Jumat, 26 September 2008

PERTEMUAN dengan SIBENG




28 Tahun Jumpa Beng Lagi
TAK pernah kutahu mengapa perjumpaan dengannya harus terulang. Selasa siang, 23 September 2008 kita dipertemukan dalam situasi yang sudah sama-sama berumah tangga. Pertemuan tanpa dirancang, tanpa janjian, dan tanpa program sekalipun itu terjadi di rumah Yu Kapsah sekitar pukul 10. 30 Wib. Perempuan yang sekarang berkerudung, enam tahun pernah membuat aku ambruk dalam gelombang asmarannya. Sekitar 28 tahun silam kami tak lagi jumpa sekarang dipertemukan. Aku mengalami kebingungan. Dulu ketika aku mencari dan mendambakan pertemuan dengannya, hal itu tak kan terjadi. Seperti ada gelombang yang menghantam memisahkan kami untuk bertemu. Sekat yang kuat itu, sungguh telah memisahkan pertemuan kami. Ada sih kami berjumpa tapi hal itu hanya selintasan pertemuan di simpang jalan. Lain lagi perjumpaan pada siang itu, tanpa sengaja tanpa krendeg, tapi terjadi dan berlangsung cukup akrab dalam berbincang masa silam. Masa yang pernah membuat kita mampu menyusun teks-teks sastra yang indah, ratusan karya cerpen dan naskah drama penuh dengan kerinduan, sayatan, letupan dan kegalauan hidup tanpa dia. Perempuan ini adalah wanita adik kelasku ketika kami sama sekolah di SMEA Pius yang membelenggu betul perasaanku. Dia selama berpuluh tahun telah memenjarakan jiwaku, pikirku, kalbuku, dan segala panca indraku dalam kekangenanku yang tek pernah putus. Aku mendambakan dia tapi aku kehilangan dia. Aku tersedu-sedu ketika menerima kartu undangan pernikahan dia dengan lelaki yang selama hidupnya tak pernah menjadi pilihan, tapi dia harus terpaksa harus menerima lelaki pilihan orang tuanya."Aku terpaksa menikahi lelaki yang tak pernah aku impikan selama ini. Pernikahan ini aku rasa hanya sebagai bentuk balas budi orang tua asuhku selama ini. Lain gak'" ujar dia ketika kami bercengkerama di Taman Lilin depan kantor DPRD Kota Tegal dalam cemaramnya lampu taman.Ah, itu bayangan masa silam. Dan entah dimana lagi kenangan manis dan getir aku bersama dia. Berdua di gedung bioskop? Di derasnya hujan kita berdua di dalam becak? Atau dimana ya....ah, di setiap gelar tlatah bumi ini s enantiasa ada kenangan manis dengan dia. Sekarang, aku seperti dipelantingkan kepada masa lalu bersama Sibeng ketika secara tiba-tiba dia muncul dan kami berhadapan kembali. Tapi dalam format yang berbeda. Tapi kenangan itu ih....menggigit sekali. “Kenapa kita bertemu lagi Beng?” Ini kata-kataku yang kutelan dalam kegetiran sekaligus kegembiraan saat ini seraya menatap wajah dia seakan tak percaya kita berjumpa lagi. Tapi kekuasaan Tuhan kerap terlalu sulit diterjemahkan, namun justru itulah berbuah kenyataan seperti ketika dulu aku dilempar dalam cintaku padanya terpapas. Sibeng, begitulah perempuan yang kini ada dihadapanku, kiranya tak mungkin menyatu lagi karena antara kita sudah ada sekat. Aku sudah memiliki tiga anak, dia pun sama pula memiliki tiga anak. Letupan masa lalu, kini sedikit mereda. Namun kenangan masa silam itu tak akan pernah mampu mereda, selalu saja menderas dan menderas tak kuasa dihapus.


Wulan Puasa
Selasa, 23 September 2008


KETERANGAN GAMBAR :
Perempuan masa silam, Sibeng
Mbah Limbad
Obsesi Garap Sinetron Horor
di Lokasi Angker


BERKAT keakrabannya dengan seorang yang biasa menggantikan actor/aktris dalam syuting adegan bebahaya (stuntman), akhirnya therapist asal Kabupaten Tegal, Mbah Lim berhasil menerabas dunia sinetron. Pengalaman yang berhasil dikantongi, tidak hanya sebagai pemain ‘jigo’ alias figuran melainkan sebuah profesi ideal di dunia sinematography yakni sutradara. Hal itu diceritakannya kepada kami, Kamis (25/9) malam di Padepokan Jalan Semeru Dukuh Waringin Kabupaten Tegal.
“Sekilas gampang bikin sinetron kalau dilihatnya setelah jadi, padahal bikinnya sungguh rumit. Tapi kalau sudah tahu jalurnya, semua hal bisa dipelajari meskipun tidak melalui jalur pendidikan formal,” kata Mbah Lim usai menonton bersama dengan Ki Ageng Seto dari Padepokan Panglima Kumbang. Sinetron yang diputar malam itu sinetron serial lepas ‘Ghost’ berjudul ‘Jenglot’ hasil besutannya. Sinetron berdurasi 1,5 jam itu diproduksi MD Entertainmen yang ditayangkan di Indosiar.
Diakuinya, kebanyakan profesi sutradara sinetron berawal dari seorang berlatar belakang pendidikan perfilman atau setidaknya pernah ikut workshop perfilman khususnya bidang penyutradaraan.
“Dalam perkembangannya, ternyata tidak sedikit sutradara sinetron yang keahliannya diperoleh secara otodidak, lantaran dia telah menjadi crew film selama bertahun-tahun. Tentunya bukan sembarang crew,” ujarnya.
Galibnya, prsosesnya diawali dari crew yang jobnya berkaitan dengan departeman penyutradaraan, seperti berawal dari seorang Clapper, pencatat adegan (Scrip) dan asisten sutradara (astrada).
“Astradapun ada dua sampai tiga. Ada astrada bagian scheduling dan astrada lapangan. Jika keduanya mumpuni biasanya oleh sutradara yang bersangkutan baru ditunjuk sebagai Co sutradara,” paparnya.
Jika sudah bisa mendirect sendiri, lanjutnya, kemudian sutradara bisa mereferensikan untuk menjadi sutradara kepada pihak produser.
Mbah Lim mengaku awal berkecimpung sebagai pemain dengan peran-peran antagonis atau sebagai dukun di sinetron Hidayah yang ditayangkan di Trans TV. Berkat keuletannya dan atas bimbingan seorang sutradara asal Aceh, Ferial Syah, akhirnya ia mampu dan dipercaya pihak produser untuk menggarap sinetron. Hingga kini puluhan sinetron telah digarapnya dan tayang di beberapa televisi swasta.
Karena job sinetron tidak menentu, baginya membuat sinetron bukan menjadi satu-satunya keahlian yang dikerjakan. “Terkadang keahlian seseorang itu sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Saya kebetulan punya teman artis dan akhirnya bisa berkecimpung di dunia glamour itu,” akunya.
Belum lama ini, Mbah Lim menyutradari sinetron lokal berjudul ‘Tumbal Jenglot’. Sinetron itu diproduksi Satria Ningrat, sebagai produsernya Susi Indrawati sedangkan pemainnya para seniman dan masyarakat Tegal. Kini dirinya berkeinginan membuat sinetron jenis horor ataupun legenda. “Saya ingin membuat sinetron dengan lokasi di daerah yang dikenal sebagai tempat angker,” kata Mbah Lim mengakhiri obrolannya
(KZ/LS)


KETERANGAN GAMBAR: Mbah Lim saat berada di lokasi syuting film garapannya Foto : Dok Kel







Biografi Penyair dan Pematung GURAT WANGKU


Gurat Wangku Rindu Berkarya


KONDISI kesehatan dan ekonomi yang kian rapuh, membuat sang seniman seperti Gurat Wangku AN (73) rindu juga akan berkarya. Bahkan terhadap hasil karya orang lain, Gurat merindukan jua.
Gurat Wangku kelahiran Tegal 14 Juni 1935, dikenal sebagai seorang penyair. Tapi belakangan ia dikenal pula sebagai pematung dan lukis. Banyak sudah hasil karya patung maupun lukisanya tersebar di mana-mana. Termasuk juga karya puisinya yang terhimpun dalam antologi puisi ‘Juadah Pasar’ yang diterbitkan oleh Jurnal TEGAL TEGAL September 2001 dengan editor Lanang Setiawan.
Nasori, demikian panggilan akrabnya, memiliki darah seni sejak ia duduk di bangku SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) atau setara dengan SMP di Yogyakarta tahun 1951. Kemudian melanjutkan ke SMA Ekonomi di Yogyakarta dan belajar Akademi Seni Drama dan Film (ASTDRAFI).
Meskipun tidak direstui oleh orang tuanya, Nasori secara diam-diam bergabung dengan Seniman Indonesia Muda (SIM) Yogyakarta dari tahun 1954-1956. Bersama para seniman yang tergabung pada SIM, Nasori belajar seni patung dan seni lukis. Sedangkan di ASDRAFI ia memilih mengambil jurusan akting dan penulisan skenario.
Selama dua tahun di sanggar SIM Jalan Bangirejo Yogyakarta dan gagasan menjadi penulis skenario dan akting kandas. Akhirnya pada tahun 1958, bersama tiga orang rekannya Mardian (almarhum), Purwanto Yapung, dan Broto hijrah ke Jakarta bergabung di Galeri seni rupa ”Matahari” Jalan Blora Jakarta. Beberapa tahun kemudia mendapat order dari Pemerintah untuk membuat Museum Sejarah Tugu Nasional yang diperagakan dengan boneka dibuat mulai pra sejarah hingga Agustus 1965 di Monumen Nasional (Monas) Pimpinan Ir Soekarno
Tahun 1979 kembali ke kampung halamannya Jalan Kardinah (sekarang Jalan KS Tubun) Kota Tegal. ”Patung Wanita” yang berada di Kantor Pajak Jalan Kolonel Sugiono Kota Tegal merupakan hasil karya seni patung terakhir Nasori yang dibuat tahun1981. Begitu juga “Prasasti Batu” yang terletak di Bumi Perkemahaan Desa Sumiarsih Bojong Kabupaten Tegal karya monumental dia.
Kini ia tinggal di Jalan Kaliandra Nomor 5 RT 1 RW 3 Mejasem Barat, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal bersama kedua putra-putrinya Hulam Safaq (27) dan Qurotul Aeni (24) dari hasil perkawinannya dengan Sukinah. Di masa senjanya, Nasori masih berharap bisa berkencimpung dan berkarya kembali bersama rekan seniman Tegal lainnya.



Sajak-sajak Gurat Wangku

Tonggak

Pada kanvas orang bilang
tonggak patut diturunkan
Wakijan! Kokok ayam masih
terdengar
juga yang tidak bisa kita
pagut

Akh! Apa sebab entah
pada kanvas orang bilang
tonggak patut diturunkan

1955



Ditunggu Kereta Api

Subuh berlabuh
jelas-jelas
aku ditunggu
kereta api di tugu
dan dua semata yang dilepas
untukku

Akh! Ujung tangan ini basah
apa yang kusentuh?


Apa yang kusentuh?


Yogya 1955



Kamis, 25 September 2008


Dari Sajak Machroni MI
Potret Sosial Tertimpa Sial



POTRET sosial dalam puisi karya Machroni MI dapat dilihat dalam sajaknya berjudul ‘Kang Dasmad’ (KD). Profesi KD sebagai tukang becak adalah penggambaran kehidupan sosial yang tertimpa sial. Hanya saja KD di sini mewakili kaum teguh kukuh bermental handal. Ibarat serpihan baja yang dibenamkan di medan bara hingga membara, lalu pasal demi pasal dan peraturan pemerintahan menggodamnya bertubi-tubi agar musnah?
Bagi KD, dimata penyair, deraan itu justru semakin menyempurnakan dirinya menjadi sosok wang cilik yang berjiwa satria.

Kini hidup nyaman dan tentram
meski tetap menggenjot becak
di siang bolong, atau malam hari
mengangkut penumpang
yang pulang mudik
dari ibukota Jakarta
di stasiun kereta, atau di terminal bus…


Irisan nasib yang dirasakan perih KD belum seberapa dengan tragedi yang menimpa seorang tukang becak di Bandung, Sukardal (53). Ia mati gantung diri, lantaran becaknya pada 2 juli 1986 disita petugas tibum. Tentu sesuai dengan peraturan dan perintah atasannya.
Jika takdir sebuah ketetapan Tuhan. Sedangkan nasib bersifat tidak absolut. Maka dalam rentangan benang nasib itu, bagi sosok KD tetap dijadikan seutas hantaran titian yang hanya berupa kail peruntungan dalam hidupnya. Tidak serta merta dirajut dijadikan selembar jaring sehingga menjadi lebih baik. Sebaliknya tidak putus harapan dan sefrontal Sukardal yang justru memendekan rentang takdirnya.

Puisi KD mencuatkan kearifan sosial, kesahajaan dan semangat pantang menyerah dalam sosok KD. Semoga sepercik harapan bagi ‘aku lirik’ akan eksistensi sepercik ruang yang membuat keberadaannya tetap bertahan.

Kang dasmad, oi kang dasmad
kepulanganmu tetap disambut
tak akan menggusur abang becak
dalam mengais rejeki
di kota kelahiran, Tegal Bahari


Puisi yang ditulis pria kelahiran Tegal 21 Desember 1938, Machroni MI sederhana tetapi mengggelitik. Machroni MI menekuni dunia sastra sejak tahun 1956. Pernah menjadi juara lomba cipta puisi dan prosa tingkat SMP. Tahun 1953 puisi petamanya dimuat di Koran Duta Rakyat pada kolom Tunas Mekar dengan judul “Kenangan” dan lainnya. Ia dikenal sebagai wartawan senior tiga jaman. Mengabdi di harian “Sinar Harapan” kemudian diteruskan ke harian “Suara Pembaharuan”, “Harian Terbit” dan pernah menjadi pengasuh di tabloid “Sembada” terbitan Tegal. Dia adalah juga salah satu pendiri lembaran Koran “Tali” taun 60-an. (Hamidin Krazan)


KETRANGAN GAMBAR : Machroni MI

WANGSALAN TEGALAan


Wangsalan Tegal Zaman Kuna-makuna

BUDAYA Tegal tak hanya musik rebana, syair puisi Tgalan, tapi juga Wangsalan Tegalan yang telah terlahir dan kesohor zaman kuna makuna. Zaman di mana kita belum terlahir di bumi ini, tapi orang-orang Tegal tahun 40-an telah mengenal Wangsalan.
Bermacam jenis yang namanya Wangsalan. Ada Wangsalah yang memuat kandungan lelucon, percintaan, wadanan atau sindiran, bahkan reliji. Jika budaya tua ini tak terdokumentasi, mungkin sirna digerus generasi muda mendatang yang lebih kenal pada budaya moderen. Karena itu sangat perlu anda ketahui Wangsalan Tegal di bawah ini. Dan aku tulis untuk kalian semua.



Motor mabur damaré mati
munggah nduwur sing ati-ati

Tuku kinang, gambirana
senajan lanang, lanang yang mana

Alang-alang diseblakna
isin wirang didadèkna

Lepet taliné oman
ora cepet ora keduman


Cina cilik dodol dawet
ditokoni menjep-menjep

Pitik walik manjing longan
rambut brintik kaya barongan

Bir temu lawak
lambé njebir kaya luwak

Èsèk-èsèk godong jati
cungur pèsèk disinggati


Ciu gambar jalak
Yèn aku mèlu apa ditolak

Ciu sagelasé
aku mèlu salawasé



Jaran kèpang mangan pari
klambi abang sing marai

Puasa kembang gedang
èsuk-èsuk nodong wadang



Puasa kembang pring
èsuk-èsuk nodong piring

Bontrok disembelèh
mbuka éntrok tidak bolèh

Èlon ana lintahé
pan kelon ana bocahé

Blendung laka klapané
weteng mlendung laka Bapané


Gemblong jalètot
kèné bombong kono ngotot

Kamijara digerus-gerus
saudara urus-urus


Suradadi kotané
sing dadi nyatané

Dara notoli pari
durung bada wis nganyari


Jatibarang Durènsawit
wongé kondang, ora duwé duwit

Klambi paris kancing ukon
ngaku laris laka sing takon

Ijo-ijo godong meniran
wis mbojo seneng plesiran

Awan-awan luruh wader
bujang prawan aja kèder


Ijo-ijo godong laos
wis mbojo laslos

Rokok krètèk taliné sutra
kirim potrèt nggo tanda mata


Kendal Kaliwungu
ajar kenal mumpung ketemu


Rujak pentil gulané jawa
bèn nginthil diapakena


Laka bèbèk ora nyilem
awaké dèwèk ya dialem

Mangan gedang buwang kulité
demen bujang akèh duwité

Èsuk-èsuk mangan timun
èsuk-èsuk aja nglamun

Timun akèh getahé
nglamun akèh susahé


Yèn nginang aja karo nginung
yèn wis nyawang aja bingung

Pèngin gedang motes
pèngin bujang paès


Kimpul ketindihan
wis kumpul ketagihan

Jagung bakarané
wani nanggung perkarané


Jengkok ana tingginé
kowen mogok ana gantiné

Ali-ali ilang matané
aja lali karo kancané


Anjang-anjang paré pait
katok panjang ora duwé duwit

Klambi paris bedah kèlèké
ngaku laris jaré dèwèké


Godong jati diremuk-remuk
durung dadi diemuk-emuk

Klambi ireng kancing ukon
njagong bareng durung kelakon


Rujak pelem arané lutis
katoné kalem jebulé tukmis

Krandon Cabawan
turuné andon tanginé awan


Jèngkol Jatibarang
pupuné gamol wuluné arang

Iwak blanak digorèng garing
krasa ènak digoyang maning

Durèn-durèn, kuwaci-kuwaci
gemiyèn gemiyèn, saiki-saiki

Andeng-andeng di atas mulut
siapa mandeng mesti kepilut


Kreneng wadah urang
wong demen aja diwirang

Suruh ireng tiba ning belik
ésih seneng dikongkon balik


Gendul-gendul cilik
gendul cilik oclak-aclik
Gendul cilik tiba ning belik
ésih seneng dikongkon balik

Nandur terong pinggir sumur
gotong royong bèn makmur


Kembang turi arané tronggong
blèh diaturi onggong-onggong

Tuku piring cilik-cilik
turu miring molak-malik


Tuku pinggan bolong tengahé
pan balik adoh umahé

Nyangking émbèr kiwa tengen
njagong jèjèr tamba kangen

Kawat diuntir-untir
kadung liwat sisan mampir

Kupat jangané santen
bilih lepat nyuwun ngapunten


Tuku kreneng nang pasar langon
njagong bareng durung kelakon

Manuk trinil ditalèni
bèn ngintil diakali


Tebu-tebu wulung
ditandur pinggir dlurung
Èsuk bingung soré bingung
ketemu bakalan wurung

Jangan lompong asemé wuni
aja diomong wong ana sing nglakoni


Blarak disampirna
enyong liwat belèh diampirna


Abang maning ora luntura
sing ijo bé lunturé kuning
Bujang maning ora ngluyura
sing duwé bojo bé, luruh maning


Ayam babon ning buritan
kupat glabed ning prapatan
Wong wadon aja duwitan
bokan baé laka sing doyan
KETERANGAN GAMBAR:
Sebuah pertunjukan Sintren di wilayah Desa Dukuh Salam, Slawi, Kabupaten Tegal. Biasanya syair-syair Wangsalan Tegalan kerapkali meluncur dalam pertunjukan sintren (Foto Nirmala Post : Oky Lukmansyah)

Rabu, 24 September 2008

Pembahasan Sajak Tegalan HADI UTOMO

Moch Hadi Utomo: Tentang Sebuah Nama

ADA tiga kegundahan yang diusung dalam puisi Bahasa Tegal berjudul ‘Prasasti’ karya Moch Hadi Utomo. Dimana antara persoalan satu dengan lainnya menyatu menjadi lilitan kenestapaan yang sulit dihilangkan (sumelang) dalam sejarah hidup ‘si aku’ lirik.
Pertama, tentang sebuah nama. Manusia terlahir sebagai makhluk individual lalu berproses menjadi makhluk sosial dan seterusnya. Dalam kekuatan egonya yang kuat sebenarnya dikelilingi labirin-labirin kerapuhan. Ia akan menjadi sebuah belikat kuat dan sekat membaja manakala dicarge dengan nilai-nilai kemasyarakatan dan lainnya. Di dilamnya ada interaksi, hasrat, cinta, sayang, rindu, keterpaduan dua rasa dari sebuah perbedaan menjadi satu kehendak baru. Baik menyesuaikan, meredam satu keinginan yang dominan atau membuat sebuah kesepakatan. Namun jika ada satu kekuatan otoriter yang menindas, meniadakan atau menganggap tiada apalagi membunuhnya, maka timbulah persoalan dan akibatnya:

aranku sing tak ukir nang watu lintang
arané kowen sing tansah tak undang-undang
nganti dadi kemlandang
moni nang saben ngimpi…


Kedua, tentang banyak orang. Dalam melakukan aktifitasnya seseorang di antara banyak orang dalam masyarakat menjadi sebuah potret menarik. Terlebih jika muncul ketimpangan. Sehingga nilai ideal terusir oleh pragmatisme. Apesnya, ketimpangan hanya terlihat oleh kebeningan batin temporer. Seperti akibat romatisme sesaat. Sehingga tiba-tiba tampak penawaran (tetawa) nilai sosial, kearifan dan keberanian hidup dalam menyiasati kangkangan alam, dan kendala sosial.

ésuk-ésuk wis adus grimis
bocah-bocah sing payungan godong tales
tetawa jagung bakar
ana mbok tuwa ngiyub nang émpèr kios….

Ketiga tentang waktu ruang dan kita.Romantika sebuah pertemuan duniawi bisa menyenangkan atau sebaliknya. Sehingga menumbuhkan getir dan khawatir. Jika kefanaan terbatas ruang dan waktu, adakah harapan lintas batas atau sebuah keabadian. Begitu juga dalam konsep cinta. Inilah bagian dari persoalan yang membutuhkan permenungan panjang, jika melalui puisi butuh berbait-bait, tanpa titik:

Nang kèné, luhé kowen tau nètès nang gigir
kowen sing lèndotan pedut
sing ngawé-ngawé mèga
nyawang umur sing semingkir alon-alon
karo ninggali pitakon
sing ora bakal tak jawab
embuh, embuh, embuh…


Selengkapnya puisi ‘Prasasti’ yang ditulis seniman serba bisa ini dapat dibaca di blog: www.begawantegal.blogspos.com. Selain membuat karya puisi, Moch Hadi Utomo juga seorang cerpenis, penulis naskah drama Sandiwara Radio dalam bahasa Tegalan, monolog Tegalan, dan orang yang paling getol membuat jigle Tegalan di radio swasta. Dia juga adalah penulis novel berbahasa Tegalan dan pencipta lagu Tegalan (Hamidin Krazan)


KETERANGAN GAMBAR:
Moch. Hadi Utomo (kiri) berbincang serius membahas perkembangan sastra Tegalan yang kian hari bertambah meroket bersama Atmo Tan Sidik di sebuah warung makan, Kota Tegal (Foto :Lanang Setiawan)

Selasa, 23 September 2008

Sajak-Sajak TEGALAN JAYENG (2)





















Sajak-sajak Tegalan R. Jayeng Jaladara

Aja Onggrongan

Apa sing dipèngini
dadi wong terkenal?
dadi kembang lambèné wong sadonya?
apa ébèn dianggep pentolan?

Apa sih sing digolèti
wong-wong sing korupsi, apa luruh komisi?
apa ébèn dianggep kaya nabi
kowen luguné mung yahanu

Kowen pada baé kaé
klakuwané badeg ledreg
ora ngaca raimu kiyé sapa
uwislah aja onggrongan

Tegal 6 agustus 2006



Gatolané urip

Udan nembé baé mandeg
plataran lemah sing ngecembong banyu
sanalika ngemutna enyong maring waktu sing
wis keprana
pirang-pirang kedadèyan sing wis tak ranapi
ujug-ujug kemambang nang klèrabé mata
jamané urip ésih ora nggenah
gogoh pangan dilawani nyungsang njempalik
guris mana
guris mèné
maksa baé durung bisa kecukupan
uripé malah tambah mblangsak
sing samana, bara-bara enyong ésih nganggo nalar
ora nggugoni hawa nafsu sing bisa gawé musakat
sanajan mlarat
barang sing siji ésih tak keni-keni
mung krana iman, urip enyong ora kegèmbang

Plataran lemah ésih ngecembong banyu
tapiké udan kocapa kaya nèin bebungah
saiki enyong wis mulya
ora kurang sandang pangan
donya brana mambrah-mambrah
tapi ajeg ora klalèn
barang sing siji ésih tak keni-keni
dadi gatolané urip nggo mlaku nang galengan donya.


Agustus 2006



Enyong Dudu Sapa-sapa

Enyong tetep enyong
ajeg awit gemiyèn nganti saiki
ora tak pikiri kowen seneng apa ora
sing penting mangan ora njaluk rika

Enyong pancèn dudu sapa-sapa
tur ora pèngin disubya-subya
tapikèn aja dianggep laka
ilangé enyong, jagad gumirat bakal
nandang sengsara

Enyong dudu sapa-sapa
tapikèn aja digampangna


Agustus 2006



KETERANGAN GAMBAR: Jayeng Jaladara ketika membacakan puisi tegalannya pada acara HUT Novelis Ken Ratu ke 17 tahun di wilayah Gang TEGAL TEGAL Slerek, Kecamatan Tegal Timur, Rabu 14 Nopember 2007 dengan latar belakan Kelompok Musik Warung Sastra Tegal. Jayeng banyak menulis puisi Tegalan juga naskah monolog Tegalan yang menjadi kebanggaannya. Ia tergila-gila membacakan puisi Tegalan karena merasa bahwa dirinya asli orang Tegal. Sekarang ia sedang mengabdi menjadi wartawan internet di 'Koran Lokal'.

Sajak-Sajak HADI UTOMO


Sajak-sajak Moch. Hadi Utomo

Prasasti

Nang kèné, nang bumi Dèsa Guci
wis tak pendem siji prasasti
aranku sing tak ukir nang watu lintang
arané kowen sing tansah tak undang-undang
nganti dadi kemlandang
moni nang saben ngimpi

Nang kèné, nang bumi Dèsa Guci
bumi sing tansah teles
ésuk-ésuk wis adus grimis
bocah-bocah sing payungan godong tales
tetawa jagung bakar
ana mbok tuwa ngiyub nang émpèr kios
tetawa wortel karo godong slada

Nang kèné, luhé kowen tau nètès nang gigir
kowen sing lèndotan pedut
sing ngawé-ngawé mèga
nyawang umur sing semingkir alon-alon
karo ninggali pitakon
sing ora bakal tak jawab
embuh, embuh, embuh

Nang kèné, nang Dèsa Guci
ana prasasti sing wis tak pendem
aranku
arané kowen
lebur dadi lemi
kèntir nang kali.

Bumijawa, 26 Januari 1998.



Dimana Kau Sembunyikan

Wajah Mereka

Dimana kau sembunyikan
wajah mereka yang sebenarnya
wajah anak rakyat yang tengah meratapi
mimpinya yang raib
engkaukah itu perompak
yang telah begitu tega menjarah
dan mencaploknya hingga ludas tandas
Sia-sia saja aku mencarinya
barangkali telah kau benamkan
wajah mereka diantara tetimbunan
sampah bekas nasi bungkus – plastik
air mineral – sobekan kain spanduk
-poster karton – keranda bamboo
pecahan botol bom Molotov – tali rafia
dan bercak darah yang tercecer
mongering diantara selokan dan trotoar

Sia-sia saja aku mencarinya
diantara puluhan ribu jejak kaki
yang berubah jadi kepulan debu
dalam insiden unjuk rasa berdarah
hari itu

Ah, sejarah yang panjang
selalu saja berulang
mesin penindasan tidak berhenti menderu
diatas kepala mereka
ujung pisau belatimu menempel di tenggorokan
dengan kejamnya kau seret mereka
ke pojok
kau lucuti bagikan pesakitan
dan telunjukmu diatas jidad
mereka:
“Kedaulatan dan perjanjian rakyat
sudah
menjadi tembelek atau tai ayam
Menangislah untuk Locke dan
Rousseau,
Demokrasi sudah ditelan bumi
Merataplah untuk Voltaire dan
Montesqueu…”

Sampai hari ini
aku masih sia-sia mencarinya
wajah anak rakyat yang kehilangan
mimpi
tentang indahnya demokrasi

Tegal, 2001



Sajak Tentang Cara
Menurunkan Presiden

Ternyata banyak cara untuk
menurunkan seorang presiden
dari cara yang paling keras
sampai yang paling lembut
dan rupa-rupanya setiap presiden
telah memilih
caranya sendiri untuk diturunkan

Ternyata jika mahasiswa dan tentara
(ditambah rakyat tentunya) menyatu
dalam
gelombang unjuk rasa
seorang presiden menjadi ngeri juga
ia bisa ngumpet dibelakang
tembok istana
atau kabur ke mancanegara
dan turunlah ia

Ternyata jika rakyat sebuah negara
menjadi jengkel karena
presiden mereka bertindak
semena-mena
mencelakakan rakyatnya – atau
menjarah
kekayaan negara
rakyatpun berhimpun di seluruh
penjuru kota
mengepung istana
meski pemimpinnya (katakanlah)
seorang ibu rumah tangga
seorang presiden menjadi ngeri juga
dan turunlah ia

Yang lebih mengerikan adalah cara
menurunkan seorang presiden
dengan membunuhnya
ditembak punggung atau dadanya
saat berpidato atau menyaksikan
upacara
si penembak bisa saja seorang
psikopat
agen asing – musuh politik – dendam
pribadi
atau bahkan pengawalnya sendiri

Ada seorang presiden yang
menempuh cara agak aneh (dan
lucu) menurunkan dirinya
ia memusuhi parlemen yang dulu
telah mengangkatnya
ia berkali-kali memecat menterinya
ketika parlemen marah dan
mengancamnya
sang presiden “cuek aja”

Maka partai-partai bersekutu
di parlemen itu
beramai-ramai mengeroyoknya
untuk segera menurunkannya
meski sang presiden tidak menjadi
ngeri
toh akhirnya turun jualah ia

Ternyata ada sebuah negara yang
punya reputasi dalam urusan
menurunkan
presiden negara lain yang tidak
disukainya
karena ia sebuah negara jagoan
dan kaya
untuk menurunkan presiden tentu
banyak jurus-jurusnya
(alangkah jahatnya, reputasi buruk
itu tak pernah diakuinya)

Ternyata memang tak ada cara
yang sopan dan menyenangkan
ketika seorang presiden harus
diturunkan
kecuali habis masa jabatannya
atau ia meninggal dipanggil Tuhan

Tegal, Agustus 2001

MOCH. HADI UTOMO adalah seorang cerpenis juga penulis naskah drama Sandiwara Radio dalam bahasa Tegalan, monolog Tegalan, dan orang yang paling getol membuat jigle Tegalan di radio swasta. Dia juga adalah penulis novel berbahasa Tegalan dan pencipta lagu Tegalan. Ia lahir di Subah, Pekalongan 26 januari 1939. Karya cerpennya banyak dimuat di majalah Kisah, Horison, Abadi Minggu, Genta, Berita Minggu, merdeka Minggul dan lain sebagainya. Menjadi penulis tetap kolom Guyon Tegalan di di Tabloid TEGAL TEGAL . Kini ia berdomisili di Tembokluwung, Adiwerna Banjaran, Kabupaten Tegal.

Saja-sajak Penyair MACHRONI MI


Sajak-sajak Machroni MI

Kasih
(persembahan buat hari ibu)

Dicium mesra adik dipangkuan ibu
pagi, sore, ditimang nyanyi kasih
adik senyum seperti tahu arti cinta
sama lelap mimpi – ibu cium pipi

Sekali adik Tanya di mana bapa
ibu cuma banjir air mata
adik nangis tidak mengerti

kapan adik ingin kenal bapa
cuma sampai batas airmata bunda
dan didekap dada hati sendu
lalu kenallah adik, pilu dan derita
- kasih bapa takkan ada

kejambon, des limalapan



Ciliwung

Selendang berona coklat
semampir di dada ibukota
indahnya, manisnya ciliwung

Kolam pemandian umum
tawa bocah dan perawan kota
gedebur air lupakan duka

Mandi di bibir ciliwung
tontonkan sekujur tubuh
berleret merenda selendang kota
indahnya, manisnya oi
ciliwung kala senja dan pagi

kejambon
pertngahan nov, 58



Kang Dasmad

Kang dasmad, ketika pertama
datang ke Jakarta
modalnya cuma otot tubuh yang kekar
siap menggenjot becak, dari
stasiun Senen
sampai Tanah Abang, Kebayoran
Lama, Jatinegara
sarat penumpang dari pagi hingga senja
malam hari “slonjor” menghitung
uang
setiap lembar rupiah, hasil cucuran
keringat
sepanjang hari

Kang dasmad, oi kang dasmad
anak istri bersorak-sorai
ketika pulang mudik
menyambut lebaran di kampung
berkumpul keluarga
bertumpuk kaleng susu dan roti
bertumpuk stelan pakaian baru
sebuah radio transistor
dengan dendang lagu dangdut
semarak di malam lebaran

Kang dasmad, oi kang dasmad
kenapa tubuh lunglai
ketika pulang mudik
menyambut lebaran di kampung
tak sekaleng susu maupun roti
tak lagi bawa radio atau tape
yang ada wajah cemberut dan
sendu
karena becak di Jakarta telah
digusur
tergusur pula kang dasmad pulang
kampung

Kang dasmad, oi kang dasmad
kepulanganmu tetap disambut
tak akan menggusur abang becak
dalam mengais rejeki
di kota kelahiran, Tegal Bahari

Kang dasmad, kang dasmad oi saying
kini tak lagi mikir pulang mudik
berdesak dan berhimpit di bordes
kereta api
masuk lewat jendela berebut
tempat duduk dalam bus

Kini hidup nyaman dan tentram
meski tetap menggenjot becak
di siang bolong, atau malam hari
mengangkut penumpang yang
pulang mudik
dari ibukota Jakarta
di stasiun kereta, atau di terminal
bus

Tegal, 9 Oktober 1997



Sebuah Sajak

Oi
ada bulan ranum di hatimu
cahayanya jingga di kamar pengantin
terbesit jelaga di matamu
kau kunyah sampai lumat
sebuah sajak
terbaring nyaman

Oi
ada bulan bulan telur
menampar-nampar pipimu
elok di wajahmu merah jambu
kau peluk erat-erat
sebuah sajak
tergolek di ranjang pengantin

Oi
ada bulan menjelaga
di telapak tanganmu
kau tegakkan tonggak beton
sebuah sajak
telah menjadi milikmu
terbaring nyaman
di kamar pengantin
semerbak aroma
kembang melati
cinta sejati telah terpateri

tegal april 1993


Nelayan Tua

Berkacalah pada laut
seperti mentari pagi yang bersolek
menari-nari di atas perahu sopek
mengayuh dayung, menebar jala
tak p ernah merenung di ujung sepi
karena berharap sekaleng susu dan sepotong roti
tetapi menanti tuk menanak nasi

Berkacalah pada laut
yang tak p ernah jemu dengan gelombang
yang menerjang setiap penghalang
menarik jala, oi dapat ikan cakalang
hari ini anak dan istri
akan dibelikan sekaleng susu dan sepotong roti
serta siap menanak nasi

Menjelang fajar di ufuk timur
nelayan tua selesai menyebut asma-Mu
anak dan istri selalu makmum
selalu mengucap syukur
mentari selalu bersinar tiap pagi
yang mandi telanjang sambil bermain gelombang
perahu sopek melaju dengan tenang
menebar jala, menebar harapan
yang selalu memuji keagungan-Mu

tegal, 08 Oktober 1977


Yu Romlah


Ketika orang lain tidur lelap
ketika orang lain menikmati mimpi indah
bang mi’un buruh kontrak penyapu jalan
meninggal karena mengidap paru-paru basah
tak mampu menebus resep obat
terbujur kaku di pembaringan
dipan reyot tanpa kasur
tak satu rupiahpun mendapat pension
cuma dapat santunan sekedar untuk penguburan
jenazah yang tinggal kulit dan tulang

Ketika angina malam menerpa wajah ayu
ketika dingin menembus sumsum
ketika embun malam menusuk paru-paru
yu romlah janda bang mi’un
tetap menyapu jalan dengan terbatuk-batuk
dari ujung perempatan sampai tikungan pertigaan
demi satu kilo gram beras
untuk menyambung hidup dan dua anaknya

Yu romlah malam ini mangkir
absen tak menyapu jalan
badannya panas membara
dadanya sesak, batuk-batuk muntah darah
seperti almarhum suaminya bang mi’un
yu romlah tak mampu berobat ke dokter
tak lagi punya duit
cuma pasrah keharibaan-Nya
menunggu waktu
siapa peduli?

Tegal, 9 Oktober 1997



MACHRONI MI lahir di Tegal 21 Desember 1938, menekuni sstra sejak tahun 1956. Pernah menjadi juara lomba cipta puisi dan prosa tingkat SMP. Tahun 1953 puisi petamanya dimuat di Koran duta Rakyat pada kolom Tunas Mekar dengan judul “Kenangan”. Kemudian di mingguan Berita Minggu tahun 1957 pda ruang Kunctjup harapan juga di ruang Putra Merdeka harian “Merdeka minggu”. Pernah dimuat di Koran “Sin Po Minggu” dan Republika Minggu. Ia dikenal sebagai wartawan senior tiga jaman. Mengabdi di harian “Sinar harapan” kemudian diteruskan ke harian “Suara Pembaharuan”, “Harian Terbit” dan pernah menjadi pengasuh di tabloid “Sembada” terbitan Tegal. Dia adalah juga salah satu pendiri lembaran Koran “Tali” taun 60-an.

Wawancara dengan HADI UTOMO tokoh Tegalan

Wawancara:

Moch. Hadi Utomo, Budayawan Tegal
Bahasa Tegal itu Liar dan ‘Dlawèran’

SEJAK bahasa Tegal diperkenalkan menjadi bahasa yang lebih memiliki greget dalam riuhnya kreativitas para seniman melalui ‘perlawanan’ pemberontakan terhadap bahasa ‘wètanan’. Salah satunya menterjemahkan puisi-puisi nasional ke dalam bahasa Tegalan dan membacakannya di Teater Arena Taman Budaya Surakarta, 28 Juli 1994 lalu. Ini menjadi tonggak sejarah Tegalan lahir dan amat menggemparkan. Tidak mengherankan kalau kemudian sejumlah literature terbitan Tegal, kaset sandiwara, naskah-naskah drama dan lagu-lagu Tegalan serta tulisan para sastrawan Tegal telah terdokumentasi di perpustakan ‘School of Social Sciences Curtin University, Kent St. Bentley, 6102 WA, Perth Australia Barat’. Hal ini berkat kegilaan Dr. Richard Curtis, seorang peneliti bahasa dan budaya lokal yang dalam tesisnya ‘Popular Performance and Wong Cilik Sentiment In Tegal During The 1990s’ banyak mengambil referensi sastra dan budaya Tegalan.
Untuk mengetahui sejauhmana keberadaan bahasa lokal yang ditengarai UNESCO mengalami kepunahan, wartawan dan redaktur Nirmala Post mewancarai Moch. Hadi Utomo, salah seorang budayawan Tegal yang konsisten mengamati perkembangan arus budaya Tegalan, khususnya menyangkut penggunaan Bahasa Tegal di kalangan masyarakat. Berikut ini petikan wawancaranya.
Apa yang menarik anda mengeluti bahasa Tegal?
Karena bahasa Tegal itu cukup menarik dan menggelitik. Saya menggeluti bahasa Tegal tak pernah bosan. Apalagi ketika bahasa Tegalan ini diangkat menjadi sarana bahasa penulisan maupun pembacaan puisi, seperti yang terjadi saat Walikota Tegal, Bupati Tegal, Ketua DPRD Kota Tegal dan para anggota dewan bersama seniman Tegal, membawakan puisi Tegalan dalam acara ‘Jèd-jèdan Maca Puisi Tegalan’ (Rabu, 31 Mei 2006 –red). Ini menandakan bahwa Tegalan sudah mendapat tempat. Tidak mengherankan kalau bahasa Tegal itu kemudian banyak dipakai untuk himbauan-himbauan, jingle iklan radio berbahasa Tegal, kaset dan VCD lagu-lagu Tegalan, brosur, spanduk promosi sampai pada slogan ‘Tegal Keminclong Moncèr Kotané’ dan Kabupaten Tegal dengan ‘Ngangeni lan Mbetahi’. Sungguh bahasa Tegal telah menjadi sebuah kebanggaan dan jatidiri masyarakat Tegal.
Komentar anda tentang bahasa Tegal yang sering diberi predikan ‘kasar’?
Bahasa daerah yang lain juga memiliki kekasaran yang sama. Misalnya orang Jakarta, Surabaya, Semarang juga memiliki kata; maknyé dirodok, diancuk, kakèkané dan lain-lain. Tergantung konteknya. Kalau memaki ya paka bahasa kasar.
Jadi jelasnya bagaimana?
Ya…bahasa Tegal itu sebuah karakter yang keras dan lugas, vulgar, egaliter dan blakasuta. Karakter yang menjadikan keunikan bahasa Tegal dalam tataran fonetis-fonologis, morfologis, sintaksis, dan semantic. Penebalan fonem pada beberapa huruf serta pelafalan dengan cengkok dan gaya bahasa yang spesifik. Kosakata bahasa Jawa baku yang berubah total seperti teka menjadi anjog, nyruduk menjadi numbleg, nglongok menjadi nglodod, rusak menjadi bodol, dan ratusan kosakata lainnya dengan fonem yang ditebal-tebalkan. Hal itu, menurut Drs. Irawan Gunadi M.Pd yang menyebabkan bahasa Tegal terdengar ‘kasar’.
Orang Tegal juga gemar menciptakan istilah yang unik dan spesifik untuk mengungkapkan perasaannya. Apakah ini pertanda bahwa orang Tegal itu kreatif?
O, ya! Orang Tegal itu kreatif. Misalnya, untuk menyebut ‘kikir’ atau ‘pelit’, orang Tegal membuat istilah ‘tainé digorèng’. Untuk mengungkapkan ‘tidak tahu diri’ dengan istilah ‘kaya ora weruh sing nggèyong’ dan masih banyak lagi istilah-istilah lainnya. Pokoknya orang Tegal itu kaya dengan istilah.
Apakah istilah-istilah tersebut tergolong kosa kata yang kasar?
Tidak!
Misalnya kata dlawèran itu menurut anda?
Dlawèran itu dari tembung lingga dari kata ‘dlèwèr’ yang berarti alir, dengan ater-ater atau awalan huruf ‘N’ menjadi ‘ndlawèr’ artinya mengalir. Ketika diimbuh penambang atau akhiran ‘AN’ menjadi dlawèran. Sehingga orang yang berkata-kata dengan mengalir begitu saja dari mulutnya tanpa dipikir dan tidak ada bukti, disebut ‘dlawèran’.
Berarti kata ‘dlawèran’ itu tidak kasar?
Tidak. Yang kasar itu justru kata ‘dobol’.
Bagaimana kita menyikapi bahasa Tegal yang begitu komplek?
Kita harus memahami karakter bahasa Tegal dan orang Tegal itu sendiri. Sehingga tidak terjadi salah pengertian dan salah faham.
Dalam kaitan keprihatinan UNESCO tentang bahasa ibu yang terancam punah, bagaimana prospek bahasa Tegalan?
Bahasa Tegalan tidak akan punah! Karena bahasa Tegalan berkembang dengan liar secara otonom tanpa campur tangan birokrasi dan lembaga-lembaga resmi lainnya. Lebih-lebih apresiasi masyarakat Tegal terhadap bahasanya sendiri sudah tidak malu lagi mengekspresikannya dalam berbagai kegiatan seni. Rasa percaya diri ini, tumbuh dan berkembang menjadi pembicaraan yang spektakuler di kalangan para seniman kraton, ketika para seniman Tegal yang dikomandani Lanang Setiawan ramai-ramai melakukan ‘perlawanan’ pemberontakan terhadap bahasa ‘wètanan’ dengan menerjemahkan puisi-puisi nasional ke dalam bahasa Tegalan dan membacakannya di Taman Budaya Surakarta tahun 1994. Dari sanalah, awal tonggak sejarah Tegalan melangkah dan amat menggemparkan atas lahirnya saja terjemahan ‘Tembangan Banyak’ terjemahan Lanang Setiawan dari sajak ‘Nyanyian Angsa’ karya WS Rendra. Belakangan para dalang Tegal juga mulai ‘membrontak’ terhadap pakem yang dinilai mengekang kreativitas jagad pewayangan dengan menggunakan bahasa Tegalan.
Kegiatan anda saat ini?
Saya sedang menginventarisasi kosakata dan idiom yang digunakan dalam bahasa Tegal. Sudah ratusan yang terkumpul sampai sekarang belum kelar dan tidak akan selesai. Permasalahannya, perkembangan kosa kata Tegalan itu liar dan ‘dlawèran’ tak pernah mandeg! (*)


CATATAN:
Dikutip dari Harian Pagi Nirmala Post, terbitan pada hari Senin 26 Februari 2007, halaman 1 bersambung pada halaman 7.


Minggu, 21 September 2008

MENGUPAS TUNTAS SAJAK-SAJAK MAUFUR

Sajak-sajak Maufur:

Resep Mandraguna Bagi Calon Pendekar

MENILIK sajak yang ditulis Dr Maufur, sungguh mencerahkan. Isi dan pesan dapat diterima secara legowo dan membersitkan kecerdasan humor yang tinggi. Puisi yang dirulis sosok berotak cerdas yang kini menjabat Wakil Walikota Tegal ini tidak bisa ditemukan di ruang sajak atau rubrik puisi media cetak. Namun kini beberapa sajaknya dapat dibaca di blog begawantegal.blogspot.com.
Keunikannya, puisi Dr Maufur justru bisa ditemukan dalam waktu dan suasana tak terduga. Seperti dalam acara dialog Mukjizat Al Qur’an Ditinjau dari Nilai Sastranya, di Riez Palace Hotel, pekan lalu. Hadirin berdecak kagum ketika Dr Maufur membacakan sebuah puisi tentang bahaya laten yang merasuk dalam diri manusia yang kecanduan rokok.
“Puisi yang kamu baca saya cari-cari di buku puisi Taufiq Ismail tetapi tidak ketemu, eh tak taunya itu puisi karyamu,” kata Dr Maufur menuturkan kegaguman sastrawan Tegal SN Ratmana atas karya dirinya yang notabene ditulis secara sepontan.
Diakuinya, puisi itu dibuat secara sepontan bahkan ditulis di kertas tisue? Sehingga selesai acara dokumentasi berharga itu tak sempat terselamatkan. Beberapa even kegiatan seni budaya di Tegal juga Dr Maufur sering tampil membacakan pusi karyanya yang ditulis secara sepontan.
Seperti sajak ‘Kowen’, ‘Sang Seniman’ dan ‘Seniman Kerempeng’. Tiga sajak itu dibaca Dr Maufur dalam acara bertema ‘Revitalisasi Budaya Masuk Kampung’ di Slerok 2007 lalu.
Kemudian pada acara peluncuran buku ‘Kilas Balik Pilkada 2004-2008’ catatan Lanang Setiawan di Kafe Cosmopolitan, Tegal, Maret 2008 yang diselenggarakan Komunitas Sorlem (Ngingsor Pelem) penyair Tegal Dwi Ery Santoso tampil membacakan puisi karya Dr Maufur berjudul ‘Tegal Seribu Wajah’ (TSW)
Pengejawantahan resep (pesan) yang termuat dalam sajak TSW, jika ditafakuri ternyata cocok buat masyarakat pada umumnya. Boleh disebut sakti mandraguna khususnya bagi ‘calon pendekar’ yang berketetapan hati ingin melanjutkan peningkatan pembangunan di Kota Tegal. Ibarat sesorang mau merangkai sebuah mainan bongkar pasang atau furniture yang knock down, puisi Dr Mufur adalah catatan petunjuk yang dikemas dalam goresan sastra.

Kalau kita melihatnya sepenggal

raut wajah Kota Tegal

maka kita akan gagal

karena jelas kelihatan janggal

Jangan dari luar mengenali sesuatu

nanti permata kelihatan batu

masuklah ke dalam dan menyatu

sungguh Tegal sangat bermutu

pandanglah sekelilingmu dan langsung bertemu

dengan kedalaman ilmu

maka Tegal tidak kelihatan semu

Bagaimana Tegal dapat kau lihat

sementara batin dan mata tidak sehat

bagaimana engkau bermanfaat sementara

engkau hanya pandai mendekat (Hamidin Krazan)

KETERANGAN FOTO: Tampak Wakil Walikota Tegal Dr. Maufur tengah tertawa lepas ketika menyaksikan pembacaan puisi dalam acara HUT Novelis Ken Ratu yang Ke-17 di wilayah Gang TEGAL TEGAL, Slerok, KEcamatan Tegal Timur, Kota Tegal, Rabu 14 Nopember 2007.

Sabtu, 20 September 2008

Artikel Eksitensi Bahasa Tegalan

Impian Dari Pesisir


Adong wis teka waktuné enyong
nyong trima sapa baé blèh perlu
pada miul/apa maning kowen
Blèh susah nangis kebo-kamisesegen
sewaktu kuwé
Enyong kiyé kèwan liar
saka grombolané baé, kesisih
Pan-pora pèlor nembus kulité enyong
nyong tetap ngamuk mbanggel nglabrag......

BAGI yang tidak mengerti bahasa puisi di atas, niscaya akan bertanya-tanya puisi siapakah gerangan sehingga perlu dikutip di awal tulisan ini? Jawabnya, ini adalah bagian dari puisi terkenal berjudul “Aku” karya Chairil Anwar.
Masih bingung? Puisi tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Tegalan, yang sering dianggap sebagai bahasa Jawa pesisir, pinggiran, tersisih sekaligus tak diperhitungkan dalam percaturan bahasa di bumi Nusantara.
Dan justru berangkat dari “cap” seperti itulah, sejumlah penyair kota Tegal mencoba menerjemahkan 12 puisi karya para penyair terkemuka Indonesia, yaitu Chairil Anwar, Taufiq Ismail, Yudhistira ANM Massardi, WS Rendra, F. Rahardi dan Hartojo Andangdjaja. Buku berisi ke-12 puisi yang diberi judul “Roa, Kumpulan Sajak Penyair Indonesia Terjemahan Tegalan” ini diterbitkan (Juni 1994) oleh Mimbar Pengajian Seni Budaya Tegal yang dimotori antara lain Lanang Setiawan. Selain Lanang, sastrawan lainnya yang menerjemahkan puisi di buku tersebut adalah Hartono Ch Surya, Nurhidayat Poso, Nurngudiono, Roffie Dimyati, Suriali Andi Kustomo dan Yono Daryono.
Karena Chairil Anwar sudah meninggal, tak jelas apakah dia setuju puisinya “dirusak” seperti itu Kontak (sekarang berubah jadi Warta Tegal “Porem”), Nurhidayat, cara tersebut ditempuh tak lain untuk mengangkat bahasa Tegal.
Seperti juga umumnya bahasa pesisir, bahasa dari negeri poci ini dikenal luas memiliki banyak kosa kata atau istilah umpatan yang khas, keras, lucu memahami karya sastra terjemahan, terutama puisi, tidak hanya diperlukan kemampuan berbahasa, melainkan juga perlu pengetahuan kebudayaan, sejarah, agama, dan wawasan geografis.
Belum lagi soal estetika atau “aturan” dalam berpuisi. Juga, bukankah bahasa daerah –bahkan seperti bahasa Jawa (Kraton) atau Sunda sekalipun, yang bukan bahasa pesisir- saasekaligus lugu. Karena itulah, salah seorang penyair generasi baru Tegal, Suriali Andi Kustomo mengaku sering terperangah saat menyaksikan penonton teater di kotanya yang gembuyu ngakak bila di atas pentas terdengar bahasa atau logat Jawa Tegalan.
“Pengalaman itu membuat saya berkesimpulan ternyata melihat diri kita (bahasa kita) di panggung begitu asing. Kita tak pernah sadar melakukan dialog keseharian penuh umpatan khas, keras, lucu dan wagu,” tulisnya dalam pengantar buku Roa.
Bahasa Tegal berangkali memang merupakan sesuatu yang “asing” bagi para penuturnya sendiri, termasuk para sastrawan. Sebab, sebagaimana diakui Suriali, ternyata sangat sulit menemukan penulis, pengarang atau penyair di kotanya yang konsisten menggunakan bahasa Ibu mereka dalam karya-karya sastra.
Kalau demikian, untuk apakah puisi para tokoh penyair itu diterjemahkan ke dalam bahasa setempat? Bukankah penerjemahan, terutama karya sastra, selalu merupkan sesuatu yang sangat kompleks karena bukan sekedar menerjemahkan kata-kata atau kalimat, tetapi juga budaya, pikiran, dan bahkan perasaan yang sangat personal.

Estetika
Bahkan penerjemah karya sastra dari Jerman, Berthold Damshauser pernah mengatakan, untuk ini harus berjuang keras untuk pertahankan eksistensinya. Dalam Kongres Bahasa Sunda akhir tahun lalu, tokoh bahasa Sunda Wahyu Wibisana menyinggung makin sempitnya lingkup penggunaan bahasa daerahnya. Untuk saat ini, katanya, bahasa Sunda lebih banyak Dipakai sebagai alat untuk membicarakan aspek pergaulan sosial, bukan bahasa ilmiah.
Pendeknya, adakah manfaat dari usaha “nekad” kelompok Lanang ini? Atau , jangan-jangan keinginan untuk mengangkat bahasa pesisir itu sebagai impian di siang bolong? Tetapi hasil penelitian kecil-kecilan yang dilakukan Nurhidayat memperlihatkan sedikit harapan. Dalam angket yang disebarkan ke sejumlah pembaca, khususnya kalangan masyarakat bawah tentang rubrik berbahasa Tegal, Diketahui bahwa mereka sangat menyukai rubrik tersebut. Alasannya, mudah sekali untuk dicerna oleh pikiran dan (sekaligus) perasaan mereka.
“Dengan demikian, mereka punya sastranya sendiri” ujarnya, sambil menyebutkan bahwa langkah serupa juga dilakukan oleh Harian Pikiran Rakya yang menerbitkan PR edisi Cirebon (menggunakan bahasa daerah setempat, red).
Selanjutnya, salah seorang tokoh seniman Tegal, Woerjanto –yang sudah 40-an tahun mengikuti perkembangan sastra di kotanya melihat langkah Lanang sebagai tanda kepedulian yang amat tinggi terhadap nasib bahasa daerah sendiri. Dia malah menyebutnya sebagai langkah berani yang tak terkirakan dan tak terjangkau oleh pikirannya.
Memang, tahun 1970-an Woerjanto pernah menggunakan bahasa Tegal di radio untuk menjelaskan masalah pendidikan masyarakat. Tapi, sekali lagi, itu adalah bahasa lisan dengan masalah yang relatif ringan. Sebaliknya, dalam diskusi yang cukup intens di kalangan seniman setempat pun, biasanya bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia, meskipun itu adalah “diskusi warung poci”. Yang juga tak boleh dilupakan adalah kenyataan bahwa bahasa pengantar yang dipakai di sekolah setempat –seperti juga di daerah lain- adalah bahasa Indonesia. Namun, melihat mulai banyak sastrawan muda Tegal yang memiliki perhatian terhadap bahasa daerahnya, Woerjanto berharap, suatu saat bahasanya akan mampu menghadirkan ungkapan yang bernilai sastra. tentu saja diakuinya, hal itu butuh proses yang amat panjang.
Sementara itu, Suriali lebih jauh mengingatkan, puisi terjemahan dalam Roa bisa jadi sampah jika upaya itu sekedar cari efek komedikal Tegalan. Lebih-lebih jika upaya itu tak memperhitungkan nuasa dan makna puisinya. Tapi di lain pihak diakuinya bahwa “gerakan” tersebut menjadi teramat penting bagi Tegal untuk menumbuhkan “bahasa Ibu yang kalah” untuk menziarahi kembali bahasa dirinya yang tercerabut, walaupun harus melalui medium atau karya “orang lain”.

Menjadi Picu
“Puisi terjemahan ini menjadi picu sekaligus pembangkit gerakan bahasa yang tak tertuliskan. Dia menumbuhkan “nasionalisme” Tegal tanpa mengesampingkan faktor di luar dirinya” jelas Suriali.
Sementara itu, khusus untuk teater, sutradara Teater RSPD Yono Daryono merasa yakin bahwa bahasa daerahnya bisa dipakai secara maksimal. Lantas dia menyebut pementasannya di Padang beberapa waktu lalu yang banyak menggunakan bahasa Tegal.
“Karena itulah Arifin C Noor menyebutnya sebagai “teater keras kepala”, dalam arti tegar”, tuturnya. Yono melihat, bahasa Indonesia sendiri pun tidak cukup kaya sehingga bahasa daerah manapun bisa memberikan sumbangannya.
Lagi pula, “Kalau wayang golek, wayang kulit, serta pementasan Arifin dan Putu bisa dipahami penonton mancanegara yang juga banyak menggunakan bahasa Ibu atau bahasa Indonesia, mengapa tidak dengan teater RSPD?”
Sementara itu, Nurhidayat mengangkat, secara semangat dirinya setuju terhadap usaha menghidupakan bahasa Tegal. Alasannya, bahasa Indonesia tak bisa menampung semua ungkapan Tegal. Namun dia sendiri masih bertanya-tanya, apakah bahasa daerahnya bisa menampung kekayaan puisi-puisi seperti Rendra atau penyair (berbahasa) Indonesia lainnya.
Padahal, usaha terjemahan ini cuma “salah satu” dari usaha menghidupkan bahasa Tegal, antara lain lewat bidang sastra. Artinya, para sastrawan Negeri Poci ini tentu ingin agar suatu saat semakin banyak diantara mereka yang menulis dalam bahasa daerahnya.
Sebab, seperti kata Suriali, “Menulis dan membaca dengan menggunakan ungkapan dan pengucapan bahasa ibu sendiri, mungkin kikta lebih bisa menemukan diri kita meskipun kelihatan norak, lucu, wagu (aneh) dan ngisin-ngisini (memalukan)
 Syah Sabur

Catatan:
Dikutip dari Harian Umum SUARA PEMBAHARUAN, Rabu, 20 Juli 1994 Th VIII No 2718.





Puisi Rendra Diterjemahkan
dalam Bahasa Tegal



TEGAL, REPUBLIKA
Bagaimana kalau puisi karya penyair terkenal, dialih bahasakan ke dalam bahasa Tegal? Coba simak petikan puisi WS Rendra Nyanyian Angsa.
.............................
Malèkat sing nunggu sorga
rainé mbesengut ala pisan
kambèn nggegem pedang sing
kemerlob nggilani
nuding maring enyong nganti
enyong mengkirig panik
Maria Zaitun arané enyong
tlembuk kapiran kurang ayu radan tuwa....

Puisi aslinya yang dalam bahasa Indonesia, terasa serius dan bahkan seram, dalam bahasa Tegalan ternyata menjadi berkesan menggelikan.
Oleh Lanang Setiawan, salah satu dari sekian banyak penyair muda asal Tegal Jawa Tengah, puisi itu memang diterjemahkan ke dalam bahasa Tegal. Menurutnya, pengalihbahasaan ini dimaksudkan untuk lebih mempopulerkan puisi-puisi karya penyair besar di kalangan masyarakat Tegal.
“Tentunya di samping juga untuk menaikkan harkat dan martabat bahasa Tegal,” katanya kepada Republika minggu yang lalu.
Karya terjemahan puisi-puisi dalam bahasa Tegal ini, awal Juli lalu diluncurkan oleh sekelompol penyair muda Tegal yang menamkan dirinya Mimbar Pengajian Seni Budaya Tegal. Dalam buku tipis berjudul “ROA’ yang hanya setebal 25 halaman ini, puisi-puisi karya Taufif Ismail, Chairil Anwar, Yudhistira ANM Marssadi,WS Rendra. F . Rahardi, dan Hartojo Andandjaya, diterjemahkan ke dalam bahasa Tegal. Hal ini dilakukan oleh beberapa penyair muda Tegal misalnya Lanang Setiawan, Hartono Ch Surya, Nurhidayat Poso, Nurngudiono, Suriali Andi Kustomo dan pengasuh Teater RSPD Yono Daryono.
Bahasa Tegal memang terkenal sebagai bahasa yang dianggap pinggiran, yang oleh orang luar kadang-kadang dianggap konyol dan norak.
Terbukti, beberapa pelawak yang sering menyampaikan ungkakpan dalam bahasa Tegal, hanya untuk memancing tawa pemirsanya. Bahasa Tegal dapat disebut cermin sikap masyarakatnya yang hampir mirip dengan warga Banyumas bertemperamen kasar, lugas, dan polos. Kesan itu dapat kita tangkap jika memperhatikan percakapan di warteg.
Seorang pengamat kesenian Tegal yang sudah bergelut dengan kesenian Tegal puluhan tahun Woerjanto, menilai langkah para seniman muda ini patut dihargai. Langkah yang dianggapnya cukup berani itu, merupakan kegiatan berkarya yang layak dikembangkan. “Dari langkah awal ini, diharapkan akan lahir karya-karya asli puisi Tegalan yang mampu memberi arti positif bagi tanah kelahirannya.” katanya
 Wid

Catatan: Dikutip dari Harian Umum REPUBLIKA, Minggu 7 Agustus 1994, halaman I.





Bahasa Tegal pun Mampu Menghujat

Rayat kuwé enyong kowen kabèh
pirang-pirang juta sing kedebugan
nyambut gawé
neng dunya neng panggonan sing
disenengi
pirang-pirang juta nggoyang tangan
bareng
mbabad alas-alas alang-alang dadi
kebon-kebon
sing ngembang........

DIALEK Tegal sebagai bahasa ungkap, memang sesuatu yang sangat langka. Lebih-lebih dijadikan wahana untuk menyampaikan bahasa terjemahan dalam jagad perpuisian, itu sangat tak terbayangkan. Sebab Bahasa Tegalan yang kerapkali dicap sebagai Bahasa Jawa pesisiran, nyleneh dan barangkali tersisih dari khasanah kesusastraan Indonesia, cuma dijadikan sebagai bahan guyonan. Akan tetapi inilah kenyataan bahwa ditangan para seniman Tegal, bahasa “ibu”-nya justru dijadikan bahasa ungkap untuk menterjemahkan beberapa puisi milih penyair Indonesia yang sudah kita kenal. Itu bisa kita lihatdari cuplikan terjemahan puisi “Rakyat” karya Hartojo Andangdjaja yang diterjemahkan Yono Daryono dengan judul “Rakyat”.
Langkah pertama penerjemahan Tegalan ini ketika Lanang Setiawan memulai menerjemahkan puisi karya Chairil Anwar berjudul “Aku” jadi “Enyong”, “Doa” jadi “Donga”, dan “Nyanyian Angsa” karya Rendra jadi “Tembangan Banyak” di dalam Lembaran Tegal “Kontak” yang dimotori SL. Gaharu, Hartono Ch Surya dan Lanang Setiawan.
Lebih dari sekadar sebagai bahasa ungkap, keinginan para seniman Tegal dan terutama Lanang Setiawan selaku pelopor terjemahan, yaitu agar bahasa Tegalan tidak selalu dilecehkan sebagaimana yang dilakukan beberapa “oknum” pelawak di tive-tive. Sebab sesungguhnya Bahasa Tegalan bukanlah sebagai bahasa komedikal, melainkan mampu juga untuk mengungkapkan segala perasaan. Kecuali itu, upaya terjemahan puisi kedalam Bahasa Tegalan dikandung maksud agar masyarakat Tegal bisa memahami puisi-puisi Chairil Anwar, Rendra dan lainnya. Dengan demikian masyarakat memiliki sastranya sendiri sebagaimana yang telah pernah dilakukan oleh masyarakat Sunda.
Barangkali dari situ, tanggal 28 Juli lalu di Teater Arena Taman Budaya Surakarta (TBS), sederet sajak-sajak terjemahan yang terkumpul dalam buku berjudul “ROA, Kumpulan Sajak Penyair Indonesia Terjemahan Tegalan” terbitan Mimbar Pengajian Seni Budaya Tegal (MPSBT) Juli 1994, digelar sebagai fenomena baru bagi masyarakat Surakarta. Sajak-sajak yang dibacakan meliputi: “Tembangan Banyak” terjemahan Lanang Setiawan dari puisi “Nyanyian Angsa” karya Rendra, “Balèkna Indonesia Mènèh” terjemahan Hartono Ch Surya dari puisi “Kembalikan Indonesia Padaku” karya Taufiq Ismail, “Rakyat” karya Hartojo Andangdjaja terjemahan Yono Daryono, “Rick sing Corona” terjemahan Roffie Dimyati dari sajak “Rick Dari Corona” karya Rendra, dan sajak “Sajak Wong Tuwa Tikruk-tikruk Soal Bandung Segara Geni”
terjemahan Nurngudiono dari sajak “Seorang Tua Tentang Bandung Lautan Api” karya Rendra dan beberapa sajak F. Rahardi terjemahan Nurhidayat Poso.
Kecuali pembacaan puisi tersebut, menampilkan juga seorang monolog Abidin Abror membawakan karya Ida S berjudul “Abab”, bercerita tentang tukang jual obat yang pada akhirnya mampus karena terjerat kata-katanya sendiri.
Sepanjang pementasan satu setengah jam, rata-rata penampil cukup mampu memberikan suasana penekanan-penekanan pada karakter puisi yang mereka bawakan. Artinya ketika kandungan isipuisi itu harus disajikan dengan serius, merekapun sanggup mengungkapkan dengan sebaik mungkin. Hal ini dapat dilihat ketika Nurngudiono membawakan “Sajak Wong Tuwa Tikruk-tikruk Soal Bandung Segara Geni”, Ridwan Rumaeni membacakan puisi “Balèkna Indonesia Mènèh” dan pula ketika Bramanti S Riyadi membacakan “Tembangan Banyak” suasana serius, kenestapaan, dan getaran-getaran yang terasa menciptakan kesenyapan dalam kegetiran karakter tokoh Maria Zaitun dalam puisi tersebut. Atau ketika Dhenok harti yang berpasangan dengan M. Enthieh Mudakir membawakan “Rick Sing Corona”, suasana guyon, ganjen, nyleneh, sesekali ungkapan jorok dan wagu yang dibutuhkan pada kandungan puisi itu, pengunjung dibuatnya terpingkal-pingkal. Begitu pula ketika Abidin Abror menyuguhkan monolog “Abab”, suasana yang sama sangat terjaga mewarnai malam pertunjukan.
Pada akhirnya, Bahasa Tegalan itu tidak selamanya cuma sekadar dijadikan bahan lawakan, tapi Bahasa Tegalan cukup mampu menempatkan dimana situasi yang ada dan pada kondisi yang bagaimana. Bahasa Tegalan pendekata pleksibel.

Majikan umah tlembukan
ngomong kambèn dèwèké:
“Wis rong minggu kowen mung
bisané ngatang-ngatang
tur larané tambah ndadi-dadi
ora ngasilna pisan
malah kowen karo aku utangé njeblug
kiyé nggawé mlarat tok
ngentong-ngentongna beras bibit
aku ora sanggup
saiki raimu lunga, mèrad kana”
............................

Adakah ungkapan yang ada dalam sajak terjemahan “Tembangan Banyak” di atas berkesan guyon? Sama sekali tak ada kesan bermain-main. Kalau toh pendengar atau pemerhati sastra merasa uangkapan itu memancing ketawa, barangkali
mereka itu belumlah mengerti Bahasa Tegalan. Ungkapan tersebut sebenarnya hanya begitu polos, lepas dan sedikit kurangajar. Dan justru dari sinilah uniknya Bahasa Tegalan yang sangat jarang kita jumpai pada dialek daerah lokal yang lain. Tapi yang terpenting, bukan masalah bahasanya yang harus kita ributkan, melainkan bahwa wong Tegal telah melangkah dengan berani dan memberikan sebuah fenomena di dalam khasanah kesustraaan nasional
 Roro Endang Sukmawati

Catatan:
Dikutip dari Harian Umum PELITA, Minggu 18 September 1994/12 Rabiul Akhir 1415 H.





Pentas Sastra Tegalan” di Indramayu
Kegelisahan Sosial Dalam Warna Lokal

RENDRA berdiri di tengah-tengah saung, belakang Pendopo Pemda Indramayu. Sorot lampu hanya tertuju kepadanya dalam cahaya merah, kuning, dan jingga. Selebihnya hitam dan hitam. Dan kebeningan malam bertambah oleh gemericik air yang mengucur dari cadas taman. Tiba-tiba suara tandas meluncur dari bibirnya. Meluncur dan mengalir, menerjang dan menggelegar!

.......................
Jam duabelas siang hari
matahari terik di bawah langit
tak ada angin, tak ada mega
Maria Zaitun keluar dari rumah pelacuran
tanpa koper
tak ada lagi miliknya
teman-temannya membuang muka
sempoyongan ia berjalan
badanya demam
sipilis membakar tubuhnya
penuh borok diklangkangan
di leher, di ketiak dan di susunya.....

Puisi di atas sebuah penggalan dari sajak Rendra berjudul “Nyanyian Angsa”. Tapi ditangan Lanang Setiawan menjadi :

..................
Jam rolas awan
srengèngèné panas ngentak-entak
laka angin laka awan
Maria Zaitun ngloyor nggendong pejaratan
metu sing umah tlembukan

Kanca-kancané nglengos pada ngina
gentoyoran dèwèké ngglandang
nyangga awaké sing lagi lara
kena rajasinga sing ora mung
nang plakangan tapiné ana
nang gulu ana nang kèlèk
lan ana nang susuné.....

Lewat puisi “Nyanyian Angsa” Rendra seolah menjungkirkan sikap yang digenggam kelompok masyarakat tertentu, yang dipandang terhormat. Dan Rendra ternyata tidaklah mengada-ada. Lewat matanya yang jeli ia memotret kondisi sosial sekitaranya, yang ternyata telah demikian jauh dari rasa “kemanusiaan”.
Balada seorang pelacur yang sudah uzur, renta dan penyakitan, yang tentu saja terjerumus sekian “dosa” dengan kental diungkap Rendra. Ironinya, Maria Zaitun (nama pelacur itu) telah tersingkir dari kelompoknya. Apalagi di luar komunitasnya. Masyarakat tak menerimanya, dokter menyingkirkannya, bahkan Pastor pun menjauhinya.


.........................
“Kowen pan perlu apa?”
mbak sripit, mambu inungan anggur
saka cangkemé
slèmpangé saka kulit baya
Maria Zaitun njawab:
“Pan ngaku dosa”
“Kiyé dudu jam ngomong
kiyé waktuné aku dedonga”
“Enyong pan mati”
“Kowen lara?”
“Yaul, enyong penyakiten
kena rajasinga”
Krungu sing kaya kuwé
pastor mundur rong langkah
rainé mengkered
akhiré rada kèder, dèwèké nyrocos maning:
“Apa kowen - mm – bocah nakal?”
“Dudu. Enyong tlembuk, ya”
...........................................

Akan tetapi di malam panjang itu (28/1) ternyata Rendra tidaklah tampil seutuhnya. Raganya terwakili dan menitis dalam diri aktris Teater Puber, Dhenock Harti. Dan puisinya pun telah berganti wujud dalam bahasa Jawa “Tegalan” yang berjudul “Tembangan Banyak” yang diterjemahkan Lanang Setiawan.
Gugatan Rendra yang diproses oleh Dhenok dan Lanang ternyata mampu menyedot perhatian apresiator. Apalagi Dhenock memperlengkapi dirinya dengan pernik-pernik yang terasa pas banget: celana ketat, baju you can see, make up dan gincu yang mencolok, sebatang rokok. Gambaran fisik ini makin dipertegas dengan puisi yang diterjemahkan, yang dalam Bahasa Tegalan terdengar cukup vulgar.
Kata tlembuk (pelacur), nyipoki (mencium), wuda (telanjang) diterjemahkan dan diucapkan tanpa tedeng aling-aling. Menggema, sangat menggema, di malam bening belakang pendopo. Tak pelak spontanitas publik pun bersahut dengan bersuit-suit hingga nyenggaki.
Impresi yang demikian kuat dalam puisi bisa jadi telah lama menggendap dalam area tertentu. Bahkan mungkin telah menjadi kegelisahan-kegelisahan yang bertumpang-tindih dengan persoalan-persoalan baru, yang pada tahap berikutnya menjadi kegelisahan sosial. Bukan lagi individual ataupun interpersonal.
Potret buram yang disodorkan ini ternyata telah lama menjadi panorama yang kasatmata. Maka kegelisahan pun makin melimbungkan, bahkan lebih dari itu meneriakkan gugatan. Dan penyair memang menggugat. Bahkan gugatan lewat puisi itu sebenarnya bernilai paradoksal. Maka beramai-ramailah para penyair, penerjemah puisi, dalang, dramawan, dan aktor monolog Tegal berteriak-teriak, Ki Bagdja, dalang Tutur Tegalan, bermain “politik” dengan menggoyang kemapanan Kerajaan Singosari lewat lakon “Anusapati” karya Lanang Setiawan. “....bangkèné mau dibuang kang adoh, rèoook bleng. Bablas.....”, serunya.
Dramawan Nurngudiono bahkan dengan kesengajaan penuh membuat reportase tentang situasi lingkungan di sebuah Desa di Tegal, yang oleh karena kebijakan yang tak dimengerti, kesengsaraanlah yang diperoleh warga desa tersebut.
“Bayangkan, untuk buang hajat besar, penduduk mesti ke tempat WC umum yang jauhnya sekitar 500 meter,” kata Nur dalam pengantarnya. Dan bisa jadi monolog yang ia bawakan dari sepenggal drama “Jobong” merupakan reportase yang tak pernah diberitakan.
Kegelisahan, kepedihan, dan nuansa gugatan inilah yang pada akhirnya menjadi perspektif yang muncul dalam “Pentas Sastra Tegalan” di Kota Mangga. Dan kalau pun publik Indramayu merasa “diteror” dengan realitas ini, tak lebih disebabkan kesamaan “nasib” yang melingkupi.
Apalagi dilema sosial yang tengah mencuat, yakni pelacuran dengan jitu pula diungkap Abidin Abror. Lewat karya “Kandang Bèbèk Mambu Bèbèk”, aktor monolog itu menelanjangi dengan seksama dunia hitam tersebut. Dan pengungkapan ini menjadi demikian relevan ketika dihadapkan di Indramayu. Di wilayah yang selama ini memiliki citra negatif akan maraknya dunia pelacuran. Akan fenomena sulitnya pemberantasan terhadap keberadaan dunia hitam tersebut. Yang ternyata, konon antara lain, banyak oknum pejabat dan tentara yang menjadi backing-nya.
Warna lokal inilah, selain juga Bahasa Tegal memiliki banyak kemiripan dengan Bahasa di Indramayu, demikian menggelembung untuk selanjutnya menjadi suatu keindahan tersendiri. Terasa betapa wilayah ungkap kesastraan bisa bebas menukik ke bawah, melambung ke atas, dan menghantam kemapanan dengan garang.
Dan para aktivis sastra Tegal telah demikian manis menggedor-gedor urat nadi Kota Indramayu, di malam Minggu tersebut. Seperti juga kemenawanan penyair gaek Widjati, dengan pembacaan (lebih tepatnya pengucapan, karena beliau sangat hafal akan seluruh karyanya) beberapa puisinya. Ya, malam itu kakek Widjati ternyata demikian arif mengajarkan bagaimana menjadi seorang penyair. Mengalir, mengalir saja
 Supali Kasim




Catatan:
Dikutip dari Pikiran Rakyat edisi Cirebon, Cirebon/Bandung - Minggu II Februari 1995/Ramadhan 1415 H Puasa 1927 Halaman 7.