Senin, 28 September 2009

ALBUMFOTO KELUARGA

Laras sedang panyungan di depan rumah neneknya, Salamah, di Dukuh Sabrang, Desa Pangkah, Kecamatan Pangkah, Kabupaten Tegal. Bersama ibu dan aku bertandang ke rumah nenek waktu hari lebaran tahun 2009. (Foto :Lanang Setiawan)

Laras (berkacamata hitam) dan para ponakanku di rumah Kalibuntu, Kelurahan Panggung,Kota Tegal waktu hari lebaran pertama tahun 2009.

Laras dan Vira
Vira dan Laras
Laras berziarah di makam kakaknya, Ken Narendra Mediasah Muhammad saat hari lebaran 2009, di pemakaman Pasir Luhur, Kelurahan Slerok, Kecamatan Tegal timur, Kota Tegal,Jawa Tengah, Indonesia (Foto :Lanang Setiawan)

Laras sedang panyungan di depan rumah neneknya, Salamah, di Dukuh Sabrang, Desa Pangkah, Kecamatan Pangkah, Kabupaten Tegal. Bersama ibu dan aku bertandang ke rumah nenek waktu hari lebaran tahun 2009. (Foto :Lanang Setiawan)

Foto Keluargaku

Ken Ayu Laras Queena (berkacamata hitam) dan ponakan-ponakanku di hari lebaran.

Reza (anak nomor dua Lintang Sandi Alam) dan Laras. Mereka saling lirik. Manis sekali dan akrab.
Ken Rezar Setiawan,anak pembarepku.

Laras sedang panyungan di depan rumah neneknya, Salamah, di dukuh Sabrang, Desa Pangkah, Kecamatan Pangkah, Kabupaten Tegal. Bersama ibu dan aku bertandang ke rumah nenek waktu hari lebaran. (Foto :Lanang Setiawan)

Foto-Foto Keluarga Kalibuntu

Ken Ayu Laras Queena di tengah-tengah antara ponakanku, Lintang Sandi Alam dan istrinya. Membelakangi kamera Vira, saat bersilahturami di rumahku pada hari lebaran (Foto: Lanang Setiawan)
Laras (berkacamata) dengan saudar-saudaranya (ponakanku) berkumpul saat hari lebaran pertamadi Kampung Kalibuntu, Kelurahan Panggung, Kecamatan Tegal Timur, kota Tegal, tempat kelahiranku (Foto :Lanang Setiawan)
Ken Ayu Laras Queena dan Vira (anak pembarep dari Lintang Sandi Alam -ponakanku) memperlihatkan buah maja, saat hari lebaran di rumahku (Foto : Lanang Setiawan)

Selasa, 22 September 2009

Baca Sajak 4 Bahasa Lokal Untuk Mendiang Rendra

Baca Sajak 4 Bahasa 40 Hari Wafatnya Rendra Puncak Acara Kesenian Spektakuler

MALAM pembacaan terjemahan puisi karya Rendra, Selasa (15/9) lalu menjadi puncak acara spektakuler diantara pagelaran kesenian yang pernah diadakan. Pada malam “Mengenang Kematian Rendra” dan “40 Hari Wafatnya Rendra” yang digelar Dewan Kesenian Kota Tegal sebelumnya, tak lebih dari sekadar aksi pentas tanpa memiliki getaran apa-apa karena dilakukan hanya bertumpu pada teks-teks bahasa aslinya, seperti pembacaan puisi pada umumnya yang sama sekali tidak melahirkan geliat kebudayaan baru. Lain sekali pada malam 40 kematian Rendra yang digeber oleh komunitas Asah Manah bekerjasama dengan Sanggar Putik 99 Slawi, dan Komite Seni – Sastra Dewan Kesenian, Kabupaten Tegal, justru melahirkan aura pembaharuan. Tidak tanggung-tanggung, pagelaran malam itu mengusung 4 bahasa. Bahasa Tegal, Banyumas, Solo, dan Aceh. Demikian penyair Banyumas, Ekadila Kurniawan mengatakan hal itu seusai membacakan sajak Rendra “Sajak Wong-wong sing pada Kecot” dalam terjemahan Banyumasan dari sajak asli berjudul “Sajak Orang-orang Lapar”. Acara tersebut digeber di pelataran parkir Gedoeng Rakyat Balai Kesenian Kabupaten Tegal dalam rangka “Pengètan Patangpuluh Dina Tilar Donyané WS. Rendra”.


Keterangan Foto : Dinda Kharisma, Lanang Setiawan, dan Ekadila Kurniawan saat meramaikan acara mengenang 40 hari kematian Rendra


Menurut Ekadila, pagelaran tersebut benar-benar diluar jangkauan pikirannya karena dikemas sangat langka dan baru pertama kali di nusantara. “Ini benar-benar acara spesifik dan berbobot. Baru kali saya menemui pagelaran cukup unik, karena hanya dengan bilangan satu malam sajak Rendra diterjemahkan dalam 4 bahasa,” tuturnya. Eka mengaku antusias mengikuti acara tersebut, berkaitan dengan materi yang diangkat itu memiliki tantang. Masing-masing penyair diwajibkan menterjemahkan sajak Rendra dalam bahasa lokal. Ia sendiri harus bersusah payah menterjemahkan sajak Rendra dalam Bahasa Banyumasan. Bagi Eka, menterjemahkan dan membawakan sajak tersebut tidaklah mudah. Ia musti berlatihan secara mendalam untuk bisa fasih menggunakan bahasa ibu-nya. “Rasanya beda sekali ketika saya membacakan sajak alsinya. Saya sendiri waktu menterjemahkan sajak itu ke dalam Bahasa Banyumasan membutuhkan waktu satu minggu lebih,” kata Eka. Hal yang sama dirasakan juga oleh penyair Solo, Sosiawan Leak. Meski dia sudah berpengalaman melakukan lawatan budaya dengan pembacaan puisi, namun ketika menghadapi sajak terjemahan, ia mengaku harus berlatih beberapa hari. “Membaca dan menterjemahkan sajak Rendra dalam bahasa lokal Solo, ternyata tidak gampang. Saya kesulitan mencari padanan kata agar tidak menggusur makna dari sajak aslinya,” kata Leak. Ketika Leak membacakan sajak “Donga Nom-noman Rangkasbitung ing Rotterdam” dari sajak asli berjudul “Doa Pemuda Rangkasbitung di Rotterdam”, ia tampak kikuk pada awal pembacaan. Leak mengaku tak biasa membawakan sajak Rendra dalam teks-teks bahasa ibu-nya. “Pada tanggal 13 September lalu saya baca sajak Rendra di Kota Tegal dalam teks aslinya, malam ini saya dihadapkan pada teks terjemahan Bahasa Solo, saya merasakan ada nuasa lain yang asing. Tapi pagelaran di Slawi malam ini sangat menarik dan kreatif sekali,” akunya. Penyair Abu Ma’mur, Mi’raj Andhika, Dinda Kharisma, Yaskur Parondina, dan Linda Manise yang baru pertama kali membaca sajak terjemahan Tegalan, juga mengaku kerepotan. “Jebulé tak gampang baca sajak dalam bahasa lokal, ya?” ujar Linda Manise yang malam itu membawakan sajak terjemahan Diah Setyawati berjudul “Sajak Mané” dari sajak asli berjudul “Sajak Ibu”. Sementara itu ‘Si Pelukis Setan’, Indraning yang membacakan sajak “Kangen” terjemahan Solo-nan, menjadi pengalaman pertama yang mengasyikan. “Seumur-umur saya baru malam ini baca sajak, apalagi pakai Bahasa Solo luar biasa sulit.,” katanya. Ia mengaku, kendati merasa sulit namun asyik juga baca sajak terjemahan. Menurutnya, seperti ada pengalaman yang asing ketika ia melantunkan bait-bait puisi itu. Begitu juga ketika dia mendengarkan sajak-sajak Rendra yang diterjemahkan dalam Bahasa Tegalan, Aceh, dan Banyumasan. “Bener-bener penuh greget yang tak bisa diperoleh dari sajak-sajak yang menggunakan bahasa nasional. Saya merasakan pagelaran ini menjadi acara tiada dua dari acara-acara serupa,” tandasnya. Membaca sajak terjemahan dari bahasa ibu-nya, diakui oleh para penyair yang malam itu tampil, memiliki satu keindahan khusus meski mereka mengaku agak kikuk. Meski demikian, acara yang mengundang banyak pengunjung itu berlangsung cukup gayeng. Selama pagelaran, para penonton tak satupun beranjak dari tempat mereka duduk lesehan. Mereka antusias mengikuti jalannya acara. Bahkan ketika penyair dan penulis buku Hamidin Krazan membawakan sajak “Seonggok Jagung di Kamar”, penonton turut berdendang ketika dia membangkitkan suasana pentas dengan tembang dolanan. Bahasa ‘ngapak-ngapak’ Banyumasan yang dia pakai, mampu menciptakan suasana penuh greget dan sorak. Tak kalah menarik juga ketika muncul penyair Mi’roj Adhika membawakan sajak “Rick sing Coronna” dalam terjemahan Tegalan, aplaus penonton berkepanjangan karena Bahasa Tegalan yang dia bawakan cukup medok dan sangat memikat “Saya bangga dengan Bahasa Tegalan, mas Lanang sangat pas menterjemahkan sajak Rendra Rick Dari Coronna itu. Saya jadi ingin membawakan lagi pada even lain,” kata Mi’roj yang kondang ‘Si Burung Wambie’ itu usai pembacaan. Tak mau kalah penyair Abu Ma’mur. Dengan membawakan sajak “Wong Wadon sing Kesisih” dari sajak Rendra berjudul “Perempuan yang Terusir”, Ma’mur tampil menghentak dengan logat Tegalannya yang menggigit. Ia menguasai pembacaan dengan penghayatan penuh, kadang-kadang juga seperti lolongan srigala di malam buta seakan-akan merasakan kepedihan penderitaan kaum wanita yang nasibnya disingkirkan oleh kesewenangan. Sebagai pembaca puisi, Ma’mur tampil amat utuh memberikan nuasa Tegalan yang memiliki kekuatan pukau. Ia mengaku, Bahasa Tegalan sebagai bahasa sastra membawa gairah kebudayaan di jagat khazanah sastra nasional. “Baca sajak dengan bahasa nasional, orang awam pun bisa. Tidak perlu hafalan, langsung bisa. Tapi baca sajak dengan bahasa lokal, sungguh penuh tantangan!” katanya. Pada puncak acara, tampil novelis ‘Pengendara Badai’ Lanang Setiawan. Dengan melantunan lagu tegalan “Tragedi Jatilawang” ciptaannya, ia ‘menghipnotis’ penonton untuk tetap terpaku. Aransemen musik orkestra yang dikemas oleh violis Bintoro Tanpo Aran, menjadikan lagu itu semakin berkelas. Apalagi ketika Bupati Tegal Agus Riyanto tampil membacakan Catatan Putu Wijaya tentang konsisten Rendra sebagai tokoh pembahru, acara tersebut melipat-gandakan makna pagelaran. Dan ketika kemudian Agus didesak penonton untuk menyanyikan satu tembang dari album miliknya, para penonton turut berdendang bersama. Usai penampilan bupati, sederetan musikalisasi puisi oleh grup musik Asah Manah, melengkapi malam itu seperti dipenuhi sihir pukau, karena kelompok ini tampil prima dengan garapan musik tak sekadar muncul, tidak seperti kelompok musik yang mengaku sebagai kelompok musik sastra. Grup pimpinan Diah Setyawati itu membawakan sajak-sajak Diah Setyawati dan Nganti Wani Wiji Thukul, dinyanyikan oleh Bintoro dan Dinda Kharisma. Menurut ketua penyelenggara, Diah Setyawati, puisi-puisi terjemahan yang dibacakan malam itu ada 25 buah. Selain diterjemahkan oleh Lanang Setiawan, Diah Setyawati, Sosiawan Leak, Hamidin Krazan, Ekadila Kurniawan, Indraning, Abu Ma’mur, dan lain sebagainya. ”Ini luar biasa, puisi Rendra disulap dalam berbagai bahasa lokal menjadi semakin akrab dengan kita. Enak, lugas dan menyenangkan,” ujar Diah. Ditambahkan, kegiatan ini dimaksudkan untuk menyemarakkan geliat berkesenian dengan berpijak pada spirit Rendra dan spirit Tegal. “Diharapkan kegiatan ini tidak sebatas seremonial mengenang almarhum melainkan untuk menambah daya dalam berkarya seni apapapun bentuknya. Ppengangkatan bahasa ibu sebagai media penerjemahan sajak-sajak Rendra, antara lain agar penyair lebih intens dalam olah bahasa,” tandas Diah. Selain mereka, panitia juga mengundang penyair Haryono Sukiran (Purbalingga), Lukman Suyanto (Brebes), Cak Kacung (Padepokan Bengkel Teater Rendra), Bukhori (Pemalang), dan secara khusus panitia mengundang Cik Firmansyah dari Aceh yang malam itu membawakan sajak Rendra dalam kemasan budaya Aceh. Dia tampil dengan diiringi seruling dan tari etnis yang dibawakan Wahyu Boled Cs (*)

Jumat, 11 September 2009

SASTRA TEGALAN SEBAGAI 'ANJING PENJAGA'


Sastra Tegalan sebagai ‘Anjing Penjaga’

Oleh Lanang Setiawan

Sastra tegalan kian booming di ranah sasterawan Tegal. Pencitraan dan penguatan jatidiri ini tampak kentara ketika beberapa waktu lalu digelar acara “Malam Mengenang Rendra” dibeberapa tempat di Kota Tegal. Tidak sedikit para penyair menyuarakan sajak-sajak Rendra dalam diterjemahan bahasa Tegal.

Sastra tegalan sebagai ikon Tegal yang makin diusung mereka agar lebih agresif, aktif, dan moncer di wilayahnya, tak bisa dipungkirin mulai melangkah dan menggebrakadalah ketika mereka melakukan pembacaan antologi “Roa, Kumpulan Sajak Penyair Indonesia Terjemahan Tegalan” di Taman Budaya Surakarta tahun 1994 silam. Gerakan pembrontakan ini kemudian disusul lewat undangan lawatan pembacaan puisi tegalan ke Indramayu, “Jèd-jèdan (adu) Maca Puisi Tegalan” antara Walikota Tegal Adi Winarso, Bupati Tegal Agus Riyanto, Ketua DPRD Tegal Ghautsun, plus dua anggota dewan, para birokrat, dan para seniman di Gedung Kesenian Tegal, diteruskan gerakan Bupati Tegal dan para seniman mendobak pembacaan “Tembangan Banyak” ketika kami diundang ke “Wapres”, di Bulungan, Jakarta. Belakangan kami tidak tanggung-tanggung merayakan “Hari Sastra Tegalan” yang kami peringati tiap tanggal 26 Nopember dengan melakukan pembacaan puisi tegalan di Semarang dan TBS. Sejak itu, sastra tegalan pun makin menjadi booming.

Gerakan kebudayaan yang kami dikibarkan itu, oleh sebagian kalangan dinamai sebagai gerakan pembrontakan memperjuangakan bahasa ibu yang selama ini bahasa Tegal kerap diidentikan sebagai bahasa pinggiran, norak, udik atau kampungan, dan tak bertatakarma, ternyata mampu menjadi hulu ledak di ranah kasusastraan nasional. Sekaligus menjadi sebuah breaking news yang memaksa para sasterawan untuk menyimak gerakan kami.

Tak dipungkiri, dengan lahirnya terjemahan puisi “Nyanyian Angsa” karya WS. Rendra yang diobrak-abrik ke dalam bahasa Tegal menjadi “Tembangan Banyak”, suasana keanehan terasa menghentak dan memancing luapan gelombang pro dan kontra di kalangan para sasterawan. Toh, kami tetap melakukan kebinalan bersastra ria demi kepedulian kami mendudukan kebesaran bahasa lokal. Kami sepakat ingin menunjukkan bahwa bahasa kami lebih demokratis dan membumi sebagai alat penyampai sastra, sakaligus menjadi ‘pembangkang’ dari dominasi bahasa ‘wetanan’. Kami sadar, berabad silam kami menjadi daerah ‘jajahan‘ atas domonasi bahasa wetan sejak jaman nenek moyang. Kami ingin mandiri dengan produk kebudayaannya sendiri sekali pun kebudayaan kami dinilai urakan, namun itu lebih baik ketimbang harus menjadi parasit berbilang abad.

Kami tak rela kalau karya sastra Jawa harus diarahkan menjadi seragam menggunakan bahasa ‘wetanan’. Kami tak rela kalau puisi Jawa itu parameternya berkiblat pada Solo, itu artinya karya sastra Jawa tidak beranjak dari estetika lama. Kami ingin menentukan teks-teks baru yang lebih berkarakter dan membebaskan diri dari gaya dan estetika para pendahulu.

Sebagai anak muda kami harus berani tampil. Kita ambil contoh, keberhasilan Soekarno membangun Indonesia disebabkan karena dia memulai kepemimpiannya dalam usia yang masih sangat muda. Bukan orang yang sudah sunset generation. Ibaratnya, yang muncul tengah hari seperti matahari yang sedang garang-garangnya, begitu juga kami. Kami mau muncul pada saat matahari sedang terik meluap-luap. Kalau mendekati ashar, mendekati magrib, itu sama artinya mendekati hampir gelap dan tidur. Kami betul-betul dilanda birahi dalam proses kesumat pencarian obsesi gebrakan ini. Kami serius sekali memikirkan hal ini agar bahasa ibu kami bener-benar menjadi ikon di kota kami.

Dalam pikiran kami, perkembangan kebudayaan itu tidak harus menyempit. Memberikan pemahaman habitat dan citra seni ini harus bergeser. Begitu juga dalam pagelaran baca puisi. Dulu, yang namanya baca puisi hanya menggunakan teks-teks sastra berbahasa nasional, tanpa melirik perkembangan kesusastraan yang sedang terjadi. Oleh karenanya, wacana pemikiran semacam itu perlu didobrak, karena akan mempersempit gerak dan pekembangan kebudayaan secara global.

Sastra tegalan harus lahir dan menjadi hulu ledak, tentu dibutuhkan perjuangan tanpa kenal lelah, lesu, dan anget-anget tai ayam. Tapi kenapa harus sastra tegalan yang musti dilahirkan dan eksis?

Kami kira, memahami dinamika kebudayaan itu tak cukup senantiasa berkutat pada pemahaman yang sempit. Lebih lagi untuk sastra tegalan yang sedang kami bangun, sebagai sebuah produk kebudayaan diharapkan agar tidak statis beku atau tidak mengenal perkembangan. Memahami kebudayaan dengan cara demikian, hanya akan membuat kita kalap dan ribut besar, seolah ada entitas yang bisa dirampok dari kebudayaan itu. Ranah kebudayaan bernama tegalan harus dibuka lebar-lebar, mblusuk-mblukus ke segala lini dan mrembes pada tataran status apa saja.

Bagi kami, memperjuangkan gerakan tegalan itu harus jumbuh pada pengamalan UUD 45, ini yang pertama. Yang kedua, kami ingin memberi pemahaman bahwa sesungguhnya soal kebahasaan itu tidak ada yang lebih “tinggi” atau “adiluhung”. Dengan demikian, yang namanya sekat-sekat kebudayaan jadi mencair: tak ada bedanya antara yang “serius” dan “pop”, antara yang dianggap “tinggi” dan “rendah”, antara yang “gedongan” dan “jalanan” (Kompas, halaman 12, Minggu 30 Agustus 2009).

Bahasa tegalan sebagai bahasa lisan yang kerap dipandang nyinyir dan dianggap sebagai buah karsa kaum marjinal, sangat berkeinginan menjadi bahasa sastra yang berkelas dan punya daya sengat.

Kedua, gerakan ‘pembrontakan’ kebudayaan kami ini dimaksudkan agar bahasa tegalan kami menjadi ‘anjing penjaga’ dari kepunahan bahasa lokal sebaimana yang dimaui oleh UUD 1945. Tahukah saudara?

Dalam terminologi politik kebangsaan, kata bahasa terkait dengan pasal 36 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa bahasa negara ialah Bahasa Indonesia. Sedangkan mengenai bahasa daerah disebutkan dalam pasal 32 (ayat 2) bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya Nasional. Dalam penjelasan pasal 36 UUD 1945 juga disebutkan bahwa ‘di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik, --misalnya Bahasa Jawa, Sunda, Madura dan seterusnya sebagainya. Bahasa-bahasa itu dihormati dan dipelihara juga oleh negara. Bahasa-bahasa itupun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup. Dan sebagai warisan budaya, bahasa lokal itu telah diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 36 dan UU Otonomi Daerah 2004 ps. 22 huruf m jelas-jelas seluruh komponen masyarakat lokal hendaknya memelihara dan melestarikan warisan sosial budaya. Salah satu warisan tersebut adalah bernama Bahasa Tegal. Jadi, apa yang kami lakukan bukannya sesuatu yang nganeh-nganehi atau ngawur. Tapi berpijak pada UUD 45 maupun UU Otonomi Daerah.

Pelajaran Penting

Sebagai sebuah gerakan memperjuangkan bahasa lokal, terus terang saja kami ingin sekali memberikan pelajaran penting tentang nuansa demokrasi kepada siapapun agar mereka bisa menghapus sikap rasialisme terhadap perbedaan bahasa. Karena apapun alasannya, yang namanya bahasa itu memiliki kekuatan sendiri-sendiri, tidak ada yang lebih “unggul”, “mapan”, atau ”terendahkan”. Soal kebasaan itu berkedudukan sama rendah dan mulia. Pemahaman inilah yang memaksa kami untuk tetap memperjuangkan bahasa tegalan, biarpun para sastrawan pada puyeng, terperangah, dan klenjengan layaknya tersengat kalajengking dengan antupnya yang garang. Atmosfer polemik biar terjadi diantara kritikus, pengamat seni, pemerhati sastra, budayawan, paus sastra atau wader sastra, saling beradu argumentasi dalam kegaduhan pro dan kotra. Sedang kami akan selalu terobsesi untuk menebar virus tegalan sebagai bentuk kreativitas dalam pemberontakan berkesenian.

Kredo kami; siapa pun orangnya akan kami goda untuk terlibat dalam sastra tegalan. Dan semakin kami disepelekan, kami akan menindas dengan karya sastra tegalan. Kami ingin berkeliaran ke mana-mana dengan kemungkinan-kemungkinan yang tak bisa ditebak dan dipasung. Kami ingin menembus ruang dan waktu, mengalir, merembes ke seluruh wilayah dan status sosial hingga terbit fajar baru (*).



MI' ROJ PENYAIR 'SI BURUNG WAMBIE'


Mi’roj Adhika AS, Penyair ‘Si Burung Wambie'

Garis keturunan dia tergolong agamis. Bapaknya, H. Abd Shomad adalah kiai terpandang di wilayah Pekiringan, Kecamatan Talang. Juga ibunya, Nyai Sarisah, ustadjah. Sementara 9 saudara kandungnya berprofesi sebagai ustad. Namun jalur hidup dia justru berbelok menapaki dunia syair. Moch. Mi’roj Adhika AS, demikian nama lelaki kelahiran 14 Januari Desa Pekiringan, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal itu, malah lebih kerasan memilih menjadi seorang penyair.

Baginya, antara profesi ustad dan penyair sama saja. Keduanya memiliki kesamaan menyampaikan kebenaran. “Antar penyair dan ustad itu, perbedaannya sangat tiois, cuma sekulit ari. Keduanya sama-sama menyampaikan kebenaran,” tutur Mi’roj yang kesohor dengan julukan ‘Si Burung Wambie’ karena ketika dia membacakan sederet puisi, suara dia mirip melengking burung Wambie, mengkristal dan mampu menembus keriuhan. Demikian pula kibasan tangannya seolah kepakan sayap Wambie.

Mi’roj -demikian biasa disapa, adalah putra ke 7 dari 11 bersaudara pasangan KH. Abd. Shomad dan Nyai Sarisah. Mi’roj mengaku menekuni dunia kepenyairan sejak kelas satu MTs Negeri Slawi. Sajak-sajak sufinya yang dia tulis sarat dengan tema sosial, banyak dimuat di berbagai media massa nasional maupun lokal.

Tidak sedikit pula sajaknya terangkum di beberapa antologi seperti Antologi Puisi Indonesia (API) penerbit Angkasa Bandung tahun 1997, Jentera Terkasa tahun 1998 terbitan Taman Budaya Surakarta, Potret Negeri Londok Kasmaran, 1998, Juadah Pasar 1998 terbitan media Tegal Tegal dan Dewan Kesenian Tegal, 1998, Potret Reformasi Dalam Ruh Puisi Tegalan 1998, Sajak Cinta Bulan Tembaga 1999, Manusia Angin 2000, Tusukkan-tusukkan Ilalang 1999, Puisi Cinta terbitan Teater KITA, 2002 dan masih banyak lagi.

Bagi Mi’roj, menulis puisi adalah panggilan nurani. Ia merasa dengan berpuisi dirinya telah berbuat kebajikan. “Aku seperti berkhalwat dan terbang jauh ke alam ilahiyah dengan sajak-sajak yang suci yang benar-benar keluar dari rohani,” katanya mantap.

Meski dia punya kegilaan menulis puisi, namun tidak serta-merta dia menumpahkan bait-bait puisinya dengan sembarangan. Karena menurutnya, proses penciptaan puisi dibutuhkan suasana sublim yang tepat. Baginya, satu puisi bisa ditempuh berbulan-bulan lamanya seperti pada sajak berjudul Renungan Sukma; //……/rembulan tertegun/di atas/batu nisan//Sambil/menghitung-hitung/tasbih/memuji-Nya//.

Menurut dia, puisi di atas dicipta dengan proses sangat sublimasi. Dalam bahasa penyair, proses tersebut diperjuangan dengan ‘berdarah-darah’. “Saya menulis puisi itu setelah berkhalwat selama 40 jumat di makam Pangeran Purbaya Syeh Abd Ghofar di Kalisoka,” katanya.

Mi’roj tidak hanya menulis puisi. Di wilayah Slawi dan Tegal, dia tergolong sebagai pembaca puisi yang sudah bilang tahun dan diperhitungkan. Prestasi yang diukirnya pernah menjadi pembaca puisi terbaik di PC NU Kabupaten Tegal, pemenang juara Lomba Cipta Puisi Cinta di Pekalongan, dan beberapa kejuaraan lainnya.

Sebagai pembaca puisi, dia kerap diundang dalam berbagai pertemuan penyair se-Indonesia, termasuk membacakan sejumlah karyanya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta 1997. Tahun 1998 diundang diskusi dalam acara temu Penyair Angkatan Reformasi, di Solo. Ditahun yang sama dia membacakan puisinya saat peluncuran antologi puisi Jentera Terkasa di Taman Budaya Surakarta. Pada tahun 2008 diundang dalam acara Pesta Penyair Nasional, di Kediri.

Sampai sekarang, Mi’roj masih bergabung dengan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) sejak dari tahun 1997. Lelaki yang masih betah membujang ini bersama begawan dan penyair Apito Lahire menggerakan sastra di wilayah Kabupaten Tegal lewat Komunitas Sastra Tegal (KST) dan melalui Teater Pawon. Kehidupan kepenyairannya sengaja dipertahankan karena dia memandang bahwa dunia puisi perlu diperjuangkan, agar jagat sastra di wilayah Kabupaten tetap hidup dan subur.

“Kehidupan sastra, terutama dunia puisi harus tetap eksis agar ada keseimbangan ditengah-tengah kerihuhan jaman yang ukurannya senantiasa dengan takaran kebendaan,” katanya.

Baginya, dunia penyair adalah dunia kemerdekaan berpikir. Demikian pula dalam bertauhid, syaratnya adalah berfikir dengan merdeka. Tak mengherankan kalau dia selalu berpikir dan bersikap merdeka. Ini terbukti ketika banyak saudaranya menjadi ustad, dia malah memilih hidup sebagai seorang penyair.

Selain sebagai penyair, Mi’roj adalah seorang pengajar di SMA NU 01 Wahid Hasyim Talang, dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Shalahuddi Jakarta kampus Pekalongan. Juga sebagai Ketua Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia) NU Kabupaten Tegal, Pengurus Percasi Kabupaten Tegal, Pengurus Forum Guru Swasta Kabupaten Tegal divisi seni budaya, dan Sekretaris Yaysan Shofa Plus Kabupaten Tegal. Banyaknya organisasi yang dia masuki, karena ingin menunjukkan bahwa hidupnya itu harus bermanfaat bagi dimasyarakat kendati sekecil apapun. “Sekali berarti, sesudah itu mati,” tandas Mi’roj meminjam kata-kata penyair Chairil Anwar.

Dalam waktu dekat, Mi’roj akan mendeklamasikan puisi-puisi religiusnya di Kendal, Semarang, Kudus, Pati, Indramayu, dan Jakarta atas biaya sendiri (*)

BIODATA:

Nama : Moh. Mi’roj Adhika AS

Tempat/tgl lahir : Tegal, 14 Januari/27 Rajab

Ayah : KH. Abd. Shomad

Ibu : Nyai Sarisah

Pekerjaan : Pendidik

Alamat : Jl. Beji Pekiringan Rt 08/02 No 38

Kecamatan Talang Kabupaten Tegal

Organisasi : PC (Pengurus Cabang) IPNU Kabupaten Tegal 1992-2006

PC Ansor Kabupaten Tegal 2006-2009

Ketua Lesbumi Kabupaten TEgal

Ketua Komunitas Sastra Tegal di Slawi

Pengurus Percasi Kabupaten Tegal

Pengurus Forum Guru Swasta Kabupaten Tegal divisi Seni Budaya

Sekretaris Yayasan Shofa Plus Kabupaten Tegal

Prestasi : Pembaca puisi terbaik di PC NU Kabupaten Tegal

Juara Lomba Cipta Puisi Cinta di Pekalongan

Antologi : Tergabung di Antologi Puisi Indonesia (API) tahun 1997

Jentera Terkasa, tahun 1998

Potret Negeri Londok Kasmaran, 1998

Juadah Pasar, Tegal1998

Potret Reformasi Dalam Ruh Puisi Tegalan, 1998

Sajak Cinta Bulan Tembaga, 1999

Manusia Angin, 2000

Tusukkan-tusukkan Ilalang, 1999

Puisi Cinta, 2002


Minggu, 06 September 2009

Mengenang Jenate Rendra 40 Hari

40 Dina Jenate WS. Renda Hadirkan
Penyair 4 Kota Bawakan
Sajak Terjemahandan dan Lagu Tegalan

Komunitas ‘Asah Manah’ pimpinan penyair Diah Setyawati bakal usung beberapa penyair dari 4 kota dalam pagelaran “Patangpuluh Dina Jenate WS. Rendra” dalam kemasan pembacaan puisi dan gelar musik tembang-tembang tegalan. Penyair 4 kota itu terdiri dari daerah Tegal, Banyumas, Indramayu, dan Solo. Mereka adalah Apas Kafasi, Linda Manise, Apito Lahire, Moh. Mi’roj Adhika, Abu Ma’mur, Diah Setyawati, Tambari Gustam, dan lain sebagainya (Tegal). Dari Indramayu, para penyair siap hadir diantarnya Nurochman Sudibyo, Acep Syahril, Supali Kasim, dan Hadi Utomo bakal membacakan sajak Rendra terjemahan Indramayu. Dari Banyumas, yaitu Ekadila Kurniawan, dan Hamidin Krazan. Sementara dari Solo penyair Sosiawan Leak, si pelukis ‘setan’ Indraning, dan besar kemungkinan di akan tampil Ki Dalang Slamet Gundono beserta komunitas wayang suketnya. Para penyair dari 4 kota itu nantinya wajib membawakan sajak Rendra dalam terjemahan bahasa daerahnya masing-masing. Hal ini menurut Ketua Penyelenggara, Diah Setyawati, dimaksudkan agar bahasa lokal tetap hidup dan menjadi kekuatan, bukan bahasa yang senantiasa dipinggirkan. “Bahasa lokal itu mustinya menjadi bahasa yang menguatkan bahasa nasional, bukan malah dipinggirkan atau dijauhi oleh para sastrawan,” katanya. Menurut Diah, untuk membangun perkembangan kebudayaan itu tidak harus terpatok pada khasanah sastra nasional saja. Jika hal itu terjadi, perkembangan sastra akan menyempit. “Memahami kebudayaan dengan cara demikian, hanya akan membuat kita kalap dan ribut besar, seolah ada entitas yang bisa dirampok dari kebudayaan itu. Ranah kebudayaan dengan bahasa lokal harus dibuka lebar-lebar, mblusuk-mblukus ke segala lini dan merembes pada tataran status apa saja. Seperti juga dalam pagelaran baca puisi yang sedang kami gagas ini, harus menggelobal di mana usur bahasa bukan lagi menjadi permasalahan yang menggelisahkan para pelakunya,” tandasnya. Konsep itulah yang diharapkani Diah, tak lain agar ranah sastra nasional semakin beraneka ragam, tidak hanya dijejali penggunakaan bahasa nasional, namun sastra lokal pun layak dicatat dan mendapat tempat. Dia mencontohkan, dulu, yang namanya baca puisi hanya menggunakan teks-teks sastra berbahasa nasional, tanpa melirik perkembangan kesusastraan yang sedang terjadi. Oleh karenanya, wacana pemikiran semacam itu perlu didobrak, Hl itu demi kemajuan sastra yang tidak membeda-bedakan bahasa. Karena kedudukan bahasa dalam kebudayaan itu sama. Tidak ada yang lebih “tinggi” atau “adiluhung”. Oleh karenanya, sekat-sekat kebudayaan harus mencair: tak ada bedanya antara yang “serius” dan “pop”, antara yang dianggap “tinggi” dan “rendah”, antara yang “gedongan” dan “jalanan”. Acara malam mengenang “Patangpuluh Dina Jenate WS. Rendra” yang rencananya digelar, Selasa 15 September 2009 mendatang itu, selain mengusung para penyair, dimeriahkan juga penampilan Dinda dan Bintoro. Mereka akam membawakan tembang tegalan ‘Tragedi Jatilawang’ ciptaan Lanang Setiawan yang sudah diaransemen ulang oleh Bintoro dengan irama orkestra berkolaborasi dengan musik-musik etnis. Acara bertempat di Gedung Rakyat Balai Kesenian Kabupaten Tegal, pukul 20. 00 Wib (*)

KETERANGAN FOTO: Penyair Diah Setyawati berfose dibelakang lukisan salah satu karyanya (Foto : Lanang Setiawan)