Selasa, 30 Desember 2008

APAS dan AMBARI ADU MONOLOG


Dua Aktor Tegal
Adu Monolog

DUA aktor Tegal, Apas Kapasi dan Slamet Ambari, adu monolog. Peristiwa itu berlangsung di halaman Gedung Dewan Kesenian Tegal (DKT) dalam acara ‘Pentas Seni Remojongan 2’. Digelar DKT, Selasa (30/12) malam pukul 21.00 WIB.
Di tengah hujan yang mengguyur deras sepanjang pementasan, tampil dipembuka acara aktor monolog Slamet Ambari mengusung lakon adaptasi dari sebuah cerpen Saroni Asikin berjudul Penghancur Berhala. Lima belas menit berlalu tampil Apas Kapasi membawakan karyanya berjudul Latihan Teater.
Dengan jubah berwarna ungu, berpeci merah dan tongkat berukir seperti ular, Ambari tampil diiringi deru angin dan hujan menderas. Ambari memainkan lakon itu penuh gugatan, lolongan dan amukan kejengkelan. Doktrin bapaknya yang menganggap bahwa tivi, foto, atau bahkan benner-benner caleg yang dipasang di pinggir jalan adalah berhala-berhala yang harus dia hancurkan. Puncak kepedihan, aniaya, dan kekesalan jiwa, dia meremuk-redamkan tulang-belulang jasad ayahnya dalam kubur. Dia menganggap bahwa ayahnya tak ubah berhala seperti Latta dan Uzza yang disembah-sembah di jaman Arab jahiliyah.
Lakon Penghancur Berhala dimainkan Ambari membuktikan kalau keaktoran dia semakin memiliki taji ditengah kelakaan keaktoran di Tegal mulai sirna. Maka dengan kemunculan Ambari, Tegal seperti diselamatkan. Hal yang sama ketika Apas Kapasi mengusung lakon monolog Latihan Teater, melengkapi ketangguhan kota poci ini menebalkan sebagai Kota Teater.
Apas mengangkat kisah tentang seorang gadis yang mendapat larangan keras dari sang ayah untuk segera menanggalkan hobinya berlatih teater. Silang pendapat dan adu mulut terjadi berderas-deras. Ayahnya takut kalau kebusukannya terbongkar karena dia seorang koruptor ulung, sedang sang anak adalah putri dari artis terkenal yang tak lain adalah wanita slingkuhan ayahnya. Itulah penggalan kisah yang dibawakan Apas.
Malam itu, seperti tak mau kalah dengan Ambari, penampilan Apas begitu mampu memilah antara dialog Sang Ayah dengan Sang Putri. Ditangan Apas, tokoh Sang Ayah dia visualisasikan lewat Ibu Jari, sementara untuk tokoh Sang Putri, dia visualisasikan melalui Jari Telunjuk. Visualisasi semacam itu memberikan kejelasan amat jitu dilakukan Apas sebagai pembeda antara Sang Ayah dan Sang Anak. Di sinilah kejelian Apas bermain monolog dengan melakonkan dua karakter. Dengan bertelanjang dada dan berkuyup air hujan diantara sorot lampu yang benderang, Apas sepertinya bakal menjadi seorang aktor yang memiliki masa depan cemerlah. Dan malam itu, sungguh penonton seperti terpuaskan menikmati dua aktor monolog yang berlaga.
“Menyaksikan dua pertunjukan monolog yang dibawakan Apas dan Ambari, rasanya aku menemukan kembali aktor-aktor tangguh yang dimiliki Tegal,” ujar Ketua DKT Nurngudiono (LS)

KETERANGAN GAMBAR : Aktor monolog Apas Kapasi saat tampil di acara ‘Pentas Seni Remojongan 2’ yang digelar DKT di halaman depan Gedung DKT, Selasa (30/12) malam di tengah guyuran hujan yang deras. Foto NP : Lanang Setiawan

Senin, 29 Desember 2008

ARI JEMBRONG MENGGUGAT MINAH MINGGAT


Demo Lukis
Ari Jembrong Gugat ‘Minah Minggat’

DI tengah hujan yang menderas, Sabtu (27/12) malam lalu, Ari Jembrong ‘meradang’. Sebagai pelukis yang setia mengemban kesalehan sosial, ia melakukan gugatan terhadap berbagai ketimpangan sosial yang terjadi dewasa ini. Lewat demo lukisnya ‘Minah Minggat’, ia memberondong pertanyaan ke mana larinya minah tanah (minah) itu. Tangan-tangan siapa yang sampai hati melakukan kekejaman terhadap kebutuhan vital rakyat jelata ini?
Diterangi sorot lampu dari berbagai penjuru dan hujan yang menderas, Ari Jembrong bertelanjang dada dengan mulut penuh cairan cat. Bentangan kanvas sepanjang 5,5 x 1,5 meter dibentang-rentang di gapit dua potong bambu menghadap ke jalan raya. Dari mulut Jembrong kemudian menyembur warna cat putih, kuning, biru, dan merah. Berulang-ulang dia memuntahkan cairan itu di bentangan kanvas putih polos. Tangan Jembrong terus bergerak dan bertindak sebagai kuas ditingkah lolongan penyanyi sambatan meramaikan acara demo lukis dalam ‘Pentas Seni Remojongan 2’.
Ketika melukis, Jembrong seperti meradang, menerjang, dan mengamuk, tidak hanya menggunakan kedua tangannya melainkan kedua kaki dia turut menjejakan di kanvas. Kucuran warna putih dan merah di atas lukisan canting meleleh seperti tumpahan minah. Ia menggambarkan, semua itu dengan warna-warna getir, menyayat, dan penuh keprihatinan. Tumpahan minah, canting-canting yang berlarian, gambar atlas coreng-moreng, dan tangan-tangan serta telapak kaki yang dia tuangkan mewakili betul kondisi rakyat kita yang tengah terjepit akibat para penguasa salah urus dan hanya mampu mementingkan diri sendiri.
“Melalui demo lukis ‘Minah Minggat’, Ari Jembrong telah mampu menghadirkan kepedihan rakyat jelata yang dibelok kepapaan minah. Ia menggugat, meradang, dan mengamuk dalam suasana getir yang sedang dirasakan jutaan penduduk kita. Ke mana minggatnya minah, berhasil diwujudkan Jembrong dengan jitu,” ujar Ketua DKT Nurngudiono.
Malam ‘Pentas Seni Remojongan 2’ yang digelar Dewan Kesenian Kota Tegal, sebelumnya digelar juga pentas tari, dan teater. Minggu malam (28/12) 5 buah film garapan sineas Tegal serentak diputar. Pentas remojongan itu bakal berakhir pada malam tahun baru (LS)


KEDUA KAKI - Seakan mengamuk, pelukis Ari Jembrong menggunakan kedua tangan, bahkan kedua dan semburan cat dari mulutnya, menumpahkan demo lukisnya dalam acara 'Pentas Seni Remajongan', Sabtu (27/12) di halaman Gedung DKT dibawah guyuran hujan. Foto Lanang Setiawan

ORASI BUDAYA ATMO TAN SIDIK


Orasi Budaya Atmo Tan Sidik


MEMASUKI tahun baru Islam 1 Muharam 1430 Hijriyah, yang momennya bersamaan dengan akhir tahun 2008, Dewan Kesenian Kabupaten Brebes (DKKB) menggelar refleksi akhir tahun, bertempat di Pendopo Bupati Brebes, Minggu (28/12). Orasi menampilkan pemerhati budaya pantura Drs Atmo Tan Sidik yang mengetengahkan topik ‘Sumur dan Produktivitas Kolektif Menyiasati Akar Ketegangan Antar Logika Langit dan Logika Bumi’.
Dalam orasinya, Atmo membeberkan tentang sejarah peradaban manusia sejak lahir sampai mati yang sangat tergantung dari aktifitas sumur sebagai sumber air, apa lagi ditengarai struktur fisik manusia 70 prosen terdiri dari air. Sejak memasak, mandi, junub dan berwudhu bahkan sampai memandikan jenazah semua tergantung sama air.
“Kepemilikan sumur dengan segala kemanfaatannya secara ideal merupakan simbolisasi dari filsafat universal bahwa jika seseorang ingin memiliki prilaku indah, hidupnya berkah serta keturunannya menjadi anak yang saleh dan solekhah. Tentunya sumur memainkan peran sangat penting yang memvisualkan ‘hurip’ iku huruf,” tandas Atmo.
Lebih lanjut nominator bidang Seni Budaya Award tahun 2006 tingkat Provinsi Jateng yang juga mantan Kepala Desa Pakijangan itu menegaskan, sumur jika tidak dikuras akan banger, sebaliknya jika sering dikuras akan deras, struktur air pun bening demikian pula harta, juga ilmu apabila tidak diamalkan bakal menjadi bala bencana.
“Para Nabi memiliki sumur yang dirawat sebagai monumen untuk kepedulian sosial terhadap lingkungan sekitar, seperti sumur Zamzam, demikian pula para wali memiliki sumur sebagai realisasi dari kesalehan sosialnya, agar ilmu tinemuning laku. Sunan Bonang punya sumur Brumbung, Syeh Ibrahim Asmarakondi sumur Ombe, Ki Ageng Manyuro sumur Ndangangu, Ki Gede Sebayu sumur Danawarih, Raden Purbaya sumur Dhandang, Mbah Panggung sumur Dalem, Mbah Rubi sumur Tamtu, dan Mbah Djoko Poleng merawat sumur Djalatunda. Nah pada tahun baru Islam ini, sudahkah kita punya sumur kesalehan sosial? Karena esensi refleksi tahun baru adalah mempertanyakan aras keseimbangan antara iman, ilmu dan amal,”
Sementara itu Ketua DKKB Lukman Suyanto, mengharapkan agar masyarakat Brebes dapat menampilkan berbagai kreativitas unggulan di bidang kesenian.
“Kenyataan membuktikan berbagai prestasi baik di tingkat regional maupun nasional, telah dapat diraih oleh para seniman asal Kota Bawang. Mari pada tahun mendatang kita sepakat untuk menjadikan seni sebagai panglima pembangunan,” tegas Lukman
Ikut memeriahkan acara tersebut, abah Nurngudiono dari komunitas Kampung Seni Desa Bedug yang juga ketua Kelompok Musik Sastra Warung Tegal (KMSWT). Malam semakin gayeng meskipun ditingkah curahan hujan, setelah KMSWT dengan para penyanyinya melantunkan lagu khas Tegalan Dolanan Rakyat, Ruwat Desa, Tukang-tukang, Sega Ponggol, dan lain-lain.
Nampak hadir Wakil Bupati Brebes, H. Agung Widiantoro, SH, MSi, tokoh pendidikan Wijanarto SPd, kiai Ali Fathoni, dalang Ki Soetarto Wijiwasito, serta para guru dan pengurus DKKB (LS)

KETERANGANG GAMBAR: -Atmo Tan Sidik (berpakaian batik, ketiga dari kiri) saat menjadi penceramah dalam diskusi sastra 'Maut, Kemadian dalam Sastra', di selenggarakan oleh Komunitas Sorlem, 25 Maret 2008 di rumah Lanang Setiawan berkaitan dengan 3 Tahun kematian Ken Narendra Mediasah Muhammad, ananda Lanang Setiawan

Jumat, 26 Desember 2008

5 FILM TEGAL ADU KEKUATAN


5 Film Tegal Adu Kebolehan

LIMA film bernuasa kedaerahan kini tengah ditunggu-tunggu masyarakat Tegal. Lima film garapan sineas muda asal Kota Tegal itu siap diputar di halaman gedung Dewan Kesenian Tegal (DKT) dalam “Pentas Seni Remojongan 2”, Minggu (28/12) besok malam. Lima judul film tersebut yakni Warto Togel karya/sutradara Andy Prasetyo, Shinta Berbagi Impian sutradara Dwi Ery Santoso, Jatiwaru sutradara Rasdani Samin, Berkah Centong dan Ibu dan Anak-anaku, keduanya disutradarai Wicaksono Wisnu Legowo.
Acara yang pernah absen satu setengah tahun itu kembali digelar setelah Nurngudiono aktif dalam kepengurusan DKT. Sambutan sineas muda Tegal pun bergelora dengan mengisi acara “Pentas Seni Remojongan 2” yang rencananya digelar satu minggu dari berbagai cabang seni di Tegal. Salah satu sutradara berbakat Andy Prasetyo menyambut positif dengan digelarnya agenda tersebut. Sineas berbakat yang film dokumenternya berjudul Tukang-tukang Kemoncer masuk nominasi pada Festival Film Cannes di Prancis itu kepada NP, Jumat (28/12), tak dapat menutupi rasa gembiranya. Dia mengaku, dengan pemutaran lima film yang bernafaskan kedaerahan itu bakal menjadi pemicu beberapa produksi lain dari para sineas muda asal Kota Tegal. Tidak menutup kemungkinan hal itu akan memancing mereka yang baru belajar mengenal dunia perfilman.
“Pemutaran film dengan genre kelokalan, bakal memberikan sebuah apresiasi positif dan tidak menutup kemunkinan anak-anak yang baru belajar dunia film, tergugah dan mencoba berproduksi. Oleh karenanya saya sangat mendukung dengan digeber kembali pemutaran film pada araca Pentas Seni Remojongan 2” ujar Andy.
Lima film yang bakal diputar itu, masing-masing memiliki daya tarik dengan alur cerita berbeda dari film yang satu ke film lain. Pada film Andy, ia akan berbicara tentang ketegasan sikap, kalau judi togel pada ujungnya menuai badai sengsara. Tokoh Warto digambarkan begitu tragis pada akhir kisah. Ia gila karena judi togel. Pada film Berkah Centong garapan Wicaksono Wisnu Legowo dengan scenario ditulis MF Wibowo ini membidik sejuah perjalanan keeksisan sebuah Warteg bukan ditentukan karena ‘centong’ yang betuah. Melainkan karena menu masakan yang bersih, bermutu dan higenis itulah menjadi pangkal kelanggengan sebuah Warung Tegal. Dalam Shinta Berbagi Impian garapan Dwi Ery Santoso, mengetengahkan bagaimana memilih sekolah tingkat lanjutan pertama yang bermutu bagi para lulusan tingkat sekolah dasar. Dan dua film lainnya tentunya tak kalah menarik untuk ditonton, terutama film Ibu dan Anak-anaku yang berhasil meraih nominasi film pendek FFI 2008. “Film yang skenarionya ditulis Moses Sihombing ini baru pertama kali diputar di Tegal,” tandas Wisnu.
Sedangkan kelima film yang akan diputar nanti, menurut Andy, layak ditonton dan diapresiasi bersama. Ditambahkan, Film Warto Togel yang menggunakan bahasa tegalan, pada tanggal 2 Januari 2009 mendatang akan diputar di negeri Kincir Angin, Belanda dengan subtitle berbahasa Inggris (LS )


Foto: Andy Prasetyo

Kamis, 25 Desember 2008

MOGAL PENABUH BEDUG 15 JAM


Mogal Penabuh Bedug 15 Jam
Non Stop


TAK banyak orang tahu jika mantan penyiar radio, Mogal di wilayah Adiwerna ini ternyata menjadi orang yang paling top di Desa Bulakwaru, Kecamatan Tarub dengan keahliannya menabuh Bedug selama 15 jam non stop pada tahun 1992 lalu. Mogal, yang memiliki nama lahir Watmowidjojo ST (Saking Tegal –red) itu telah membawa nama desanya terangkat demikian meroket karena prestasinya mampu menabuh bedug dari jam 9 pagi sampai subuh dini hari.
“Meski pada waktu itu saya hanya menduduki urutan ke dua, saya bangga karena nama Desa Bulakwaru turut terangkat,” ujar Mogal kepada Nirmala Post yang menyambangi rumahnya di Desa Bulakwaru, Kamis (25/12) siang.
Mogal mencoba mengetes ketahanan fisiknya itu lewat Lomba Menabuh Bedug yang diselenggarakan Taman Impian Jaya Ancol semata karena kecintaannya pada budaya islami.
“Saya tertarik dan tertantang mengikuti ajang lomba itu selain mengukur sejauh mana ketahanan fisik saya, sekaligus karena di dalamnya ada nilai-nilai keislaman,” katanya.
Dia mengaku mampu menabuh bedug selama 15 jam bukan perkara mudah. Persiapan untuk mengasah ketahanan fisiknya itu harus meneguk jamu sebanyak 10 butir kuning telor ayam agar mampu bertempur dalam lomba yang cukup bergengsi itu. Peserta sebanyak 50 orang itu bukan mereka yang asal-asalan, namun dari penjuru kota dan daerah di seluruh nusantara tumpah ruah berburu prestasi. Satu-satunya orang dari Desa Bulakwaru, Kecamatan Tarub, Kabupaten Tegal itu cuma Mogal. Tapi ia mengaku tak gentar menghadapi mereka.
“Saya orang desa memang, tapi jiwa dan tekat saya membulat baja untuk meraih juara. Saya tak gentar menghadapi orang-orang yang memiliki postur tubuh perkasa dan gede-gede. Alhamdulillah dalam lomba itu saya keluar sebagai juara dua. Saya ambruk tak mampu lagi melanjutkan perlombaan. Kekuatan fisik saya cuma mampu beraksi selama 15 jam, tapi saya telah berjuang sebaik mungkin untuk desa saya,” ujar salah satu pengurus LASQI Jawa Tengah itu.
Sejak predikat juara kedua yang dia sandang, penabuh drum Jelly Tobing kemudian mengajak Mogal untuk meramaikan Jelly Tobing pentas akbar di arena Driver In Theater Ancol dalam ajang pemecahan rekor tabuh drum selama 10 jam.
Menurut Mogal, untuk membuat nyaring suara bedug itu sebaiknya menggunakan kulit sapi pada bagian kempongan. Sementara untuk membuat terbang kencer berbunyi nyaring sebaiknya menggunakan kulit kambing bagian gigir.
“Tapi jangan sekali-kali memilih kambing yang berpenyakitan. Pilihlah kambing yang sehat, karena bunyinya akan lain. Untuk kayu yang dipilih sebaiknya pakai kayu mahoni yang bener-bener kering agar tidak ngulet atau melengkung ketika dipasang lembaran kulit,” pungkas Mogal (LS)









Selasa, 23 Desember 2008

UNTUNG BINDENG: Lawak Itu Anugrah


Untung Bindeng
Profesi Lawak itu Anugerah

PELAWAK Untung Bindeng asal Tegal, mengaku menerjuni dunia lawak sebuah anugerah dan sudah kodrat (kehendak) dari Yang Maha Kuasa. Pengakuan pemiliki nama asli Untung Santoso itu disampaikan kepada NP Selasa (23/12) ketika berada di sebuah warung lesehan.
“Suara saya bindeng ini asli dari sononya, bukan buatan. Saya bersyukur, justru karena kondisi saya seperti begini ini, membawah saya dilimpahi berkah dan saya tak menyesal ditakdirkan sebagai pelawak,” tambahnya.
Nama Untung Bindeng mulai meroket sebagai pelawak di wilayah Tegal ketika merebaknya arus reformasi melanda ke Tegal di tahun 1989. Dia bertutur, ketika itu Usdad Mustahid mengajak dia untuk menemani pentas dalam rangka tujuh belas Agustusan pada satu panggung dakwah. Tugas Untung berperan sebagai pendamping Mustahid agar mampu memberikan daya sengat banyolan kepada masyarakat. Bukan main pengunjung pengajian dikocok oleh lawakannya, karena ternyata Untung dapat memainkan peran yang tak disangka-sangka. “Sejak itu nama saya mulai dikenal oleh masyarakat,” katanya.
Karir Untung makin meroket. Kemudian oleh H. Tambari Gustam diajak untuk mengisi siaran guyonan di Radio RCA. Tak disangka pula, reputasi Untung semakin mendapat tempat. Keuntungan suaranya yang bindeng membuatnya mudah dikenal masyarakat apalagi dengan rambut plontosnya dan wajah yang ‘kocak’ itu, menambah nilai lebih untuk dirinya.
Untung sendiri mengaku, selama ini sudah tak terhitung ditanggap ke berbagai hajatan bersama Naryo Lawak. Kemana Naryo Lawak melakukan perjalanan pentas sulap dan lawakan, tak pernah tertinggal untuk mengajak Untung Bindeng sebagai pasangannya yang kerap berperan sebagai orang yang konyol.
“Saya menyukuri pemberian kodrat ini dengan rasa penuh seluruh,” katanya.
Bagi Untung Bindeng, dunia lawak telah dia pilih dan sampai kapan pun akan selalu eksis di dunia itu.

Minggu, 21 Desember 2008

SAJAK NUROCHMAN SUDIBYO YS


Nurochman Sudibyo YS

Negeri Kelem Negeri Kerem

Krana tibaneng pangucap manungsa kang den umbar
Ngaluwihi kuasane gusti
Saiki kedeleng ning mata sekabeh jagat pada robah
Menika angrupa tanda-tandaning jaman
Bonggan sira ora njaga sakubenge alam
Kedadiane bumi sewaktune ndeleng tetanduran senajana ana udan
Ora ketulungan
Ombak gede ning lautan gawe ngeri para nelayan
Pesisir laut kepinrut tambah sue tambah ciut
Nyawang laut katone sewot, ombake gede gumebyar krasa abot
Wong nandur bako langka sing dadi
Malah mati kesiram bocoran lenga
Delengen ning sira dalan banyu sapinggireng dermaga durung pada dikeruki
Apamaning disenderi, akhire dadi kalen buntu, tutupan watu
Kali-kali pada mati, disumbat amarah emosi luru bati.
Sekien delengen dalan-dalan manjing pedesaan
Kaya ombak-ombakan. aspale pada kroak, dadi balong cilik anjul-anjulan
delengen alas ning perbatesan kayane wis kake’en sing pada ilang
Wit gede kari bonggole, wit sedeng kari godongetiba di plataran bumi dadi siji capur lemah
Nyawa satoan, nyawa tanduran, nyawa sekabeh mahluk
Sukma jalma manungsa, uga dhalane kita kabeh bisa ambekanlumangkahe sira kabeh ora saimbang mulane mung bisa nembang
Sakubenge langit kumananda lair tangis saben dina
Saiki samya katon tingalen mawon
Katah prau baita mangkrong-mangkrong nembusi langit
Kajungjung benteng ketaton
Puniki kedadiane pratanda neng jaman
Ilange godong pace, mampete birokrasi, tugele jalinan silaturahmising ana mung saling prediksi, korupsi wis dadi tradisi
Kita wong cilik mung bisa nyakseni wong pada mangan daging sedulure dewek
Iku kula kabeh pun samya nemoni, Negari puniki pun Klelep
Negarine kerem. Negari kelem, Negari kerem kebanjiran banyu mata.
2008


Bahtera Nuh
Hey…..batur….batur….Sedulur …lan …..sobat sing masih percaya ning kita! Pada kumpula. Kaweruana sun wingi bengi olih impen. Impene kita dudu impen sembarang impen. Kien impen sing tak yakini bakal kebukten. Sebabe Ora pada karo impen sejene. Batur…batur…! Rungokna ya…kien impene kita. Dudu impene wong kake’en turu. Dudu impene wong kepengen sugih atawa wong sing masih melik duyane tangga. Kien impen piwarah atawa pituduh si Allah, Masih iman lan islam karo Allah belih? Yen masih Iman lan Iksan ya kudu percaya ya ya…………apa ya.? Kala mau, Sewaktune kita lagi turu, selayapan, ketekan wong klambine putih, udeng-udenge putih, awake metu cahya. Pangucape adem, gawe tenang ning angen-angen. Kala semono dewekane kanda yen sun ditugasi mbangun kapal sing gede. Tapi anehe pada-pada nggawe kapal gede kon nggawene ning tempat sing paling duwur, sing umah lan bangunan apa bae. Pendeke luwih duwur sing kahanan kota iki. Artine kudu luwih duwur posisine karo tempate rayat lan pejabat kabeh sing ana ning kota lan desa.Sekien kita wis ana ning duwuran kotane sampeyan. Yeh….Paling duwur. Sun wis luwih sing 7 wulan ngewujudaken ipen kien. Sun saiki wis duwe prau gede momot nggo ditumpaki pirang ewu wong sing dewasa, balegh, wis kawin lan sing duweni pola pikir. Bocah cilik, karo wong tua sing wis doyok, sing bisane mung moyok, ora bakal tak trima numpak ning prau kien. Sekien kari delengen kapale kita kih kapal modern. Pepek kenang segala kebutuhane rakyat. Ruang Sidang, Ruang pengaduan lan nggo rembug sebaturan ya ana. Pokokke kapale kita kih mewah tur endah lan pancene gawe betah. Eh sira sing kaya nyi blorong kedeleng pencap-pencep, ora percaya tah? Eh, sira moyoki kita edan, aja kayang konon nok! Seedan rong edan sira ngucap ning lambe. Apa ora wedi tah, yen bebalik ning sira, dadi edan temenan. Yen ,Ora percaya ya wis, kita sih ngajak sote, sing gelem, yen pancen masih percaya kuasane gusti AllahSing masih mantep ning nuansane reformasi. Sing tekade negakaken kebenaranSing ndukung gerakan anti korupsi, sing dueni komitmen karo wong cilik. Ari pribadi nira ora cocog, ya aja moyok. Kita sih arepan ngajak plesir ning wong sing gelem-gelem bae. Inyong ora lagi ngobral janji, ora mung ngajak nggimpi. Ayo bae dibuktikna baka salah milih sing rugi sampean. Dadi rakyat bisane mung manglo. Angger dijak bener atine mingser. Wis aja keder-keder arepan milih mbuh beli, kita bli arep maksa. Kien prau arepan mangkat. Ya Allah, puniki sajroning prau pun sami kempal mangga dipun pasrahake teng kuasane gusti kang Maha Agung Lan Maha kaweruh. Dumadakan alam peteng dedet, udan gede bli mari-mari. Gledeg petir gawe atine pada kwatir. Banyu laut Ngangkat mengduwur. Prau gede mulai kambang. Negarine sampean sekien keleb banyu segara. Sun wis wanti ora bakal nulungi sira sing pancen milih sengsara. Muga slamet ning perjalanan tek tinggal kabeh sing masih nduweni kekotoran.


Manunggal Segara
Bismillahirochmanirochim
niat isun ngawiwiti, amuji syukur marang gustia
mbuka tabir wisiking raga, khusuking alam
laillaha illalah muhammadarasulullah

puniki Sun laut Saiwake, Nabi Qhidir sing ndongani
ngawiti dadi laki jumeneng saambane kali
sumilire banyu butek, kecampur lumpur pesawahan
rasane anta, kenang banyu asin laut uga amis muara
aroma karat wesi sasak kali nyemedet
dadi saksi bisu kang bakal nekakaken impenan
bocah-bocah pesisir pada dolanan
ndeleng jriji ngrumpul kaya teri. Seawak-awak
campur karo endut lan pasir laut. Sampe ning tengae laut
saben iwak gede nyamperi badan isun. Kakap, bawal,
cucut, manyung, tongkol, tengiri wis nyawiji karo awak isun.


Godong Garing
Ingeta sewaktu neng urip, ngajia ning tetanduran sakubenge umah, seambane desa saputereng njagat. Blajara urip ning tetanduran, umpamane wit gedang, lumayan ana sing kena diadang-adang. Senajana kuwe, sun dewek iki yen godong, klaras garing Wernane kaya lemah, nempel ning kulit se badan-badan, kaya kebuang nanging katone eman. Yen dibakar mbokat mlalati. Enake sih dirawati bokan bae ana sing butuh. Sebabe gemiyen sih mbok tua soke luruh-luruh nggo mbuteli gula klapa Kadang ya nggo bungkus dodol asem, dipangane manis Karo merem-merem. Ana maning sing seneng, Jare sih go nakir jajanan rumbah mie Dodolan muter-muter sekolahan kota, mie kuning diwein leng lentik Sambele bubuk dikecapi sing encer Krasa pedes gurih pisah. Nyadari urip mung sepisan Apa ora pada kelingan ning jasane. Apa lali ning manfaate. Buktine inyong kih godong garing. Pancen ora kudu di eling-eling. Tapi ya masa ya , ora eling. Tingeling Ning nasibe inyong si godong garing. Senajana lagi gering Radaan pusing, nanging masih bisa nyanding. Karo garwa isun sing awake kuning. Rai gading gedang ambon. Mumpung nyanding aja ketuwon.
Manahing RasaKelingan ning seantarane batur-batur lan sedulur jumeneng ana ning alam fana. Ndueni keajaiban ngolati gusti Allah-e dewek. Gulatana, celukana, wiridana ejaken sampe parek. Yen adoh awakke blenak. Raga nglemprek kaya karung kopong. Wong urip tansah sombong. Satuhune alang-alang sepinggireng bengawan, nyakseni ka agunganeng gusti. Yen rendeng akeh banyu, gusti siweg pareng ning waktu ketiga kalen asat. Sawah-sawah pada mletak. Karang-karang rusak, kahanan desa katon blesak. Nanging ati tulung aja pada mblasak, sebab urip mung saderma. Cuman saliwatan. Mulane sira aja kadiran. Mlarat sugih kudu eling, gelem nglakoni urip ning kene. Kang langgeng ya mung ning kana tempate tentrem ayem. Bli bakal bisa balik maning Maca’a sahadat, sholat, puasa, zakat, lan nglakonii haji. Wis dadi kwajibane kula wong Islam. Sampeyan mung ndueni manahing rasa. Nanging olahe batin, ibarat zikir, yen pancen wis pada ndueni, pasti ora isin idu bacin bisa nggo pecin. Puasa’a nyenen kemis, ngindari sing amis-amis. Segleyongan godonge pari, sekuwayang rong kuwayang. lelungan sepira adoe yen sampe tekang waktune, gage lunasaken ibadahe.

Kamididing
Langit anteng sakubunge jagat kedeleng ora ana mega. Sedenge wit-wit pelem saben arepan umah godonge katon ijo royo-royo. Ketamuan kembang pentil pating cruil, aruma wangi. Marekna tumekane angin sumriwing. Bli awan, ora bengi, rasane atis rumesep ning sajroneng kulit sebadan-badan. Awak kemulan sarung sampe brikut. Ya, sekien lagi usum angin kamididing. Satekane awak ira sing kota metropolitan. Karo nggawa mesem sinis akeh arepan Nodokaken masih gedeneng nafsu sing diumbar ngawar-awar. Kita kabeh ora bisa netepi jangji. Limang taun wis dadi siji, nanging jarak antarane kita kaya kepisah dening benua. Sampe kembang pelem dadi pentil. Kesurung waktu lan jaman. Sun pasti ngintil, nganti awake mrinding deleng rambute sekien abang jibrang kaya anakan bule sing negri sebrang. Unutune wis ora pada gerang, cungure weh, weh, nambah bangir pisan. Kulite putih kaya sedulur sing arang nemoni srengenge. Kukune sekien lancip-lancip, mbuh arepan nganggo nyakari sapa. Naging wernane aneh pisan, sebab sun yakin dudu kitekan, jarene sih nganggo pacar araban. Sampe sekien sun mung bisa nunggu tumekane usum pelem ning desa Dermayu sing bisu. Nnetepi waktu lan umur kula, karo ngitung kari pirang jam maning umur kula sedaya.

Biodata:
Nurochman Sudibyo YS Lahir di Tegal, 24 Januari 63. Akrab dipanggil Mas Noer. Cukup lama menggeluti dunia pendidikan, Jurnalistik, penelitian dan sebagai Pekerja seni. Sejak Tahun 1993, Mengetuai Lembaga Medium Sastra dan Budaya Indonesia. Ia dikenal juga sebagai Pembaca Puisi Kiser Dermayon. Penyair, Cerpenis dan Esais ini juga disebut-sebut sebagai budayawan Indramayu. Karya sastranya berupa puisi, cerpen, naskah drama, catatan budaya, reportasi dan esai telah marak dipublikasikan berbagai media pusat dan daerah. Sejak awal tahun 1990-an menghiasi Pikiran Rakyat Edisi Cirebon kini Mitra Dialog, Karina, Mitra Desa, Pikiran Rakyat, Bandung Pos, Hikmah, Suara Merdeka, Lampung Pos, Singgalang, Riau Pos, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Solo Pos, Bernas, Surabaya Post, Bali Post, Bisnis Indonesia, Suara Pembaruan , Suara Karya, Ummi, Amanah, Republika, Media Indonesia, Suara Merdeka, Pelita, Majalah Bahana dan berkali muncul di Majalah Horison.


Jumat, 19 Desember 2008

BAHASA TEGALAN PUNYA POWER


Sineas Tegal, Andy Prasetyo:
Basa Tegalan Punya
Power untuk Film

UNTUK mempublikasikan sebuah karya film tidak hanya melalui bioskop. Bisa pula dipublikasikan di internat. Sutradara film asal Tegal satu ini, Andy Prasetyo setahun terakhir ini film-filmnya banyak diputar di internet. Kenapa dia tertarik menggarap film Tegalan? Ekadila Kurniawan mewawancarai sutradara muda film ‘Tukang-Tukang Kemoncer’ yang pernah masuk nominasi Festival Film Cannes di Prancis beberapa waktu lalu. Berikut petikannya:

Anda akan membuat film berbahasa Tegal ‘Warto Togel’ benar?
Betul sekali. Film Warto Togel ini adalah film berbahasa Tegal saya, jika tidak ada halangan akan diputar di Gedung Kesenian Tegal tanggal 28 Desember. Kemudian akan diputar di Belanda tanggal 2 Januari 2009 atas permintaan mahasiswa Indonesia yang kuliah di Belanda.
Bisa diceritakan awal mula pembuatan film Warto Togel?
Saya sedikit flashback, ketika Dewan Kesenian Kota Tegal (DKT) vakum satu tahun, setelah dipegang oleh Penyelamat Dewan Kesenian malah kesenian jadi bubar, saya tetap memproduksi film. Pada saat itu komunikasi saya gunakan lewat internet dengan membuka milis, film saya lalu dikirim ke you tube. Jadi sceneringnya di luar negeri. Ternyata orang luar negeri tertarik dengan budaya lokal Tegal. Ada 5 film saya yang dikirim ke you tube, dan yang paling banyak diakses atau dilihat film yang berbahasa Tegal. Dari situlah, saya diminta membuat film berbahasa Tegal oleh mahasiwa Indonesia di Belanda yang sudah sering komunikasi dengan saya di milis dengan mengangkat budaya lokal Tegal, jadilah film ‘Warto Togel’.
Cerita film ‘Warto Togel’ bagaimana?
Saya ambil cerita ‘Warto Togel’ diarahkan ke sisi sosial masyarakat lokal. Tokoh utama Warto ini seorang pengangguran yang selalu menang main togel. Pasang dua angka pasti menang. Nah, ndilalah, ketika pasang 4 angka, dia kalah. Kemudian dia gila. Tetapi saat gila itu dia justru menasehati kepada orang supaya tidak pasang togel. Sisi sosialnya, bahwa main togel tidak akan membuat kita kaya, justru akan memiskinkan kita serta sifat ketamakan seseorang ada batasnya. Itulah pesan dari film ‘Warto Togel’.
Biaya film itu dari mana?
Dari swadaya, biaya pribadi. Tetapi untuk film ‘Warto Togel’ kita produksi dana pribadi begitu dikirim ke sana (Belanda) selesai, diganti total biayanya berapa. Intinya dana dari sana.
Ada kendala saat membuat skenario berbahasa Tegalan?
Saya termasuk orang Tegal yang masih banyak tidak mengerti bahasa Tegal. Awalnya saya bikin skenario pakai bahasa Indonesia, karena bahasa Tegal kurang jago. Nah, saya lantas komunikasikan ke teman-teman, ketemu beberapa seniman Tegal untuk mengganti istilah bahasa Indonesia ke Tegal yang saya tidak ngerti. Ternyata bahasa Tegal mempunyai power, hanya saja belum banyak yang menyadarinya. Setelah soal skenario teratasi, nanti film ‘Warto Togel’ dialognya menggunakan bahasa Tegal, subtitlenya bahasa Inggris.
Berarti ada niat film Tegalan bisa go internasional?
Saya penginnya begitu. Setelah Warto Togel ditonton mahasiswa di luar negeri, makin dikenal dunia internasional. Pemkot juga harusnya memikirkan hal ke arah sana, membuat film berbahasa Tegal. Ayo bikin film bahasa Tegal. Sastra Tegalan sekarang banyak. Masak dari para sineas Tegal tidak menghidupi bahasa Tegal, kan lucu.
Pernah Anda dapat job buat film yang naskahnya tidak sesuai selera Anda?
Pernah. Waktu itu ada orang yang ingin skenarionya difilmkan, tetapi membaca skenarionya saja saya tidak jelas. Akhirnya hasil filmnya ya jelek. Menurut saya skenario yang bagus dan cocok selera saya yang dapat memberi kesempatan saya berimprovisasi di lapangan.
Sudah berapa banyak film yang Anda buat di tahun 2008?
Yang sudah tergarap tiga film. Pertama Antara Kau dan Dia, Impian Sang Merah Putih, Warto Togel. Dan kalau nanti bulan Desember ini jadi film Cinta Sebatas Pandang, berarti empat film. Dan saya kirim ke milis film saya.
Kenapa Anda tertarik tayangkan film di internet?
Ya, efeknya di you tube bisa ditonton orang luar negeri. Seperti film saya ‘Tukang-Tukang Kemoncer’ ternyata masuk dalam barisan film-film Internasional. Saya sendiri kaget. Itulah yang bikin getol saya di you tube. Makanya, saya sarankan kepada seniman Tegal harus punya blog. Sebab itu kesempatan membuka jaringan dengan dunia luar. Tinggal buka di google, hasil tulisan kita bisa diakses dimana-mana (*)


Selasa, 16 Desember 2008

WIJONO RINDUKAN FILM AKAR RUMPUT


Wijono Soewardjo T
Rindukan Film
'Akar Rumput'


KINI
saat yang strategis untuk mengangkat budaya lokal lewat karya film. Terutama bagi para sineas muda yang memiliki idealis tinggi dan kemampuan memadai. Dengan begitu kita dapat mewujudkan keinginan memiliki karya film yang benar-benar berpijak kepada akar rumput. Hal itu dikatakan penata artistik peraih piala citra dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1977, Wijono Soewardjo T, Senin (15/12) di rumahnya di jalan Jalak, Kelurahan Pekauman, Kota Tegal.
"Melalui produksi film yang mengangkat cerita lokal dengan setting budaya lokal, hasilnya akan lebih orisinil. Karena karakter masyarakat Indonesia akan lebih muncul," kata Wijono.
Sesuai fungsinya, lanjutnya, dalam sebuah proses pembuatan film, apalagi dalam film yang bertema sejarah, keberadaan penata artistik sebuah keharusan. Tanggung jawab yang dipikul dalam mewujudkan sebuah karya gambar hidup menjadi bagian yang tidak bisa terpisahkan. Karena secara visual, kerja sama yang baik antara sutradara, penata kamera dan penata artistik akan memberikan hasil yang baik pula.
Dijelaskan, sebagai penata artistik sebuah film seseorang harus memiliki kemampuan prima sesuai dengan konsep tata visual yang dituntut oleh sutradara. Berbagai elemen yang ada harus dimanfaatkan secara maksimal. Sementara set yang belum ada harus dibangun sebagaimana aslinya untuk mendapatkan hasil yang sesuai tuntutan hasil gambar yang bermakna (filmis) tepat dengan suasana tata budaya sesuai dengan kurun waktu sebagai latar belakang sebuah cerita terjadi.
"Seperti sebuah bangunan atau kondisi pasar tradisional pada jaman penjajahan jepang, tentu beda dengan suasana di era tahun 90-an, sedangkan film dibuat situasi sekarang. Tentu ada properti tertentu yang harus diadakan untuk mencirikan suasana pasar pada kurun waktu tertentu," paparnya.
Menurutnya, upaya untuk memenuhi tuntutan ideal, dalam mewujudkan sebauh realita sejarah ke dalam film, jika tercapai target hingga 60 presen, itu berarti sudah sangat bagus. Sedangkan proses kerja kreatifnya, cara yang ditempuh biasanya melalui penulusuran referensi maupun observasi ke museum, keraton dan lainnya.
"Jika tuntutan itu tidak bisa terpenuhi biasanya dilakukan trik atau kamuflase pengadeganan. Misalanya mengganti kejadian dari siang menjadi malam hari," ujarnya menyontohkan.
Hampir 80-an judul film dia ikut menggarap. Hingga tahun 1978, sebanyak 39 judul. Seperti Ken Arok, Sembilan Wali, Si Jagur, Damar Wulan, Macan Kemayoran, Bintang Pelajar (1957), Tjisadane (1971), Misteri In Hongkong (1974), Senyum Nona Anna (1972), Si Ronda Macan Betawi (1978) dan Mustika Ibu yang berhasil meraih penghargaan sebagai Penata Artistik Terbaik Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1977. Sedangkan dalam film 'saat-saat Kau Berbaring' yang dibintangi Dedy Mizwar hanya masuk sebagai nominasi.
Sebelum menekuni dunia tata artistik di film, Wijono pernah jadi wartawan dan unit film. Setelah itu menjadi penata artistik. Latar belakang pendidikannya, Akademi Seni Drama dan Film dan Institut Kebudayaan Indonesia Yogyakarta (KZ)

Senin, 15 Desember 2008

PERDAYAKAN BAHASA TEGALAN LEWAT SASTRA


Dalam Rangka HST 26 Nopember

Perdayakan Bahasa Tegalan Lewat Sastra

BAHASA
tegalan sebagai ‘bahasa ibu’ orang Tegal pada Minggu (14/12) malam benar-benar diberdayakan sebagai media ekspresi seni. Puluhan seniman, budayawan dan pejabat tinggi berbaur dalam jèd-jèdan baca puisi tegalan untuk memperingati ‘HUT Sastra Tegalan (HST) Jilit II’ di halaman rumah dinas Wakil Walikota Tegal, Dr Maufur.
Tampil sebagai pembaca puisi pertama, Bontot Sukandar yang disusul pembaca puisi asal Slawi, Ratna dengan vokal lantang penuh penghayatan. Istri Walikota Tegal Terpilih, Hj. Rosalina Ikmal Jaya dapat giliran tampil urutan ketiga. Meski dirinya berasal dari Belitung, namun berupaya menulis dan membaca puisi tegalan.
Rangkaian acara lebih menyatu dalam keasyikan setiap Kelompok Musik Sastra Warung Tegal (KMSWT) pimpinan Nurngudiono membawakan nomor lagu ‘Kowen Dongé Sapa’ yang syairnya ditulis H Ghautsun Nasori.
Setelah itu, jèd-jèdan baca puisi kembali bergulir. Anggota DPRD Kota Tegal, Emma Karimah giliran berikutnya. Ia membaca dua buah puisi karyanya, ‘Clandakan’ dan ‘Money..money..money’. Sebelumnya, kawan semasa kecil Emma yakni selaku sohibul bait, Dr Maufur juga tampil membaca puisi Tegalan berjudul ‘Bahasa Tegal’ yang mengkapkan, Tegal memiliki banyak seniman jempolan yang diolah dalam larik puisi secara parodis.
Malam yang dingin pun tak mampu membendung gema acara yang digelar Komunitas Sorlem tersebut. H Tambari Gustam berpuisi ‘Tulung Nyong Diajari’ diiringi lagu ‘Dolanan Rakyat’, setelahnya narasi budaya Bahasa Tegal oleh Moh Hadi Utomo. Dilanjutkan Diah Setyawati lewat puisi ‘Cangkem’ berurutan membetot mata penonton yang diteruskan pembacaan puisi oleh dosen FH UPS, Hamidah Abdurrachman yang berdandan ala putri India. Tamu kehormatanpun, Ir Teguh Juwarno turut baca puisi ‘Nglamun’ dalam bahasa tegalan. Berikutnya, Ki Barep membaca suluk Tegalan dan berkisah tokoh Lupit, monolog ‘Waslam’ karya Moh Hadi Utomo oleh aktor Bramanthi S Riyadi menghentak penonton lewat aktingnya yang penuh adegan kejutan, boleh dikata menjadi klimaks acara tersebut, sebelum ditutup penampilan Dwi Ery Santoso lewat puisi ‘Brug Abang’ .
Sebagian pertunjukan yang ditampilkan itu, kata pembawa acara Nurhidayat Poso adalah karya yang dipentaskan di Surakarta dan Semarang saat lawatan seniman Tegal memperingati HUT Sastra Tegalan 24-25 November lalu.

“Sedianya, masih banyak lagi tokoh masyarakat, pejabat yang berjed-jedan puisi, tapi berhalangan hadir, termasuk Pak Walikota,” pungkas Ketua Sorlem, Bontot Sukandar.

Seperti diketahui, acara 'Jèd-jèdan Maca Puisi Tegalan Jilid I' berlangsung pada hari Rabu 31 Mei 2006. Saat itu Walikota Tegal Adi Winarso, Bupati Tegal Agus Riyanto, Ghautsun (Ketua DPRD Kota Tegal) dan anggota DPRD lainnya Firdaus Muhtadi, Soetjipton turut juga dalam acar tersebut. Selebihnya para seniman Tegal diantaranya Yono Daryono, Dwi Ery Santoso, Nien Asmara, Denok Harti, Slamet Ambari, H. Tambari Gustam, dan Nurngudiono bersama KMSWT. Acara berlangsung di Gedung Kesenian Tegal.



KETERANGAN GAMBAR
: Nok Ratna

ROSALINA di PANGGUNG SASTRA TEGALAN


Rosalina di Panggung
Sastra Tegalan


LIMA pembaca puisi wanita tampil menyegarkan. Malam peringatan Hari Sastra Tegalan (HST) dalam acara ‘Jed-jedan Baca Puisi Tegalan Jilid II’ tumplek blek pengunjung di halaman Rumah Dinas Wakil Walikota Tegal hingga meluber ke Jalan Raya Kartini. Mereka menyaksikan mereka beraksi dalam hentakan musik KMSWT yang merayap-rayap, merengek, menghentak, dan kadang menyeret-nyeret kesyahduan.
Lima pembaca itu; Ibu Walikota Tegal Terpilih, Rosalina Ikmal Jaya, Diah Setyawati (penyair), Hamidah Abdurachman (dosen FH UPS), Emma Karimah (anggota DPRD Kota Tegal) dan salah satu guru TK, Nok Ratna. Pembacaan ini membuktikan, sastra tegalan dari hari ke hari semakin mengental di tengah masyarakatnya.
Menyaksikan pembacaan puisi lima dari dua belas penampil yang digelar Komunitas Sorlem, Minggu (14/12) pukul 20.00 WIB itu cukup menarik dan penuh keakraban karena mereka dengan gaya dan pola pembacaan yang berbeda, hingga asyik sebagai tontonan yang baru pertama kali terjadi. Sebuah kejujuran yang tulus adalah ketika pengakuan diri dari seorang Rosalina tampil membawakan sajaknya berjudul ‘Sajak Kanggo Bojoné Enyong’. Dalam satu bait puisinya ia berbisik; /Perlu sampèyan ngerti, aku luwih cinta yèn saben ésuk sampèyan ngater aku blanja nang pasar/.
Pengakuan jujur istri Ikmal Jaya ini meluncur lembut dari hatinya paling dalam, membuat susana dibalut sendu. Sajak Rosalina menjadi perwakilan ungkapan batin seorang istri pejabat kebanyakan. Dan ia sebagai calon Ibu Walikota Tegal mendatang, sesungguhnya dia ingin merengkuh cinta sepenuhnya dari sang suami. Namun karena figur suaminya amat dibutuhkan masyarakat, ia hanya berharap agar kasih sayang sang suaminya tetap hanya untuk dirinya. /Bojoné enyong sing aku ikhlas serahkan jiwa dan raga/aku menyerah padamu/kukosongkan sajakku/kuremukkan sajakku…//bulan benderang mengintip dari rerimbunan bambu/tak akan menjadi indah/tak akan menjadi istimewa/tanpa belaian kasih sayangmu//.
Jika penampilan Rosalina amat menyentuh perasaan, lain lagi dengan sajak ‘Cangkem’ milik Diah Setyawati. Ia tampil dalam balutan selendang, rambut dicat, dan vocal suaranya yang medok. Diah sudah langganan tampil di panggung pentas menyuarakan sajak tegalannya, dengan berkisah soal mulut. Dari mulut, semua persoalan hidup dimulai. Malam itu Diah tampil begitu modis dan menawan. Penampilan berikutnya, Emma Karimah dengan dua buah puisi karyanya berjudul ‘Clandakan’ dan ‘Money..money..money’. Emma seolah tak mau kalah dengan kawan semasa kecilnya, Dr Maufur yang turun membaca puisi Tegalan berjudul ‘Bahasa Tegal’. Yang tak biasa adalah penampilan Hamidah. Dia mengusung dua sajaknya tentang penderitaan seorang istri di India yang tak memiliki hak apa-apa ketika suaminya telah meninggal. Satu sajaknya lagi masih berbicara soal wanita, akibat dari korban perkosaan masa depannya terus dibantai kesuraman. Selain mereka tampil juga Nok Ratna, ibu guru TK ini tampil dengan vocal lembut tapi mengujam. Rata-rata penampilan lima wanita memikat dan penuh keakraban.
“Keikutsertaan lima wanita dari 13 penampil pada acara ini sebagai bukti bahwa penetapan tanggal 26 Nopember sebagai Hari Jadi Sastra Tegalan itu sebagai luapan kegembiraan bagi kami, karena telah lama kami mengidam-idamkan punya sastranya sendiri,” ujar Ketua Penyelenggara Nurngudiono usai pentas *

KETERANGAN GAMBAR : ROSALINA

Jumat, 12 Desember 2008

KARYA SASTRA HARUS BERPIHAK


Tambari Gustam

Karya Harus Meniupkan
Nafas Perubahan Sosial


KEBERPIHAKAN seniman Tambari Gustam terhadap rakyat jelatah kini semakin kentara. Terbukti dengan lahirnya sajak-sajak sosial yang dia tulis sarat dengan muatan kritik. Sajak terbarunya berjudul ‘Tulung Nyong Diajari’ membuktikan kalau dia sangat peduli pada kondisi rakyat yang hidupnya pontang-panting oleh kondisi yang tidak menentu. //Tulung nyong diajari, pibèn carané nggawé puisi sing bisa mbèlani rakyat/nggo gemboran éndah rakyaté enyong ora kaliren..//
Oleh Tambari, sajak itu bakal dia usung dalam acara “Perayaan Hari Sastra Tegalan (PHST)”, Minggu (14/12) malam di Rumdin Wakil Walikota Tegal. “Tantangan bagi seniman sekarang adalah bagaimana agar karya dan ekpresinya mereka bisa berpihak pada masyarakat dan mampu menggerakan masyarakat menuju perubahan hidup yang lebih baik,” kata Tambari dengan antusias.
Menurutnya, kondisi kehidupan masyarakat sekarang perlu dibela karena sudah diambang aniaya oleh pukulan demi pukulan kebutuhan hidup yang semakin terpuruk akibat dari keadaan yang compang-camping. Mau tidak mau, para seniman atau penyair tidak sepatutnya hanya sekadar menulis atau membacakan karyanya dengan tanpa keberpihakan pada kondisi masyarakat. Namun bagimana karya itu mampu meniupkan nafas semangat hidup mandiri terhadap masyarakat atau apresiator dalam menyikapi kondisi kehidupan yang sulit itulah, yang dia harapkan.
“Seorang penyair itu mempunyai kewajiban menyuarakan kritik sosial agar puisi mereka mampu mewarnai sebuah perubahan sekaligus menjadi daya dorong bagi para penentu kebijakan. Sekarang bukan jamannya lagi seni hanya untuk seni, tetapi bagaimana seni itu untuk masyarakat. Dalam hal ini membawa kepada kemaslahatan yang baik bagi masyarakat” tandasnya.
Dia juga berharap, ide dan pemikiran para seniman oleh kalangan esekutif dan legislatif, hendaknya jangan dipandang sebelah mata atau momok yang menakutkan. “Seniman jangan dipandang sebelah mata, jangan dianggap mau ngrecoki dan dijadikan momok yang menakutkan,” katanya
Menyinggung kondisi yang terjadi di Tegal, menurutnya sangat kondusif. Kebebasan berekspresi para seniman mendapat respon positif dari para pejabat. Salah satu bukti konkrit adalah hamonisasi kemesraan antara seniman, para pejabat dan anggota DPRD Kota Tegal guyup satu dalam PHST ini. Sebuah langkah yang perlu dibudayakan agar terus tercipta persatuan dan kesatuan.
Tampil dalam acara PHST diantaranya Walikota Tegal Adi Winarso, Wakil Walikota Tegal Maufur, tiga anggota DPRD Kota Tegal yakni Tatang Suandi, Supardi dan Emma Karimah. Selebihnya adalah Nurngudiono, Ki Barep, Hadi Utomo, Tambari Gustam, Dwi Ery Santoso, Hartono Ch Surya, Bramanthi S Riyadi membawakan monolog ‘Waslam’ karya Moch Hadi Utomo, Ratna, Nurhidayat Poso, Bontot Sukandar dan Vera.



Kamis, 11 Desember 2008

ADI WINARSO SAMBUT PENTAS REMOJONGAN


AW Sambut Baik
Rencana Pentas Remojongan

WALIKOTA
Tegal, Adi Winarso (AW) menyambut baik pentas remojongan yang rencananya akan digiatkan lagi. Pementasan yang disain konsepnya menyerupai tayangan variaty show dalam televisi itu akan digelar secara maraton selama sepuluh hari pada Minggu - Selasa (21-30/12) pekan depan di Gedung Kesenian Kota Tegal.
Hal itu dikatakan Nurngudiono di acara kunjungan Walikota Tegal, Adi Winarso untuk bersilaturahmi dengan para seniman Tegal di Komunitas Sorlem, Rabu (10/12) malam.
"Kami para seniman Tegal pernah sukses menggelar pentas remojongan pada tahun 2007,
jenis pementasannya terdiri dari pertunjukan tari, musik tradisi, teater, seni lukis dan pembacaan puisi," kata Abah Nung, sapaan Nurngudiono.
Menurutnya, pada akhir tahun ini akan ditambah dengan apresiasi film karya Andy Prasetya. Selain itu, pelukis eksentrik, Agus Jembrong juga akan membuat lukisan dengan gaya teatrikal. Sehingga diharapkan acaranya akan lebih semarak.
Terkait, kunjungan AW di tengah para seniman diharapkan dapat menghilangkan adanya gap antara pejabat dan seniman yang selama ini mengurangi keharmonisan hubungan di antara keduanya. “Kunjungan walikota ini menjadikan rasa saling memiliki antara seniman dan walikota terjalin kembali. Tidak ada gap pejabat dan seniman. Itulah uniknya Kota Tegal,” ujar Abah Nung.
Sekitar dua jam, mulai pukul 20.00 WIB gendu-gendu rasa tersebut terlihat gayeng. Permasalahan demi permasalahan yang pernah mencuat di antara mereka sedikit demi sedikit terurai. Dan menjelang lengsernya Pak Adi, moment ini menjadi bagian dari langkah khusnul khatimah alias happy ending.

KETERANGAN GAMBAR - Walikota Tegal Adi Winarso Ssos saat bersilaturahmi dengan para seniman Tegal di Komunitas Sorlem, Rabu (10/12) malam.




EMMA KARIMAH JED-JEDAN MACA PUISI TEGALAN


Peringati Hari Sastra Tegalan 26 Nopember

Emma Siap Jèd-jèdan
Maca Puisi Tegalan


TIGA pembaca puisi wanita siap Jèd-jèdan. Masing-masing bakal menggulirkan sajak-sajak tegalan dalam Peringatan Hari Sastra Tegalan 26 Nopember yang bakal digelar pada Minggu (14/12) malam di Rumah Dinas Walikota Tegal, Jalan Kartini. Acara Jèd-jèdan maca puisi tegalan, monolog tegalan dan musik puisi tegalan yang digeber komunitas Sorlem itu akan menjadi tontonan menarik karena tampilnya tiga pembaca puisi wanita dari berbagai disiplin profesi. Yakni seorang dosen, Hamidah Abdurachman; seorang anggota DPRD Kota Tegal, Emma Karimah; dan penyair Tegal, Diah Setyawati.
Hamidah akan membacakan dua buah puisi terbarunya dengan tema cukup menggelitik yang disertai tarian India, yaitu tentang seorang perempuan India yang tidak memiliki hak apa-apa dalam rumahtangga. Dia pun akan dibakar setelah suaminya meninggal.
Puisi kedua, tentang tragedi kepedihan wanita akibat dari korban perkosaan yang tak bisa banyak berbuat karena diskriminasi hukum terhadap figur perempuan. Sedangkan Diah akan mengangkat puisi bertema sosial. Lewat puisi lama dan barunya, Diah bakal menggeber dengan persoalan yang pelik yang terjadi di belantara nasional. Tentang harga-harga sembako yang semakin membumbung tinggi dan tak terjangkau lagi oleh lapisan masyarakat.
Jika kedua pembaca puisi di atas kental dengan suasana kepiluan masyarakat, lain lagi dengan tema yang akan diusung Emma Karimah. Dia akan meluncurkan tema sosial yang saat ini sedang mewabah di kalangan elit politik yakni tentang jabatan.
“Saat ini di mana-mana sedang terjadi perebutan kedudukan. Orang-orang berburu status sosial yang seolah menjadi tujuan hidup. Gambaran itu akan saya ketengahkan melalui sajak tegalan berjudul ‘Clandakan’…” papar Emma yang baru pertama kali akan tampil. Ia mengaku akan menyuguhkan dengan penuh keseriusan.
Selain ketiga pembaca puisi di atas, juga akan tampil diantaranya Walikota Tegal Adi Winarso, Wakil Walikota Tegal Maufur, dua anggota DPRD Kota Tegal lainnya yakni Tatang Suandi dan Supardi. Selebihnya adalah Nurngudiono, Ki Barep, Tambari Gustam, Hartono Ch Surya, Bramanthi S Riyadi membawakan monolog Waslam karya Moch Hadi Utomo, Nurhidayat Poso, Bontot Sukandar, dan Ratna.


Foto : EMMA KARIMAH

Selasa, 09 Desember 2008

ANDY BIKIN FILM TEGALAN


Andy Garap 'Warto Tegal'

SETELAH
berhasil membuat film pendek berbahasa tegalan dengan judul Tukang-Tukang Kemoncer yang dapat dinikmati melalui internet, komunitas film indie Tegal yang diketuai Andy Prasetyo ini, kembali akan menggarap Warto Togel. Melalui bendera Sindoro Multimedia, Ketua Komite Sinematografi Dewan Kesenian Tegal ini tengah menyiapkan konsep film pendek berbahasa tegalan ke -2 yang mengangkat pesan mengenai himbauan bagi masyarakat agar tidak terjebak dalam permainan judi togel.
Film berdurasi 30 menit itu, dialog para pemain akan menggunakan bahasa tegalan dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah standar sinematografi.
“Selain mempergunakan bahasa tegalan asli, dalam Warto Togel juga akan disertakan subtitle bahasa Inggris. Karena sesuai rencana film ini akan discreening di Belanda, bekerjasama dengan mahasiswa Indonesia di sana,” ujar sutradara Warto Togel, Andy.
Film Warto Togel ini mendatang itu dengan melibatkan 8 orang crew dan 24 pemain. Skenario yang ceritanya mengisahkan tentang kehidupan para penggemar judi togel itu ditulis oleh Hasan Bisri. Ide cerita diperoleh dari para seniman Tegal yang selalu eksis dan tekun terhadap bahasa tegalan seperti Dwi Ery Santoso juga Lanang Setiawan. Sedangkan untuk penata musik dipercayakan kepada Nurngudiono.
“Film ini bakal sedikit banyak mengubah keadaan yang semakin tidak karuan menjadi lebih baik,“ ujar Andy.
Diharapkan, semua lapisan masyarakat sangat perlu menyaksikan film Warto Togel pada pemutaran perdana yang rencananya diputar pada Minggu (28/12) di Gedung Kesenian Kota Tegal juga dapat ditonton melalui media internet.
Disinggung tentang partisipasi pemerintah Kota Tegal dalam produksi film ini, Andy mengatakan sejauh ini dukungan pemerintah terhadap pelestarian bahasa tegala maupun film tegalan cukup bagus. Andy berharap agar warga Tegal dapat bersama-sama menumbuh kembangkan budaya dan bahasa tegalan yang kini makin meroket (*)


KETERANGAN FOTO : Andy Prasetyo





Senin, 08 Desember 2008

Dua Kubu Kepengurusan DKT Islah


Dua Kubu Kepengurusan DKT Islah

GAGASAN islah kepengurusan Dewan Kesenian Tegal (DKT) yang digulirkan Walikota Terpilih H Ikmal Jaya, SE AK, beberapa pekan lalu kini terwujud. Pihak-pihak yang berseteru, Kamis (4/12) malam kemarin kembali duduk bersama. Semua jajaran kepengurusan DKT 2008-2009 dikumpulkan dalam acara silaturrahmi budaya. Pertemuan tersebut dipimpin langsung oleh Wakil Walikota Tegal, Dr. Maufur bertempat di aula Dishubparsenbud
Dalam pertemuan yang dihadiri hampir semua pengurus DKT, semula berjalan sedikit panas, namun hal itu mampu diredam dan dikendalikan lewat humor-humor segar ala Wakil Walikota Maufur. “Lupakan masa lalu, jangan diungkit-ungkit lagi. Sekarang semua pengurus DKT harus duduk bersama, rukun, dan secara musyawarah mempersiapkan Musda DKT pada tanggal 15 April 2009. Segala keputusan dan kebijakkan DKT ke depan harus melibatkan Nurngudiono " tegas Maufur yang disetujui oleh peserta rapat.
Pertemuan juga dihadiri Kadishubparsenbud Sumito SIP, Kabag SOS yang diwakili Siswoyo SIP, Drs. Johari mewakili Kadis P&K, Akur Sujarwo, Nurhidayat Poso, Dwi Ery Santoso - Rudi Iteng (Ketua Komite Teater), Bontot Sukandar - Hartono Ch Surya (Komite Sastra), Bima Sena (Kemite Tari), Ki Barep, Lanang Setiawan, Sekretaris I Dinhaz Yussac, Joshua Igho, Sunaryo AL, Pili Glopot (Kemite Lawak), Andy Prasetyo (Komite Senimatografi), Widodo - Said (Komite Lukis), dan beberapa seniman lainnya yang menghendaki kesepakatan agar kehidupan berkesenian di Kota Tegal berjalan damai dan bersama-sama menatap masa depan.
“Persoalan masa lalu biarlah menjadi milik masa lalu. Sekarang Nurngudiono dan Ki Barep sebagai Ketua I dan Ketua II DKT, harus rukun, duduk bersama untuk membahas permasalahan Musda DKT tanggal 15 April 2009,” ujar Ketua Komite Teater Dwi Ery Santoso yang diamini para peserta.
Sependapat dengan Ery, Kadishubparsenbud Sumito SIP sangat setuju. Menurutnya persoalan yang sedang kita hadapi bukan lagi gontok-gontokan, tapi semua seniman yang tergabung dalam jajaran pengurus DKT harus guyup, rukun dan menatap hari depan yang akan dihadapi bersama-sama.
“Pengurus DKT harus satu. Tahun depan Taman Budaya Kota Tegal akan dijadikan pusat kesenian Jawa Tengah bagian barat. Karena itu, para seniman Kota Tegal harus mampu meningkatkan kesatuan dan persatuan untuk bersama-sama menatap masa depan. Islah adalah jalan yang terbaik” kata Mito.
Gagasan islah itu tercetus setelah dari kurun waktu 1,5 tahun Nurngudiono tak berhubungan dengan DKT, hingga muncul gagasan dari Walikota Tegal Terpilih Ikmal Jaya SE AK, yang merasa perlu untuk mengislahkan kedua kubu yang berseteru.
“Beda pendapat diantara pengurus organisasi itu wajar, tapi jangan menyebabkan timbulnya perpecahan. Salah satu ornamen penting dalam pembangunan Kota Tegal ke depan adalah berkembangnya kegiatan pariwisata, termasuk pariwisata yang berbasis seni budaya. Oleh sebab itu saya punya kepentingan untuk menyatukan kembali pengurus DKT,” kata Ikmal Jaya ketika berkunjung ke markas Komunitas Sorlem beberapa waktu lalu.
Permasalahan di tubuh DKT terjadi karena pecahnya kepengurusan DKT menjadi dua kubu. Kubu Enthieh Mudakir dan kubu Nurngudiono. Akar permasalahan itu kemudian terjadi ontran-ontran pada bulan Mei 2007 dimana muncul gerakan penyelamatan DKT oleh Enthieh Mudzakir Cs. Ketua DKT saat itu Nurngudiono dituduh tidak mampu menjalankan roda organisasi. Pergolakan mencapai puncaknya ketika digelar rapat pleno pengurus DKT (10/6/2007), yang difasilitasi oleh Dishubparsenbud. Kesepakatan islah yang ditawarkan Nurngudiono dan 10 pengurus DKT lainnya dikalahkan oleh 13 orang pengurus DKT yang mengultimatum Nurngudiono untuk dinonaktiflkan sebagai Ketua DKT. Namun melihat perkembangan dan kemajuan DKT justru memprihatinkan. Gedung Kesenian yang merupakan rumah berkreasi seniman mati suri.
“Seniman-seniman Kota Tegal, malah lebih banyak berkreasi tanpa melibatkan DKT, juga tidak memanfaatkan gedung Kesenian. DKT menjadi tidak jelas arah kegiatannya. Atas dasar itulah maka banyak pihak mulai risih dan tanggap pada permasalahan yang melanda DKT. DKT harus kembali kepada jati dirinya, Gedung Kesenian harus dimaksimalkan pemanfaatannya" tegas Nurhidayat Poso.

KETERANGAN GAMBAR : Walikota Terpilih Ikmal Jaya SE AK (kedua dari kanan) saat berdialog dengan para seniman Kota Tegal di sebuah rumah makan di Tegal Foto : Lanang Setiawan.






Kamis, 04 Desember 2008

MUSDA DKT


Musda DKT
Mencuat 12 Nama

DEWAN Kesenian Kota Tegal (DKT) dalam waktu dekat akan menyelenggarakan Musyawarah Daerah (Musda). Agenda pokok dibahas mengenai penyempurnaan AD/ART dalam memperkuat posisi manajemen organisasi DKT untuk menyesuaikan agenda Pemerintah Kota Tegal.
“Penyempurnaan AD/ART dibahas oleh rapat pleno pengurus DKT bersama tim perumus. Juga perlunya penyusunan mekanisme kerja komite-komite serta meninjau ulang susunan pengurus harian, terutama memosisikan Litbang sebagai pengurus harian,” jelas Drs Ahmad Jamnuri.
Dalam Musda juga akan memperjuangkan anggaran kesenian 0,5% dari APBD. Dikatakan Ki Barep, Anggaran kesenian di Jakarta sudah mencapai 0,8%. Maka di Tegal anggaran kesenian sudah semestinya ditingkatkan juga.
“Pola penganggarannya adalah hibah yang diterimakan pada awal tahun anggaran, sesuai Permendagri No. 13 th 2006, antara lain mengatur anggaran berbasis kinerja,” paparnya.
Selain itu, akan mewacanakan beberapa orang calon-calon ketua DKT di antaranya; Maufur, Dwi Ery Santoso, Tambari Gustam, Yono Daryono, M Enthieh Mudakir, Lutfi AN, Nurngudiono, Hamidah Abdurachman, Abdullah Sungkar, Nurhidayat Poso, Wowo Legowo dan Ki Barep.
“Nama yang diusulkan itu adalah orang yang memiliki kompetensi manajemen dan memenuhi syarat sesuai AD/ART,” ujar Barep.
Sementara itu, menurut M Enthieh Mudakir siapapun yang merasa mampu mengelola DKT bisa mengusulkan diri sebagai ketua. “Sifatnya terbuka dan demokratis,” cetusnya.
Agenda lain yang akan dibahas lagi, mengenai penganugerahan penghargaan seniman berprestasi secara perodik.
KETERANGAN GAMBAR : Para seniman Tegal foto bareng Ki Slamet Gundono di Sanggar Wayang Suket, Solo, sebelum merayakan Lawatan Maca Puisi dan Monolog Tegalan dalam rangka Hari Sastra Tegalan yang jatuh pada tanggal 26 Nopember. Acara tersebut di rayakan di dua kota yakni Semarang (23/11) dan Surakarta (24/11).

Senin, 01 Desember 2008

SAJAK TEMBANGAN BANYAK


WS. Rendra
Tembangan Banyak
(Terjemahan Tegalan: Lanang Setiawan)


Majikan umah tlembukan
ngomong kambèn dèwèké:
“Wis rong minggu kowen mung
bisané ngatang-ngatang
tur larané tambah ndadi-dadi
ora ngasilna pisan
malah kowen karo aku utangé njeblug
kiyé nggawé mlarat tok
ngentong-ngentongna beras bibit
aku ora sanggup
saiki raimu lunga, mèrad kana”


(Malèkat sing nunggu sorga
rainé mbesengut ala pisan
kambèn nggegem pedang sing
kemerlob nggilani
nuding maring enyong nganti
enyong mengkirig panik
Maria Zaitun arané enyong
tlembuk kapiran kurang ayu radan tuwa)


Jam rolas awan
srengèngèné panas ngentak-entak
laka angin laka awan
Maria Zaitun ngloyor nggendong pejaratan
metu sing umah tlembukan


Kanca-kancané nglengos pada ngina
gentoyoran dèwèké ngglandang
nyangga awaké sing lagi lara
kena rajasinga sing ora mung
nang plakangan tapiné ana
nang gulu ana nang kèlèk
lan ana nang susuné
Maria Zaitun mrekabak
lambèné garing mletèk, gusiné ngemu getih
kumat pisan lara jantungé
Maria Zaitun nguncluk maring dokter
kebek wong sumeng pada ngentèni
Diantarané wong-wong mau
dèwèké njagong sakepènaké


Ujug-ujug karo tutupan cungur
wong-wong pada nyingkir ngadohi
dewèké mangkel sagulu
agé-agé dèwèké dilarak mlebu
pan dipriksa, tapi siji baé laka
sing wani protès, apa maning nentang
“Maria Zaitun, utangé kowen wis
sagunung anakan karo aku” omongé dokter
“Ya” jawabé
“Saiki duwité kowen pira?”
“Laka”
dokter gèdèg-dègèg tapiné ngongkon wuda
Maria Zaitun kamisèsèten
sebab waktu mbuka klambi
klambiné ngraket nang korèng kèlèké
“Wis-wis” omongé dokter
lan dokter ora sida mriksa
trus dèwèké misiki jururawat:
“Mèi baé suntikan pitamin C”
kaget ora ketulungan jururawat balik misiki:
“Pitamin C?
Dokter, saora-orané dèwèké perlu salvarzan”
“Nggo apa? Dèwèké ora bakal bayar, tur
wis jelas dèwèké pan modar
nggo apa dimèi obat larang-larang
sing luar negri?”


(Malèkat sing nunggu sorga
rainé iri ala pisan
kambèn nggegem pedang sing
kemerlob nggilani
nuding maring enyong
gawé nyong wedi saporèté
ilang rasa lan pikiré
Maria Zaitun arané enyong
tlembuk sing kewedèn tur ndredeg gemeter)


Jam siji awan
srengèngèné njegogrog nang awang-awang
Maria Zaitun mlaku nyeker
aspal gili sing ora pakra mutuné
lumèr pas nang tlapakané
Maria Zaitun lèab-lèob mlaku
nuju maring gereja
tapi lawang gerejané wis digembok
kuwatir mbokan ana maling
Maria Zaitun nekani pastur
trus langsung mencèt bèl
ora suwé koster metu lan takon:
“Kowen pan apa? Pastor lagi dahar
tur wayah ayamèné, dudu waktuné
ngomong”
Nyuwun sewu, enyong kena lara
kiyé penting”
Koster mandeng sakujur awaké
sing badeg ledreg trus ngomong:
“Adong nang njaba baé, kowen olih ngentèni
aku tak niliki disit apa pastor gelem
nrima kowen”
Koster trus manjing kamben nutup lawang


Kambèn ngrasakna hawa sing kemrungsung
blèh karuwan
Maria Zaitun ngentèni pastor
ana sajam, pastoré ngaton


Sawisé ngudek-udek rèstan panganan
sing nyelag nang untuné
trus pastor udu basbus-basbus, nembé ngomong:
“Kowen pan perlu apa?”
mbak sripit, mambu inungan anggur
saka cangkemé
slèmpangé saka kulit baya
Maria Zaitun njawab:
“Pan ngaku dosa”
“Kiyé dudu jam ngomong
kiyé waktuné aku dedonga”
“Enyong pan mati”
“Kowen lara?”
“Yaul, enyong penyakiten
kena rajasinga”


Krungu sing kaya kuwé
pastor mundur rong langkah
rainé mengkered
akhiré rada kèder, dèwèké nyrocos maning:
“Apa kowen - mm – bocah nakal?”
“Dudu. Enyong tlembuk, ya”
“Santo Petrus! Tapiné kowen Katolik”
“Ya”
“Santo Petrus”
Telung detik laka suwara
pating guwawakan
srengèngèné mrengangah semelèt
trus pastor ngomong maning:
“Kowen mblusuk-mblusuk
glopot dosa”
”Ora mung glopot. Malah badeg ledreg”
“Kowen wis kranjingan setan”
“Ora. Enyong mlarat jiprat
nggendong pejaratan. Kepèpèt lan gagal
golèt pegawèan”
“Santo Petrus!”
“Santo Petrus! Pastor, rongokna
enyong ngomong. Enyong ora butuh ngerti
kepribèn asal usul dosané enyong.
Jelasé baé, uripé enyong wis ora
karuwan tatané
jiwané enyong mblandrang
enyong pan mati
saiki enyong panik saporeté
enyong butuh Pengèran atawa sapa baé
nggo ngancani enyong”


Rainé Pastor dadi abang mlonang
dèwèké nuding Maria Zaitun
“Kowen brangasan kaya macan wadon
ndèan bae arep gemblung
tapiné ora pan modar
kowen ora perlu Pastor
kowen perlu dokter jiwa”.
(Malèkat sing nunggu sorga
rainé yakhanu dengki lan nyengiti
kambèn nggegem pedang sing
kemerlob nggilani
nuding maring enyong nganti
enyong lemes dedes ora duwé daya
blèh bisa mèwèk blèh bisa ngomong.
Maria Zaitun arané enyong
tlembuk bodol kaniaya
kepèngin mangan kepèngin nginung)


Jam telu awan
srengèngèné trus ngobong
semromong kaya pati angin
Maria Zaitun mlaku
minggring-minggring kepanasen
nang dalan garing aking


Ujung-ujug waktu dèwèké nyabrang
keplèsèt tai asu sapetutuk
mung ora tiba, cuman getihé
mantur sing borok slangkangan
lan ndlèwèr maring sikilé


Kaya sapi sing pan lairan
dèwèké mlaku mbrangkang
cedek pasar dèwèké njagong
matané pet-petan
ambekané kempas-kempis, wetengé kemruyuk
nganti wong-wong kewedèn, nyingkir
adoh-adoh


Mrèmbèt-mrèmbèt dèwèké mlaku


Nang mburi warung
dèwèké guris panganan
sing ana nang bak runtah
sauwisé, panganan mau dibrengkos
nganggo godong gedang
trus dèwèké lunga maring kota.


(Malèkat sing nunggu sorga
rainé medèni ala pisan
kambèn nggegem pedang sing
kemerlob nggilani
nuding maring enyong
Duh Gusti, krungu ora enyong wadul
Maria Zaitun arané enyong
tlembuk kapiran, lempé-lempé tur panik)


Jam papat awan
kaya blekicot Maria Zaitun trus mlaku
brengkosan panganan tetep nang tangan
durung diplok acan-acan
tapi kringeté wis grojosan
rambuté dadi klimis tipis
rainé celong warna ijo
kaya jeruk purut sing wis kisut


Trus jam lima
dèwèké anjog nang kota
dalan burak rantak ora pakra
tur kebek bledug
dèwèké ndengak mandeng srengèngé
lan ngomong lirih: “Dobol!”


Sauwisé mlaku sakilo dawané
dèwèké lunga saka gili gedé
trus mlègok metu sawah
mlaku liwat galengan
(Malèkat sing nunggu sorga
rainé bagus tapiné ala
kambèn nggegem pedang sing
kemerlob nggilani
ngusir enyong, kongkon merad
lan kambèn mbuwang idu
enyong dipanclas sekuwat tenaga
pas nang mbakoné
Rongokna, duh Gusti
Maria Zaitun arané enyong
tlembuk kapiran
tlembuk sing kaniaya)


Jam enem soré
Maria Zaitun nyasar nang kali
angin semripit
srengèngèné surup
wayah sandèkala dadi ngebayang-bayang
ayem tentrem dèwèké nggleleng
nang pinggir kali
cokoré sing badeg diwisuhi
tangan lan rainé diraupi
trus dèwèké mangan alon-alon
tapiné nembé pirang plokan
malah mandeg
kayong-kayongé awaké ésih lemes dedes
ora duwé nafsu maning
trus dèwèké nyiduk banyu kali
pan diinung


(Malèkat sing nunggu sorga
apa Panjenengan ora éling
saiki wis wayah surup srengèngé
angin semilir sing gunung
lan dinané muter megap-megap
payah
kepèngin lèha-lèha?
Malèkat sing nunggu sorga
bringas culag ngusir dèwèké
kaya patung, Maria Zaitun nglegleg
lan pedangé kinclong-kinclong medeni)


Jam pitu, lan wayah bengi ngèmpèri bumi
seranggané pating sliwer
banyu kali mili nabrak-nabrak watu
witwitan lan rungsebé tetanduran
nang kiwa tengen kali
mrekungkung ora obah lan
katon nemen sajeroné padang wulan


Maria Zaitu rada sumringah
trus ujug-ujugé baè kelingan
wayah bocahan lan wayah akil baliq
adus-adusan nang kali kambèn manèné
panjatan wit pelem
lan mancing iwak karo kgèrèlé
dumaksara dèwèké blèh ngrasakna sepi liti
lan wediné babarblas ilang
kayong-kayongé dèwèké ketemu kanca lawas
tapiné dèwèké trus kepèngin nemen
crita ngalar-ngalar, masalah uripé


Duilé....sing kaya kuwé jebulé malah
ngelingna kambèn
kegagalané urip-penguripané
mogané dèwèké dadi nlangsa
lan wadul kambèn taroké
karo kamisesegen


Kiyé ora apik kanggo lara jangungé


(Malèkat sing nunggu sorga
rainé medèni ala pisan
Rika yakhanu nemen sih
ora lila, rika ngrongokna alesané enyong
trus najis ndeleng rainé enyong
Mogané ora perlu wadul kambèn dèwèké
lan kuwé sebabé, kambèn ngatokna
rai brangasan
dèwèké ngadeg mentangtang
lan pedangé mingis-mingis nggilani)


Wayah
wulan
witwitan
kali
borok
rajasinga
wong wadon
kaya kaca
kali mencorong cahya kinclong-kinclong
suket alang-alang katon kemerlob
wulan
wong lanang jumedul teka
sing pinggir kali
dèwèké bengak-bengok gemboran:
“Maria Zaitun, kuwé kowen?”
”Yaul”, jawab Maria Zaitun rada hèran
wong lanang mau nyabrang kali
katon gagah lan gantengé laka padané
tur rambuté kriting andan-andan
matané amba mencilak


Maria Zaitun pyar-pyaran atiné
kayong-kayongé dèwèké wis
kenal wong lanang kuwé
mung nang endi genahé ora patiya kèlingan
sing jelasé baé orang nang ranjang tlembukan
kuwé éman-éman
sebab dèwèké demen saporèté demen
nganti kepentut-pentut kambèn wong
lanang kaé
“Dadi enyong kowen ketemu
nang kèné” nrocos wong lanang kaé


Maria Zaitun ora ngarti keprimèn jawabé
mung waktu dèwèké nglegleg kamitenggengen
wong lanang sing nang adepané
ndungkuk trus nyipoki sangkemé


Maria Zaitun kaya-kaya nenggak banyu klapa
durung mernahi dèwèké ngrasakna
cipokan sing kaya kuwé
trus wong lanang kuwé, mrètèli kutangé
dèwèké ora nolak lan pancèné seneng
dèwèké pasrah bongkokan


Karo matané merem dèwèké kayong-kayongé
numpak prau
maring segara sing durung diambah
lan sauwisé rampung, dèwèké ngomong demen:
“Mauné enyong mung nyangka
sing kaya kiyé anané nang impèn
mauné enyong ora wani ngarep-ngarep
yen bakal ana wong lanang
doyan karo enyong
tlembuk bodol kaya enyong”


Kambèn ngajeni sing temenanan
wong lanang kaé mandeng dèwèké
trus mesem, lakuné sopan tur sabar
“Sapa sih jenengmu?” Maria Zaitun coba
takon
“Calon rabi”, semauré
“Duh delengen enyong. Sampèyan lucu ah”


Maria Zaitun nglamodi sakujur awaké
wong lanang mau


Ujug-ujug dèwèké mandeg dadakan
ciplosé weruh bekas-bekas tatuné
sing nang awak pahlawané
nang waduk kiwané
nang tlapak tangané
nang tlapak sikil kiwa sikil tengen
Maria Zaitun ngomong lirih:
“Enyong ngerti sapa sampèyan”
trus dèwèké nebak wong lanang mau
liwat pandengan matané
wong lanang mau manggut-manggut:
“Pancèn. Yaul”


(Malèkat sing nunggu sorga
rainé angas tur ala pisan
kambèn pedang sing kinclong-kinclong
nggilani
dèwèké kaya ketèk ditulup
bisané ngejejer nglegleg, panik pisan
tur blèh wani sembrana
nuding-nuding maring enyong


Dumadaksara enyong dadi gedé ati
sepi liti lan sambat kaniaya minggat
karo ngigel jejogèdan
yanu kiter-kiter, bludas-bludus manjing
kebon sorga
lan woh-wohan apel tak pangani nganti
wetengé enyong njubel


Maria Zaitun arané enyong
tlembuk
sing saiki dadi pengantèn kiyé
enyong).


Tegal, 7/4/1994 – 16/6/2005



________________

Dicomot saka sajak “Nyanyian Angsa” karya WS. Rendra
Alih wacan: Lanang Setiawan



BAHASA TEGALAN DIUSULKAN SEBAGAI BAHASA PENGANTAR



Bahasa Tegalan Diusulkan sebagai Bahasa Pengantar di Slawi


PEJABAT sementara (Pjs) Bupati Tegal, Drs H. Amat Antono, Msi mengaku tak keberatan bahasa tegalan menjadi bahasa pengantar. “Saya mengusulkan untuk setiap hari Kamis semua pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemkab Tegal menggunakan bahasa tegalan sebagai bahasa pengantar” tegasnya.
Penyataan tersebut disampaikan oleh Amat Antono menyusul adanya gagasan yang meluncur dari salah satu penanya yang mengaku sebagai Pak Castro saat berlangsungnya acara ‘Gendu-gendu Rasa Lesehan Karo Moci’ di halaman depan Radio Citra Pertiwi, Slawi, Kabupaten Tegal, Jumat (28/11) malam.
Dalam saresahan itu, Pak Castro menegaskan, sudah saatnya bahasa tegalan dikembang suburkan di lingkungan Pemkab Tegal mengingat bahasa tersebut salah satu warisan budaya nenek moyang yang pertumbuhannya semakin tak bisa dibendung di tengah-tengah masyarakat Tegal. Bahkan, katanya lebih lanjut, di Kota Tegal sendiri para senimannya telah menentukan Hari Sastra Tegalan yang jatuh pada tanggal 26 Nopember.
“Baru-baru ini mereka bahkan telah merayakan Hari Sastra Tegalan dengan melakukan Lawatan Maca Puisi dan Monolog Tegalan pada tanggal 24 – 25 Nopember. Istimewanya lagi para seniman seperti Nurngudiono, Nurhidayat Poso, Dwi Ery Santoso, Hartono Ch Surya, Bontot Sukandar, Diah Setyawati, Lanang Setiawan, Bramanthi S Riyadi, Joshua Igho, Nok Ratna, Moh Iqbal, dan Widodo merayakan hari tersebut justru di luar kota yaitu di Kota Semarang dan Surakarta yang notabene masyarakatnya menggunakan bahasa Jawa Wetanan. Sangat disayangkan jika di Slawi tidak menjunjung bahasanya sendiri” katanya.
Menanggapi berapi-apinya pernyataan dari Pak Casto itu, Moch. Hery Soelistiyawan mengaku sangat setuju sekali untuk memajukan kehidupan kesenian di Kabupaten Tegal, termasuk bahasa tegalan.
“Penggalian terhadap bahasa lokal tegalan, bagi saya setuju sekali. Karya sastra tegalan baik berupa puisi, cerpen, novel, naskah drama, maupun karya-karya tegalan yang lain harus dikembang-suburkan. Semua itu merupakan asset kebudayaan daerah kita” tegas Hery usai ‘Gendu-gendu Rasa’.
Senada dengan Hery, Bupati Tegal Terpilih Agus Riyanto S.Sos, via telpon jarak jauh mengaku tak masalah penggunaan bahasa tegalan di lingkungan PNS. Ia menyambut baik usulan Pak Antono kalau setiap hari Kamis di lingkungan pegawainya menggunakan bahasa tegalan sebagai bahasa pengantar.
“Saya menyambut baik usulan Pak Antono, kami akan membahas lebih lanjut masalah itu.Tapi perlu diingat, bahasa Tegal juga punya unggah-ungguh dan tata karma,” tegas Agus.
Acara yang dipandu oleh Tri Wiharjo dengan mengundang nara sumber Pjs. Bupati Tegal Amat Antono, Ketua Korpri yang juga Wakil Bupati Tegal Terpilih H. Moch Hery Soelistiyawan SH, M.Hum, dan lain sebagainya, berlangsung penuh keakraban, dan gayeng ditambah penampilan KMSWT membuat suasana diskusi malam itu semakin rakhat (*)


KETERANGAN GAMBAR: Dari kiri Pjs. Bupati Tegal Amat Antono, Ketua Korpri yang juga Wakil Bupati Tegal Terpilih H. Moch Hery Soelistiyawan SH, M.Hum, Kepala Dishubkominfo Pemkab Tegal, Ir. Suhartono, MM, dan Drs. Sunyoto tampak gayeng saat berlangsungya acara ‘Gendu-gendu Rasa Lesehan Karo Moci’, Jumat (28/11) di halaman depan Radio Citra Pertiwi, Kabupaten Tegal (Foto NP : Ekadila Kurniawan)

KMSWT PENTAS


KMSWT
Suarakan Kepedihan Rakyat


KELOMPOK Musik Sastra Warung Tegal (KMSWT) pimpinan Nurngudiono hingga kini masih setia dengan konsep musik pesisiran tradisional yang dipadukan dengan alat musik modern. Penampilan KMSWT yang seperti itu pula membuat mereka tetap eksis dan diminati masyarakat Tegal. Seperti ketika tampil di acara dialog interatif “Gendu-gendu Rasa Lesehan Karo Moci” Radio Citra Pertiwi, Slawi Jumat (28/11) malam lalu, mereka masih memukau audiens. Bahkan Pjs Bupati Tegal Drs H Amat Antono Msi sendiri mengaku bangga dengan penampilan KMSWT malam itu.
“Saya sangat bangga pada KMSWT yang eksis mengangkat karyanya dengan memakai bahasa Tegalan” puji Antono.
Lagu fenomenal mereka seperti Tukang-Tukang, Dolanan Rakyat, dan Sorak-Sorak Hore seolah mengguyur kerinduan masyarakat adanya sebuah hiburan yang mewakili perasaan mereka. Betapa tidak? Syair yang dikumandangkan oleh kelompok ini banyak menyorot sisi getir rakyat. Seperti dalam lagu Sorak-Sorak Hore, orang lebih senang melihat tetangganya susah.

Wong kaya kuwé kabèh, gambaran zaman saiki, lengking vokalis KMSWT Nurngudiono.
Meski menyuarakan getir jiwa rakyat, kemasan musiknya dibuat rancak, sehingga asyik dinikmati. Bahkan beberapa audiens berjoget mengikuti alunan musik mereka. Namun, yang paling membuat ngrentes hati, saat mereka membawakan lagu Tsunami. Khas dengan syair bahasa Tegal, Nurngudiono menggambarkan orang-orang mati pating gletak terkena tsunami, pertanda Kuasa Illahi Robbi.
KMSWT yang tampil dengan personil lengkap, turut meriahkan “Gendu-Gendu Rasa” itu Pjs Bupati Tegal Drs H Amat Antono Msi, Ketua Korpri Kabupaten Tegal yang juga Wakil Bupati Tegal Terpilih, Moch. Hery Soelistiyawan SH M.Hum, Kadis Hub Kominfo, Kadis Tatakota, Kabag Kominfo, Perwakilan dari Dirjen Perhubungan dan Kominfo Jakarta, Soenyoto, Hanan, para camat termasuk Camat Slawi Sustrianti, dan masyarakat seni Kabupaten Tegal.
Setelah menggeber lagu ciptaan sendiri, di ujung acara KMSWT menghabiskan tenaganya dengan mengusung musik gambus (EK)


KETERANGAN GAMBAR: Kelompok Musik Sastra Warung Tegal (KMSWT) pimpinan Nurngudiono tampil di acara “Gendu-gendu Rasa” Radio Citra Pertiwi, Slawi Jumat (28/11) malam lalu (Foto NP: Ekadila Kurniawan)

Rabu, 26 November 2008

PENTAS SASTRA TEGALAN DI TBS dan TRSS




Pentas Sastra Tegalan di TRSS dan TBS

Seniman Harus Menghapus Rasialisme Bahasa


PERAYAAN Hari Sastra Tegalan yang digeber para seniman Tegal, membuat ‘guncangan’ tersendiri di dua; Kota Semarang dan Solo. Lawatan Sastra Tegalan yang dilakukan mereka memberikan pelajaran penting dan nuansa demokrasi agar para seniman bisa menghapus sikaf rasialis terhadap perbedaan bahasa.
Hal itu dikatakan dalang Wayang Suket, Slamet Gundono kepada NP usai pementasan ‘Perayaan Hari Sastra Tegalan 26 Nopember’ di Taman Budaya Surakarta (TBS) Selasa (25/11). “Saya tercengang dengan penampilan para seniman Tegal mengusung tegalan, dasyat dan memukau. Sudah saatnya seniman kita belajar demokratis agar mampu menghapus sikaf rasialis bahasa manapun termasuk tegalan” tandas Gundono yang ditegaskan Nurhidayat Poso dalam sambutan pementasan di TBS.
Dalam pementasan di Taman Raden Saleh Semarang (TRSS) Senin (24/11) malam, seakan terjadi jèd-jèdan adu kekuatan baca puisi dua bahasa nasional dan tegalan. Dari Semarang para penyair senior turun glanggang seperti Timur Sinar suprabana, Handry TM, Beno Siang Pamungkas, dan lain sebagainya. Sementara Eko Tunas tampil mewakili Semarang dan Tegal. Ia membacakan dua puisi dalam bahasa nasional dan tegalan.
Penampilan Eko mengusung sajak Njaluk Duwité. Ia membaca dua buah puisi di tengah-tengah penonton yang berdesak. Nyong njaluk duwité, nyong njaluk duwité, lengkinan sajak tegalan yang dilepas Eko dengan gaya rocker gaek Ucok Harahab mencengkeram gitar bolak-balik berjalan maju dan mundur, menciptakan nuansa keliaran dengan, luapan, dan harmonisasi terhadap penonton, membuat suasna gegiris dan kemasgulan. Hal yang sama juga terjadi pada saat Nurngudiono membawakan sajak Utang dengan paduan rebana genjring biang yang dikepak pelukis Widodo, dan tiupan trompet yang dimainkan Aziz Ma’ruf. Aktor Bramanthi yang mengusung monolog ‘Waslam’ karya Moch. Hadi Utomo dan juga Bontot Sukandar, Hartono Ch. Surya dengan sajak-sajaknya mengundang kegerahan para penyair Semarang. Mereka seperti tertegun dan tercengan atas penampilan seniman-seniman Tegal.
Keesokan malam di TBS, Selasa (25/11) terjadi hentakan keliaran ekpresif keblakaan bahasa tegalan yang menggemuruh, saat para seniman Tegal meneriakan dinamik dan meluap-luap. Di Gedung Arena Teater Solo, para seniman, mahasiswa, wartawan, dan pengamat sastra berjejal, asyik masgul menyaksikan pementasan mereka. Nurngudiono bersama kelompok rebananya membuka pementasan mengusung lagu Babon Ngoyok-ngoyok Jago disusul Dolanan Rakyat disambut tepukan penonton. Kucuran kata-kata tegalan yang blaka, dan hentakan semakin menjadi-jadi ketika dia mengakhiri musikalisasi puisinya dengan membawakan sajak Utang. Sajak ini berbicara tentang beban utang negara yang sarat. Kolaborasi antara Nurngudiono, dan Nurhidayat Poso sebagai pengendali acara, mencengangkan penonton. Teriakan ‘kata utang’ mereka, memaksa penonton terhenyak dalam kemasgulan karena suguhan mereka total. Juga penampilan Penyair Dia Setyawati tak kalah ekspresif. Dia membawakan sajak Nyangkem dengan goyangan bokong. Nok Ratna meluapkan sajak Wek-wek, Bontot Sukandar, Hartono Ch. Surya dan Dwi Ery Santoso habis-habisan menciptakan pertunjukan semakin dikepung menarik. Suara mereka membuat pengunjung terpaku dan ternganga. Puncak acara, penampilan Bramanthi S Riyadi, melengkapi pementasan. Ia mengusung monolog ‘Waslam’, memainkan peran orang gila penuh tenaga. Ia bergerak ke sana kemari, bertelanjang dada, berdiri di level menyampaikan kegetiran hidupnya di Jakarta hingga gila. Olah vokal, akting yang diekspresikan para seniman Tegal, rata-rata ditumpahkan demikian maksimal untuk kebesaran sastra tegalan.
“Saya puas melihat pentas malam ini. Seniman Tegal dengan Komunitas Sorlem mampu membawakan sastra tegalan dalam perayaan Hari Sastra Tegalan ini, menjadi penanda rujukan semangat kedaerahan. Jadi ciri yang kuat di Tegal itu punya akar tradisi yang membumi daripada daerah lain” ujar Kepala Devisi Sastra TBS, Wijang Warek saat mengomentari pementasan tersebut. Hadir dalam kesempatan itu mantan Sekda Rahadjo Kota Tegal.

PERAYAAN - Penampilan deramawan Bramanthi S Riyadi (telanjang dada) membawakan monolog ‘Waslam’ karya Moch. Hadi Utomo dan Dwi Ery Santoso saat membacakan ‘Brug Abang’ di TBS, Selasa (25/11) juga di TRSS, Senin (24/11) kemarin malam. Kedua seniman Tegal itu mementaskan kebangkitan sastra tegalan dalam perayaan Hari Sastra Tegalan 26 Nopember (Foto : Lanang Setiawan)