Rabu, 26 November 2008

PENTAS SASTRA TEGALAN DI TBS dan TRSS




Pentas Sastra Tegalan di TRSS dan TBS

Seniman Harus Menghapus Rasialisme Bahasa


PERAYAAN Hari Sastra Tegalan yang digeber para seniman Tegal, membuat ‘guncangan’ tersendiri di dua; Kota Semarang dan Solo. Lawatan Sastra Tegalan yang dilakukan mereka memberikan pelajaran penting dan nuansa demokrasi agar para seniman bisa menghapus sikaf rasialis terhadap perbedaan bahasa.
Hal itu dikatakan dalang Wayang Suket, Slamet Gundono kepada NP usai pementasan ‘Perayaan Hari Sastra Tegalan 26 Nopember’ di Taman Budaya Surakarta (TBS) Selasa (25/11). “Saya tercengang dengan penampilan para seniman Tegal mengusung tegalan, dasyat dan memukau. Sudah saatnya seniman kita belajar demokratis agar mampu menghapus sikaf rasialis bahasa manapun termasuk tegalan” tandas Gundono yang ditegaskan Nurhidayat Poso dalam sambutan pementasan di TBS.
Dalam pementasan di Taman Raden Saleh Semarang (TRSS) Senin (24/11) malam, seakan terjadi jèd-jèdan adu kekuatan baca puisi dua bahasa nasional dan tegalan. Dari Semarang para penyair senior turun glanggang seperti Timur Sinar suprabana, Handry TM, Beno Siang Pamungkas, dan lain sebagainya. Sementara Eko Tunas tampil mewakili Semarang dan Tegal. Ia membacakan dua puisi dalam bahasa nasional dan tegalan.
Penampilan Eko mengusung sajak Njaluk Duwité. Ia membaca dua buah puisi di tengah-tengah penonton yang berdesak. Nyong njaluk duwité, nyong njaluk duwité, lengkinan sajak tegalan yang dilepas Eko dengan gaya rocker gaek Ucok Harahab mencengkeram gitar bolak-balik berjalan maju dan mundur, menciptakan nuansa keliaran dengan, luapan, dan harmonisasi terhadap penonton, membuat suasna gegiris dan kemasgulan. Hal yang sama juga terjadi pada saat Nurngudiono membawakan sajak Utang dengan paduan rebana genjring biang yang dikepak pelukis Widodo, dan tiupan trompet yang dimainkan Aziz Ma’ruf. Aktor Bramanthi yang mengusung monolog ‘Waslam’ karya Moch. Hadi Utomo dan juga Bontot Sukandar, Hartono Ch. Surya dengan sajak-sajaknya mengundang kegerahan para penyair Semarang. Mereka seperti tertegun dan tercengan atas penampilan seniman-seniman Tegal.
Keesokan malam di TBS, Selasa (25/11) terjadi hentakan keliaran ekpresif keblakaan bahasa tegalan yang menggemuruh, saat para seniman Tegal meneriakan dinamik dan meluap-luap. Di Gedung Arena Teater Solo, para seniman, mahasiswa, wartawan, dan pengamat sastra berjejal, asyik masgul menyaksikan pementasan mereka. Nurngudiono bersama kelompok rebananya membuka pementasan mengusung lagu Babon Ngoyok-ngoyok Jago disusul Dolanan Rakyat disambut tepukan penonton. Kucuran kata-kata tegalan yang blaka, dan hentakan semakin menjadi-jadi ketika dia mengakhiri musikalisasi puisinya dengan membawakan sajak Utang. Sajak ini berbicara tentang beban utang negara yang sarat. Kolaborasi antara Nurngudiono, dan Nurhidayat Poso sebagai pengendali acara, mencengangkan penonton. Teriakan ‘kata utang’ mereka, memaksa penonton terhenyak dalam kemasgulan karena suguhan mereka total. Juga penampilan Penyair Dia Setyawati tak kalah ekspresif. Dia membawakan sajak Nyangkem dengan goyangan bokong. Nok Ratna meluapkan sajak Wek-wek, Bontot Sukandar, Hartono Ch. Surya dan Dwi Ery Santoso habis-habisan menciptakan pertunjukan semakin dikepung menarik. Suara mereka membuat pengunjung terpaku dan ternganga. Puncak acara, penampilan Bramanthi S Riyadi, melengkapi pementasan. Ia mengusung monolog ‘Waslam’, memainkan peran orang gila penuh tenaga. Ia bergerak ke sana kemari, bertelanjang dada, berdiri di level menyampaikan kegetiran hidupnya di Jakarta hingga gila. Olah vokal, akting yang diekspresikan para seniman Tegal, rata-rata ditumpahkan demikian maksimal untuk kebesaran sastra tegalan.
“Saya puas melihat pentas malam ini. Seniman Tegal dengan Komunitas Sorlem mampu membawakan sastra tegalan dalam perayaan Hari Sastra Tegalan ini, menjadi penanda rujukan semangat kedaerahan. Jadi ciri yang kuat di Tegal itu punya akar tradisi yang membumi daripada daerah lain” ujar Kepala Devisi Sastra TBS, Wijang Warek saat mengomentari pementasan tersebut. Hadir dalam kesempatan itu mantan Sekda Rahadjo Kota Tegal.

PERAYAAN - Penampilan deramawan Bramanthi S Riyadi (telanjang dada) membawakan monolog ‘Waslam’ karya Moch. Hadi Utomo dan Dwi Ery Santoso saat membacakan ‘Brug Abang’ di TBS, Selasa (25/11) juga di TRSS, Senin (24/11) kemarin malam. Kedua seniman Tegal itu mementaskan kebangkitan sastra tegalan dalam perayaan Hari Sastra Tegalan 26 Nopember (Foto : Lanang Setiawan)

Minggu, 23 November 2008

Merenungi Sajak-sajak Tegalan Maufur



Merenungi Kemelaratan dalam Sajak Tegalan
Wakil Walikota Tegal Maufur



MENULIS puisi pada dasarnya suatu pengungkapan secara implisit, samar, dengan makna yang tersirat. Dari persoalan yang remeh temeh seperti patah hati cinta monyet, maupun persoalan yang berat menyangkut kritik sosial dan politik. Dengan menulis puisi, perasaan kita semakin peka melihat fenomena disekiarnya. Konon, bobrok negara kita ini akibat pemimpin kita tak menghargai puisi, yang dapat membentuk karakter dan kepribadian suatu bangsa. Syukurlah, di Tegal, para pemimpinnya masih peduli dan menyukai puisi, sehingga perasaan halus yang timbul dari berpuisi memberi nilai positif atas kebijakannya. Tak asing lagi dengan Wakil Walikota Tegal Dr Maufur doyan menulis puisi tegalan. Hasil puisinya tentu saja apa saja yang baru dilihat, didengar, dirasa menarik untuk dicatat. Pesan yang disampaikan terasa gamblang, karena bagi Maufur yang terpenting puisi itu dapat dimaknai seluruh pembacanya seperti yang tetuang dalam puisi tegalannya berjudul ‘Kanggo Bala Dèwèk’:



Aja maning mung trasi, lokèn ora rèla
aja maning mung puisi, lokèn pan klalèn bala

Umpamané sampèyan ora teka, nyong sing marani
umpamané sampèyan langka, nyong sing nelatèni

Saluguné atiku ora usah dieluk, soalé pancèn ikhlas
satemené sampèyan ora usah njaluk
nyong tetep melas



Satu lagi dalam puisi berjudul ‘PAI’, Maufur menulis bagaimana kelebihan daerah obyek wisata yang ada di Kota Tegal. Ia berseru dalam puisi tegalannya.

Ora mung nyong tok sing ngerasakna
sampèyan takon wong liya ya kena
pai tunggalé ora nana
saiki apiké mbang kana-kana



Ésuk srengèngèné katon gedé
yèn awan ombaké mèdé-mèdé
soré angin krasa semripit
apa maning jalan-jalan numpak pit



Yèn bengi lampuné terang benderang
dolanané ya pirang-pirang
panganan komplit ora bakal kurang
mlebuné mbayar ora larang



Yuh sedulur pada mana sorè-soré
bèn ora mung jaré-jaré
yèn pai kiyé wis dirèka-rèka
dadi keminclong laka-laka


Selain menyoroti dan mengagumi PAI sebagai asset wisata satu-satunya yang dipunyai Pemkot Tegal, Apung, demikian sapaan akrab Maufur tak ketinggalan merenungi kemlaratan. Ya, malat, siapapun pasti mengenalnya, sebagai ‘kawan setia’ hidupnya. Maufur mencoba mendedah, lewat puisinya berjudul ‘Lara Ning Njeroné Mlarat’. Di bait pertama digambarkan kisah melarat, dengan jenaka sbb:



Aja maning ngimpi, turu baé durung
aja maning ngopi, nggodog banyu baé wurung
pribèn pan ngango topi, wong ning ngisoré nganggo sarung
apa maning ka mangan daging sapi ning warung



Pancèn uripé nyong nelangsa
apa-apa kayongé ora bisa....


Namun apakah mlarat selamanya tak bisa diubah? Artinya sudah jadi takdir yang harus kita terima? Setelah ikhtiar kemana-mana? Yang mesti dilakukan tawakal, menerima keikhlasan takdir-Nya. Itu satu-satunya jalan selamat hidup yang diyakini Maufur melepas duka lara mlarat.



Tapi merga wis biasa
dadi ya ora perlu putus asa
nyong kudu nerima takdir Gusti
sing wis nentukna lair lan pati
sauwisé ndonga saban dina



Nyong yakin angger tulus ikhlas
nyong bakal lulus bablas
ning pinggiré Gusti sing mahawelas
nyong ayem selawas-lawas
amin

Begitulah perenungan puisi tegalan Maufur yang mampu menangkap ungkapan kepiluan jiwa masyarakat kita yang masih dibelit kemiskinan. Maufur sepertinya tengah menangis orang-orang yang bernasib papa, tapi sekaligus optimis menatap masa depan, bahwa hari ini lebih baik dari hari kemarin.
Sajak-sajak tegalan itulah yang dibacakan oleh penyair HM. Iqbal di Taman Raden Saleh Semarang (24/11/2008) dan di Taman Budaya Surakarta (25/11/2008) lalu (Eka Dilah)

KETERANGAN GAMBAR : Wakil Walikota Tegal, Dr. Maufur







Lawatan Seniman Tegal ke TRSS dan TBS


SenimanTegal Lawatan Budaya
ke Dua Kota

SENIMAN Tegal Hartono Ch. Surya merasa siap melakukan lawatan budaya ke dua kota di Jawa Tengah. Dalam lawatan budaya pada acara Perayaan Hari Sastra Tegalan dimulai hari ini (24/11) ke Taman Raden Saleh Semarang dan Taman Budaya Surakarta (25/11), Hartono mengaku antusias untuk menggebrak pembacaan di dua kota itu dengan keseriusan maksimal untuk menjaga kebesaran nama Kota Tegal dan para seniman di dalamnya. Ia akan membacakan sajak terbarunya berjudul ‘Hompimpah’.
“Saya sudah siap melakukan lawatan pada Perayaan Hari Sastra Tegalan yang jatuh pada tanggal 26 Nopember mendatang,” kata Hartono di sela-sela latihan kencangnya bersama para seniman yang tergabung di Komunitas Sorlem.
Menurut dia, puisi ‘Hompimpah’ berbicara tentang demokrasi semu, demokrasi tawar-menawar, bursa kekuasaan. “Ibarat bermain hompimpah, kekuasaan adalah semacam membolak-balik tangan, main-main tapi serius, serius tapi main-main. Di sana ada pasar bursanya dan yang terlibat di dalamnya haruslah orang-orang berduit, maka kekuasaan begitu mudah didapat,” tandasnya.
Kekuasaan yang didapat dengan cara hompimpah, maka, katanya lebih lanjut, rakyat tetap saja sebagai obyek penderita. “Ketika mereka telah duduk di dalam gedung, mereka tak lagi peka terhadap jeritan rakyat. Karena gedung-gedung mereka telah kedap suara”
Selain Hartono Ch. Surya, dalam lawatan tersebut ada pula Bramanthi S Riyadi, Joshua Igho, HM. Iqbal, Diah Setyawati, Bontot Sukandar, Dwi Ery Santoso, Nurngudiono, Nurhidayat Poso, Ratna, dan lain sebagainya.
Seperti yang pernah diberitakan dalam NP di kolom wawancara Sabtu lalu, Bontot Sukandar dari Komunitas Sorlem mengatakan, kesengajaan para seniman mengusung bahasa Tegal di dua kota itu semata-mata untuk perjuangan sastra tegalan agar mampu eksis dan menembus batas wilayah, tidak hanya terkungkung di daerah Tegal (LS )

KETERANGAN GAMBAR -
Tampak gaya penyair Hartono Ch Surya saat latihan baca puisi untuk kemantapan melakukan lawatan budaya di dua kota di Jawa Tengah, Semarang dan Solo.

MONOLOG WASLAM karya HADI UTOMO


Waslam

(sebuah monolog Tegalan)
Daning : M.Hadi Utomo

WIS seprapat jam luwih Waslam ana nang dhuwuré Tugu Monas.Waslam ngadeg persis nang puncité,nang geni murub sing kuning emas.Awaké sing ora nganggo klambi katon ireng menges kesorot srengéngé jam sanga awan.Kringeté dlèwèran nang rai lan awaké sing gagah pethekel. Matané sing abang kaya saga, nyapu pemandangan kota Jakarta sing ana nang ngingsoré.Pemandangan sing ajib nemen.
Gedhong-gedhong sing dhuwur, menara lan kubahé Mesjid Istiqlal, menarané Gereja Theresia sing pirang-pirang pating crengingih,kabèh katon wèlan nemen.Kendaraan sing wira wiri pating sliwer katon cilik-cilik kaya cèbong.Menungsa sing padha mlaku nang Jalan Silang utawa sing lagi olah raga katon kaya semut rangrang.
Waslam èsih ngadeg jejeg, tangan kiwané malangkerik,tangan tengené tudhang tudhing persis kaya bajag laut sing nang dhuwur prau. Nang antarané suwara èwuan kenalpot kendaraan sing mbudhegi kuping, Waslam gemboran karo gemuyu ngakak.
“Hahahahaaaaa…..Hééééiii…Kiyèh aku sing arané Waslam ! Wasss…..lam ! Waslam bin Kasnan ! Yaaah, bapané nyong pancèn arané Man Kasnan. Man Kasnan sing wis mati lagi nyong umur telung taun. Adhiné nyong…wadon…arané Ta-ri-ni…Lagi bapané mati,Tarini tèsih bayi. Ngarti kowen ? Lhah manéné aku, arané Bi Niti, randha sepocong, asalé sing mbang kidulé Margasari. Héééééiiii….kiyèh aku…sing arané Waslam. Raimu padha krungu apa ora ?” Suwarané Waslam seru nemen kaya kemlandhang. Nyebar maring endi-endi ora. Tapi terus klelep daning suwarané lalu lintas sing ruwed nemen. Suwara klakson mobil-mobil sing macet, suwara sempritané pulisi lalu lintas,awor dadi siji.Weruh akèh kendaraan sing macet nang Bunderan H.I. Waslam gemboran maning karo terus gemuyu ngakak daea nemen.
“Hééé….! Supir-supir goblog ! Aja terus mengidul hoo. Wis weruh macet ya padha umpel-umpelan baé. Mlègok ngiwa, goblog ! Iyaa…manjing Imam Bonjol terus liwat Kuningan. Supir kunyuk !”. Tangané Waslam terus tudhang-tudhing kaya pulisi lalu lintas.Tapi kendaraan malah sangsaya macet.Supiré belèh urusan.Pancèn. Suwarané Waslam ora keprungu. Monia keprungu ya ora bakal dirèwès. Apa maning Waslam ngomongé nganggo basa Tegal medhok nemen. Rumangsa suwarané ora dirèwès, Waslam misuh-misuh.Raimu ! Asu ! Bangsèt ! Tapi menungsa sing ana nang ngingsor tetep ora ngrèwès. Waslam nglinguk mendhuwur.Matané silo.Srengéngé sing sangsaya dhuwur mantulaken soroté sing jendela kaca gedhong-gedhong bertingkat nang jalan Thamrin karo Merdeka Barat. Waslam mingser. Saiki ngadegé madhep ngalor.persis adhep-adhepan karo Istana Merdeka.Weruh CPM sing lagi jaga, Waslam ngawé-awé.
“Héé , Mas,Pak ! Rika weruh nyong apa ora ?” CPM sing lagi ngadeg jejeg malah ngangkat tangan tengené karo sikap hormat.Waslam uga mèlu sikap hormat,ndegèg karo tapak tangan tengené nang kuping. Jebulé Waslam salah tampa. CPM kuwé hormat maring tentara sing pangkaté kolonel nang jero jip tentara sing arep maring istana. Ngrasa dhèwèkè kecelik, Waslam malah gemuyu ngakak nganti kesenggruk watuk-watuk.Bar kuwé Waslam gemboran maning,embuh ngomongé apa,terus gemuyu maning,watuk maning,gemboran maning….
“Héééé…! Kiyèh..aku sing arané Waslam.Waslam sing wis limalas taun urip nang Jakarta.Aku sing wis dadi lemahé Jakarta. Dadi lumpuré Jakarta. Dadi runtahé Jakarta…Dadi tainé Jakarta…Ngarti, raimu….? Awit umur nem taun aku digawa manéné, manjing maring alas rungkut sing arané Ja-kar-ta…Aku karo adhi wadon sing aranéTarini dadi gèmbèl nang Senen. Umahé kardus karo plastik nang pinggir dampar sepur.Aku wareg mrangkang nang pojok-pojoké Jakarta.Wareg nginung banyu Ciliwung sing buthek lethek.Lagi cilik wareg ngemis nang pasar Tanah Abang. Terus dadi tukang semir nang terminal Pulogadung. Bareng rada gedhé dadi tukang parkir,terus dadi kenek metro mini,terus munggah pangkat dadi tukang kadhèt nang bis kota. Dadi tukang todong nang jembatan penyebrangan ya wis tau.Pokoké nyong wis sering manjing metu tahanan.Mulané saiki aku wani sesumbar…kiyèh sing arané Waslam…bekas jegèr nang komplek pelacuran Rawabangke…Heeeeiiii !!…kowen padha krungu apa ora…??? Hahahahahaaaaa….”
Kurang luwih wis setengah jam Waslam nang nang puncité Tugu Monas. Geni emas sing murub sangsaya mencorong kenang srengéngé awan. Waslam sing wuda klambi mung nganggo clana lepis sing wis rodhal-radhil, persis kaya kethek Anoman pan manjing geni nang crita Ramayana. Waslam wis rada kesel jerat-jerit dhèwèkan nang puncit Monas.Ujug-ujug dhèwèké krungu suwara lamat-lamat. Waslam milang-miling nggolèti asalé suwara sing keprungu sangsaya cetha.
“KangWaslaaaaam…Kaaaaang….KangWaslaaaam..Sampéyan lagi apa nang ndhuwur kaya kuwe ?” Waslam kagèt krungu suwara bocah madon sing ora liya adhiné dhèwèk si Tarini. Waslam lingak linguk nggoleti pernahé suwara mau.
“Niiiiii…Tariniiiiii..!! Kowen lagi nang endi ? Nyong ora weruh.” Ngomong kaya kuwé Waslam karo clingukan, tèsih durung weruh nang endi asal suwarané Tarini. “ Enyong nang kéné Kang. Sampèyan madhep ngulon gèn. Kiyèh lagi ngepé kumbahan nang lotèng. Nang umahé majikan…” Tarini ngomong maning.Waslam madhep mengulon.Akh,bener. Nang antarané gendhèng-gendhèng umah sing dhuwur-dhuwur, Waslam weruh adhiné lagi lagi ngepé kumbahan nang loteng. Waslam gèdhèg-gèdhèg karo ngomong dhèwèkan.
“Ni, Ni. Jebulé kowen saiki wis prawan.Sapa sing ngira adhiné nyong sing mauné polar-polor,wetengé mblendhing, saiki wis dadi prawan.Kulité pancèn ireng.Cunguré ya ora mbangir.Lambéné kandel. Tapi…(Waslam mesem)… ehm..bokongé gedhé..susuné ya monthok nemen..”
“Kang Waslam, sampéyan lagi apa nang kono.Ati-ati mbokan tiba…” suwarané Tarini sing kadohan.
“Aja watir Niii…Aku kan lagi dadi raja…Mulané kudu nang dhuwur.Sing nang ngingsor kabèh rakyaté aku. Hahahahaaaa…” Waslam gemuyu kaku karo cekelan weteng. “Nii, priben kabaré kowen, melu majikan kiyé ? Wongé bener apa ora ?”
“Embuh Kang, aku durung pati ngarti. Soalé nembé sawulan”
“Mbokan majikané kowen mblunat, kowen lapor maring aku ya ? Awas..anggere majikané kowen cluthak. Sing penting angger majikan wadoné kowen ora nang umah,terus majikan lanangé kowen dhèwèkan, kowen kudu ngati-ati..”
“Iya kang waslam, aku ngati…”
“Terus angger bengi kowen lagi turu, aja klalén lawangé dikancing. Mbokan ana sing nothok-nothok lawang, poma aja dibuka”
“Iya Kang”
“Nii, kowen nang kono dibayar pira,Nok ?”
“Dibayar 75 èwu Kang”
“Ya wis, ora papa.Sing penting majikané ora kurang ajar,bayarané ora telat.Angger kurangajar mengko tak oncogi. Tak khajar sisan…Aja klalèn ngirim Mané ya…?”
“Iya Kang. Wis ya Kang, aku pan nutugna nyambet gawé”
Waslam seneng nemen weruh adhiné lagi kerja dadi pembantu. Tetrus dhèwèké lingak linguk maning.Nyawang mengidul nang Kebayoran , Waslam weruh akèh kuli bangunan lagi pada kerja nang proyek. Jebulé akèh kancané sing kenal. Ana si Surip, Bodong,Daman, Rosid lan sèjèn-sèjèné.Waslam undang-undang.
“Héééé…batir-batir…kerjané mandheg dingin. Deleng méné kiyèh…Enyong Waslam, lagi dadi raja. Hahahahaaaa….” Wong-wong sing lagi pada kerja mandheg, pada nyawang maring Tugu Monas. Weruh ana Waslam nang dhuwur, kabèh padha surak-surak karo ngawé-awé.
“Hidup Waslam…! Hidup Waslaaaam !”
Waslam bungahé ora kira-kira. Terus gemboran maning,gemuyu ngakak dawa nemen. Tapi ujug-ujug cep,gemuyuné Waslam mandheg. Sing ngingsor Waslam krungu suwara sirine nguing nguing. Suwarané 2 mobil branwir manjing nang Jalan Merdeka Selatan Nang buriné mobil branwir nginthil mobil ambulan.Kabèh pada marek maring Tugu Monas. Suwara sirene mandheg, ganti suwara wong sing nganggo seragam abang-abang karo ngadeg nang andhané mobil, gembor-gembor nganggo megapon seru nemen.
“Héé ! Kamu yang diatas ! Turuuun !”
“Siapa yang dikongkon turun Pak ?”, Waslam njawab karo matané mendelik.
“Kamu,goblok ! Kamu siapa sih, kok berani-beraninya naik Monas begitu ?”
“Saya Was-lam. Bisané Bapak nggoblog-nggoblogin saya sih ? Bapak belum kenal saya ya ? Nih, saya yang namanya Waslam. Waslam bin Kasnan..asli wong Tegal…Hahahaaaa….”
Wong-wong sing nang ngingsor sangsaya akèh. Gemrumut kaya semut, karo padha ngomong ramé nemen.
“Ada orang stres !! Noh,liat diatas ! Gila bener dah”
“Hooh..gimané dié naiknyé yéh..”
“Tauk. Gua juga heran”
Kendaraan sing kebeneran lagi liwat nang Jalan Silang,Merdeka Barat,Harmoni,Gambir,Tamrin,Duku Atas,padha mandheg kabèh. Penumpangé padha mudun,kabèh padha ndhengak ndeleng maring puncité Tugu Monas.Weruh pemandangan sing ramé kaya kuwé Waslam malah surak-surak karo gemuyu ngakak seru nemen.
“Ah,gila tu orang.Nggak pake baju lagi”, jaré pulisi sing ndeleng mendhuwur nganggo keker.Suwasana nang ngingsor sangsaya ruwed.Mobil-mobil Pemadam Kebakaran sing ngiteri Tugu Monas molai ngetokna andha sambungan sing dhuwur nemen. Anggota barisan kebakaran mulai munggah nang anda sing paling dhuwur. Ora let suwé ujug-ujug ana helikopter sing marek maring Tugu Monas.Weruh ana helikopter marek nang dhuwur endhasé,Waslam ndadak nyopot clana jiné.Clana sing wis rodhal-radhil di obat-abitna.Embuh maksudé apa.Helikopter sangsaya parek nang puncite Monas.Helikopter kuwé ngetokna tali nglawèr mengisor. Terus ana tentara sing mluncur nang tali. Wong-wong sing padha nang ngingsor mung nyawang kamitenggengen weruh pemandangan sing kaya kuwé. Ujug-ujug, syuuuut,mung pirang detik, Waslam disaut terus dikempit daning tentara sing nang pucuké tali.Wong-wong padha surak ramé nemen. Helikopter sing nggawa Waslam muter sepisan ngubengi Monas terus minger mengètan.Sangsaya adoh…sangsaya adoh….*

Slawi. 17 Oktober 1994









Monolog Tuma Eko Tunas


Monolog Eko Tunas:
Mencari Kutu Peradaban


PEREMPUAN dengan rambut panjang tergerai itu bernama Turah. Tak seperti kebanyakan pencitraan perihal perempuan berambut panjang yang biasanya direpresentasikan sebagai perempuan elok, maka Turah justru paradoks dari gambaran tersebut.
Soalnya, pada rambut Turah yang panjang itu, dipenuhi oleh tuma! Ya, tuma (kutu)! Celakanya, cuma Turah seorang di zaman kini yang memiliki tuma. Maklumlah, peradaban modern dengan segala aksesoris hidup, tak lagi memberi ruang buat tuma hidup.
Cerita tuma tersebut, kata Eko seusai pentas, sebetulnya dia ambil dari filosofi masyarakat Jawa.
Untuk menengarai betapa istimewanya filosofi tuma tersebut, tak heran jika cuma binatang tuma saja yang memiliki penamaan berbeda-beda dalam siklus metamorfosanya.
Telur tuma, orang Jawa menyebutnya lingsa yang diterjemahkan sebagai eling (ingat) asal muasal kejadian manusia. Anak tuma disebut sebagi kor, yang berarti kita harus rela berkorban. Dan,..tuma, berarti tumanja…, bahwa hidup mesti berarti buat sesama. Adapun rambut, tempat bagi para tuma berlindung diterjemahkan sebagai rambataning urip (jalan hidup), serta sirah (kepala) sebagai sumber kehidupan tuma diterjemahkan sebagai isining wewarah (berisi pengetahuan).
Monolog berjudul Tuma yang dibawakan Eko Tunas dalam bahasa Tegal di Warung Apresiasi (Wapress), Bulungan, Jakarta Selatan pada Senin (30/8), merupakan rangkaian dari road show aktor kelahiran Tegal yang kini mukim di Semarang tersebut.
Jakarta, kata Eko adalah kota ketiga belas yang disambanginya. Pertunjukan monolog berdurasi satu jam itu menurut Eko, dibuat tanpa naskah.
“Saya hanya improvisasi di atas panggung. Itulah sebabnya, satu pertunjukan dengan pertunjukan lainnya pasti berbeda,” kata Eko Tunas.
Meski menggunakan bahasa Tegal dalam monolognya, toh penonton tampaknya mengerti dengan pesan yang ingin disampaikan Eko. Maklumlah, sebagai aktor Eko telah menunjukkan kematangannya.
KETERANGAN GAMBAR - Eko Tunas seniman Tegal yang sekarang mulai banyak menggeber sastra lokal kemana dia melanglang untuk monolog dan baca puisi tegalan

Sabtu, 22 November 2008

Mengenal Seniman Dwi Ery Santoso


Dwi Ery Santoso

Kesenian Sebagai

Penyeimbang Kecerdasan


Ide sekolah gratis, harus dimaknakan dengan tidak menghapus pemberdayaan masyarakat di sektor pembiayaan. Sekecil dan seringan apapun peran masyarakat, itu akan mendukung pencepatan mutu peningkatan pendidikan secara utuh. “Dalam mengelola pendidikan sekarang ini, yang terpenting adalah transparasi berbagai pihak. Artinya, semua elemen punya tanggungjawab terhadap kemajuan dunia pendidikan, termasuk soal biaya,” kata Kepala SD Negeri Tegalsari 8 Kota Tegal, Dwi Ery Santoso di rumahnya Jalan Cinde Nomor 45, Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal, Sabtu (22/11) kemarin.

SETIAP laku adalah kesaksian. Kalimat itu mengiringi perjalanan hidupnya sebagai pendidik hingga akhirnya menjadi kepala sekolah, yang tak lepas dari kegiatan berkesenian yang sudah ditekuni sejak masih sekolah. Selain teater dan musik, semasa kanak-kanaknya, bakat melukis Dwi Ery Santoso yang akrab disapa Ery ini, pernah membuahkan prestasi pada Hari Nelayan Nasional tahun 1967.

“Meskipun masih secara setengah-setengah, sejak anak-anak memang saya suka berkesian. Waktu itu bakat yang menonjol adalah seni lukis. Kalau menulis puisi atau ceritera, baru saya lakukan setelah menginjak di bangku SMP. Baru saat saya menjadi siswa SPG, bakat seni saya mulai merambah dunia teater,” kata pendiri sekaligus ketua Teater Massa Hisbuma.
Dari panjangnya catatan perjalanan berkesenian Ery, sampai ketika dia harus menjadi seorang pendidik, keduanya selalu saling bersinggungan. Antara kesenian dan tugasnya sebagai seorang pendidik, selalu beriringan, seirama saling menunjang satu-sama lainnya.

“Pada dasarnya, kesenian itu tidak akan lepas dari dunia pendidikan. Kesenian sangat dibutuhkan dalam pendidikan, karena selain sebagai penyeimbang ilmu eksa, juga idealnya seorang siswa dibekali kecerdasan yang lain seperti kecerdasan sosial, agama dan seni. Sehingga yang akan terjadi, perkembangannya bisa menyeimbangkan fungsi otak kanan dan otak kiri,” ujar kepala sekolah yang pernah mengantar SDN 8 Tegalsari sebagai Pemenang Seleksi Konfrensi Nasional Komite Sekolah di Cipayung, Jabar tahun 2007 kemarin.
Keberhasilannya mengantar komite sekolah di SD yang dia pimpin, tentu saja tidak lepas dari pandangannya tentang dunia pendidikan. Menurut Ery yang pernah menjadi peserta Seminar Nasional Best Praktis Pengelolaan Sekolah di Cipayung, Jabar tahun 2007 dan 2008 itu, bahwa dalam mengelola pendidikan sekarang ini yang terpenting adalah transparasi berbagai pihak. Artinya, semua elemen punya tanggung jawab terhadap kemajuan dunia pendidikan, termasuk menanggung bersama biaya pendidikan.
“Tentang ide sekolah gratis, harus dimaknakan dengan tidak menghapus pemberdayaan masyarakat di sektor pembiayaan. Sekecil dan seringan apapun peran masyarakat, itu akan mendukung percepatan mutu peningkatan pendidikan secara utuh,” ujar teaterawan yang memberikan pelatihan teater di lima sekolah. Ery juga piawai dalam melatih siswa membaca puisi, sehingga dari sekian banyak siswanya, sudah mengorbitkan tujuh legenda pembaca puisi tingkat lokal dan Jateng.
Untuk mewujudkan pencepatan mutu pendidikan, lanjut Ery, perlu digalakkan pengembangan ekstrakulikuler, kelengkapan perangkat, alat pembelajaran dan pembinaannya, karena aspek kopentensi harus benar-benar realistis terhadap pencapaian target kurikulum di seluruh mata pelajaran.

“Selama ini yang benar-benar kopentensi baru mata pelajaran yang di ebtanaskan. Nah untuk mencapai target itu, dibutuhkan kesinergisan seluruh stake holder sekolah. Tentu saja dengan menggerakkan fungsi-fungsi komite sekolah, terutama fungsi pertimbangan, memberi support dan pengawasan. Selama ini hal itu belum dijalani, termasuk pembekalan kepada siswa kecerdasan yang lain seperti kecerdasan sosial, dan berkesenian,” papar pria berkumis yang dilahirkan di Tegal, 21 September 1957.
Pendek kata, lanjut Ery, kepala sekolah sebagai manajer dan motivator harus bisa memacu komite sekolah agar mampu mengajak masyarakat tetap menyumbang biaya pendidikan sekecil dan seringan apapun. Selain itu, satu hal yang penting, kepala sekolah mampu mendorong pencapaian dengan meningkatkan program-program ekstrakulikuler di bidang psykhomotorik dengan forum praktek, baik mata pelajaran ketrampilan, kesenian, olahraga dan pramuka. Sekolah yang berkembang, adalah yang mampu meningkatkan jalinan kerja sama dengan institusi pendidikan yang lain, misalnya perguruan pencak silat, lembaga pendidikan komputer, serta pelatihan-pelatihan kesenian diantaranya teater, baca puisi.
“Siswa yang pandai dalam mata pelajaran, belum tentu pandai bicara ketika menghadapi banyak orang. Namun ketika sejak dini siswa terlibat dalam kegiatan kesenian, misalnya teater, siswa tersebut telah terlatih untuk percaya diri, serta tidak canggung lagi menghadapi banyak orang. Siswa yang pandai baca puisi, dia akan terlatih bicara di depan umum, tentu saja dengan bahasa yang halus,puitislah,” ungkap Ery yang sudah menerbitkan Antologi Puisi Muara Bercahaya’ tahun2005 dan Antologi Puisi Tegalan ‘Brug Abang’ tahun 2007. Dia juga sudah menyutradarai tidak kurang dari 41 pentas teater, bersama Teater Massa Hisbuma yang didirikannya pada tahun 1986. Prestasinya di teater menghantar pula sebagai Sutradara Terbaik II se Eks Karesidenan Pekalongan dan Banyumas, dan Pemeran Utama Pria Terbaik II se Eks Karesidenan dan Banyumas tahun 1985.
Kiprah berkesenian Ery memang tidak diragukan lagi. Eksistensinya memajukan dunia pendidikan, pun dilakukan terus-menerus tanpa ada kata lelah. Di SDN Tegalsari 8 Kota Tegal yang dia pimpin, ukiran prestasinya menjadi bukti semangatnya. Pertama dia masuk sekolah itu, dilemari kaca hanya berjajar tujuh piala. Tapi sejak dia memacu anak didiknya dengan pendekatan estetika seni, lebih dari 30 piala dari berbagai bidang sudah berjajar memenuhi lemari kaca tersebut.
Jadi kematangan Ery dalam berkesenian, bukan karena karbitan yang muncul mendadak atau karena dipaksakan. Di tahun 1975, ketika dia masih tercatat sebagai siswa SPG Negeri Tegal, tergolong aktif dalam kegiatan seni sehingga dia menjadi motor bangkitnya teater sekolah. Itu dibuktikan, sekolahnya selalu menjadi juara festival teater SPG se Karesidenan Pekalongan. Bukan hanya itu, dalam bidang musik dia juga mampu mengukir prestasi, sehingga dari eksistensinya berkesenian, dia mendapatkan beasiswa Sipersemar melalui Bakat dan Kreatifitas siswa.
Namun semenjak menyandang profesi sebagai pendidik di usianya yang relatif muda, selain terus berkesenian Ery juga aktif di berbagai organisasi kepemudaan, diantaranya pengurus di MPC Pemuda Pancasila dan pengurus DPD II KNPI Kota Tegal. Aktifitas keseniannya terus dikembangkan, salah satunya sebagai pengasuh acara sastra di Radio Anita FM dari tahun 1987 sampai 1997, dan penggiat Studi Grup Sastra dan Teater Tegal.
Dipilihnya seni teater sebagai fokus eksistensinya, menurut Ery yang sejak tahun 1999 menjadi Ketua Komite Seni Teater Dewan Kesenian Kota Tegal sampai sekarang, karena bidang seni teater mampu mengakomodir semua jenis kesenian maupun organisasi dan manajemen. Dengan pemikiran semacam itulah, Teater Massa Hisbuma yang ber-basecamp di Kampung Mangundipuran, Kelurahan Mintaragen adalah buah manis yang prestasinya terus melambung sampai sekarang. “Kekerabatan dan primodialisme di perkampungan membuat terater kami lancar berproduksi, karena lebih terimbas ke dalam nuansa teater rakyat. Namun karena faktor usia para pendukungnya, maka untuk menghindari stagnan terjadilah tambal sulam pergantian pemain. Kami selalu melakukan kaderisasi, termasuk melakukan simbiose mutualistis terhadap perkembangan pembinaan teater pelajar,” tutur Ery yang pada hari ini, Senin (24/11) melakukan lawatan pembacaan puisi tegalan di TRSS Semarang dan Selasa (25/11) besok di TBS Solo (SL. Gaharu)



Nama: Dwi Ery Santoso
TTL: Tegal, 21 September 1957
Alamat: Jalan Cinde Nomor 45 Kelurahan Tegalsari, Kota Tegal.
Pekerjaan: Kepala SD Negeri Tegalsari 8 Kota Tegal.

Pendidikan:
SDN 19 Kota Tegal (lulus 1970)
SMP Ihsaniyah Kota Tegal (lulus 1974)
SPG Negeri Kota Tegal (lulus 1977)
PGSD UPBJJ Semarang (lulus 1997)
S1 Unnes Semarang Fakultas Ilmu Sosial: Pendidikan Sejarah (lulus 2004)

Pengalaman Organisasi:
Ketua Komisi Manajemen, Humas dan Komunikasi DPD II KNPI Kota Tegal (1996-sekarang). Ketua Komite Seni Teater Dewan Kesenian Kota Tegal (1999-sekarang). Ketua Seni Budaya MPC Pemuda Pancasila (PP) Kota Tegal (2001-sekarang). Pendiri/Ketua Teater Massa (1986-sekarang). Ketua Forum Silaturahmi Alumni SPG Negeri Tegal (1997-sekarang)

Penghargaan:
Lomba Puisi Heroik di Semarang (1983). Sutradara Terbaik II se Eks Karesidenan Pekalongan dan Banyumas (1985). Pemeran Utama Pria Terbaik II se Eks Karesidenan dan Banyumas (1985). Pentas Apresiasi Seni Jateng di Kota Tegal (1996). Jambore Nasional tingkat Nasional (1996). Lomba Sandiwara Berbahasa Jawa Tingkat Nasional (1997). Lomba Seni Teater Bengawan Solo Fair tingkat Nasional (1998). Penyuluhan dan Work Shop Terater Anak tingkat Nasional (1999). Pesta Siaga tingkat Nasional (1999). Festival Teater Apresiasi Seni Budaya tingkat Nasional (2002). Juri Festival Musik Jalanan se Eks Karesidenan Pekalongan (2004). Lencana Pancawarsa V tingkat Nasional (2004). Lencana Pancawarsa VI tingkat Nasional (2008). Pelatih KMD tingkat Kota Tegal (2006 dan 2007). SDN 8 Tegalsari sebagai Pemenang Seleksi Konfrensi Nasional Komite Sekolah di Cipayung, Jabar (2007). Peserta Seminar Nasional Best Praktis Pengelolaan Sekolah di Cipayung, Jabar (2007 dan 2008).

Karya dan Prestasi:
Puisi-puisinya terhimpun dalam Parade Puisi tiga kota, Tegal, Yogyakarta dan Jakarta. Antologi Puisi Heroik terbitan Keluarga Penulis Semarang (1992). Antologi Puisi ‘Nelayan Nelayan Kecil terbitan Teater Massa Hisbuma (1999). Antologi ‘Jentera Terkasa’ dalam Puisi 2000 terbitan Dewan Kesenian Jawa Tengah (2000). Antopologi Puisi ‘Potret Reformasi dalam Puisi Tegalan' terbitan Jurnal TEGAL TEGAL (2000). Antologi Puisi ‘Juadah Pasar’ bersama 52 penyair Tegal (2002). Kumpulan puisi ‘Mimbar Penyair Tegal’ (2005). Kumpulan Puisi ‘Penyair Angkatan TEGAL TEGAL’ (2006). Antologi Puisi ‘Muara Bercahaya’ karya Dwi Ery Santoso (2005). Antologi Puisi Tegalan ‘Brug Abang’ (2007). Membaca puisi tegalan di TMII Jakarta (2008). Juara I Lomba Penulisan Naskah Sandiwara Berbahasa Indonesia tingkat Jawa Tengah (2007). Lawatan pembacaan puisi tegalan di TRSS Semarang dan TBS Solo (2008). Menyutradarai tak kurang 41 lakon teater produksi Teater Massa Hisbuma.

Motto: Setiap laku adalah kesaksian, kepedulian terhadap sosialisasi kebersamaan untuk kesenian.

Jumat, 21 November 2008

Sajak-sajak SAUNAN RASYEED


Saunan Rasyeed

Prodeo

Ada polisi dipenjara
Ada jaksa dipenjara
Ada hakim dipenjara

Niiiiih! Hanya aku yang tidak
dipenjara ra ra ra…ha ha ha

Anggota dewan dipenjara…
Konglomerat dipenjara…
Maling ayam dipenjara….

Oiiii! Hanya aku yang boleh
sombong..bong..bong..bong..

Guru cabul dipenjara..
Gubernur dipenjaraipenjara…
Pak Lurah dipenjara

Walaaah…hanya aku yang boleh
takabur..bur..bur..bur..

Bupati dipenjara…
Aktifis dipenjara…
Dalang kondang dipenjara…

Oiii…para pencinta dunia..ya ya ya…
Banguun..banguun…karena kita semua
sedang terpenjara…


Inginku

Inginku..berteriak sejuta maaf pada semua orang…
Inginku..maafku adalah maaf semua orang..
Memaafkanku adalah memaafkan semua orang..

Inginku..senyummu adalah senyumku..
Bahagiamu adalah bahagiaku..
Air matamu adalah air mataku..
Deritamu adalah deritaku..

Inginku..Laparmu adalah laparku..
Kenyangku adalah kenyangmu..
Inginku..Inginmu adalah inginku..
Inginku..berhentilah saling menyakiti..


Ruwet

Ruweet! Sana sini ruweet..
Depan belakang..Ruwet..
Kanan kiri ruwet..
Atas bawah yaa ruweet.. ruwet..ruweet..

Haaaah! Ups! Cahaya apa di lorong sana ..
Kuikuti..Yees! ternyata menuju otak dan kalbu..
Alhamdulillah..untung aku bukan
komputer made in yahudii..


Saunan Rasyeed adalah salah satu penyair yang puisinya tak banyak diketahui masyarakat, namun semasa dia dibangku SLTA, tak pernah lepas memuncratkan karya puisinya pada buku hariannya. Kini Saunan salah satu pimpinan di hotel Kota Tegal, bergaul tak hanya terbatas di kalangan pengusahan, perhotelan, pejabat namun lemprakan pula dengan para seniman menjadi kesenangannya, karena merasa 'adem ayem' duduk bersama mereka




Kamis, 20 November 2008

LAWATAN BUDAYA


Dalam Rangka ‘Hari Sastra Tegalan’

Mamet Usung ‘Waslam’
ke TRSS dan TBS



“HAHAHAAAA…hèèèiii…kiyé aku sing arané Walam! Was-lam. Waslam bin almarhum Kasnan. Yah, bapané nyong pancèn arané Man Kasnan, sing wis mati lagi nyong umur 3 tahun. Adiné nyong wadon sing arané Tarini, waktu kuwé ésih bayi. Manèné aku arané Bi Niti, randa sepocong sing ana ning dèsa kidulé Margasari. Hèèè…hahahaha…kiyèh, aku sing arané Waslam. Kowen pada krungu belih?”
Suara Waslam menggelegar di puncak Tugu Monas. Menyebar ke seluruh penjuru. Lalu-lintas macet, orang-orang mendongak ke atas, melihat Waslam bertelanjang dada berdiri di atas Tugu Monas. Waslam ngomel-ngomel melihat kesemrawutan lalu-lintas di perempatan Bunderan HI. Ia kadang ketawa semaunya, kadang juga marah sejadi-jadinya ketika melihat Abang Becak yang menyerobot ugal-ugalan di tengah hirukpikuknya Kota Metropolitan. Orang-orang dan para pemakai kendaraan yang berjubel, terheran-heran melihat Waslam.
Lima belas tahun Waslam hidup di Jakarta, jadi gembel di daerah Senen. Berumah kardus dan plastik di pinggir rel kereta api, membuat lika-liku kesumpekan, kebengalan, dan kepongahan Jakarta dia kenali betul. Lima belas tahun, penghasilan Waslam tak menetap, ia menjadi kenet, tukang semir sepatu di terminal Pulo Gadung, bahkan jadi tukang todong di jembatan penyebarangan. Waslam ibarat ingus, nafas, dan bahkan tai-nya Kota Jakarta.
Waslam jadi gila, tergencet karena kota semakin maju, dan ketimpangan sosial di mana-mana, mengepung, menyumbat, membikin sesak Jakarta. Waslam terlunta-lunta, terseret-seret arus kegilaan Jakarta yang pada akhir puncaknya, Waslam menjadi gila. Ia naik pun naik ke Tugu Monas, berteriak-teriak kepada orang-orang di bawahnya. Tindakan Waslam merepotkan, keadaan kisruh. Petugas Pemadam Kebakaran turun tangan. Seorang menaiki tangga. Sebuah Helikopter berputar-putar di atas kepala Waslam. Ia bersorak, dan makin compong. Waslam melambai-lambaikan celana dalamnya. Waslam disaut Tim SAR Helikopter, lantas dibawa terbang menggunakan bersama Helikopter.
Demikian sepenggal monolog tegalan berjudul ‘Waslam’ karya Moch. Hadi Utomo yang dimainkan Bramanthi S Riyadi dalam acara Perayaan Hari Sastra Tegalan di Taman Raden Saleh Semarang (TRSS) dan Taman Budaya Surakarta (TBS), Senin-Selasa (24-25/11) malam lalu.
Menurut Mamet, sapaan Bramanthi S Riyadi, ia tertarik membawakan monolog ‘Waslam’ karena tema yang diusung Hadi Utomo sangat menarik. Waslam berbicara tentang kepincangan sosial yang justru terjadi di pusat Kota Jakarta yang menjadi kiblat semua orang. Jakarta ternyata bukan sebuah kota yang menjanjikan. Nilai-nilai inilah yang membuat Mamet memendam rasa ‘birahi’ pada naskah ‘Waslam’ dan ingin segera dia ditumpahkan dan mainkan.
“Memainkan tokoh Waslam, bagi saya punya kebebasan berimprovisasi. Karena di sana ada keliaran, kesumat, dan suasana yang dibangun dalam monolog itu mencekam. Apalagi ditulis dalam bahasa tegalan, menarik untuk sebuah tantangan keaktoran saya!” ujar Mamet.
Pada perayaan Hari Sastra Tegalan yang jatuh pada 26 Nopember, menurut Dwi Ery Santoso sangat perlu digeber dengan karya-karya tegalan. Baginya, lawatan budaya yang dilakukan para seniman Tegal dengan mengusung karyanya sendiri, dipandang amat penting karena geliat budaya yang mampu ‘dijual’ ke luar kota hanyalah lokal jenius. “Sastra Tegalan sudah membuktikan telah memiliki kekuatan dan menarik audiens di luar kota” tandas Ery.
Menurut Ery, pada lawatan budaya ke dua kota itu, selain Mamet, Diah Setyawati membawakan puisi tegalan, Dwi Ery Santoso membawakan dua puisi tegalan karya terbarunya, HM. Iqbal membawakan puisi tegalan karya Wakil Walikota Tegal Dr Maufur, Slamet Ambari juga membawakan puisi tegalan, dan Nurhidayat Poso, Bontot Sukandar, Hartono Ch. Surya, Ratna, Nurngudiono, Igho, serta lainnya. Lawatan budaya ini diprakasai oleh Komunitas Seniman Tegal ‘Sorlem’ (LS)


Foto : MAMET


SAYA PEKERJA SENI


Moh. Azizi

Saya Pekerja Seni

TAHUN 90-an, masyarakat Tegal mengenal nama Moh.Azizi barangkali hanya sebatas sebagai pemain teater, terutama karena dia bergabung di Teater Massa Hisbuma. Padahal, sosok Azizi bisa ke mana-mana dan berada di mana-mana. Tak mengherankan kalau kemudian dia tiba-tiba muncul di layar TV maupun layar lebar dalam di film atau sinetron.
“Meski keberangkatan saya ke dunia film dari dunia teater, tapi saya bukan seniman. Saya ini pekerja seni,” ujar Azizi ketika mengawali pembicaraan di sebuah Warteg, Senin (17/11) siang.
Karena memproklamikan dirinya sebagai pekerja seni, Azizi menjadi leluasa bergerak ke mana-mana dan berada di mana-mana. Lepas mendalami peran di Teater Massa Hisbuma pimpinan Dwi Ery Santoso, dia pergi ke Jakarta tapi bukan untuk melamar sebagai pekerja di film, melainkan dalam urusan mencari dana pagelaran seni.
Tahun 1994, dia bersama Ayub, kawan seniman asal Kota Tegal, sedang punya hajat menggelar ‘Pekan Seni Tegal’. Karena membutuhkan dana besar, mereka pergi ke Jakarta. Di sana, dia ketemu Gozali salah satu orang film yang pernah dia kenal setahun lalu. Dari situ, Azizi diketemukan dengan penata artistik film Abdulah Sajad.
“Saya akhirnya ikut mas Sajad sebagai tenaga harian. Belakangan saya dipercaya sebagai asisten kruw artistik dalam sinetron Kaca Benggala dari episode 14 sampai 157 episode” katanya.
Dalam Kaca Benggala, ia dipercaya untuk memerankan tokoh Ngabei Wilonarto dari Kerajaan Mataram hingga 10 episode. Saat menangani sinetron Tutur Tinular, Azizi kembali dipercaya untuk bermain. Bahkan bermain dari awal episode sampai ke episode ke 160. “Tapi saya tetap menangani set dekor juga” katanya.
Tak hanya bermain dan menangani set dekor di dua film itu, Azizi menangani pula film layar lebar Badai Laut Selatan, dan Misteri Candi Borobudur sebagai kru artisitk.
Setelah pulang ke Tegal, ia menangani sinetron Kembang Warung Tegal dan terlibat juga dalam pembuatan film lokal berjudul Gigih dan Teman Tapi Racun untuk menangani set dekor (LS)




Kamis, 13 November 2008

SAJAK TEGALAN RODJIKIN


Sajak-sajak Rodjikin AH

Intrupsi

Kang intrupsi kang
rayat nunggu.....
apa mung kaya kiyé tok kang?

Kang wakilé rayat jaré kudu pokal

Kang intrupsi kang
rayat takon......
apa bener rika luwih seneng ngantuk
katimbang ngomong?

Kang intrupsi kang.....
apa bener yèn rika ngomong pulsané larang kang?

Kang intrupsi kang.....
apa bener pulsané rika bebaaas roaming kang?

Ayuh kang mumpung bèbas roaming
ngomong kang

Ngomong!

Slawi, 22,05.05 20:46 WIB



Mbusleng

Sing wingi tak tunggu clangabé
ning ora netes-netes

Cengir....
kedèp-kedèp tak kira repan wani ngucap
ning mung mesem

Sing wingi tak tunggu swarané
ning ora muni-muni
cengir...pènjap-pènjep tak kira wani ngomong
ning mung guya-guyu

Yèn aku nyapa disit bokan ora dijawab
sebab ngomong ora ngomong bayaré pada.

Slawi, 22.05.05 20:43 WIB


Rodjikin AH – Wakil Ketua DPRD Kabupaten Tegal njagong nang kursi dèwan wis kakping loro. Bos selipan beras kiyé peduli maring budaya Tegalan. Jaré dèwèké Tegalan kuwé bakal moncèr nang waktu-waktu sing pan teka. Dèwèké saiki dadi Ketua DPC PDI P Kab. Tegal . Sajak tegalan Rodjikin manjing nang buku antologi puisi tegalan ANGKATAN TEGAL TEGAL.

Selasa, 11 November 2008

ANEHDOTEGALAN LANANG SETIAWAN


Ngadusi

KERSANÉ Pengèran, Kapèr dadi wong sugih. Adaté wong sugih, nang umahé ana pembantuné. Salah siji dina, wayah awan, bojoné Kapèr pan mangkat arisan. Maring pembantuné, Dariyah, dèwèké wanta-wanti.
“Nyonyah pan lunga, ana urusan. Bocah-bocah diadusi kabèh, tolih jogan-jogan disaponi Yah, bèn katon kinclong. Paham Nyonyah ngomong?” omongé bojoné Kapèr nganggo sebutan Nyonyah kedingan. Gaya uluné nemen.
“Paham Nyah!” jawabé si Dariyah.
Bojoné Kapèr latan ngloyor, metu njaba. Mbak sripit ambu sandangané wangi nemen. Dèwèké nganggo kacamata ribèn lan numpak motor kinclong-kinclong sing tembé dituku. Pokoké, bojoné Kapèr katon okèm banget. Gaya uluné por-poran.
Wayah soré teka, bojoné Kapèr, balik umah. Tapi antiné bojoné Kapr sèwot nemen waktu weruh bocah-bocah durung pada diadusi.
“Kowen dongé kerjané apa Yah? Waktu pan lunga, Nyonyah kan wis ngomong karo kowen, bocah-bocah diadusi kabèh. Bisané nganti pan sèndakala durung diadusi? Gobogé kowen budeg apa pimèn sih?” sruwang bojoné Kapèr kambèn matané mendelik.
“Anu, Nya . . . . Éh . . . maaf Nyonya. Enyong blèh sempet ngadusi bocah-bocah” semauré Dariyah.
“Bisané?”
“Sebab Tuan Kapèr maksa enyong kon ngadusi!”



Pedangdut Dèwi

WIS ana telung wulan, Kapèr nyobèni pedangdut Dèwi, bocah Bulakpacing. Tapi awan kiyé, endasé Kapèr peng-pengan, kèder. Masalahé, dèlat maning mangkat nyanyi, tapi wis jam loro Dèwiné malah ngilang. Mangkané sing nanggap wis ngonjogi Kapèr. Jatahé Dèwi jam lima soré kudu maèn nang Kendalserut, Pangkah. Sedeng panjeré wis dipangan. Aduh, endasé Kapèr kaya dikampleng tugelan batu bata.
“Sabar ya Kang? Nyong tak telpon Dèwi,” omongé Kapèr maring sing pan nanggap.
“Iya Pèr. Enyong butuhé Dèwi sing gèngsoté kaya kitiran hèli kopter mbiyak suket! Hi hi hi hi….”
Kapèr ping pirang-pirang nelpon Dèwi, tapi hapèné modar baé. Kapèr mumet, akhiré tèlpon Dasmad, jakwir cètèmé Dèwi sing biasa nggo tempat curhat.
“Iya Pèr, enyong lagi hura-hura. Kyèh, nyong nang Kafé Blampak Empus. Ana Hennessy, Jim Bream, lan Chivas Regal. Pokoké inungan whisky mèrek termahal sing ditekakna langsung saka luar negri. Pan nggabung?” semauré Dasmad sing waktu kiyé lagi dadi Landa-landanan.
“Prèi dingin Mad. Nyong lagi bingung, Dèwi tak sms uga tak tèlpon, hapèné modar baé. Sms-é enyong ditunda, kowen weruh tlotoké ora, Mad? Kiyé waktuné Dèwi kasab nyanyi” takoné Kapèr.
“Miki karo enyong, nginung bareng. Kayané, saiki lagi ndekem nang njero kolam. Coba kowen nyilem nang njero kolam, bèn bisa dihubungi gonèng hapèné kowen, bol!

KETERANGAN FOTO : Shinta Dewi Rosmalasari






HARI SASTRA TEGALAN 26 NOPEMBER


Hari Sastra Tegalan 26 Nopember
Seniman Tegal Kampanyekan

Estetika Sastra Tegalan

PARA seniman Tegal yang tergabung dalam Komunitas Sorlem akan mengadakan pentas keliling baca puisi, cerpen dan monolog bahasa tegalan ke Solo dan Semarang pada Selasa (25/11) mendatang. Menurut salah seorang seniman Nurngudiono, kegiatan ini digelar bertepatan dengan peringatan Hari Sastra Tegalan yang jatuh pada tanggal 26 Nopember, sekaligus sebagai wujud kepedulian seniman Tegal terhadap eksistensi sastra tegalan untuk mengangkat citra bahasa Tegal.
"Selama ini bahasa Tegal dianggap sebagai bahasa yang tidak etis untuk digunakan sebagai alat komunikasi antar lintas kalangan. Bahasa Tegal hanya digunakan sebagai bahasa lawakan yang konotasinya menjurus pada pelecahan dialek," kata Nurngudiono.
Padahal, kata Dwi Ery menambahkan, bahasa tegalan mempunyai etika dan estetika yang tinggi. "Bahasa Tegal mempunyai estetika yang tinggi sehingga dapat dijadikan karya sastra yang sepadan dengan karya sastra dunia lainnya,"
Direncanakan, pentas baca puisi, cerpen dan monolog tegalan ini akan digelar di TVRI Jawa Tengah atau Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) dan Taman Budaya Surakarta (TBS). Agenda para seniman Tegal ini siap disambut oleh dalang Wayang Suket Slamet Gundono dan Ketua Dewan Kesenian Semarang, Marco Manardi.
Menurut Ketua Komunitas Sorlem, Bontot Sukandar, para seniman yang akan menjadi wali penyampai nilai-nilai estetika bahasa tegalan baik melalui puisi, cerpen maupun monolog yaitu Nurngudiono, Dwi Ery Santoso, Nurhidayat Poso, Dyah Setiyawati, Lanang Setiawan dan Dr Maufur dengan membacakan puisi tegalan. Sedangkan Bramanthi S Riyadi membawakan monolog tegalan Waslam karya Moch. Hadi Utomo, dan Hartono Ch Surya siap membacakan cerpen tegalan.
Diharapkan, lanjut Bontot, Pemerintah Kota Tegal bersedia memberikan dukungan sepenuhnya terhadap kegiatan ini. "Tak hanya itu, nantinya bahasa tegalan dapat dijadikan mata pelajaran muatan lokal bahasa daerah yang setara dengan bahasa daerah lainnya seperti cirebonan dan banyumas," kata Bontot.
Dijelaskan, acara serupa pernah digelar di berbagai kota besar seperti di Wapress, TMII, Pasar Seni Ancol Jakarta, Indramayu, Solo sebanyak tiga kali serta Yogyakarta sebanyak dua kali nKZ

KETERANGAN FOTO : -
Para seniman Tegal yang tergabung dalam Komunitas Sorlem tengah berfoto bersama saat menghadiri acara pernikahan penyair Tegalan Endhy Kepanjen - Badriyah, Senin (10/11) (Foto : Lanang Setiawan)

IKMAL JAYA Dengan Para SENIMAN


Ikmal Jaya Kunjungi Komunitas Sorlem

WALIKOTA Tegal Terpilih, H. Ikmal Jaya, SE.AK, nampak asyik berbaur dengan para seniman. Selasa (11/11) pukul 13.00 WIB, Ikmal Jaya tak canggung makan siang dengan sayur asam di warung Sorlem, tempat berkumpulnya para seniman Tegal yang tergabung dalam Komunitas Sorlem. Ikmal sengaja berkunjung ke komunitas seniman yang berpengaruh di Tegal sana karena ingin mendapatkan masukan dan mengakomodir kepentingan mereka, sehingga kemajuan seni kebudayaan di Kota Tegal bisa maju secara bersama. “Karena itu, seniman Tegal jangan sampai pecah,” tandas Ikmal.
Menurut Ikmal, dalam setiap organisasi apapun, perbedaan itu tetap ada, tetapi dari perbedaan itu janganlah menjadikan perpecahan. Diharapkan perlu adanya islah diantara para seniman.
“Pengurus Dewan Kesenian Kota Tegal harus islah. Sebab jika kepengurusan sekarang terpecah menjadi dua kubu, karya mereka tidak maksimal. Saya akan mengislahkan agar semua kepentingan para seniman dapat terakomodir dengan baik” katanya.
Titik berat pemerintahan Ikmal
Dalam pertemuan itu, Ikmal pun menandaskan, titik berat pemerintahannya nanti bagaimana memajukan dunia pariwisata. Karena pariwisata itu salah satu aset Kota Tegal yang perlu dikembangkan.
“Secara otomatis, jika dunia wisata berkembang, dunia kesenian pun turut maju pula,” katanya.
Gagasan Ikmal mengembangkan dunia pariwisata, sangat didukung. Nurhidayat Poso, salah satu seniman yang hadir dalam pertemuan itu menyambut baik gagasan itu tetapi dengan catatan bahwa pariwisata tidak hanya dilandasi mental ekonomik yang mengekplitasi apa saja, termasuk kesenian, tetapi hanya dengan semangat dagang. “Pariwisata dan seni harus tumbuh secara sehat dan proposional,” katanya.
Adanya rencana pembangunan Taman Budaya Tegal (TBT) pada anggaran tahun 2009 mendatang, Dwi Ery Santoso mengharapkan seyogyanya pengelolaan TBT nanti ditangani oleh Pemkot melalui SKPD atau semacam UPTD. Tetapi untuk urusan estetika dan artistik tetap diserahkan kepada seniman. Bahkan, kelak TBT itu tak alergi dipakai untuk kegiatan umum bahkan kegiatan pelatihan kader partai manapun yang ada kontribusinya. “Ini bisa meringankan perawatan TBT,” tandasnya.
Yang perlu menjadi perhatian pada pemerintahan Ikmal Jaya nanti, adalah soal pentas bulanan yang selama ini ditangani oleh salah satu instansi kebudayaan di Pemkot Tegal yang dinilai kurang melibatkan institusi seni. Sehingga even yang diselenggarakan kurang bariatif. “Seni-seni serius dan alternatif selama ini tidak tersentuh. Misalnya pementasan teater, baca puisi dan kesenian moderen lainnya,” tandas Nurngudiono yang di-ia-kan para seniman yang hadir.
Menangapi kegelisahan para seniman itu, dalam pemerintahan Ikmal Jaya nanti, hal itu tidak akan terjadi. Ikmal akan memberikan tempat terhormat terhadap mereka agar semua elemen masyarakat Kota Tegal berkembang dan maju.
“Insya Allah, saya ini ingin membangun Kota Tegal lebih maju” tandas Ikmal.
Hadir dalam pertemuan itu, Ketua Komunitas Sorlem, Bonto Sukandar, Hartono Ch Surya, Bramanthi S Riyadi, Agus Nurwanda, Widodo, Nurhidayat Poso, Lukman Jiwa, Dwi Ery Santoso, Nurngudiono dan lain sebagainya. “Kedatangan Walikota Tegal Terpilih Ikmal Jaya mengunjungi Komunitas Sorlem, merupakan langkakh lanjutan Ikmal untuk membuktikan bahwa dia komit dengan kesenian. Diharapkan hal semacam ini terus berlanjut, agar kesenian terus beriring dengan perkembangan perekonomian Kota Tegal” pungkas Bontot Sukandar (LS)

Keterangan Foto : - Para seniman Komunitas Sorlem foto bersama dengan Walikota Tegal Terpilih H. Ikmal Jaya SE. AK (duduk nomor tiga dari kanan), Selasa (11/11) di Sorlem, seusai membahas perkembangan seni dan budayaan di Tegal.




Kamis, 06 November 2008

MASJID KUBAH EMAS Bagian 3



Jalan Menuju lokasi
Masjid Kubah Emas (3 habis)
MASJID Kubah Emas berdiri di Kota Depok, Jawa Barat dengan masjid sekitar 8 hektar dan menempati area tanah seluas 60 hektar. Konon, karena kemegahannya, masjid ini sering disebut sebagai masjid termegah di Asia Tenggara. Untuk menuju lokasi Masjid Kubah Emas bisa ditempuh dari beberapa arah. Bila berangkat dari arah Terminal Depok, pengunjung yang menggunakan kendaraan pribadi dapat mengambil jalan menuju arah Kecamatan Sawangan. Setelah sampai di pertigaan Parung Bingung, pengunjung disarankan berbelok ke kanan ke arah Kecamatan Cinere, lalu menuju lokasi masjid. Jarak antara pertigaan Parung Bingung ke lokasi masjid sekitar 3- 4 Km.
Bagi pengunjung yang tidak menggunakan kendaraan pribadi, dari Terminal Kota Depok, dapat berangkat dengan menggunakan jasa angkutan kota (angkot) nomor 03 menuju pertigaan Parung Bingung. Dari pertigaan itu pengunjung disarankan menggunakan ojek menuju Masjid Kubah Emas. Kota Depok berjarak sekitar 7 Km dari Masjid Kubah Emas. Sedangkan untuk pengunjung yang berangkat dari Terminal Lebak Bulus atau Terminal Pondok Labu di Jakarta Selatan, dapat menggunakan jasa angkot bernomor 102 menuju pertigaan Parung Bingung, kemudian belok kanan menuju lokasi masjid.
Para wisatawan yang berkunjung ke masjid ini dikenai biaya parker kendaraan. Untuk rombongan bus dikenai tarif parkir sebesar Rp 10.000, untuk mobil keluarga dikenai tarif Rp 3000, sedangkan pengendara roda dua hanya sebesar Rp 2000. Tarif tersebut berlaku pada bulan Mei 2008. Masjid Kubah Emas dibuka setiap hari untuk umum. Pada hari Kamis masjid ini ditutup untuk persiapan kebersihan shalat Jumat.
Di masjid ini terdapat fasilita-fasilitas penunjang yang bisa membuat pengunjung, di antaranya ada mini market, restoran, kios makanan, toko butik, rumah penginapan, gedung serbaguna, auditorium, gedung, Islamic Center, dapur umum, dan toko souvenir. Di lingkungan masjid ini mempunyai tempat parkir seluas 7000 m persegi yang dapat menampung 300 kendaraan roda empat atau 1.400 kendaraan bermotor (LS)

Keterangan gambar:
AKU berada di Pintu Timur yang mengingatkan aku pada film ‘Romi dan Juli’ yang diperankan Sopan Sophiaan dan Widyawati

MASJID KUBAH EMAS Bagian DUA




Masjid Kubah Emas (bagian 2)
Simbol Kemegahan Islam


MEMANDANG
Masjid Dian Al Mahri yang dibangun oleh Ibu Hj. Dian Juriah M. Al-Rasjid itu, aku tercengang. Reflek tanganku mengambil tustel, dan berulang kali aku mengabadikan masjid itu dari berbagai sisi. Puas memotret, aku dan Katir, karyawan dari Kantor Infomas menuju ke utara. Penuh sesak lelaki dan perempuan, anak kecil, dan para remaja, hilir mudik dan berpose di depan masjid untuk berfoto dari para fotografer yang berkeliaran di kawasan itu. Aku terkenang situasi di Roma ketika masa remajaku melihat film ‘Romi dan Juli’ yang diperankan oleh Sopan Sophiaan dan Widyawati.
Aku dan Katir berjalan ke utara menuju gerbang utama di sisi Timur. Gerbang ini berhubungan langsung dengan courtyard di bagian dalam. Halamannya berukuran 45mx57m. Dari literature yang aku peroleh, ruangan ini dapat menampung sekitar 10.000 jemaah dan dapat digunakan untuk perluasan pada saat salah Jumat, salat Idul Fitri dan Idul Adha serta untuk Manasik Haji. Salah satu sisi halaman dalam ini langsung berhubungan dengan ruang salat. Tiga sisi lainnya dibatasi selasar dengan deretan pilar berbalut batu granit dari Brazil. Pilar-pilar itu membentuk deretan arcade seolah-olah menjadi pembatas.
Makin masuk ke dalam masjid, perasaan kagum meliputi seluruh jaringan tubuhku. Berada di istana raja-raja atau di alam peri? Mataku menyapu seluruh ruangan. Tempat pengimaman berbentuk lengkung, ada kubah kecil terbuat dari lempengan kuningan berlapis emas. Di atas kubah kecil itu bercokol lampu berbentuk kubah yang jauh lebih besar dari bentuk kubah di bawahnya. Lampu berbentuk kubah itu selalu menyala memancarkan warna kuning kemasan. Di bawah kubah kecil pengimaman ada tempat duduk yang juga disorot lampu, ada pintu di kanan kiri terbuat dari kayu jati pilihan. Posisi pengimaman itu berada dalam bingkai ukuran 3 meter dan ketinggian 5 meter dengan ornamen keindahan Timur Tengah.
Mendongak ke atas, ada langit-langit kubah terpampang lukisan mural yang menurut keterangan dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi di luar masjid. Pada dasar kubah terdapat koof lampu yang diberi aksen warna emas, seolah-olah batas cakrawala. Di atasnya terdapat 33 jendela, masing-masing diisi kaligrafi tiga nama Allah SWT sehingga seluruhnya berjumlah 99 (Asmaul Husna). Di puncak langit-langit kubah terdapat kaligrafi selawat, terbuat dari lempengan kuningan berlapis emas. Seluruh kaligrafi bergaya Kuffi, tersebar di sekeliling dinding ruang salat dan terbuat dari batu marmer hitam yang diselipkan ke dalam marmer putih sebagai dasarnya dengan teknik semprotan air bertenaga tinggi (waterjet system). Masjid Kubah Emas ini, sungguh sebuah simbol kemegahan Islam (LS )

Keterangan Foto:
LUKISAN MURAL - Langit-langit kubah terpampang lukisan mural yang menurut keterangan dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi di luar masjid. Tempat Pengimaman dengan ornament keindahan masjid di Nabawi, Timur Tengah


MASJID KUBAH EMAS Bagian SATU


Membangun Kawasan
Masjid Kubah Emas, Duwité Sahahahaha…

SABTU 18 Oktober 2008 lalu, aku berkesempatan pergi ke Jakarta untuk menerima Penghargaan Seni dari Pemkot Tegal bersama lima seniman lainnya. Penghargaan tersebut akan diberikan bersamaan dengan pentas seni para seniman Kota Tegal di anjungan Jawa Tengah, Taman Mini Indonesia Indah.
Pada hari Sabtu pagi itu, kami rombongan seniman tari, lawak, wartawan, penyanyi, jajaran pegawai Infomas, beberapa karyawan Dinas Perhubungan Pariwisata dan Seni Budaya (Dishubparsenbud) Kota Tegal, berangkat menuju TMII dari halaman Dishubparsenbud menggunakan bus pariwisata ‘Tegal Indah’ dengan Nopol G1423BE. Sekitar pukul dua siang, kami tiba di tanah Betawi tapi tak langsung ke TMII, melainkan menuju Kota Depok dengan tujuan Masjid Kubah Emas. Lokasi itu pernah aku dengar ketika aku melansir berita ijab kabul Annisa Trihapsari dalam penikahannya ke tiga kali bersama Sultan Jorgi. Aku berkesempatan melansir berita itu karena posisiku sebagai redaktur budaya ‘Senibritis’ pada harian Nirmala Post. Aku tak mengenal betul apa yang menarik dari sekadar kubah? Di daerah Talang, Kabupaten Tegal, banyak kubah masjid diproduksi. Aku tak heran melihat benda-benda itu, sekadar berbentuk jajanan ‘bogis poci’ yang banyak didasarkan di pasar tradisional. Apa yang menarik dari kubah emas?
Kamu jangan melihat kubah emasnya saja. Tapi lingkungan dan bangunan yang ada di sekitarnya itu, belum pernah kita temui. Kowen wis tahu maring Masjid Nabawi di Medinah? Durung kan? Nah, kowen bisa weruh dingin tiruané sadurungé maring Medinah. Aja watir, kowen bakal takjub, lebih lagi kawasan artistik itu dibangun dan dimiliki oleh satu orang. Duwit sing nggo mbangun sahahaha…” ujar penyair Dwi Ery Santoso yang duduk sebangku denganku saat bus rombongan meluncur ke jalan Meruyung, Kelurahan Limo Kecamatan Cinere, Depok.
Apa yang dikatakan Ery, betul juga. Jiwaku seakan tersedot oleh getaran kemegahan penuh pesona. Belum pernah aku jumpai estetika ornament-ornamen sedasyat itu, apa lagi di daerahku Tegal dan sekitarnya. Daerah Masjid Kubah Emas sangat menajubkan bak oase di padang pasir. Betul juga kalau selebritis Annisa Trihapsari dan Sultan Jorgi kepencut ijab kabul pernikahannya di masji ini.
Kami tiba di kawasan itu jelang adzan ashar. Pertamakali aku melihat gerbang pintu masuk kawasan itu bercokol kokoh dengan bentuk bangunan raksasa khas pintu gerbang kraton raja-raja Jawa. Dari pintu kaca bus, kulihat pucuk kubah masjid belapis emas berkilauan. Warna emasnya berbedar-bedar dari kejauhan. Bus rombongan terus merayap masuk ke dalam. Sebuah taman luas membentang di kiri jalan ditumbuhi pepohonan rindang, pot-pot besar yang berjejer dengan penataan rapi penuh aneka bunga.
Kawasan ini agaknya dipersiapkan oleh pemiliknya untuk daerah wisata yang menjanjikan. Tidak hanya kubah masjid yang berlapiskan emas 24 karat, melainkan penataan lingkungan, ornamen-ornamen yang ada di masjid, kemegahan bangunan di sekitar lingkungan itu, merupakan sebuah kolaborasi dari berbagai Negara tidak hanya berasal dari Timur Tengah, tapi agaknya mengusung juga bentuk bangunan dari kawasan Eropa.
Ketika bus rombongan kami berparkir di tempat yang lapang, aku terpaku melihat bangunan masjid yang kokoh, dan angkuh seperti raksasa dengan motif dan ornamen mencengangkan. Bahan-bahan material masjid ini didatangkan dari Negara-negara luar yang pembangunannya ditangani oleh tenaga professional dari luar negeri dan memakan biaya miliaran rupiah.
Mataku tak henti-hentinya mendongak ke atas memandangi kubah emas yang bertengger di atas bangunan masjid. Kubah emas itu ada lima buah, paling besar berada di tengah-tengah seperti kepala raksasa berdiri tegak. Ia kokoh, anggun, angkuh, dengan kecantikannya bak mayoret yang gagah mempesona tak terkatakan. Ia pun hanya mau bergaul dan bercengkerama dengan mega-mega.
Bentuk kubah utama menyerupai kubah bangunan Taj Mahal di India bertinggian 25 meter, diameter tengah 20 meter dan diameter bawah 16 meter. Empat kubah lainnya bertinggian 8 meter, diameter tengah 7 meter dan diameter bawah 6 meter. Seluruh kubah dilapisi emas setebal 2 hingga 3 milimeter. Lima kubah itu melambangkan Rukun Islam, seluruhnya dibalut mozaik kristal dan interiornya didominasi warna monokromatik dari krem ke salem. Material yang digunakan adalah marmer dari Turki sedang ornamennya menggunakan marmer berwarna hitam dan warna emas dengan langgam arsitektur berupa motif belah ketupat dan segitiga khas Islam.
Di sudut-sudut masjid berdiri enam menara berbentuk heksagonal (segi enam) dengan tinggi sekitar 40 meter. Menara-menara itu menjulang lebih tinggi dari kubah-kubah emas, seolah pasukan keamanan yang membentuk pagar betis, berjaga-jaga mengawasi setiap gerakan kecil pengunjung. Keenam menara itu dibalut batu-batu granit abu-abu dari Itali dengan ornamen melingkar. Pada puncak menara terdapat kubah dilapisi emas pula, melambangkan jumlah Rukun Iman (LS )

GAGAH dan KUKUH -Tampak kemegahan Masjid Kubah Emas di Depok, berdiri dengan gagah, kukuh, dan juga julangan menara di sisi-sisinya mencitrakan symbol kemegahan Islam.

Rabu, 05 November 2008

anehdot Tegalan LANANG SETIAWAN


Artis Kotak

DASMAD dadi redaktur sèlèbritis nang koran harian ‘Queena’. Saben dina rubriké kudu diisi artis-artis lokal. Waktu kiyé Dasmad lagi nginung kopi susu nang mall bareng Brindil, anak buahé uga.
“Nggo ngèsuk, kowen nulis apa Ndil?” takoné Dasmad kambèn nyuled rokok.
“Nyong pan nulis biduan Verani, bocah Kalibuntu. Saiki manggon nang Mejasem. Verani suwé nang Batam, prestasiné lumayan. Rambuté dawa, matané kaya silèt, kulité putih, cunguré mblesek menjero. Mung suwarané kaya Celine Dion, okèm banget!” omongé Brindil.
“Okèm. Nyong demen banget ama biduan sing kaya kuwé. Kapèr, ganing laka kabaré. Ngliput apa kaé bocah?” takoné Dasmad maring Brindil.
“Embuh”
Dasmad sms maring Kapèr. Ora suwé ana balesan.
“Lapor bos! Biduané lagi pada derep nang sawah. Uga ana sing mburuh milet iwak nang Tegalsari. Sing dadi ladèn nang warung ponggol sètan, ya ora kurang. Pokoké, nang waktu kiyé sepi. Laka pèntas!” isi sms-é Kapèr.
“Compong kowen! Nekani dalang Ki Anton Surono nang Mejasem kan akèh? Mangsa pèntas, malah akèh artis lokal pada ngumpul nang Ki Anton oh. Gagiyan bol diburu!” Dasmad sms maning.
“Temenan bos? Artis sapa baé sing ngumpul nang Ki Anton?”
“Ana Srikandi, Sumbodro, Banowati, Arimbi, Windradi, Renuka, Erawati, Anggraèni, Sapakenaka, Werkudoro, Arjuna, Katotkaca, Garèng, Pètruk, Bagong bareng Semar lagi ngumpul nang kotak wayang, pada nganggur!


KETERANGAN FOTO:

Aku, Lutfi AN, Bontot Sukandar alias Sunan Kalimati, Rofie Dimyati, dan terlihat separo Nurhidayat Poso

Selasa, 04 November 2008

Anehdot Tegalan LANANG SETIAWAN


Gorila

KAPÈR lagi iliran duwit éketan éwu. Dèwèké njagong nang korsi males, endasé topi lakenan. Ésuk-ésuk mangané setangkep roti dilapisi dadar endok, njeroné ana uga abon daging sapiné. Édan ah, Kapèr kaya god father beneran.
“Urip dong kaya kiyé yahèr temen ya? Rasané kaya nang sorga. Ésuk-ésuk wis ana wong ngateri duwit pitungatus éwu, dong buruh macul kosih pirang minggu ya? Bener-bener yahèr, okèm banget ah!” Kapèr nglendeng dèwèk, ngrasakna urip dadi tukang gawé iklan nang tivi, penghasilané ora pèré-pèré. Sapisan olih jog, duwité kaya udan ditibakna saka langit.
Aha! Lagi énak-énak kipas-kipas lan ndètèng nang korsi males, ana suwara lawang ditotok-totok. Kapèr agé-agé muka lawang. Barang dibuka, ana Gorila gedé ngadeg. Kapèr kagèt latan mlayu maring mburi. Tapi barang anjog mburi, dèwèké dicegat Gorila maning. Kapèr mundur, Gorila sing nang ngarep maju, samana uga Gorila sing manjing saka lawang mburi. Posisi Kapèr dadi nang tengah-tengah Gorila.
“Enyong aja dipangan, kowen kabèh bisané mlebu maring umahé enyong? Pan pada apa-apana, hai Gorila?” omongé Kapèr kambèn ndredeg.
Salah siji Gorila menehi surat. Cangkemé nyuara; nguk, nguk, ngukk, ngukkk. Kapèr nrima surat saka Gorila. Isi suratné kaya kiyé:
Aja maèn linglung ya? Jatah honor syutingé enyong endi? Kowen gawé iklan nang tivi nganggo tenagané enyong, bisané enyong kabèh durung dibayar-bayar? Saiki gawa mènèh, jatah honoré enyong pitungatus éwu nggo wong loro. Ora dimèin, kowen tak pangan. Gagiyan metu saiki!”
Duwit mung-mungé pitungatus éwu, akhiré diwèkena kabèh maring Gorila.
“Matur nuwun ya Kapèrrrr…??” omongé si Gorila loro karo cekakakan. Kapèr kagèt latané takon.
“Saluguné kowen kiyé sapa bol? Bisané ngomong kaya menungsa?”
“Enyong Dasmad!”
“Enyong Jayèng Pèr, kik kik kik….”


Senin, 03 November 2008

ANEHDOTEGALAN LANANG SETIAWAN


25 Taun Udud

GLÈMBOH jakwiré Dasmad gèlèng-gèlèng weruh Dasmad udud basbus-basbus kaya sepur tuit laka mandegé.
“Édan ah! Kowen udud kayong ora éling. Tembé dibuwang nyuled maning. Sadina, ududé kosih pirang bungkus sih?” takoné Glèmboh waktu wong loro jagongan nang gardu ronda.
“Kowen bisa ngètung dèwèk. Awit jeblèng tangi turu kosih pan turu maning, nyong mèsih udud. Kuwé pirang bungkus? Dètung dèwèk Mbloh!” semauré Kang Dasmad sing popular kasebut KD.
“Dadané kowen ora rompal Mad?”
“Alhamdulillah seger buger. Malah adong ora udud, dadané krasa senit-senit!”
“Ajib ah…” Glèmboh éram.
“Sapa tuli…”
“Kowen ora éman-éman duwit diobong saben dina, Mad?”
“Maksudé?”
“Tak étung, sadina kowen kira-kirané udud minimal rong bungkus. Paling satitik, kudu ngetokna duwit 10 éwu. Sawulan 30 dina, dadi kowen kudu ngetokna 300 éwu. Kowen udut wis pirang taun sih?”
“Awit SMP nyong wis udud, kira-kira wis salawé taun…” jawabé KD.
“Kuwé Mad, kowen rugi jahat”
“Maksudé?”
“Ya, adong duwit ududé dicèlèngi, kowen nden wis sugih ya?”
“Betul, Mboh! Tapi raimu ora udud ganing mlarat baé?” (*)


Serangan Fajar

ÉSUK uput-uput, lawang ngarepé Kapèr dibuka ngablag-ngablag. Embuh ora pranti-prantiné Kapèr nglakoni bab kuwé. Bojoné nganti kèder weruh ulahé Kapèr.
“Ésuk-ésuk mbukani lawang amba-amba, pan ana dayoh saka endi Kang?” omongé bojoné Kapèr.
“Pokoké okèm lan yahèr Jo! Ngko bar noblos Pilwakot, kowen masak sing énak ya? Opor ayam mbuh apa, sapisan-pisan Jo. Saben dina mangan ka ora liya tèmpé tahu baé. Bosen oh, nyong kan pèngin mangan opor ayam…” semauré Kapèr sumringah.
“Sing pan teka tamu agungé sapa Kang?”
“Éh…kiyé uwong blèh paham. Dina kiyé kan ana pencoblosan walikota kambèn wakilé, ilokèn kowen belèh genah baé?”
“Genah Kang. Mung sing nggo éramé enyong, mukani lawang amba-amba, maksudé apa?”
“Kowen ora krungu, Jo? Jam-jam ayawèné jaré Dasmad pan ana Serangan Fajar”
“Serangan Fajar kuwé apa sih?” takoné bojoné Kapèr.
“Ya…salah siji calon walikotané pan mbagi-mbagi duwit” Kapèr njelasna.
“Oh…dong kaya kuwé nyong tak ngumbahi panci, wajan, ngasah lading, toli mbenerna deles kompor sing pada cindek ya Kang?”
“Sih nggo apa?”
“Jaré pan masak opor ayam…”
“Oh…yahèèrrrr…..Gagiyan wis, kowen tata-tata nang mburi. Nyong tak nunggu Serangan Fajar” Bojoné Kapèr agé-agé bèrès-bèrès nang mburi. Kapèr delag-deleg nang kursi. Sadèlat-dèlat, dèwèké metu njaba. Tapi satugel-tugel acan laka uwong sing numul nekani maring umahé nganti srengèngèné mencorong saka wètan.
“Dalban ndèyan! Tak entèni nganti boyoké pan mèyèg, ganing laka apa-apa. Alaaa…Serangan fajar, serangan fajar entut burut? Diserang fajar Sidiq lah iya. Asem ka Dasmad, mbodoni jakwir laka pedoté!” Kapèr nggrutu, culag (*)


Undangan

BATU batrè hapèné Um Wapèk tembé baé dicès, ujug-ujug ana sms mlebu. Hapé diurubna, mbak byar nang layar hapé ana sms saka Dasmad.
“Ana undangan nggo kowen Pèk” isi sms-é Dasmad.
Um Wapèk mbak pyar, rasa penasaran atiné olih sms saka Dasmad.
“Undangan apa Mad?” takoné Um Wapèk mbales sms Dasmad.
“Penting…”
“Undangan pengantènan apa sunatan? Adong kuwé, nyong sengit nandes Mad. Utang ora tapikèn kaya dioyok-oyok sètan. Gudu undangan kuwé oh ya?”
“Aja water. Gudu!” semauré Dasmad liwat sms.
“Okèm wis. Isiné penting nemen Mad?”
“Raimu sakalé wong lanang ka, criwis kaya wong wadon! Butuh ora?” nada sms-é Dasmad kayong culag. Sèwot.
“Iya Mad. Sori…sori. Undangan apa sih, kayong penasaran nemen. Gagiyan oh..”
“Yaul! Kiyé undangan saka tukang adzan nang Mushalané kowen Pèk; hayya ala shalaah hayya ala falah…kik kik kik…(*)