusnya, adalah sedikit dari ratusan kata yang belum berhasil saya terjemahkan dengan tepat” akunya.
Disadari oleh Hadi, Bahasa Tegal memang tidak seluruhnya murni hasil karya para leluhur. Meski demikian agar Bahasa Tegal tidak punah perlu adanya kesepakatan pe ngembangan. Karena, menurutnya, punahnya suatu bahasa akan menyebabkan hilangnya berbagai bentuk warisan budaya, warisan tradisi dan ekspresi oral/bicara masyarakat penuturnya seperti sajak, cerita, novel, peribahasa, lelucon, wangsalan, suluk, mantra, tembang dan puji-pujian. “Kepunahan sebuah bahasa, memang sebuah keniscayaan. Dari 742 bahasa di Indonesia, 169 diantaranya terancam punah karena penuturnya kurang dari 500 orang. Hanya 13 bahasa saja yang penuturnya lebih dari satu juta orang, mudah-mudahan termasuk diantaranya adalah Bahasa Tegal” tegasnya.
Sebagaimana Bahasa Manx, yang dipakai penduduk kepulauan Manx di Inggris, punah pada tahun 1974 setelah Ned Maddrel penutur terakhir meninggal dunia. Sama seperti Bahasa Eyak di Alaska setelah penutur terakhirnya, Marie Smith Jones, meninggal pada tahun 2008. “Menurut ramalan saya Bahasa Tegal akan punah pada tahun 2109, setelah penuturnya terakhir meninggal dunia. Ternyata penjutur terakhir Bahasa Tegal bernama Jawul Saputra, dan ia adalah cucu terakhir seorang Begawan Bahasa Tegal,” ramalnya.
Dalam malam peluncuran antoloji puisi tegalan Ngranggèh Katuranggan dan novel tegalan Oreg Tegal adalah sebuah momen kesepakatan bersama untuk menunda kepunahan Bahasa Tegal, ungkas Hadi Utomo.
Selain peluncuran dua buku dan baca puisi, malam tegalan itu diramaikan pula tampilnya konser musik KMSWT. Hadir dalam acara itu Ketua Pengadilan Negeri Brebes Sigit Purwoko SH, Sri Wahyu Eko (Bank Jateng) dan Kabid Kebudayaan Dinas Pariwisata Kabupaten Brebes Sri Rubiyatun SH dan tamu udangan lain (LS)

KETERANGAN FOTO: - Pentolan budayawan Tegalan, Moch Hadi Utomo saat menyampaikan Narasi Budaya dalam acara Peluncuran Buku Kumpulan Puisi Tegalan Ngranggèh Katuranggan dan novel tegalan Oreg Tegal serta Baca Puisi, di Pendapa Ki Gede Sebayu Kota Tegal, Kamis (12/3) malam pukul 19.30 WIB (Foto: Lanang Setiawan)

KILAS BALIK Dr. MAUFUR


Kilas Balik Kiprah
Wakil Walikota Dalam Berkesenian


EKSISTENSI Dr. Maufur dalam menapaki dunia kesenian khususnya baca puisi, sudah teruji. Selama dia menjabat sebagai orang nomor dua di Kota Tegal kesuntukan pada dunia yang baru digeluti itu telah memberikan nilai tambah pada kesegaran dan kemajuan baca puisi. Teristimewa lagi, dia menulis dan membaca puisi bukan menggunakan bahasa nasional melainkan justru lebih punya kepedulian terhadap bahasa Tegalan. Sehingga gelora bahasa lokal semakin berkibar dan menjadi sebuah ikon di daerahnya sendiri. Ini sesuatu yang menarik dan baru kali terjadi sepanjang sejarah kepemimpinan di Kota Tegal ada pengggede terjun secara total dalam sastra Tegalan.
“Pak Maufur sudah sepatutnya menjadi suritauladan para pejabat. Sebagai wakil walikota, dia sudi menguri-uri bahasanya sendiri. Bahkan dia tampil bukan hanya di pendapa atau gedung-gedung bergengsi, tapi masuk ke kampung hanya sekadar baca puisi Tegalan pun tak dia tampik. Ini istimewanya dia mau rendah hati,” ujar penyair Tegalan, Dwi Ery Santoso saat mengomentari kesungguhan dia dalam kiprahnya bertegalan ria.
Maufur kali pertama menerjukan diri sebagai pembaca puisi Tegalan ketika di Slerok, ada perayaan HUT ke-17 novelis muda, pada Rabu (14/11/2007). Saat itu dia tampil membacakan butiran sajak Tegalan tanpa canggung di tengah pertunjukan pentas musik KMSWT dan kidungan Dalang Wayang Suket, Slamet Gundono, pembacaan puisi dan monolog oleh para seniman Tegal yang namanya sudah meroket di jagat sastra. Di sebuah lestoran di kawasan Kramat, dia pun kembali tampil dalam acara Baca Puisi Rekor Muri 4 hari 4 malam. Sebelumnya tampil pada pelunculan buku Kilas Balik Pilkada 1004-2009 di Kafe Cosmopolitan bersama para penyair Tegalan. Kemudian pada tanggal (14/12/2008) lalu, tidak tanggung-tanggung halaman rumah dinas dia dipakai untuk hajat perayaan Hari Sastra Tegalan dengan mendatangkan sejumlah seniman, musikus, anggota dewan, Stap Mentri Pendidikan Nasional Tejuh Juwarno. Waktu itu dia tak kalah bersaing melantunkan sajak Tegalannya. Terakhir pada Kamis silam, (12/3) dia kembali membacakan sajaknya pada peluncuran novel Oreg Tegal dan antoloji puisi Tegalan Ngranggèh Katuranggan. “Kehadiran Pak Maufur dalam berbagai pertunjukkan kesenian di Tegal, menunjukan kalau dia itu tidak gila hormat,” tandas Ketua Sorlem, Bontot Sukandar.
Bontot menilai, jabatan wakil walikota yang disandangnya, bukan semata untuk menjauhkan diri dari estetika berkesenian. Dia menjadi cermin bagi para penggede yang nantinya memimpin Tegal. “Plataran rumah dinasnya dipakai untuk ajang kesenian, itu nenegaskan bahwa tempat dinggal bukan semataa miliknya. Tidak semestinya dikekepi dèwèk, dan Pak Maufur telah memberikan suritauladan” pungkas dia yang mengharap pada penggantinya jangan ngganduli rumah dinas laiknya rumah sendiri (*)

KETERANGAN FOTO : - Dengan bersandar pada tiang saka, Wakil Walikota Tegal, Dr. Maufur saat membacakan sebuah puisi Tegalan pada acara peluncuran dua buku, Kamis (12/3/2009) lalu di Pendapa Ki Gede Sebayu (Foto: Lanang Setiawan)


Rabu, 18 Maret 2009

MIMI SUSU





MIMI SUSU

Anakku Ken Ayu Laras Queena sedang mimi susu dengan latar belakang Kantor dPRD Kota Tegal. Istriku tengah menggendong Laras.

Senin, 16 Maret 2009

LAGU TEGALAN CIPTAAN LANANG SETIAWAN


CINTA PENDEM
Ciptaan : Lanang Setiawan


Neng wayah bengi
ati kisruh ngantemi jiwa
kemutan kowen sing lunga adoh
tlaga bening ngambang ning mata
wujud tresna ngemu dukana

Tiba-tiba enyong tangisan
cintané kowen dipendem nang dada
kaya-kaya ati kesuduk

Koor: Aduh…aduh prawan ayu…2x
ora nyana dilabrag kecewa
ora nyana tambah senewen

reff : Pancèn…
enyong sing salah, nyong jual mahal
enyong sing mblunat, acuh tak acuh
maring kowen sing ngebet demen

Pancèn…
enyong sing salah, nyong jual mahal
enyong sing mblunat, acuh tak acuh
maring kowen sing ngebet demen


RIKA TÈGA ENYONG TÈGA
Ciptaan : Lanang Setiawan

Apa rika pancèn wis tèga
ninggal lunga enyong kesepian
ngemu tangis luh dlèwèran

Rika aja kaya kuwé
karo wong wadon sagelemé
gawé lara sapènaké

Reff: Ana perkara aja dibekep
ana nganti ora wani ngadep
Ana perkara aja dibekep
ana nganti ora wani ngadep

Aja nganggo karepé dèwèk
aja nganggo menangé dèwèk

Poma rong poma aja dibekep

Angger rika pancèné tèga
aja getun enyong demenan
luru ganti sing temenan

Enyong ora pan guyonan
rika tèga enyong uga tèga
rika njarag enyong uga njarag




MUMPUNG KETEMU
Ciptaan : Lanang Setiawan

Kayong tembé wingi
enyong ketemu karo kowen
ati krasa kemretegan
weruh kowen mèsih dèwèkan…2x

Apa ngentèni enyong
prawan ayu lagi nunggu
nunggu kowen sing gemiyèn
nang kèné mumpung ketemu…2x


Reff: Pan apa maning
pan pribèn maning
Pan apa maning
pan pribèn maning


Koor : Wong loro pada karepé
wong loro pada mbanclengé
dudu watu, dudu gunung
aja ragu aja bingung

Wong loro pada demené
wong loro mbokan jodoné
dudu lintang, dudu wulan
aja bimbang ayo lamaran



TRAGEDI JATILAWANG
Ciptaan : Lanang Setiawan

Pria : Ngebet kesumat maring rika
kadang, kadang, kadang, kadang
kadang ketemu prahara
kadang jiwaku merana
kadang uga kukecewa

Wadon : Ngebet kesumat maring rika
kadang, kadang, kadang, kadang
kadang ketemu prahara
kadang jiwaku merana
kadang uga kukecewa


Reff: Pria:
Kepribèn maning aku demen rika
tambah suwé tambah ngebet
aku kesumat

Wadon:
Kepribèn maning aku demen rika
tambah suwé tambah ngebet
aku kesumat

Koor: Dijambaki, ditaboki
demenan laka kapoké
didupaki, ditentangi
tragedi nang Jatilawang

Dijambaki, ditaboki
demenan laka kapoké
didupaki, ditentangi
tragedi nang Jatilawang


WULAN KABANGAN
Ciptaan : Lanang Setiawan

Samèné baé tresnaku maring kowen
ora pan tangisan, ora pan tak getuni
rasa nelangsa, ngremed jiwa
tak tebus kelara-lara
wulan kabangan nang nduwur langit
tanda kresna dadi kesumat


Samèné baé tresnaku maring kowen
ora pan tangisan, ora pan tak getuni
rasa nelangsa, ngremed jiwa
tak tebus kelara-lara
weulan kabangan nang nduwur langit
tanda kresna dadi kesumat

Reff : Seumpama bumi kebek
luh tangisan nggrentesé kowen
percuma…
tresnamu dadi wilad nang jero dada

Seumpama bumi kebek
luh tangisan nggrentesé kowen
percuma…
tresnamu dadi wilad nang jero dada



CANDU KASIH
Ciptaan : Lanang Setiawan


Misal sampèyan keket duaan
ditinggal lunga kasih juwita
apa sampèyan dendam kecewa
ditinggal lunga kasih juwita

Umpama sampèyan diapus janji
pupus harapan tinggal lamunan
apa sampèyan sirep urubé asmara

Reff: Tresna pancèn abot
aboté ngungkuli jagad
tresna pancèn ganas
ganasé ombak lautan

Tresna pancèn candu
canduné candu kasih
Tresna penggawé tatu
tatuné nggares ning kalbu

Lamon sampèyan koprot nestapa
sepi dèwèkan nangis dèwèkan
apa sampèyan wani ngadepi lelara



AJA NGALUB
Ciptaan : Lanang Setiawan


Apa maning duhai kekasih
sing dijaluk maring enyong

Turua rika sing angler

Aduh indahnya wulan
nyusup ning sepi
Aduh indahnya lintang
ngambang ning kedung

Turua rika aja ngalub


Reff : Deru debur ombak sing nyumbat
nang dada, upaya dilereb
aja nganti dadi kesumat

Rika aja kabongan aja ngalub
apus kromo
enyong ora sudi belèh lila digawé kecèwa

Turua wulané wis lingsir

KETERANGAN GAMBAR: Aku di lokasi Agro Wisata Kebun Teh Kaligua, Desa Pandangsdari, Kecamatan Paguyangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Indonesia












Baca Sajak Diketinggian 2000 Meter


Baca Puisi di Kebun Teh pada Ketinggian 2000 M

DUA Pegawai Negeri Sipil, Begawan Tegalan Lanang Setiawan, dan seorang wartawan, Sabtu (14/3) kemarin bikin sensasi yang unik dengan melakukan pembacaan puisi Tegalan. Empat pembaca masing-masing Kepala Seksi Kemitraan Dishubkominfo, Atmo Tan Sidik, Agus Siswanto, dan seorang wartawan dari harian di Jawa Tengah, Bayu Setiawan. Mereka melakukan hal tersebut dalam rangkaian acara pesta rakyat Kumpul Bareng Warga Kaligua PTPN IX. Acara dipusatkan di Wisata Agro Kebun Teh Kaligua, Desa Pandansari, Kecamatan Paguyangan, Brebes.
Ketika panitia mempersilakan mereka untuk naik panggung membacakan puisi, ketiganya menolak. Mereka bersepakat melakukan aksi pembacaannya bukan di atas pentas melainkan memilih tempat lain. Mereka kemudian diangkut menggunakan mobil, menuju perkebunan teh pada ketinggian 2000 meter di atas permukaan air laut yang dilarbelakangi panorama hijau berbalut halimun. Di tengah perjalanan, budayawan pantura Atmo Tan Sidik meminta mobil berhenti. Kabut putih menderas mengepung kawasan perbukitan. Atmo turun dan melangkah berbaur dengan para pemetik teh yang bercaping. Tak lama, dari mulutnya meluncur bait-bait puisi Nranggèh Katuranggan karya Wakil Walikota Tegal, Dr. Maufur. Mendengar ada orang membaca puisi, para pemetik teh sejenak menghentikan kegiatan.
“Ada apa sih mas? Kok berteriak di kebun teh?” tanya seorang pemetik.
“Baca puisi, syair bu,” bu Yayu, staf dari Dishubkominfo yang turut dalam perjalanan budaya itu menjelaskan. Para pemetik teh baru menyadari. Tapi agaknya rona wajah mereka berseri-seri melihat orang kota bersyair.
Lain lagi yang dilakukan oleh Bayu Setiawan. Dia memilih melakukan pembacaan puisinya bukan di hamparan kebun teh, melainkan di antara derasnya pancuran Tuk Bening. Kami terpaksa mendaki lebih jauh lagi dengan jalan berkelok-kelok namun keindahan obyek wisata Kaligula mengepung. Selepas mata memandang kehijauan dan kabut menutup lembah bagai lautan menghampar.
Tepat di antara pancuran Tuk Bening, Bayu melepaskan sepatu dan menggulung celana panjangnya. Dengan tanpa menggunakan teks, dia kemudian membacakan salah satu puisi Tegalan berjudul Ngertia Maring Enyong. Usai pembacaan mereka, kini giliran Agus Siswanto salah satu PNS dari Staf Dishubkominfo. Kali ini, Agus pun tak mau kalah. Dia memilih tempat pembacaan di pintu gerbang masuk Goa Jepang. Pembacaan Agus lebih heboh lagi, karena selain ditonton oleh karyawan dari PTPN IX Kaligula, puluhan anak pelajar SMKN Tonjong yang tengah santai-santai di gazebo, turut bergabung menyaksikan pembacaan Agus membawakan puisi berjudul Sing Nggo Tuku Sing Langka karya Atmo Tan Sidik. Terakhir adalah Begawan Tegalan Lanang Setiawan membacakan satu puisi di salah satu jembatan.
Meski pembacaan tersebut tak ditonton oleh ratusan pengunjung, namun mereka merasa senang membaca puisi di alam bebas dengan hamparan keindahan kebun teh dan kabut menyelubungi. Semua puisi yang mereka bawakan diambil dari antoloji puisi Ngranggèh Katuranggan.
Atmo Tan Sidik beralasan, kenapa pembacaan puisi mereka tak mau dilakukan di atas pentas, baginya bukan mau cari sensasi namun ingin memburu udara bersih di tengah indahnya puncak perbuktian. “Baca puisi di kebun teh, selain misi bali desa mbangun desa, sekaligus memburu udara bersih,” katanya.
Usai pembacaan, Atmo menghadiahkan buku Ngranggèh Katuranggan kepada Bagian Operasional Agro Wisata, Marjono dan beberapa karyawan setempat serta pihak sponsor yang menyelenggarakan acara pesta rakyat.


KETERANGAN FOTO: - Lanang Setiawan saat membacakan sajak Tegalan di kawasan bukit pada ketinggian 2000 meter di Wisata Agro Kebun Teh Kaligua, Desa Pandansari, Kecamatan Paguyangan, Brebes, Sabtu (14/3/2009).

Nasehat 2

Nasehat 2
Karya Maufur


Nang, aja nganti, ora kanti
yen lagi ngantri,
karunia Illahi aja cepet bubar, ati sabar
pikiran jembar ngadep Allahu akbar
ngadep bae terus, sing lurus
njaluk keurus karo Allahulkudus
Meski puji Gusti, anjog mati ora rugi
mbesuk olih ganti
Amin

Rabu, 11 Maret 2009

PELUNCURAN 2 BUKU DAN BACA PUISI TEGALAN


Peluncuran Dua Buku Sastra dan Baca Puisi Tegalan

DUA peristiwa budaya Tegalan, malam ini (12/3) bakal berlangsung di Kota Tegal. Bak meteor yang melesat di langit kesusastraan Nasional, peristiwa tersebut akan menandai tonggak sejarah monumental dengan diluncurkan dua buku berbasis Tegalan.
Dua buku yang akan diluncurkan malam ini, novel Tegalan bertajuk Oreg Tegal dan antoloji puisi Nranggèh Katuranggan terbitan media Tegal Tegal bersamaan dengan digebernya pembacaan puisi dan pentas musik KMSWT di Pendapa Ki Gede Sebayu Kota Tegal, pukul 19.30 WIB
Novel Tegalan Oreg Tegal berlatarbelakang epos Tegal yang terjadi saat pasukan Belanda melancarkan agresi militer ke II secara membabi buta di wilayah Tegal dan sekitarnya pada tahun 1947. Pejuang-pejuang Tegal dari Laskar Rakyat, TNI Masyarakat, Resimen Pusponegoro, TNI Resimen 13, BPRI, CPM, Hisbullah, dan para bencoleng dari Pasukan Banteng Loreng bersatu padu melawan sengit kebringasan bangsa Nederland. Kelompok Laskar Rakyat yang dipimpin Catim dengan menggunakan kesenian Sintren menyusup ke markas Landa di wilayah Desa Sumingkir, Kedungbateng, Kabupaten Tegal. Pemuda yatim piatu bernama Catim masuk ke lorong-lorong markas Landa untuk membebaskan seorang wanita bernama Niti dari sekapan bajingan tengik Jayeng Laga. Perjuangan pembebasan Catim atas wanita pujaan hatinya berhasil diselamatkan. Niti bebas dari nafsu angkara murka Jayeng Laga, kemudian mereka membakar markas Landa di tengah malam yang semarak dengan kesenian Sintren yang dikemlandangi Mbok Mirah. Kisah perjuangan Catim dan Niti Cs berakhir dengan cinta kasih keduanya yang lama bersemi.
Novel Oreg Tegal ditulis dengan silayah setting di daerah Surabayan Panggung, Cenggini Lebaksiur, Pakulaut, Margasari, hingga melebar ke wilayah Pulosari, Kabupaten Brebes. Novel Tegalan ini menjadi penting karena merujuk pada data sejarah yang terjadi di wilayah Tegal.
Pada antoloji puisi Ngranggeh Katuranggan, terhipun beberapa puisi Tegalan dari mulai Penyair Tempe, Apito Lahire, Abu Ma’mur, Hadi Utomo, Wijanarto, Dwi Setyawati, Emmah Karimah, Nurngudiono, Tambari Gustam, Atmo Tan Sidik, Dwi Ery Santoso, Nurochman Sudibyo YS, sampai Walikota dan Wakil Walikota Tegal, Adi Winarso dan Dr. Maufur, termasuk didalamnya Rosalina Ikmal Jaya. Mereka itulah yang pada acara peluncuran dan baca puisi Tegalan bakal membacakan puisinya. Turut memeriahkan istri Walikota Tegal, Tatiek Adi Winarso. Untuk memberi suasana sumringah, akan tampil KMSWT pimpinan Nurngudiono dengan membawakan tembang-tembang Tegalan. Nurngudiono berjanji pada acara tersebut akan bermain total dengan menghadirkan musik Tegalan spektakuler.
“Saya akan sajikan pemainan musik Tegalan dengan penuh kematangan. Habis-habisan KMSWT menyuguhkan karya terbaik termasuk membawakan puisi Ornggrongan karya Pak Adi dalam kemasan lagu Tegalan yang menarik!” janji Nurngudiono.
Jalanannya acara dikomandani oleh budayawan Wijanato dengan Narasi Budaya Moch. Hadi Utomo (*)


Selasa, 10 Maret 2009

BU WALIKOTA BACA SAJAK TEGALAN


Bu Wali, ‘Cicipi’ Baca Puisi Tegalan

SEBUAH kejutan datang dari istri Walikota Tegal Adi Winarso, Ibu Tatiek. Tak terbayangkan sebelumnya, tiba-tiba dia ingin mencicipi asiknya sebuah perhelatan para wanita pembaca puisi Tegalan yang sudah bersedia tampil Jèd-jèdan Maca Puisi pada acara Peluncuran Antoloji Puisi Tegalan Ngranggèh Katuranggan, Kamis (12/3) malam pukul 19.30 WIB, di Pendapa Ki Gede Sebayu Kota Tegal.
“Siapa takut maca puisi Tegalan? Enyong bisa ngomong Tegal lho mas. Tunggu saja nanti pada malam pelaksanaannya” kata Ny. Adi Winarso yang ditirukan dramawan Yono Daryono saat diutarakan kepada NP di kantornya, Selasa (10/3) siang.
Kepastian Ibu Tatiek Adi Winarso ikut berpartisipasi dalam acara pembacaan dan peluncuran tersebut, diperkuat dengan satu buah puisi Tegalan buah karyanya. Bahkan menurut Yono Daryono, Bu Wali sudah mulai belajar menghafal sajaknya secara intens. Ia bilang, semua itu agar penampilan pertamanya pada even kesenian yang cukup bergengsi itu tidak mengecewakan para hadirin. Ia akan berusaha tampil semaksimal mungkin dengan dialek Tegalannya yang medok.
“Saya kira, Bu Wali akan mampu membawakan puisi Tegalan. Saya yakin, bahkan sangat yakin kalau dia mampu. Karena apa? Dia sudah sepuluh tahun menetap di Tegal, makan dan minum juga di Tegal, tentu akan memberikan kado istimewa bagi kenang-kenangan kita semua,” tegas Yono tanpa bermaksud promosi.
Sebagai istri orang nomor satu di Kota Tegal yang sudah sepuluh tahun bercokol di Tegal, Ibu Tatiek ini sudah bisa menyesuaikan diri dengan kultur yang ada di masyarakat. Semua itu menjadi modal lebih baginya mengenali bahasa Tegal sebagai bahasa yang dipakai dalam keseharian masyarakat Tegal.
Masih lewat juru bicara Yono Daryono, Bu Wali tetap saja merahasiakan tema puisi apa yang akan dibaca. “Tunggu saja apa gebraknya malam pementasan nanti!” katanya.
Tiga wanita para pembaca puisi pada acara itu, selain Ibu Tatiek Adi Winarso, yakni anggota Dewan Kota Tegal Ibu Emma Karimah dan Ibu Rosalina istri dari Walikota Terpilih H. Ikmal Jaya, SE.AK. Acara ini diramaikan juga oleh KMSWT pimpinan Nurngudiono dengan menampilkan tembang-tembang kasmaran Tegalan ciptaan Lanang Setiawan, yang menurut Nurngudiono akan dikemas secara istimewa dan spektakuler untuk kado kenang-kenangan menjelang purna tugas Walikota dan Wakil Walikota Tegal, Adi Winarso dan Dr. Maufur (*)


Kamis, 05 Maret 2009

B ACA PUISI, CARA INDAH MAUFUR PAMITAN


Baca Puisi Cara Indah
Maufur Pamitan Purna Tugas

WAKIL Walikota Tegal yang satu ini memiliki keunikan dan estetika berkesenian. Cara dia berpamitan, jarang dipunyai oleh pejabat lain. Dia bukannya tampil untuk berpidato penuh kata-kata berbusa, melainkan cukup membawakan sepotong puisi sarat makna. Hal itu terjadi ketika berlangsung di aula Kecamatan Tegal Selatan menggelar acara Pamitan Walikota dan Wakil Walikota Tegal pada Rabu (4/3) malam kemarin.
Di hadapan Camat beserta jajarannya dari para lurah sampai perangkat, dan anggota masyarakat, Wakil Walikota Tegal, Dr. Maufur yang pada tanggal 23 Maret mendatang menyudahi masa jabatannya, cuek-bebek membacakan satu potong sajaknya.

Penugasan itu terbatas, ada mulai ada usai
dan batas itu hampir melintas
kamipun bergegas mohon diri

Kalau toh kami nanti sampai di ujung
tiada lain karena di sana-sini saling mendukung
karenanya sebelum kami permisi
menyempatkan lebih dulu berterima kasih

Selama ini kita berhubungan
mungkin saja ada yang tak berkenan
agar silaturahmi tetap berjalan
maka segera kita saling mohon dan memaafkan

Penuh kepastian dan ketenangan dia membawakan sajak berjudul Mohon Diri. Tak ada tangis juga air mata, namun hadirin tertegun mendengar Maufur membaca sajak itu. Butiran kata-kata puisi yang dituangkan oleh Maufur dalam acara tersebut terasa tegas penuh kandungan arti. Ia bersahaja dan mengalir saat dia membawakan sajak itu dengan penuh keyakinan dan menyentuh kalbu, menyadarkan pada saiapapun yang memangku jabatan, toh pada akhirnya harus berujung di batas tepi.
Menyadari bahwa penugasan itu sifatnya fana, tidak langgeng, maka bersilaturahmi sebelum batas itu tiba, menjadi sebuah kewajiban bagi Pak Maufur, di mana dia menyadari selama berhubungan antara antasan dan bawahan tentu ada ketidakpuasan, ketidakcocokan, dan kemarahan atau kebencian, maka semua itu harus dilebur. Dan itu semua dilakukan agar talisilaturahmi berjalan penuh keharmonisan.

mungkin saja ada yang tak berkenan
agar silaturahmi tetap berjalan
maka segera kita saling mohon dan memaafkan.

Maufur yang pada tanggal 12 Maret mendatang tampil kembali membacakan puisi Tegalan di Pendapa Ki Gede Sebayu dalam acara Peluncuran Antoloji Puisi Tegalan ‘Ngranggeh Katuranggan’ itu, mengakhiri pembacaan sajak Mohon Diri dengan gemuruh tepuk tangan para hadir. Malam itu pun menjadi sebuah acara pamitan cukup indah dan berkesan mendalam karena baru pertama kali terjadi dan unik. “Mantap dan unik” ucap Pak Camat yang merasa terkesan usai pembacaan puisi itu. Sementara Pak Wakil Walikota sendiri ketika tanya alasan kenapa membawakan puisi dalam pidato, dia berkata: “Efisien waktu, kalimat indah, penuh makna. Cara yang berbeda diharap lebih menarik,” (*)