Kamis, 20 November 2008

LAWATAN BUDAYA


Dalam Rangka ‘Hari Sastra Tegalan’

Mamet Usung ‘Waslam’
ke TRSS dan TBS



“HAHAHAAAA…hèèèiii…kiyé aku sing arané Walam! Was-lam. Waslam bin almarhum Kasnan. Yah, bapané nyong pancèn arané Man Kasnan, sing wis mati lagi nyong umur 3 tahun. Adiné nyong wadon sing arané Tarini, waktu kuwé ésih bayi. Manèné aku arané Bi Niti, randa sepocong sing ana ning dèsa kidulé Margasari. Hèèè…hahahaha…kiyèh, aku sing arané Waslam. Kowen pada krungu belih?”
Suara Waslam menggelegar di puncak Tugu Monas. Menyebar ke seluruh penjuru. Lalu-lintas macet, orang-orang mendongak ke atas, melihat Waslam bertelanjang dada berdiri di atas Tugu Monas. Waslam ngomel-ngomel melihat kesemrawutan lalu-lintas di perempatan Bunderan HI. Ia kadang ketawa semaunya, kadang juga marah sejadi-jadinya ketika melihat Abang Becak yang menyerobot ugal-ugalan di tengah hirukpikuknya Kota Metropolitan. Orang-orang dan para pemakai kendaraan yang berjubel, terheran-heran melihat Waslam.
Lima belas tahun Waslam hidup di Jakarta, jadi gembel di daerah Senen. Berumah kardus dan plastik di pinggir rel kereta api, membuat lika-liku kesumpekan, kebengalan, dan kepongahan Jakarta dia kenali betul. Lima belas tahun, penghasilan Waslam tak menetap, ia menjadi kenet, tukang semir sepatu di terminal Pulo Gadung, bahkan jadi tukang todong di jembatan penyebarangan. Waslam ibarat ingus, nafas, dan bahkan tai-nya Kota Jakarta.
Waslam jadi gila, tergencet karena kota semakin maju, dan ketimpangan sosial di mana-mana, mengepung, menyumbat, membikin sesak Jakarta. Waslam terlunta-lunta, terseret-seret arus kegilaan Jakarta yang pada akhir puncaknya, Waslam menjadi gila. Ia naik pun naik ke Tugu Monas, berteriak-teriak kepada orang-orang di bawahnya. Tindakan Waslam merepotkan, keadaan kisruh. Petugas Pemadam Kebakaran turun tangan. Seorang menaiki tangga. Sebuah Helikopter berputar-putar di atas kepala Waslam. Ia bersorak, dan makin compong. Waslam melambai-lambaikan celana dalamnya. Waslam disaut Tim SAR Helikopter, lantas dibawa terbang menggunakan bersama Helikopter.
Demikian sepenggal monolog tegalan berjudul ‘Waslam’ karya Moch. Hadi Utomo yang dimainkan Bramanthi S Riyadi dalam acara Perayaan Hari Sastra Tegalan di Taman Raden Saleh Semarang (TRSS) dan Taman Budaya Surakarta (TBS), Senin-Selasa (24-25/11) malam lalu.
Menurut Mamet, sapaan Bramanthi S Riyadi, ia tertarik membawakan monolog ‘Waslam’ karena tema yang diusung Hadi Utomo sangat menarik. Waslam berbicara tentang kepincangan sosial yang justru terjadi di pusat Kota Jakarta yang menjadi kiblat semua orang. Jakarta ternyata bukan sebuah kota yang menjanjikan. Nilai-nilai inilah yang membuat Mamet memendam rasa ‘birahi’ pada naskah ‘Waslam’ dan ingin segera dia ditumpahkan dan mainkan.
“Memainkan tokoh Waslam, bagi saya punya kebebasan berimprovisasi. Karena di sana ada keliaran, kesumat, dan suasana yang dibangun dalam monolog itu mencekam. Apalagi ditulis dalam bahasa tegalan, menarik untuk sebuah tantangan keaktoran saya!” ujar Mamet.
Pada perayaan Hari Sastra Tegalan yang jatuh pada 26 Nopember, menurut Dwi Ery Santoso sangat perlu digeber dengan karya-karya tegalan. Baginya, lawatan budaya yang dilakukan para seniman Tegal dengan mengusung karyanya sendiri, dipandang amat penting karena geliat budaya yang mampu ‘dijual’ ke luar kota hanyalah lokal jenius. “Sastra Tegalan sudah membuktikan telah memiliki kekuatan dan menarik audiens di luar kota” tandas Ery.
Menurut Ery, pada lawatan budaya ke dua kota itu, selain Mamet, Diah Setyawati membawakan puisi tegalan, Dwi Ery Santoso membawakan dua puisi tegalan karya terbarunya, HM. Iqbal membawakan puisi tegalan karya Wakil Walikota Tegal Dr Maufur, Slamet Ambari juga membawakan puisi tegalan, dan Nurhidayat Poso, Bontot Sukandar, Hartono Ch. Surya, Ratna, Nurngudiono, Igho, serta lainnya. Lawatan budaya ini diprakasai oleh Komunitas Seniman Tegal ‘Sorlem’ (LS)


Foto : MAMET


Tidak ada komentar: