Sabtu, 20 Juni 2009

WIJANARTO INGIN JADI GURU BANGSA



Wijanarto
Ingin Jadi Guru Bangsa
Oleh: Ekadila Kurniawan dan Lanang Setiawan

MENYEBUT predikat pria satu ini, sepertinya tidak cukup hanya satu. Ia bisa dikatakan sebagai budayawan, sejarawan, seniman, pembawa acara, sekaligus pengamat sosial. Namun yang paling kuat dari figur Wijanarto yakni pada sisi ilmu sejarah. Mendengar ia cerita tentang sejarah pergerakan Indonesia maupun tokoh-tokohnya, bagai mendengar gemericik air sungai yang mengalir, tak ada hentinya, begitu lancar dikupas. Ia mengaku tertarik mempelajari makroskopik sejarah. Masalah pengalaman dalam biografi seseorang. Ketertarikan dia belajar ilmu sejarah bermula dari guru kelas V SD, Ibu Siti Nafkah, di SD Serayu 2, Kota Tegal yang sekarang berubah namanya jadi SD Mintaragen 3.
"Guru saya itu memberikan kebebasan rangsangan membaca di perpustakaan dengan buat daftar di perpus untuk dipinjam. Dan yang sering saya pinjam kebanyakan buku sejarah," katanya, Jumat (19/8) di Kantor Dewan Pendidikan Kabupaten Brebes.
Buku sejarah yang dipinjam waktu SD itu antara lain Sejarah Album Pergerakan Nasional, Tokoh-tokoh Pergerakan Nasional.
"Saya jadi tertarik belajar sejarah karena sejarah sebagai bagian dari kehidupan yang penting. Terbukti sekarang masyarakat alami amnesia sejarah, gampang melupakan suatu peristiwa, terutama masa lalu," ujarnya. Ia pun menyingggung Pilpres. Menurut suami Ani Janatun itu, para Capres harus dilihat track record masa lalu. "Sebab filosofi sejarah menjadi bagian rekonstruksi kehidupan sekarang dan yang akan datang," tuturnya.Namun, imbuh dia, tampaknya sekarang sejarah bagaikan romansa yang tak didalami substansinya. Orang hanya sense romantic, merasakan romantisme saja, ucapnya. Alhasil, sekarang orang tak melihat jejak rekam calon presiden masing-masing, orang melihat dimensi kekinian, pencitraan komunikasi melalui media massa.
"Bagi kita sangat penting mengetahui jejak rekam para capres, kita jadi tahu tentang pola pemikiran mereka. Reproduksi tokoh tak bisa lepas dari keterlibatan dan pergulatan masa lalu," tandasnya. Ia memaparkan satu bukti, ketika Bung Karno menjadi mahasiswa ITB, menulis tentang Marhainisme, Marxisme, dan Islam, lalu pada 1960 tulisan dia dicangkok ke dalam ideologi Nasakom.
Belajar sejarah, bagi Wijanarto adalah bisa mampu melihat filsafat ilmu untuk menguak kausalitas peristiwa dan kejadian, tidak hanya parsial. Keasyikan ia belajar sejarah, yakni sebagai alat penyadaran dan menjadikan kita melakukan analis secara holistik.

Guru Bangsa
Sebagai pengajar di SMPN 4 Wanasari, Kabupaten Brebes dan peraih Juara III Lomba Kritik Membangun Kota Tegal tahun 2008 ini masih merasa prihatin terhadap posisi guru sejarah di sekolah-sekolah masih sebagai ‘story teller’ atau pendongeng, akibatnya banyak siswa enggan belajar sejarah.
"Padahal mata pelajaran sejarah bisa dikembangkan melalui film-film, untuk Film Dokumenter Perang Dunia (PD) II yang dibuat BBC sebagai contoh, anak jadi terangsang lihat situasi waktu PD seperti apa. Nah, fakta di lapangan, guru-guru sejarah itu sering tidak tahu sejarah di daerah masing-masing. Jika ditelisik, Brebes merupakan proses pembentukan sejarah yang luar biasa, seperti sejarah perkebunan yang berkaitan dengan pabrik gula, bahwa Brebes suatu daerah pabrik gula terbanyak selain Tegal. Sekiranya tahu, itu sebagai sebuah pembelajaran, Brebes bagian pembentukan Kapitalisme Barat di Zaman Belanda dan salahsatu lahirnya kebudayaan mestizo culture semenjak perkebunan lahir setelah Perang Diponegoro tahun 1830," ungkapnya meledak-ledak.
Karena itu, ia mengharapkan dari kalangan pendidik merencanakan kalender buat anak-anak didik ke PT Perkebunan Kaligua dan Jatibarang agar mereka memahami sejarah perkebunan. Tidak hanya agrowisata tapi agrosejarah. Jauh bicara guru, pria bertubuh subur ini menilai guru hendaknya bukan hanya ketika berada di depan kelas saja, tetapi baiknya sebagai guru bangsa. "Guru bangsa sebagai tolok ukur pergerakan. Sebagai contoh Tan Malaka, Sjahrir, Tengku Muhammad Safii,Rabindranath Tagore dan sebagainya, mereka dalam sejarah tokoh-tokoh pergerakan," paparnya.
Meski sudah merampungkan S-1 di Universitas Muhammadiyah Purwokerto tahun 1996 melalui skripsi tentang Revolusi Pemuda Tegal Banteng Loreng Binoncengan 1945-1949, kini ia sedang akan melanjutkan S-2 di Universitas Diponegoro, Semarang pada bulan September mendatang. Toh, ia pun mengaku, telah menyiapkan tesis tentang Sarikat Rakyat Cabang Karangcegak, Pangkah, Kabupaten Tegal. Apakah Anda juga ingin jadi guru bangsa? Pecinta buku tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer ini secara tegas menjawab, "Tentu, ingin jadi guru bangsa," seraya menganggukan kepala (*)



Tidak ada komentar: