Senin, 29 Juni 2009

PENYAIR DILARANG BACA SAJAK


Moch. Hadi Utomo – Budayawan:
Para Penyair Dilayang Baca Sajaknya Sendiri

DALAM era industri kreatif, sudah saatnya para penyair tidak saja menerbitkan antologi puisi. Tapi di era semacam itu, hendaknya mereka memproduksi karyanya dalam bentuk digital berupa CD atau VCD.
Budayawan Moch. Hadi Utomo mengungkapkan hal itu mengingat upaya para penyair menerbitkan antologi pun belum tentu laku. Satu-satunya upaya yang harus direbut dengan kemasan yang lebih praktis.
“Upaya para penyair menerbitkan antologi puisi pun belum tentu laku. para seniman seharusnya memanfaatkan iklim yang sudah dikondisikan oleh pemerintah. Mereka sudah saatnya memasuki dunia itu,” tandasnya.
Hadi mencontohkan, karya seni kriya atau kerajinan batik misalnya, sudah menyadari arti penting dunia digital. Karena dalam dunia yang serba praktis ini, promosi lewat VCD lebih menjangkau masyarakat luas. Demikian juga pada sebuah karya novel jauh-jauh sudah melesat menembus dunia film. Sebut saja novel-novel best seller seperti Gita Cinta Dari SMA karya Eddy D. Iskandar, Arjuna Mencari Cinta karya Yudhistira ANM Massardi, Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih karya Habibburahman El Shirazy, dan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.
Dengan cara mempromosikan karya puisi dalam bentuk CD atau VCD, maka sayap apresiasi masyarakat terhadap dunia puisi jadi semakin melebar. Orang mau mengerti bagaimana karya Rendra makin dikenal masyarakat, tidak cukup hanya melalui antologi puisi namun dia telah membuktikannya lewat Sajak-sajak Cinta-nya yang dipita-kasetkan.
“Misalkan, orang mau dengar suara penyair Apito Lahire, apakah kita harus menunggu dia pentas. Tentu perlu dicarikan format yang lebih praktis dengan jalannya ya seperti itu tadi, di buatkan CD atau bila perlu VCD,” katanya.
Lebih jauh Hadi mengatakan, untuk menarik pasar, perlu mengundang atau melibatkan para bintang dan sudah tentu para sineas yang ahli dalam bidangnya. “Penyair tidak harus membaca puisinya sendiri, karena sudah ada Poetry Reader dengan penampilan bagus punya daya tarik. Dan ini sudah dibuktikan oleh Bupati Tegal Agus Riyanto, dia bukan penyair tapi saat dia membaca puisi begitu memikat,” katanya.
Untuk upaya semacam itu, Hadi memberi kiat, hendaknya dewan kesenian dimana pun, perlu ada Komite Seni Pertunjukkan, maupun Komite Produksi Seni (LS)

INTAN ZULAEKHA AKAN BACA PUISI SAMPAI KAPAN PUN


Intan Zulaekha
Sampai Kapan Pun Saya akan Baca Puisi

BUAH jatuh tak jauh dari pohonnya, kira-kira seperti itulah perumpamaan yang tepat ditujukan buat Intan Zulaekha S.Sos. Ibu guru matematika dan sempoa SMP Plus NU 01 Penawaja, Kajen Talang ini, darah seni yang mengalir pada dirinya tak lain berasal dari ayahnya, KH. A. Aziz Fadil. Pada masa mudanya hingga di usia 71 tahun, bapak Intan terbilang masih aos saat tampil di panggung baca puisi.
Tak beda dengan bapaknya, Intan pun memiliki daya sentak. Di atas panggung dia bah banteng ketaton, menghentak, melolong, dan meluap-luap dengan vokalnya yang lantang. Penjiwaannya kuat, pemenggalan kata demi kata pada bait puisi yang dia baca dipilahnya dengan cermat, membuat penonton terpaku untuk tetap menyimak sebelum dia usai membacakan sajaknya. Itulah kesan membekas ketika harian Nirmala Post menikmati suguhan hiburan baca puisi yang dia bawakannya saat acara selingan pada Lomba Baca Puisi Baja Membara IX di Aula SMP Plus NU 01 Penawaja, Kajen Talang, Sabtu (27/6) lalu.
“Saya suka baca puisi karena hobi. Mungkin darah seni saya mengalir dari ayah,” aku Intan yang dibenarkan oleh bapaknya.
Menurut bapaknya, sejak Intan masih duduk dibangku SD tak bosan-bosannya mengikuti berbagai lomba baca puisi. Di mana saja ada lomba, dia kejar meski upaya meraih kejuaraan selalu gagal, Intan Zulaekha tak mau putus asa. Ia tetap meradang, menggelora, dan menyalak-nyalak dalam setiap panggung lomba.
“Anak saya yang ke empat ini, memang punya kemaun keras dan tak mau putus asa,” kenang Aziz.
Karena kekerasannya itu, Intan mulai diperhitungkan. Pada tahun 1997 ia meraih juara I Putri Lomba Baca Puisi dalam rangka Perkemahan V dan Porseni IV LP Ma’arif NU se-Kabupaten Tegal, pada tahun 1998 ia kembali menggondol juara II dalam LBP Porseni SMP/MTs se-Kabupaten Tegal, juara I LBP Baja Membara Cu VIII tahun 2007, juara I LBP dalam rangka HUT RI ke-51 tingkat Desa Kajen, dan yang paling prestisius adalah ketika di Batang PPNU menyelenggarakan baca puisi se-Jawa Tengah, Intan merebut juara II tahun 1999.
“Sampai kapan pun saya akan baca puisi. Karena baca puisi itu tak kenal usia, seperti bapak, meski beliau sudah sepuh, tetap saja baca puisi,” pungkasnya (LS)

Minggu, 28 Juni 2009

KH. A. AZIZ FADIL


KH. A. Aziz Fadil
Menulis Puisi Karena Pengeran


USIANYA
yang sudah beranjak 71 tahun lebih, tak mampu menghentikan kegiatannya sebagai seorang penulis, penggiat sastra, dan pembaca puisi yang masih tangguh. Itulah KH. A. Aziz Fadil warga Desa Kajen Kecamatan Talang, yang senantiasa bergerak dalam aktivitas positif untuk kemajuan khazanah sastra dan agama.
Aziz lahir di Tebuireng, Jombang, Robiul Awal 1358 H atau 1 Mei 1938 M. Ilmunya yang diperoleh selama nyantri di Pondork Moderen Gontor dimanfaatkan untuk Taman Pendidikan Ahlussnnah wal jamaah yang terkenal dengan nama Peerguruan Taman Penawaja di Kabupaten Tegal. Didirikannya pada tahun 1989, memiliki pendidikan formal SD, SMP, MTs dan SMA. Sedang pendidikan non formal KBIH, PMBA Sempoa dan usaha penerbitan.
Sebagai penulis, Aziz telah melahirkan antologi puisi Baja Membara yang saat ini sudah tiga kali naik cetak. Sebagai penggiat sastra, dia telah menyelenggarakan lomba baca puisi hingga 9 kali. Sebuah prestasi bukan main-main yang patut diacungi jempol karena lomba semacam itu jarang sekali dilakukan secara konsisten oleh komunitas manapun di wilayah Tegal. Tapi oleh orang seusia dia, gerakan kebudayaan itu dilanggengkan tiap 2 tahun atau paling lambat 3 tahun sekali. “Saya ingin menyemarakan khazanah sastra nasional lewat baca puisi,” tukas Aziz, Sabtu (27/6) kemarin usai dia membacakan puisinya berjudul Rindu, saat membuka Lomba Baca Puisi Baja Membara di Aula SMP Plus NU 01 Penawaja, Kajen Talang.
Aziz mengaku, menulis puisi tidak harus ngoyo. Baginya, sebuah proses penciptaan puisi butuh pengendapan dan perenungan. “Karya puisi itu bukan produk dari sebuah pabrik. Saya tidak ngoyo mencipta puisi sehingga tidak jadi beban,” tandasnya.
Sebagai pembaca puisi, dia pun begitu. Tidak selalu tampil di sembarang acara, karena saat dia tampil menuruti gerak hatinya, dan itu pun khusus pada momen-momen tertentu saja. Satu contoh di acara lomba baca puisi Baja Membara IX, dia tampil, dan pada acara penting lainnya seperti saat Deklarasi Lembaga Swadaya Peduli Pendidikan Indonesia (LSPPI) di Slawi. “Yang menggerakan saya menulis puisi Pengeran disamping panggilan hati. Juga saat saya membaca puisi,” katanya.
Yang dimaksud Pengeran adalah Gusti Allah SWT yang baginya menjadi gantungan hidup dan penghidupannya. Termasuk dalam proses mencipta puisi, Aziz menyandarkan pada panggilan hati yang digerakan oleh Pengeran.
Selain puisi, beberapa buku agama yang ditulis Aziz diantaranya Islam Menuju Dunia Yang Diridloi Tuhan, Sejarah Islam I dan II, Bimbingan Ibadah Haji dan Umroh, do’a Keluarga Besar Penawaja, Tajwidul Qur’an, Sejarah Haji di Baitullah, dan Himpunan Do’a Ibadah Haji (LS)








MASHOERI DAHLAN MENGHARGAI WAKTU



Gambar atas Mashoeri Dahlan sebagai Wakil Ketua DPRD Kabupaten tegal. Mashoeri saat diwawancarai Hamidin Krazan di Lembah Agro miliknya (Foto : Lanang Setiawan)


KRT Drs H Mashoeri D Adi Nagoro MBA, MM
Hidup Sukses dengan Kerja Keras dan Disiplin Waktu

Oleh: Ekadila Kurniawan dan Lanang Setiawan

MEMILIKI kemauan bekerja keras dan disiplin terhadap waktu. Itulah dua pengalaman penting yang diperoleh Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Drs H Mashoeri D Adi Nagoro MBA, MM ketika melaksanakan kursus singkat pembangunan pedesaan ke Negeri Taiwan tahun 1994-an.
Menurutnya, orang-orang di Negeri Cina Daratan tersebut tidak punya etos kerja, tetapi memiliki semangat atau spirit yang tinggi bekerja keras (hard work) serta kedisiplinan terhadap waktu. “Itulah sebabnya mengapa mereka banyak yang sukses menempuh hidupnya. Berbeda dengan bangsa kita, orang-orang kita yang memiliki etos kerja, tetapi tidak memiliki kemauan kerja keras yang tinggi,” ujarnya, Jumat (26/6) lalu di kediamannya.
Etos kerja yang ia maksud seperti visi misi Trisanja diantaranya Hari ini Lebih Baik dari Hari Kemarin, tetapi pada kenyataannya dari dulu sampai sekarang sama saja. Ia mengambil contoh soal kedisiplinan dalam berlalu lintas. Di Taiwan, Cina, Eropa maupun di negeri tetangga, Singapura, Malaysia, katanya, yang namanya disipilin berlalui lintas luar biasa. “Disana tidak ada orang parkir kendaraan secara sembarangan, sehingga tidak ada kemacetan samasekali,” tuturnya.
Dalam budaya antre, juga demikian. Ia bahkan sampai kagum. “Pernah saya lihat antrean sepanjang 100 meter di Singapura, dan saya coba untuk jalan melintasi mereka, dilihatin sampai saya malu sendiri. Jadi kedisiplinan mereka luar biasa,” kisahnya.
Soal kedisiplinan waktu dan kerja keras itu juga sesuai dengan ajaran Islam. “Seperti Sholat tepat waktu pahalanya lebih banyak daripada sholat yang telat waktu, dalam surat Al Asyr juga sangat dianjurkan oleh Allah untuk memanfaatkan waktu dengan baik” bebernya.
Maka, ia selama ini selalu menerapkan kedisipilinan dalam segala hal. Mulai dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, agenda telah terporgram sebelumnya, hingga tidak ada waktu terbuang secara percuma. Disamping sesuai ajaran agama Islam, ia belajar disiplin waktu dari orangtua yang tidak senang melihat anaknya atau orang lain nganggur, diam, dan tidur siang. “Dari situ saya termotivasi kerja. Setelah ke Taiwan motivasi kian bertambah,” ungkapnya.
Semasa mengabdi sebagai Camat Bantarkawung dan Camat Larangan Brebes apabila melihat anak buahnya tidak disiplin, tidak sungkan langsung ditegur, sekalipun terlambat satu menit. “Bangsa yang maju adalah yang selalu on time, punya managing time dan punya kemauan bekerja keras,” tandasnya lagi.

Pola Hidup Sehat
Kini, ia setelah pensiun dari pegawai negeri, mengabdi jadi Wakil Ketua DPRD Kabupaten Tegal periode 2004-2009. Namun menilik jejak karir politik suami Hj Noer Budiarti ini masuk ke kantor parlemen semata untuk mengembangkan ilmu,bukan mencari nafkah. Ia menguaraikan sebuah hadist yang jadi pedoman hidupnya yang berbunyi, “Manusia sebetulnya rusak, kecuali orang berilmu. Orang berilmu pun rusak, kecuali diamalkan, kalau diamalkan tapi tetap rusak, kalau tidak ikhlas.”
Setelah hayati hadis tersebut, maka ia upayakan untuk tetap bersikap bersih dalam menjalankan amanat rakyat, maupun semasa menjadi PNS. “Selama 7 tahun di Kabag Pembangunan, dan 5 tahun di DPRD alhamdulillah nggak ada masalah apa-apa menimpa saya. Kehidupan saya juga begini-begini saja, ada mobil bagus, itu titipan dinas,” terangnya.
Kehadirannya di gedung parlemen seolah memberi contoh kepada anggota lainnya baik dalam berdisiplin waktu, maupun mejalankan amanat rakyat secara profesional.
Di tengah kesibukan di dewan, Mashoeri masih disibukkan di berbagai keorganisasian yang dipimpinnya, seperti Ketua Yayasan Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Slawi 1998-2006, Ketua Yayasan Agrobisnis Indonesia Canag Tegal 2008, Ketua Yayasan Pendidikan Bhakti Praja Kabupaten Tegal tahun 2002-2006, Ketua HIPPRADA Cabang Kabupaten Tegal tahun 2008-2013, Ketua DPD II Partai Golkar 1998-2004,
Disamping itu, di keroganisasian lainnya, ia pernah melakoninya sebagai Ketua Yayasan Amal Umat Islam (Yaumi) 1996-1999, Gabungan Usaha Perbankan Pendidikan Islam tahun 1981-1986, Wakil Ketua KONI Kabupaten Tegal tahun 1998, dan Wakil Ketua DPD II Ampi Kabupaten Tegal tahun 1978-1983. Sementara di organisasi politik pernah menjabat bagian Litbang, Bendahara, Wakil Ketua DPD II PartaiGolkar dua periode dan puncaknya Ketua DPD II Partai Golkar Kabupaten Tegal 1998-2004.
Seabrek aktivitas kerja yang begitu banyak, peraih penghargaan Karya Satya Kelas III dari Presiden RI tahun 1992 punya resep rajin berolahraga fitness dan bersepeda dua kali seminggu. Lalu merujuk pada Kitab Duratun Nasihin, ia menerapkan 4 perkara pola hidup sehat, yakni makan apel di waktu fajar, mandi di air mengalir, tidur di atas pinggunl kiri, dan baca buku Hidup Baru di Umur 40 Tahun. Selain itu, ia pantang makan daging ayam. “Kenapa saya tidak makan daging ayam, karena ayam ketika disembelih itu mengeluarkan racun di dalam tubuhnya, apabila kita makan daging ayam yang digoreng sekalipun dicampur sayur, tetap masih ada racunnya, maka saya tidak pernah makan daging ayam. Itu terbukti dari nenek saya, tetap sehat sampai berusia 105 tahun. Setelah saya tanya, beliu bilang tidak pernah makan daging ayam. Lalu ibu saya usianya sudah 82 tahun tapi masih bisa menonton tv tanpa pakai kacamata,” tutur pria yang sudah meraih penghargaan sedikitnya 50 buah.
Yang terbaru, ia mendapat kekancingan atau penganugrahan Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) dari Keraton Surakarta Hadiniungrat tahun 2008. Maka bertambah panjanglah nama lengkapnya, KRT Drs H Mashoeri D Adi Nagoro MBA, MM.

Ingin Kembangkan Sektor Keagamaan
Pendidikan dan Pertanian

HANYA tinggal menghitung bulan, KRT Drs H Mashoeri D Hadi Adi Nagoro MBA, MM purna tugas jadi anggota dewan periode 2004-2009. Sikap, perilakunya yang santun dan sederhana tetap terpancar. Lantas apa rencana setelah tidak lagi menjadi anggota dewan? Mantan Ketua Bappeda Kabupaten Dati II Kabupaten Tegal ini akan menjalankan tiga perkara untuk kemaslahatan umat, yakni dalam bidang pendidikan, keagamaan dan pertanian.
Ia menuturkan waktu naik haji ke Tanah Suci Mekah yang ketiga kalinya tahun 2006 memohon kepada Allah Swt untuk ikut membantu para kiai, dai dan ulama untuk bersama-sama kembali menempatkan agama Islam pada agama yang sebenarnya. “Saya ingin punya ilmu yang bisa menyembuhkan orang, sehingga mereka setelah sembuh dari penyakit ikut dalam pengajian ataupun diskusi ilmiah saya di Lembah Argo, wilayah Karangjambu, Balapulang, sebuah tempat yang menurut hikayat tempat pertemuan para wali,” jelasnya.
Kemudian di bidang pendidikan, ia bergerak sebagai Ketua Yayasan Bhakti Praja yang mengelola 10 sekolah dari SMP-SMA, Ketua Yayasan Pusat Pendidikan dan Pengembangan Islam Ki Gede Sebayu yang sekarang punya Perguruan Tinggi Agama Islam Bhakti Negara, Slawi yang juga ada kaitannya dengan pengembangan agara Islam juga. Selain itu ia ditunjuk sebagai Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta se-Kabupaten Tegal, di kepramukaan, ia ditunjuk sebagai Ketua Himpunan Pandu dan Pramuka Wreda Cabang Kabupaten Tegal. “Disana saya ingin membangun SDM yang bermartabat dan bermanfat sebagai contoh pada anak-anak pramuka sekarang ini,” ujarnya.
Sektor ketiga yang ingin ia kembangkan, yakni pertanian. Ia yang menjabat sebagai Ketua Yayasan Agribisnis Cabang Kabupaten Tegal akan mengembangkan agribisnis kepada orang-orang yang ikut diskusi agama dan ilmiah di Lembah Agro, miliknya. “Dilembah argo kita bisa belajar obat-obatan tradisional, sebagai agrowisata, agro husada sekaligus agro kerohanian,” paparnya. Disana pula konon katanya, ada air tuk petilasan Syeh Maulana Maghribi yang ampuh menyembuhkan penyakit dengan membasuhnya dan baca surat Al Fatihah.
Saat ini, imbuhnya, kegiatan diskusi agama dan ilmiah sudah berjalan. Kendati hanya lima orang yang rutin datang untuk diskusi, tetapi penuh manfaat. Ia yang pernah belajar pengobatan tenaga prana, dapat pula disalurkan untuk menyembuhkan orang-orang yang terkena berbagai penyakit, sesuai keinginannya



BIODATA

Nama : KRT Drs H Mashoeri D Adi Nagoro MBA, MM
Tempat Tanggal Lahir : Brebes, 11 April 1942
Istri : Hj Noer Budiarti
Anak : Tangguh M, RA Rasojo, Indra P, Niken DP SE,
Agama : Islam
Alamat : Jalan Raya Tegalwangi No 5 RT 8/RW III Desa Tegalwangi, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal

Jabatan :
Mantri Polisi PP Bulakamba Tahun 1967-1968, Camat Bantarkawung, Brebes Tahun 1970-1971, Camat Larangan Brebes Tahun 1971-1974, Kasubait Kesra Kotamadya Tegal tahun 1977-1978, Pembantu Bupati Tegal untuk Adiwerna tahun 1978-1879, Kabag Kesra Kabupaten Tegal tahun 1979-1983, Kabag Pembangunan Kabupaten Tegal tahun 1983-1990, Ketua Bapeda Kabupaten Dati II Tegal tahun 1990-1998, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Tegal Periode 2004-2009.

Pendidikan :
SR Negeri Berebes Lulus Tahun 1995, SMP Negeri Brebes Lulus Tahun 1959, SMA Negeri Tegal Lulus Tahun 1963, KDC Semarang Lulus tahun 1965, APDN Semarang Lulus tahun 1970, IIP Jakarta Tahun 1976, Liecester University Semarang 1993, STIE MI Program MM Yogyakarta tahun 1998.

Penghargaan :
Lencana Pancakarsa III Pramuka dari Kwarnas Pramuka tahun 1987 , Satya Lencana Karya Satya Kelas III dari Presiden RI tahun 1992, Lencana Pancakarsa VI Pramuka dari Kwarnas Pramuka tahun 2003, Piagam Penghargaan Anggota PPD II oleh Menteri Dalam Negeri tahun 1992, Penghargaan Penyelengara Rencana Induk Penel 2 Pembangunan Ekonomi Jateng oleh Depdikbud tahun 1997, KRT oleh Keraton Surakarta Hadiningrat tahun 2008.

Kunjungan ke Luar Negeri :
Memimpin Kloter Haji Indonesia tahun 1981 ke Arab Saudi, Wisuda Pasca Sarjana (MBA) tahun 1993 ke Singapura, Kursus Singkat Pembangunan Pedesaan tahun 1994 di Taiwan, Kursus Singkat Pembanguna Perkotaan tahun 1995 ke Eropa, Kunjungan Kerja tahun 1997 ke Singapura, Malaysia, Ibadah Haji tahun 2006 ke Arab Saudi, Study Banding ke China tahun 2007.

Organisasi :
Ketua Sub Unit KORPRI 1976-1998, Ketua Kwarcab Gerakan Pramuka 1979-1993, Ketua Yayasan Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Slawi 1998-2006, Ketua Yayasan Agrobisnis Indonesia Canag Tegal 2008, Ketua DPD II Partai Golkar 1998-2004, Ketua Yayasan Pendidikan Bhakti Praja Kabupaten Tegal tahun 2002-2006, Ketua Yayasan Amal Umat Islam (Yaumi) 1996-1999, Gabungan Usaha Perbankan Pendidikan Islam tahun 1981-1986, Wakil Ketua KONI Kabupaten Tegal tahun 1998, Wakil Ketua DPD II Ampi Kabupaten Tegal tahun 1978-1983, Ketua HIPPRADA Cabang Kabupaten Tegal tahun 2008-2013.

Motto : Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain.







Kamis, 25 Juni 2009

Yanto Pelukis Sangkar Burung


Yanto, Spesialis Melukis Sangkar Burung

UMUMNYA melukis itu medianya kanvas atau kertas. Tapi pelukis yang satu ini lain dari kebiasaan para pelukis pada umumnya. Yanto, demikian nama pelukis asal Kecamatan Adiwerna ini, justru meluapkan karyanya pada media sangkar burung perkutut dengan semprotan cat.
“Saya mengabdi sebagai pelukis sangkar burung perkutut kurang lebih sudah empat belas tahun,” kata Yanto yang disambangi harian Nirmala Post pada malam hari, Rabu (24/6) kemarin.
Menurutnya, dia memilih kubah sangkar burung perkutut sebagai medianya, karena sangat jarang ditekuni oleh pelukis lain.
“Yang demikian, bagi saya justru menjadi sebuah tantangan,” katanya.
Ia mengaku, karena tantangan itu Yanto merasa enjoy bergulat hingga menjadi mata pencahariannya dari berbilang tahun dan tak pernah berpaling dari kerja semacam itu. “Pemesan yang datang tidak hanya terbatas dari daerah setempat, namun banyak juga dari luar daerah Tegal,” akunya.
Biasanya, motif gambar yang ditawarkan dia kepada pemesan, mahkota kepala burung Jatayu, wajah barong Bali, dan burung Cendrawasih. Nantinya, gambar pilihan dari pemesan itu dia lukiskan pada kubah sangkar burung perkutut. Pada tingkat detailnya, dia lukis pula jeruji sangkar dan alas sangkar. Tingkat kesulitan itu, akan memakan waktu pengerjaannya sekitar satu minggu.
“Untuk biaya penggarapan hanya 250 ribu. Biaya tersebut termasuk full variasi gambar,” katanya.
Yanto mengaku, selain melukis di media sangkar burung, ia pun kerap kali mendapat pesanan untuk memvariasi helm dan bahkan di sebidang dinding. Ia memang memilih menjadi pelukis semacam itu, karena hobi.
“Sejak sekolah saya memang hobi corat-coret bikin grafiti. Setelah dewasa, saya manfaatkan untuk mencari duit” pungkas Yanto yang beralamat di Gang Nurul Huda Rt 17/Rw 06, Adiwerna, Kabupaten Tegal (LS)

Rabu, 24 Juni 2009

ULTAH 31 TAHUN


Ultah 31 Taun Rani Pèsèk

RANI Pèsèk ujug-ujug nangis ngglolo, waktu olih sms saka Kang Dasmad alias KD. Wong lanang sing duwé perhatian khusus maring dèwèké tur éman kaé, bener-bener laka padané. Sms KD maring dèwèké kaya kiyé:
“Selamet ulang taun kaping telung puluh siji taun, Ran.”
Maca sms KD, Rani Pèsèk ngrasa mbak trenyes. Atiné kaya disèsèt-sèsèt. Ora dinyana umuré dina kiyé (24/6/2009) wis 31 taun. Jebulé wis tuwa, tapi durung duwé laki mèsih dèwèkan. Rani Pèsèk ngrasakna uripé sepi, langka tempat sing nggo gendu-gendu rasa. Ngarep-ngarep KD, saiki embuh uwongé nang endi. Rani Pèsèk kangen kepèngin ketemu.
“Kang, nyong pèngin ketemu sampèyan. Mèné ya? Nyong kangen,” Rani Pèsèk males sms maring KD.
Rani Pèsèk masih mbrebes mili, waktu ujug-ujug KD wis ana nang ngarepé dèwèké. Langsung ora kuwat nyangga perasaan mrina, KD disikep Rani karo banyu matané dlèwèran.
“Bisané nangis Ran?” omongé KD.
“Enyong kangen maring sampèyan. Uripé enyong dèwèkan kayong mrina nemen, Kang” omongé Rani Pèsèk.
“Kowen mrina kenangapa?”
“Calon lakiné enyong dongé sapa, Kang?”
“Tak jodohna karo Kapèr dadèkna bojo loro pibèn?”
“Sikah! Wong ngèdèk tembèlèk bé ora gèpèng ka, pan mbojo enyong. Ora kèré Kang, mendingan nganggur!” LS


Foto : Tampak Rani Pesek di sudut meja dalam kesendirian. Rani Pesek nama samaran dari Verani



NAJEEB B LEGENDARIS PENYANYI TEGALAN


Najeeb B
Si Legendaris Pelantun Tegalan Rekaman Lagi


LEGENDARIS penyanyi tembang Tegalan Najeeb B, masih memiliki pesona. Meski dia sudah lama menghilang dari blantika musik Tegalan, namun popularitas dia sebagai peletak batu pertama tembang-tembang Tegalan di wilayah Tegal, tetap diperhitungkan. Ini terbukti dengan masih dipakai nama Najeeb sebagai pemikat dalam album Tegalan yang sedang dalam proses penyelesaian. Albun Tegalan yang dibiayai Pemerintah Kabupaten Tegal ini, berisikan beberapa lagu antara lain ciptaan Hadi Utomo dan Imam Jund.
Menurut Najeeb, ada tiga penyanyi yang terlibat dalam proyek album tersebut di antaranya Imam Jund, Umi Azizah, dan dirinya. “Saat ini, album tersebut masih dalam penyelesaian,” katanya.
Diharapkan, katanya lebih lanjut, album tersebut akan beredar di pasaran dalam tahun ini. Proses mising sudah selesai tinggal penyempurnaan, dan pembuatan level kaset. “Insya Allah sekitar satu bulan lagi selesai, albun tersebut bisa dinikmati,” katanya.
Dipercaya sebagai pengisi musik, Abi Sholeh yang sudah biasa menangani album-album Tegalan seperti album Tragedi Jatilawang, Lagi Kèdanan, Sèndèhan Lawang, dan beberapa album Tegalan lainnya.
Sementara itu, Imam Jund selaku orang yang dipercaya Pemkab Tegal mengatakan, dalam album tersebut menghabiskan biaya 50 juta. Dana tersebut digunakan untuk shuting dan cetak VCD. “Total biaya 90 juta, dipotong PPN, pengadaan alat-alat sebesar 20 juta lebih, dan macem-macem,” papar Imam.
Dengan dilibatkan legendaris Tegalan Najeeb, diakui Imam Jund, karena nama Najeeb masih menjadi jaminan bagi masyarakat Tegal dan sekitarnya. “Orang Tegal dan sekitanya masih mengingatnya. Siapa yang tidak kenal lagu Man Draup Tèol, Teh Poci Gula Batu, Man Pian dan lain sebagainya? Lagu-lagu Tegalan yang dicipta oleh Najeeb itu, sangat membekas dan cukup legendari. Tak salah kalau kami menempatkan Najeeb B sebagai ikon Tegalan yang kami usung lagi sebagai daya tarik dari album tersebut,” papar Imam.
Dalam album Tegalan itu, lagu jagoan dibawakan oleh Najeeb dengan suara yang mantap dan diharapkan mampu mendobrak pasaran. Najeeb B, selain sebagai pencipta, dan penyanyi, ia pun pernah beberapa kali ikut main dalam sinetron, salah satunya terlibat dalam Lorong Waktu garapan Deddy Mizwar (LS)


Minggu, 21 Juni 2009

NUNUK MURDONO SIAPKAN LAGU ROCK TEGALAN



Edy Surya, pencipta lagu Tegalan Gerbang Emas Bahari yang bakal dipopulerkan melalui Festival Tembang-tembang Tegalan, bulan Agustus nanti dengan total hadiah 20 juta.




DUA SAHABAT - Tampak akrab antara Nunuk Murdono dan Edy Surya, sahabat lamanya saat bertemu di Rumpres Jalan KH. Ahmad Dahlan, Kota Tegal (Foto : Lanang Setiawan)






Nunuk Murdono
Siapkan Lagu Rock Tegalan


UNTUK meramaikan blantika musik Tegalan, vocalis rock legendaris asal Tegal, Nunuk Murdono, siap membawakan lagu-lagu Tegalan versi rock. Kesiapannya itu, tergerak agar tembang Tegalan menjadi tuan rumah di daerahnya sendiri.
Nunuk mengutarakan niatannya itu saat menyambangi sahabat lamanya Edy Surya dan Rury Taip, di Rumpres (Rumah Apresiasi –red), Minggu (21/6) siang. Nunuk hadir di Rumpres Jalan KH. Ahmad Dahlan, sepulang tampil mengisi acara Tembang Kenangan di TVRI Jakarta, Sabtu (20/6) malam lalu.
Menurut Nunuk, kesiapan dirinya membawakan lagu Tegalan karena dia sangat mencintai kota kelahiran yang selalu dirindu, kendati sekarang dia bolak-balik Surabaya – Jakarta. Baginya, budaya Tegalan itu sangat unik dan gaungnya kemana-mana.


“Bahasa Tegalan itu unik, familier, demokratis, dan daya tariknya luar biasa untuk alat promosi,” katanya.
Ia mengaku, meski dirinya berkecimpung di dunia musik, namun kebesaran bahasa Tegalan yang kerapkali dijunjung tinggi baik melalui puisi, monolog, dan drama, juga novel Tegalan kerap dia saksikan baik lewat televisi, internet, maupun baca berita kebudayaan di koran. “Adanya bahasa Tegalan masuk tivi, media puisi, juga monolog, adalah bukti kalau bahasa Tegalan itu bukan sekadar jago kandang. Tapi kebesaran Tegalan sudah meluas dan dikenal dimana-mana,” katanya.
Ia memberi contoh, Cici Tegal dan Parto Patriot kendati mereka bukan orang Tegal tapi sangat suka menggunakan idiom bahasa Tegalan. Karena itu, kata lebih lanjut, ia tak ragu lagi mengusung tembang-tembang Tegalan versi rock. Dan untuk kesiapan itu, dia pun telah siap beberapa lagu rock Tegalan yang dia cipta bersama Edy Surya dan Rury Taip, diantaranya berjudul Jakwir Cètèm, Jagin Maning, dan Balik Ésuk. “Saat ini kami sedang menunggu promotor,” katanya yang dibenarkan oleh Edy Surya.
Sekadar diketahui, Nunuk Murdono menjadi penyanyi di Tegal sejak tahun 70-an pada era Grup Band Tetecos lalu berganti Comas Union Band. Dia melangla buana ke seluruh kota-kota besar. Tahun 1978 hijrah ke Surabaya bergabung dengan Srimulat. Di Srimulat dia selalu berperan sebagai Drakulla sehingga dijuluki Allukard. Seiring malang melintangnya dari pentas ke pentas panggung musik rock.
Selama berkiprah di dunia tarik suara, Nunuk pernah 3 kali menjadi Juara I Bintang Pop Singer se-Jawa Timur dari tahun 1980 -1985, sampai kemudian dia tidak diperkenankan lagi ikut lomba Pop Singer. Juara 1 Best Vocalis Rock Log Zelebour se-Indonesia tahun 1988. Tahun 190-an dia hijrah ke Jakarta menyanyi di kafe-kafe atau night club dijuluki Tom Jones-nya Indonesia. Juga pernah lawatan ke Malaysia, Hongkong dengan Abadi Soesman Band. Dia menelorkan album Sprei Pengantin. Lagu ciptaannya itu akhirnya sebagai Theme Song Film Malam Pertama. Album solonya bertajuk Di Ujung Dosa beredar tahun 1994 (LS)

BERSANTAI - Nunuk Murdono dan Lanang Setiawan bersantai di Rumpres Jalan KH. Ahmad Dahlan, Minggu (21/6) sepulang pentas di TVRI Jakarta (Foto: Edy Surya)

Sabtu, 20 Juni 2009

WIJANARTO INGIN JADI GURU BANGSA



Wijanarto
Ingin Jadi Guru Bangsa
Oleh: Ekadila Kurniawan dan Lanang Setiawan

MENYEBUT predikat pria satu ini, sepertinya tidak cukup hanya satu. Ia bisa dikatakan sebagai budayawan, sejarawan, seniman, pembawa acara, sekaligus pengamat sosial. Namun yang paling kuat dari figur Wijanarto yakni pada sisi ilmu sejarah. Mendengar ia cerita tentang sejarah pergerakan Indonesia maupun tokoh-tokohnya, bagai mendengar gemericik air sungai yang mengalir, tak ada hentinya, begitu lancar dikupas. Ia mengaku tertarik mempelajari makroskopik sejarah. Masalah pengalaman dalam biografi seseorang. Ketertarikan dia belajar ilmu sejarah bermula dari guru kelas V SD, Ibu Siti Nafkah, di SD Serayu 2, Kota Tegal yang sekarang berubah namanya jadi SD Mintaragen 3.
"Guru saya itu memberikan kebebasan rangsangan membaca di perpustakaan dengan buat daftar di perpus untuk dipinjam. Dan yang sering saya pinjam kebanyakan buku sejarah," katanya, Jumat (19/8) di Kantor Dewan Pendidikan Kabupaten Brebes.
Buku sejarah yang dipinjam waktu SD itu antara lain Sejarah Album Pergerakan Nasional, Tokoh-tokoh Pergerakan Nasional.
"Saya jadi tertarik belajar sejarah karena sejarah sebagai bagian dari kehidupan yang penting. Terbukti sekarang masyarakat alami amnesia sejarah, gampang melupakan suatu peristiwa, terutama masa lalu," ujarnya. Ia pun menyingggung Pilpres. Menurut suami Ani Janatun itu, para Capres harus dilihat track record masa lalu. "Sebab filosofi sejarah menjadi bagian rekonstruksi kehidupan sekarang dan yang akan datang," tuturnya.Namun, imbuh dia, tampaknya sekarang sejarah bagaikan romansa yang tak didalami substansinya. Orang hanya sense romantic, merasakan romantisme saja, ucapnya. Alhasil, sekarang orang tak melihat jejak rekam calon presiden masing-masing, orang melihat dimensi kekinian, pencitraan komunikasi melalui media massa.
"Bagi kita sangat penting mengetahui jejak rekam para capres, kita jadi tahu tentang pola pemikiran mereka. Reproduksi tokoh tak bisa lepas dari keterlibatan dan pergulatan masa lalu," tandasnya. Ia memaparkan satu bukti, ketika Bung Karno menjadi mahasiswa ITB, menulis tentang Marhainisme, Marxisme, dan Islam, lalu pada 1960 tulisan dia dicangkok ke dalam ideologi Nasakom.
Belajar sejarah, bagi Wijanarto adalah bisa mampu melihat filsafat ilmu untuk menguak kausalitas peristiwa dan kejadian, tidak hanya parsial. Keasyikan ia belajar sejarah, yakni sebagai alat penyadaran dan menjadikan kita melakukan analis secara holistik.

Guru Bangsa
Sebagai pengajar di SMPN 4 Wanasari, Kabupaten Brebes dan peraih Juara III Lomba Kritik Membangun Kota Tegal tahun 2008 ini masih merasa prihatin terhadap posisi guru sejarah di sekolah-sekolah masih sebagai ‘story teller’ atau pendongeng, akibatnya banyak siswa enggan belajar sejarah.
"Padahal mata pelajaran sejarah bisa dikembangkan melalui film-film, untuk Film Dokumenter Perang Dunia (PD) II yang dibuat BBC sebagai contoh, anak jadi terangsang lihat situasi waktu PD seperti apa. Nah, fakta di lapangan, guru-guru sejarah itu sering tidak tahu sejarah di daerah masing-masing. Jika ditelisik, Brebes merupakan proses pembentukan sejarah yang luar biasa, seperti sejarah perkebunan yang berkaitan dengan pabrik gula, bahwa Brebes suatu daerah pabrik gula terbanyak selain Tegal. Sekiranya tahu, itu sebagai sebuah pembelajaran, Brebes bagian pembentukan Kapitalisme Barat di Zaman Belanda dan salahsatu lahirnya kebudayaan mestizo culture semenjak perkebunan lahir setelah Perang Diponegoro tahun 1830," ungkapnya meledak-ledak.
Karena itu, ia mengharapkan dari kalangan pendidik merencanakan kalender buat anak-anak didik ke PT Perkebunan Kaligua dan Jatibarang agar mereka memahami sejarah perkebunan. Tidak hanya agrowisata tapi agrosejarah. Jauh bicara guru, pria bertubuh subur ini menilai guru hendaknya bukan hanya ketika berada di depan kelas saja, tetapi baiknya sebagai guru bangsa. "Guru bangsa sebagai tolok ukur pergerakan. Sebagai contoh Tan Malaka, Sjahrir, Tengku Muhammad Safii,Rabindranath Tagore dan sebagainya, mereka dalam sejarah tokoh-tokoh pergerakan," paparnya.
Meski sudah merampungkan S-1 di Universitas Muhammadiyah Purwokerto tahun 1996 melalui skripsi tentang Revolusi Pemuda Tegal Banteng Loreng Binoncengan 1945-1949, kini ia sedang akan melanjutkan S-2 di Universitas Diponegoro, Semarang pada bulan September mendatang. Toh, ia pun mengaku, telah menyiapkan tesis tentang Sarikat Rakyat Cabang Karangcegak, Pangkah, Kabupaten Tegal. Apakah Anda juga ingin jadi guru bangsa? Pecinta buku tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer ini secara tegas menjawab, "Tentu, ingin jadi guru bangsa," seraya menganggukan kepala (*)



Jumat, 19 Juni 2009

HOBI B ACA WIJABARTO



Hobi Baca, Wijanarto
"Koleksi Buku Saya Hanya 3000 Buah"


IBARAT kamus berjalan, begitulah Wijanarto. Dimanapun pria satu ini berada, diajak bicara persoalan apa saja akan leluasa menganalisa dan berargumen. Istilah-istilah asing membuncah nyelip disana-sini. Ketika Nirmala Post bertemu untuk sesi wawancara, Jumat (19/6) di kantornya, Dewan Pendidikan Kabupaten Brebes, tak tertinggal begitu banyak serapan kata asing, kata-kata ilmiah keluar dari mulutnya. Rupanya ia bisa bicara sekelas kaum intelek berawal dari hobinya membaca buku. "Saya terbiasa membaca buku," begitu cetus Sekretaris Dewan Pendidikan Kabupaten Brebes, kelahiran Tegal, 27 Agustus 1971, yang menurutnya istilah-sitilah asing yang rumit diucapkan itu keluar secara reflek dari memori otaknya.
Memang diakui, ia termasuk orang yang maniak membaca buku. "Koleksi buku saya hanya 3000 buah," bebernya. Buku yang ia beli itu meliputi buku sastra, ideologi agama, kebudayaan dan sejarah. "Hampir sebulan saya selalu beli tiga buku," imbuhnya.
Hobi membaca buku itu terdorong dari rasa keasyikan melahap buku Soekarno Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams seorang wartawati Amerika yang dikoleksi Pakdenya semasa SMP. Ia juga melahap buku Naga Sasra & Sabuk Inten sebanyak 29 Jilid karya SH Mintardja. Merasa keasyikan membaca, lama-lama ia berkeinginan membeli buku sendiri. Makin merajalela nafsu membeli buku itu ketika kuliah. "Saya melihat seorang teman kuliah yang setiap bulan pasti beli buku. Maka, saya berupaya meniru dia. Sampai-sampai saya harus makan kluban demi mengirit uang saku yang pas-pasan untuk beli buku," kenangnya. Ia yang pernah menjabat sebagai ketua senat, diuntungkan pula dapat makan gratis bila menggelar acara seminar dan sebagainya. Sehingga beli buku tiap bulannya dapat terwujud. Nyaris buku-buku fenomenal seperti Tetralogi novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer, Goodfather karya Mario Puzzo, Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway, komik Mahabharata karya RA Kosasih, The Last Emperor karya Bernando Bertolluci, Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie sudah ia lahap semua.
"Jika dulu waktu kuliah saya sering kekurangan uang untuk beli buku, sekarang kekurangan waktu untuk membaca buku. Karena setiap ada buku baru saya beli, sampai kewalahan membacanya satu persatu," jelasnya.
Disamping buku-buku berat, yang belum banyak diketahui, ia rupanya getol membaca buku komik Dragon Ball,Tin-Tin dan Put On sebagai selingan dikala jenuh. Hobi lain pria berkacamata minus ini menonton film dan main teater. Dari banyaknya membaca buku itu, bakat menulisnya pun terasah dan teruji. Buku yang sudah ia buat antara lain Dari Kondektur ke Direktur (Biografi Muhadi Setyabudi) bersama Atmo Tan Sidik dan M Supardji Rasban, Esai Foto Catatan Tentang Kota Kelahiranku bersama Sureali Andi Kustomo, Biografi Adi Winarso bersama Tim Akademi Kebudayaan Tegal, Pers dan Otonomi Daerah bersama Tim Matarindo Brebes, ikut dalam Antologi Puisi Tegalan Ngranggèh Katuranggan dan Editor buku Antologi Penyair Brebes, Dewan Kesenian Brebes serta tulisan lepas di media massa (EK/LS)

MEMBACA BUKU - Wijanarto membaca buku sebagai hobi yang ditekuninya sejak kecil hingga kini, menjadikan dia kaya ilmu dan menelorkan sejumlah buku serta laris sebagai pembicara, moderator, maupun pembawa acara di berbagai forum seminar (Foto NP: Lanang Setiawan )

TABLOID TEGAL TEGAL


TEGAL TEGAL, tabloid Pertama yang terbit di Kota Tegal

FOTOFOTO KENANGAN


Brug Abang di Ekoproyo Kecamatan Talang Kabupaten Tegal
Bupati Tegal Agus Riyanto, Walikota Tegal Adi Winarso dan Ketua DPRD Kota Tegal Ghautsun saat acara Jed-jedan Maca Puisi Tegalan, beberapa tahun lalu

Rabu, 17 Juni 2009

KEN RATU MERINTIS JADI NOVELIS


Ken Ratu, Merintis Jadi Novelis

NAMA lengkapnya Ken Ratu Adni Sukmawati. Biasa dipanggil Ken Ratu atau cukup dipanggil Ratu. Ia baru lulus SMKN 2 Tegal. Ia tumbuh sebagai remaja yang kiyut (cute) dan merupakan penulis muda berbakat yang dimiliki Kota Tegal. Bagi pembaca Harian pagi Nirmala Post, nama gadis ini sudah tidak asing lagi karena karya berupa puisinya kerapkali muncul di Rubrik Pendidikan.
Novel perdananya berjudul Pelangi Tiga Minggu yang dia tulis saat masih di bangku SMP Negeri 2, langsung menjadi Cerita Bersambung (Cerbung) di harian Suara Merdeka pada edisi Minggu tahun 2007 lalu.
Ratu lahir di Tegal, 14 Nopember 1990 sebagai anak ke dua dari empat bersaudara dari pasangan Lanang Setiawan dan Endang Sukmawati. Ratu lantas bercerita soal merintis perjalanan kepenulisannya, “Saya pertama kali menulis dimulai dari catatan harian waktu masih duduk di kelas 5 SD.”
Waktu itu dia tertarik mengamati gerak-gerik kawan-kawan baik di sekolah maupun di kampungnya. Dari catatan dan pengalaman yang dia dapat, lantas lahirlah banyak cerpen remaja atau teenlit yang dikirim ke majalah pelajar yang digawangi oleh Sisdiono Ahmad, Ketua Dewan Pendidikan Kota Tegal. Sastrawan Angkatan 66, SN Ratmana menilai kalau Ratu memiliki bakat menulis yang bakal menjadi kebanggaan Kota Tegal.
Ternyata memang apa yang diucapkan oleh SN Ratmana benar adanya, terbukti novel perdananya muncul di Harian Suara Merdeka. Padahal untuk tembus ke koran tersebut bukan suatu hal yang mudah. Tak mengherankan, bagi cewek menyuka warna ungu ini, pemuatan novelnya secara bersambung sebagai tonggak sejarah badi dirinya maupun Kota Tegal.
“Novel Pelangi Tiga Minggu itu saya tulis waktu kelas 3 SMP, lalu saya coba kirim ke Suara Merdeka. Alhamdulillah novel saya diterima setelah menunggu dua bulan,” katanya.
Bagi cewek berambut ikal ini, menulis adalah sebuah bakat yang diberikan Tuhan untuk tidak disia-siakan. Lantas setelah Cerbung Pelangi Tiga Minggu dimuat, ia menulis kumpulan cerpen gaulnya yang juga dibukukan bertajuk ‘Sory…Gue Ga Bisa Nolak Lo.’ “Ya, saya dalam waktu bersamaan juga menulis kumpulan cerpen,” katanya saat ditemui Nirmala Post di rumahnya Gang Tegal Tegal 10/12 Jalan Arjuna, Slerok, Kota Tegal, Minggu (15/6).
Ia dalam menulis novel maupun cerpen itu suka pakai bahasa gaul ala anak Jakarta, elo-gue, yang kadang pula disisipi bahasa Tegal. Dan cewek berzodiak scorpio ini, sekarang sedang menggarap novel keduanya. Apa tuh judulnya?
“Judulnya Jejak Anak Tobong. Novel ini bercerita tentang kehidupan seorang anak tobong ketoprak yang ingin mengakhiri kebiasaan orang-orang ketoprak bersikap bar-bar,” terangnya.
Penilaiannya, kehidupan anak-anak tobong ketoprak tidak harus memiliki kebiasaan minum-minum, berjudi atau kumpul kebo.
“Kecerdasan anak-anak tobong ketoprak harus dibangun dan memikirkan masa depan yang lebih bermanfaat dari kebiasaan buruk mereka,” ujarnya penuh semangat sambil membocorkan sedikit isi dari novel keduanya yang masih dalam proses penyelesaian.


Arti Sahabat
Bagi Ratu, yang membuatnya survive atau bertahan untuk terus menulis, tak lepas peran sahabat. “Sahabat itu layaknya kesehatan, yang baru kita sadari betapa pentingnya dia setelah kita kehilangan,” ujarnya. Dan ia punya sahabat yang sangat setia. Meski dia mengaku seringkali marah dan nyakitin perasaannya, namun sahabatnya itu tak pernah marah dan berontak tentang perlakuan dirinya ke dia.
Meski ia telah menjadi tenar, namun sikap hidupnya tetap biasa-biasa saja. Tidak tinggi hati. Prestasi demi prestasi yang diraihnya itu ia ibaratkan seperti air sungai yang mengalir, sehingga tidak perlu dibangga-banggakan. “Apa yang saya raih selama ini telah jadi takdir kalau memang Tuhan kasih buat saya yang terbaik, kenapa tidak saya coba?” imbuh peraih beasiswa pendidikan ini seraya tersenyum.
Disamping sahabat, so pasti kedua orangtua sepenuhnya menjadi spirit dirinya untuk terus berkarya.
“Ada beberapa ucapan yang pingin saya ungkapin buat orang terdekat saya. Terutama buat ortu, keluarga saya, dan buat soulmate saya yang selalu ngejek karya-karya saya,” ucap gadis yang dikenal pendiam ini (Ekadila Kurniawan)


Novel Pelangi Tiga Minggu Ingin Difilmkan

MEMPEROLEH honor dari menulis novel Pelangi Tiga Minggu lumayan gede, lantas ia yang kala itu masih sekolah, pergunakan untuk hal yang sungguh mulia. “Seluruh honor saya pergunakan untuk aqiqoh saya,” ucapnya.
Aqiqah dalam hukum Islam suatu kewajiban bagi setiap anak yang lahir. Ia menyadari, keduaorangtuanya, waktu dirinya lahir, belum mampu untuk membeli hewan kambing untuk aqiqah dirinya. Maka, ia punya nazar.
“Kalau honor cerbungku datang, akan saya pergunakan untuk aqiqah dan merayakan ultah sweet seventeen saya,” bebernya.
Sesuai dengan nazarnya, ia merayakan ultah dan aqiqah yang diramaikan pentas seni cukup meriah di halaman depan rumah. Para tamu undangan yang hadir pun beragam. Mulai dari Adi Winarso yang kala itu masih menjabat jadi Walikota Tegal, Dr Maufur yang kala itu masih menjabat sebagai Wakil Walikota Tegal dan para seniman Tegal, seperti Slamet Gundono, Diding Muhammad, Nurhidayat Poso, Yono Daryono, Endhy Kepanjen, Jayeng Jaladara Ipuk NM Nur, dan sebagainya.
Bahkan, Dalang Wayang Suket, Ki Slamet Gundono membawakan lagu ‘Babon Ngoyok-Ngoyok Jago’ yang sairnya dirubah disesuaikan dengan situasi ulang tahun, duet bareng KMSWT, untuk menghibur hatinya. Suasana malam yang dingin pun menjadi terasa hangat.
Tak ketinggalan pentas monolog Jayeng, pembacaan puisi Dr Maufur. Semua honor yang ia terima merasa perlu saling berbagi kepada sesama.
“Saya cukup terharu dan bahagia, soalnya nggak nyangka tamu yang hadir banyak banget,” ucapnya berkaca-kaca, mengenangnya.
Next, dalam hal pendidikan, ia ingin melanjutkan ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Lalu mengenai novelnya, ia berharap, novel Pelangi Tiga Minggu dilayarlebarkan. Sebagaimana yang tengah menjamur saat ini, banyak novel yang diangkat ke layar lebar, pun Ratu, punya mimpi suatu saat nanti novel Pelangi Tiga Minggu difilmkan. Pasalnya, film tersebut mengandung konflik yang seru diantara pelajar dan bisa disaksikan masyarakat seluruh Indonesia. “Tapi yang saya plot konfliknya bukan kenakalan remajanya atau kebengalannya, melainkan kejeniusan mereka dalam menghadapi persoalan remaja,” ujarnya.
Apalagi belum lama ini marak adanya geng sekolah, mencerminkan sikap tak baik bagi seorang pelajar. Ia ‘memberontak’ lewat novel tersebut.
“Di novel ini, karakter tokohnya pintar-pintar, saking pintarnya, kadang pemikiran mereka diluar jangkauan siswa yang lainnya,” ujarnya. Jikapun tidak difilmkan, disinetronkan pun tidak jadi soal (EK)















Rabu, 10 Juni 2009

Ruri dan Edy Surya


Ruri -Edy Surya
Ciptakan Tembang Tegalan Gerbang Emas Kota Bahari


LAGU Tegalan bertemakan Gerbang Emas Kota Tegal selesai dicipta oleh Ruriyanto dan Edy Surya. Lagu tersebut bakal menjadi ikon Kota Tegal karena komitmetnya Walikota Tegal H. Ikmal Jaya atas keinginannya mengetengahkan budaya Tegalan yang menjadi kebanggaan. Walikota memantapkan keinginan budaya Tegalan dikembangkan mengingat bahwa Kota Tegal sudah saatnya memiliki kebanggan budaya Tegalan. Konsep semacam itu diketengahkan Walikota Tegal ketika memberikan sambutan pada acara Musda III Dewan Kesenian Kota Tegal, beberapa waktu lalu. Pada saat itu, Ikmal Jaya berpesan agar DKT bisa menterjemahkan apa yang dia sampaikan yaitu, perlu ditegakkan adanya pengembangan budaya Tegalan, baik melalui puisi, drama, musik, dan juga lagu Tegalan.
“Kalau daerah Cirebon bisa mengembangkan bahasa dan budaya Cirbonan, kenapa di Tegal tidak bisa? Harapan saya para pelaku seni mengakomodir budaya Tegalan agar Kota Tegal memiliki sebuah ikon,” katanya.
Atas dasar sambutan Walikota Tegal Ikmal Jaya, dua seniman asal Kampung Kalibuntu, Ruriyanto alias Taip dan Edy Surya begitu cerdas menyambut keinginan walikota. Tidak tanggung-tanggung mereka menciptakan 3 buah nomor. Lagu pertama berjudul Gerbang Emas Bahari versi pop, tegalan dan ketiga versi pop kreatif, dengan lirik lagu ditulis Edy Surya yang juga sebagai vokalis.
“Untuk versi Tegalan, vokal dibawakan oleh mas Agus Legowo dengan musik Gunadi dari Jakarta dan Um Apip dari Tegal,” sambung Edy Surya.
Menurut Edy, orientasi lagu-lagu tersebut akan dilombakan dalam rangka 17-an dengan judul Festival Tembang Mahardika Kota Bahari dengan lapisan masyarakat Kota Tegal. “Festival tersebut nantinya memperebutkan trophi Walikota Ikmal Jaya dengan total hadiah 20 jutaan. Baik lagu maupun rencana festival sudah kami diajukan ke DPRD melalui anggota Dewan Agil dari PDI-P,” ujar Ruriyanto yang dibenarkan Edy Surya sebagai penggagas festival tersebut.
Ditambahkan oleh Edy, dari ketiga lagu tersebut, dia lebih memilih versi Tegalan sehubungan Walikota Ikmal sudah memberi weling agar seniman Tegal lebih menjunjung tinggi budayanya sendiri. “Sesuai yang dipesankan Walikota Tegal pada saat memberi sambutan pada Musda DKT beberapa waktu lalu, maka kami sebagai masyarakat Tegal menghormati pimpinan. Sehingga kami lebih menekankan versi Tegalan sebagai lagu wajib dalam festival nanti.”.
Menurut Edy, persiapan ke jenjang festival tersebut sudah matang digarap dan berkoordinasi dengan pihak Walikota Tegal (LS)

Foto : Edy Surya

Ruri Taip Ciptakan Lagu Ikon Kota Tegal


Ruri Ciptakan Lagu Ikon Gerbang Emas Kota Tegal

TIDAK
banyak orang tahu siapa Ruriyanto sebenarnya. Padahal dia cukup dikenal di blantika musik Pop Sweet. Semasa tahun 80-an, lelaki asal Kampung Kalibuntu, Kelurahan Panggung ini, seangkatan dengan pemusik Bram Moersas, Edy Surya, dan Tius. Pentolan vocal group era 80-an mereka adalah para pemusik yang cukup berpengaruh di wilayah Tegal. Rory, demikian panggilan akrab Ruriyanto, bersama Bram Moersas dan Edy Surya banyak mencipta lagu-lagu iklan atau jinggel di banyak radio.
“Jinggel Radio Raka, RCA, MS. Tailor, Percetakan Kejambon, Julie Fashion, Trafic Jean, dan sampai iklan tahu milik Nata Jaya, aku yang cipta dan dinyanyikan oleh oleh Bram Moersas” katanya yang dibenarkan oleh Edy Surya.
Bahkan menurut Edy Surya, hampir semua lagu yang diciptakan oleh Rory, tak pernah ditolak. Pasalnya, ciptaan Rory itu berirama manis dan enak didengar. “Kalau masalah sair, seringnya digarap bareng-bareng” papar Edy lebih lanjut.
Rory sendiri mengaku, ia membuat lagu karena memiliki aliran Pop Sweet. Kecenderungan ke irama itu karena disiplin bermusiknya lebih mengarah pada Pop Sweet.
“Pop Sweet itu pada umumnya lebih banyak disukai oleh penggemar. Lagian, lagu-lagu semacam itu punya kecenderungan bertahan lebih lama,” kata Rory yang juga dikampungnya populer dengan sebutan Yanto Taip.
Karya dia banyak juga diusung di album garapan Chosy Pratama. Ia mengaku mengenal Chosy, karena waktu mengembara di Jakarta bersama Bram dan Edy Surya, kerap bertemu Chosy Pratama. Dari perkenalan itu, mereka saling kerjasama untuk membikin lagu.
“Kadang-kadang lagu ciptaan saya, saya jual lepas. Banyak sekali lagu saya atas nama ora lain. Masalahnya, satu; saya butuh duit karena hidup di Jakarta!” kata Rory yang kalau dihitung sudah 200 buah lebih karya cipta lagunya.
Kini, di tengah Walikota Tegal H. Ikmal Jaya punya visi misi Gerbang Emas Bahari, Rory pun sudah menyiapkan dua buah lagu, masing-masing berjudul; ‘Gerbang Mas Bahari’ dan ‘Tegal Saporèté’. Untuk lagu pertama berirama Pos Sweet dan yang kedua semi Mares.
“Rencananya, dua lagu tersebut akan saya ajukan kepada Walikota Ikmal Jaya, biar menjadi ikon Kota Tegal,” pungkasnya (LS)

Selasa, 09 Juni 2009

KEN AYU LARAS QUEENA




BERMAIN

KEN Ayu Laras Queena sedang bermain di halaman Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Kota Tegal dalam suatu senja yang damai. Laras -demikian panggilan akrabnya, bermain begitu bebas. Dialah diharapkan bakal memimpin negeri ini mencapai kemakmuran yang hakikih (Foto Dokumen Keluarga)

Sabtu, 06 Juni 2009

PERUPA, PENYAIR dan PEMBUAT LOGO TEGAL


H Hasan Bisri
Perupa, Penyair dan
Pembuat Logo Kota Tegal

TAHUKAH Anda siapa pembuat logo Pemerintah Kota Tegal? Dialah H Hasan Bisri. Pria kelahiran 29 Juni 1945 ini oleh para kolega maupun teman-teman sesama pelukis Sanggar Putik ’99, Slawi lebih dikenal sebagai seorang pelukis. Namun, jejak karirnya sebagai perupa yang cukup prestise yakni ketika memenangi lomba Membuat Logo Pemkot Tegal pada tahun 1972. Ketika kami bertandang ke rumahnya yang asri, Selasa (2/6) petang, ia menceritakan mengenai lomba yang digelar Pemkot Tegal dan diikuti sekitar 160 peserta tersebut. "Waktu itu saya bersama teman-teman Kelompok Desainer Tegal ikut lomba semua. Saya mengirimkan gambar logonya tiga hari sebelum pendaftaran ditutup," kenangnya.Tanpa dinyana, pada saat pengumuman pemenang, ia dinyatakan sebagai pemenang dan mendapat surat dari panitia untuk hadir pada acara penyerahan penghargaan oleh Walikota Tegal. Namun begitu sampai di tempat acara, panitia mengatakan pemenang lomba Logo Pemkot Tegal ternyata ada tiga orang. “Selain saya ada dua peserta lagi yang dinyatakan menang, satu perempuan dan satunya lagi laki-laki yang kemudian saya kenal namanya Bekti. Kami dinyatakan menang bersama, hadiahnya dapat piagam penghargaan, uang dan foto barsama walikota. Jadi intinya tidak ada juara satu dalam lomba tersebut,” tutur bapak lima anak ini dengan nada penuh terkejut. Lebih terkejut lagi ketika melihat logo Kota Tegal yang sampai sekarang masih dipakai seluruh isinya adalah hasil karyanya, baik bentuk, komposisi gambar maupun warnanya. "Seluruh isinya, mulai dari bentuk kapal, warna dan motifnya tidak ada yang beda. hanya bingkainya saja yang bukan punya saya," katanya menambahkan. Bahkan ia dengan lancar menjelaskan secara rinci makna dibalik gambar logo tersebut. “Gerigi di bawah kapal melambangkan Kota Tegal sebagai kota industri, kemudian kapal layar melambangkan Kota Tegal sebagai kota maritim, dan yang setahu saya tidak dimiliki semua peserta adanya lambang tiga jalan di atas kapal yang berwarna kuning, melambangkan Kota Tegal dilalui tiga jalur dari arah Jakarta, Semarang dan Purwokerto,” ucapnya. “Sedangkan api yang berkobar berwarna merah putih di atas kapal melambangkan semangat masyarakat Tegal dalam bekerja dan berkarya yang menyala-nyala,” lanjutnya.Atas dinyatakannya tiga pemenang bersama dalam lomba pembuatan logo tersebut, otomatis hingga kini siapa pembuat logo Pemkot Tegal, ketiga-tiganya berhak mengklaim itu hasil karyanya ke masyarakat, karena sama-sama dapat piagam penghargaan. Tetapi keseluruhan isi gambarnya, adalah hasil idenya Suami Hj Nuryati HB ini sedikit menyayangkan panitia tidak menetapkan juara I, II dan III. “Layaknya lomba kan semestinya ada juara satu, dua dan tiga, lalu apabila ketiga gambar pemenang kurang sempurna, bisa dikombinasikan panitia, tidak masalah, lha kok setelah dinyatakan tidak ada pemenang pertama, gambar yang dipakai murni punya saya?” ujarnya. Bahkan gambar ketiga pemenang itu juga tidak ditunjukan ke publik, sehingga ia sampai sekarang belum tahu gambar logo asli kedua pemenang lainnya itu seperti apa. Tapi ia tetap yakin, akan gambar logo yang terpampang dialah yang membuatnya. Maka, ia mengaku cukup tersenyum di dalam hati jika melintas ke Kota Tegal melihat logo yang terpajang itu. Karir MelukisMenengok jejak rekam kegiatan seni Hasan Bisri di seni rupa memang cukup panjang. Namanya tercatat di berbagai pameran lukisan tingkat Nasional maupun Internasional. Di usianya yang pada 29 JUni 2009 nanti genap 64 tahun ia masih tetap eksis dan berporses melukis. Ciri khas lukisan mantan Kepala Perpustakaan Umum Kabupaten Tegal ini berupa seni dekoratif. Setelah melalui perjalanan panjang dengan berbagai eksperimen, dekoratif rupanya menjadi pilihan sesuai hatinya. “Dekoratif itu unik perubahan bentuk atau obyek sesuai imajinasi, bebas berekspresi meliuk dengan garis-garis sebagai goresan dan garis kontur membatasi semua bidang obyek adalah pernyataan pribadi saya yang mantap,” ungkap alumnus ASRI. Sedangkan warna dominan coklat pada lukisan dekoratifnya, karena warna coklat berkarakter damai, tenang dan bersifat kekeluargaan. Selain itu mengingatkan batik tradisi. Lalu soal Sanggar Putik ‘99 yang kini tetap moncer rupanya bentuk metamorfosis yang ia perjuangkan sejak tahun 1972. “Dulu namanya Sanggar Putik 72 saya dirikan di Kota Tegal beranggotakan 17 orang Desainer Texin Tegal, lalu tahun 1975 anggotanya jadi 100 orang, yang meliputi kegiatan seni rupa, teater, drama, dan musik. Tahun 1980 sanggar menerbitkan majalah Kesenian Remaja, dan tahun 1999 berubah nama Sanggar Putik ’99, saya sebagai ketuanya, merupakan wadah kegiatan perupa Tegal dan sekitarnya,” jelasnya. Selain melukis, Hasan juga banyak menulis sajak. Setidaknya sudah empat buku sajak yang siap ia terbitkan. Sajak-sajaknya itu ia tulis disela senggangnya. Kini ia hidup bahagia bersama istri anak dan cuu-cucunya. Dan apa yang telah ia lalui serta dapatkan selama ini, sebagai orang biasa, Hasan Bisri merasa suatu anugerah dari Sang Maha Pencipta, Allah SWT. “Saya bersyukur kepada Allah SWT pada umur setua ini, 64 tahun tepatnya 29 Juni 2009 genap usia saya 64 tahun, Allah telah memberi kesehatan, kekuatan, kemampuan berkreasi, dua kelebihan yang kedua-duanya saling menunjang, saling mengisi, atas ijin Allah saya bisa mewujudkan imajinasi lewat melukis dan tulisan,” pungkasnya, sambil menambahkan semoga dapat bermanfaat bagi kita (EK/LS)


Keluarga H Hasan Bisri
Tanamkan Budaya Saling Jujur dan PengertianMENGENAL sosok H Hasan Bisri yang terpancar darinya sifat rendah hati, tidak suka menonjolkan kehebatannya dimuka publik dan familiar dengan siapa saja. Dimata sang istri, Hj Nuryati HB, dia sebagai seorang suami dan bapak yang bertanggungjawab dari kelima anaknya. Pun Hasan Bisri merasa bersyukur mempunyai istri yang dapat dipercaya bersama-sama membangun biduk rumah tangga. Menikah 28 Agustus 1968 keharmonisan mereka berdua sering membuat iri para tetangganya. “Kadang kalau kita lagi jalan berdua, banyak yang merasa iri, karena kita selalu hidup rukun dan damai,” tuturnya sambil tertawa bahagia. Lantas, apa rahasia agar biduk rumah tangga tetap langgeng keharmonisannya? Hasan Bisri maupun Nuryati menjawab, rahasianya saling percaya, saling jujur, terbuka, dan saling pengertian, tidak neko-neko. Sejak menikah, Hasan Bisri dan istri boleh dikata sebagai keluarga yang berkecukupan. Sama-sama bekerja sebagai PNS, hanya beda tempat. Ia mengabdi di Pemerintahan Kabupaten Tegal dan istrinya di Pemerintahan Kabupaten Brebes. Yang membanggakan lagi, kelima anaknya sudah mentas semua, dan mereka boleh dikata sukses di bidangnya masing-masing. Anak sulung dan bungsu tinggal di Jatibarang, anak kedua tinggal di Bandar Lampung, yang ketiga di Bandung, dan anak keempat tinggal di Jatisari, Bekasi, Jawa Barat. Dari kelima anaknya itu, dikaruniai 10 cucu, terdiri dari 9 cucu laki-laki dan 1 perempuan. Namun, kelima anaknya itu tidak ada yang meneruskan jejak karirnya sebagai pelukis. Hanya cucunya yang nampaknya punya bakat melukis. “Tiga cucu saya Muhammad Rafi, Muhammad Samsul, Arif, Muhammad Helmi Basyari yang sepertinya punya bakat melukis. Sering saya lihat mereka suka melukis dan saya perhatikan hasilnya bagus,” ucapnya. Punya anak soleh dan solehah tentu suatu harapan bagi semua orangtua. Demikian Hasan Bisri dan Nuryati, bersyukur kelima anaknya meski sudah jadi orang sukses dan tinggal jauh dengannya, tetap memerhatikan dirinya. Sewaktu berangkat haji tahun 2006 juga atas biaya gotong-royong anak-anaknya. “Saya sebenarnya mau menjual mobil untuk naik haji, tapi dicegat anak saya, akhirnya mereka yang membiayai saya dan istri naik haji,” kenangnya.Kini, ia sebagai pensiunan sibuk menceburkan diri mengelola Sanggar Putik ’99 dan Galeri Bisri di depan rumahnya. Sedangkan sang istri sebagai Ketua Majlis Talim Ummahatur Rofiqoh Jatibarang, Brebes yang belum lama ini hadir di acara Mamah dan Aa Curhat Dong di Indosiar. Ia mengaku kini sedang banyak pesanan atau order melukis dekoratif dari Bali. Rencana kedepan, ia ingin menerbitkan buku kumpulan puisinya dan menggelar pameran lukisan tunggal tentang flora fauna serta lukisan art yang selama ini tersimpan di galerinya
(EK/LS)

Biodata
Nama : H Hasan Bisri TTL : Jatibarang, 29 Juni 1945
Pendidikan : Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta, tahun 1970
Nama Istri : Hj Nuryati HB
Nama Anak : Santi Dianning Pratiwi Moh Kukuh Lega Nirmala, H Moh Sovan Hadibowo ST Com, Moh Nugroho Akbari ST, Moh Rizqini Gunawan
Alamat : Jalan Sibiuk No 1 Jatibarang, Brebes
Prestasi : Mendapat penghargaan Walikota Tegal dalam menang Lomba Logo Kota Tegal Tahun 1972 Juara III Desain Batik se-Propinsi Jawa Tengah. Pendiri Sanggar Putik 72 Kota Tegal tahun 1972 Mendirikan Kelompok Desainer Tegal Tahun 1971
Menyeleksi lukisan anak-anak peserta lomba lukis tingkat Internasional dan Juara I di Seoul, Korea Selatan tahun 1987
Kegiatan Seni : - Pameran Kelompok mahasiswa ASRI Yogyakarta di Aula ASRI Gedung Seni Sono, Gedung Sono Budoyo, Yogyakarta, Temanggung, Titi Kawedar Tegal tahun 1967-1968- Pameran Bertiga bersama Adam Lay, Danta dalam rangka Hari Kepolisian RI di Gedung AMPERA Kota Tegal 1969
- Desainer Tekstil di Texin Tegal 1970-1973
- Guru Gambar di SMP Pancasila Tahun 1974
- Pimpinan Redaksi majalah kesenian remaja terbitan sanggar Guru Kesenian di SMA Pusponegoro IV tahun 1980-1985
- Panitia Lomba Lukis Porseni SD tingkat Kabupaten Tegal
- Pengurus Sanggar Budaya Kabupaten Tegal dan Berpameran di Gedung Korpri Slawi tahun 1992
- Menjadi Kepala Perpustakaan Umum Kabupaten Tegal tahun 1998
- Sebagai Ketua Sanggar Putik '99 yang diterima Pemkab Tegal sebagai wadah perupa di Kabupaten Tegal dan sekitarnya
- Pameran Rutin Alumnus ASRI dari semua angkatan di Gedung World Trade Centre (WTC) Jakarta tahun 1999-2004
- Pameran Lukisan Collour Movement at New Milenium di News Cafe Kemang, Jakarta tahun 2000
- Pameran bersama Sanggar Putik '99 beserta alumnus UNNES Semarang di Gedung UPS Tegal tahun 2000
- Pameran bersama di SMAN 3 Slawi tahun 2000
- Pameran bersama di Matahari Plasa, Pekalongan tahun 2000`
- Pameran bersama di Gedung Korpri, Slawi tahun 2000`
- Pameran disentralisasi Seni Rupa Tegal oleh 7 perupa di Lanal Tegal tahun 2001`
- Pameran Nuansa Bahari di Bahari Inn Tegal tahun 2002
- Peserta jambore Seni rupa 2008 di Ancol, Jakarta 21 Agustus-1 September 2008
- Pameran bersama bertema 'Warna-Warni 2009' Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Kab Tegal di Gedung Rakyat, Balai Kesenian Kabupaten Tegal 30 Mei-7 Juni 2009.

Kegiatan Menulis:
- Tulisan pertama menyusun buku TEORI WARNA terbitan khusus oleh SMAN 1 Slawi

Kumpulan Puisi :
Sajak Kembar, Perjalanan Biruku dalam Sajak, dan Sajak Kocak (Dialog antara penguasa Taman Raden Saleh dengan Penguasa Taman Singosari)

-Motto HIdup : Hari esok adalah langkah. Kerja adalah perang. Jangan berbangga karena apa dan siapamu tapi karena langkahmu. Nama adalah hadiah dari sebuah ketekunan.

Kamis, 04 Juni 2009

PENGENDARA BADAI PUNYA POWER


Novel
Pengembara Badai
Punya Power

MESKI masih dalam bentuk manuskirp, novel Pengembara Badai (PB) yang ditulis oleh Lanang Setiawan sudah merebak dibaca kalangan seniman dan sastrawan Tegal. novel panjang tersebut mengisahkan perjalanan hidup penulis dalam proses kesenimanannya bersama para dedengkot pekerja seni Tegal, mulai dari era 70-an hingga sekarang.
Dalam sub judul, sebuah Ensiklopedi Gerakan Tegalan mengindikasikan isi dari novel setebal 300-an halaman tersebut. Boleh dikata novelnya itu juga sebagai literature kesenian di Tegal.
“Novel PB bagus, bahasa lugas tapi indah, penggambaran tokoh-tokohnya sederhana, tapi pas, baik karakter, situasi saat itu. Cukup hidup, humoris. Aku suka gaya dengan bahasa Tegalan, mewakili kedaerahan, terus dan tingkatkan biar orang-orang Tegal sendiri menjadi cinta pada bahasa dan logat sendiri,” komentar pelukis asal Jatibarang, Brebes, H Hasan Bisri, Kamis (5/6).
Tampaknya, penulis cukup terinspirasi oleh novel Laskar Pelangi karya Andea Hirata, yang mengambil setting kedaerahan Bangka Belitung serta memoar pengalaman hidupnya semasa kecil hingga dewasa. Lanang yang memiliki latar belakang sebagai seniman merasa wajib untuk mengabadikan moment-momonet penting jejak seni di Tegal untuk dibaca orang banyak.
Kurnia Efendi, sastrawan terkemuka Jakarta asal Tegal menilai membaca PB seperti melihat representasi sebuah sejarah yang bergerak.
“Terkandung di dalamnya kekuatan dinamika budaya lokal, yang mungkin luput dicatat banyak orang. Sastra dan umumnya kesenian di Tegal, mengisi agenda yang satu saat diperhitungkan secara nasional. PB menjadi novel dokumentatif dengan memperdayakan keunikan bahasa, sebagai lukisan. Sebagai sesame orang Tegal, saya iri pada penulisnya, sekaligus bangga,” tuturnya memalui handphone.
Sementara WS Rendra, budayawan kondang tersebut dalam sebuah sesi wawancara di Yogyakarta baru-baru ini juga merindukan karya sastra yang mengangkat khasanah bahasa daerah. Senyampang dengan itu, PB lebih banyak menggunakan bahasa daerah Tegal, yang ditulis secara lancar dalam dialog maupun narasi cerita (EK)

Selasa, 02 Juni 2009

KREDO LANANG SETIAWAN



PENGENDARA BADAI

Aku ingin para sastrawan pada puyeng, terperangah dan klenjengan layaknya tersengat kalajengking dengan antupnya yang garang. Asmosfer polemik biar terjadi di antara kritikus, pengamat seni, pemerhati sastra, budayawan, paus sastra atau wader sastra saling beradu argumentasi dalam kegaduhan pro dan kontra. Aku pun selalu terobsesi sebagai pengendara badai yang membuat karya monumental, segar, elegan, bergengsi, dan memberi pemahaman pada masyarakat Tegal kalau bersastra dengan menggunakan bahasa ibu itu bukanlah sebuah dosa. Bagiku, kedudukan bahasa itu sama, tak ada yang lebih agung atau adiluhung (Baca: novel Pengendara Badai)