Mi’roj Adhika AS, Penyair ‘Si Burung Wambie'
Garis keturunan dia tergolong agamis. Bapaknya, H. Abd Shomad adalah kiai terpandang di wilayah Pekiringan, Kecamatan Talang. Juga ibunya, Nyai Sarisah, ustadjah. Sementara 9 saudara kandungnya berprofesi sebagai ustad. Namun jalur hidup dia justru berbelok menapaki dunia syair. Moch. Mi’roj Adhika AS, demikian nama lelaki kelahiran 14 Januari Desa Pekiringan, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal itu, malah lebih kerasan memilih menjadi seorang penyair.
Baginya, antara profesi ustad dan penyair sama saja. Keduanya memiliki kesamaan menyampaikan kebenaran. “Antar penyair dan ustad itu, perbedaannya sangat tiois, cuma sekulit ari. Keduanya sama-sama menyampaikan kebenaran,” tutur Mi’roj yang kesohor dengan julukan ‘Si Burung Wambie’ karena ketika dia membacakan sederet puisi, suara dia mirip melengking burung Wambie, mengkristal dan mampu menembus keriuhan. Demikian pula kibasan tangannya seolah kepakan sayap Wambie.
Mi’roj -demikian biasa disapa, adalah putra ke 7 dari 11 bersaudara pasangan KH. Abd. Shomad dan Nyai Sarisah. Mi’roj mengaku menekuni dunia kepenyairan sejak kelas satu MTs Negeri Slawi. Sajak-sajak sufinya yang dia tulis sarat dengan tema sosial, banyak dimuat di berbagai media massa nasional maupun lokal.
Tidak sedikit pula sajaknya terangkum di beberapa antologi seperti Antologi Puisi Indonesia (API) penerbit Angkasa Bandung tahun 1997, Jentera Terkasa tahun 1998 terbitan Taman Budaya Surakarta, Potret Negeri Londok Kasmaran, 1998, Juadah Pasar 1998 terbitan media Tegal Tegal dan Dewan Kesenian Tegal, 1998, Potret Reformasi Dalam Ruh Puisi Tegalan 1998, Sajak Cinta Bulan Tembaga 1999, Manusia Angin 2000, Tusukkan-tusukkan Ilalang 1999, Puisi Cinta terbitan Teater KITA, 2002 dan masih banyak lagi.
Bagi Mi’roj, menulis puisi adalah panggilan nurani. Ia merasa dengan berpuisi dirinya telah berbuat kebajikan. “Aku seperti berkhalwat dan terbang jauh ke alam ilahiyah dengan sajak-sajak yang suci yang benar-benar keluar dari rohani,” katanya mantap.
Meski dia punya kegilaan menulis puisi, namun tidak serta-merta dia menumpahkan bait-bait puisinya dengan sembarangan. Karena menurutnya, proses penciptaan puisi dibutuhkan suasana sublim yang tepat. Baginya, satu puisi bisa ditempuh berbulan-bulan lamanya seperti pada sajak berjudul Renungan Sukma; //……/rembulan tertegun/di atas/batu nisan//Sambil/menghitung-hitung/tasbih/memuji-Nya//.
Menurut dia, puisi di atas dicipta dengan proses sangat sublimasi. Dalam bahasa penyair, proses tersebut diperjuangan dengan ‘berdarah-darah’. “Saya menulis puisi itu setelah berkhalwat selama 40 jumat di makam Pangeran Purbaya Syeh Abd Ghofar di Kalisoka,” katanya.
Mi’roj tidak hanya menulis puisi. Di wilayah Slawi dan Tegal, dia tergolong sebagai pembaca puisi yang sudah bilang tahun dan diperhitungkan. Prestasi yang diukirnya pernah menjadi pembaca puisi terbaik di PC NU Kabupaten Tegal, pemenang juara Lomba Cipta Puisi Cinta di Pekalongan, dan beberapa kejuaraan lainnya.
Sebagai pembaca puisi, dia kerap diundang dalam berbagai pertemuan penyair se-Indonesia, termasuk membacakan sejumlah karyanya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta 1997. Tahun 1998 diundang diskusi dalam acara temu Penyair Angkatan Reformasi, di Solo. Ditahun yang sama dia membacakan puisinya saat peluncuran antologi puisi Jentera Terkasa di Taman Budaya Surakarta. Pada tahun 2008 diundang dalam acara Pesta Penyair Nasional, di Kediri.
Sampai sekarang, Mi’roj masih bergabung dengan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) sejak dari tahun 1997. Lelaki yang masih betah membujang ini bersama begawan dan penyair Apito Lahire menggerakan sastra di wilayah Kabupaten Tegal lewat Komunitas Sastra Tegal (KST) dan melalui Teater Pawon. Kehidupan kepenyairannya sengaja dipertahankan karena dia memandang bahwa dunia puisi perlu diperjuangkan, agar jagat sastra di wilayah Kabupaten tetap hidup dan subur.
“Kehidupan sastra, terutama dunia puisi harus tetap eksis agar ada keseimbangan ditengah-tengah kerihuhan jaman yang ukurannya senantiasa dengan takaran kebendaan,” katanya.
Baginya, dunia penyair adalah dunia kemerdekaan berpikir. Demikian pula dalam bertauhid, syaratnya adalah berfikir dengan merdeka. Tak mengherankan kalau dia selalu berpikir dan bersikap merdeka. Ini terbukti ketika banyak saudaranya menjadi ustad, dia malah memilih hidup sebagai seorang penyair.
Selain sebagai penyair, Mi’roj adalah seorang pengajar di SMA NU 01 Wahid Hasyim Talang, dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Shalahuddi Jakarta kampus Pekalongan. Juga sebagai Ketua Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia) NU Kabupaten Tegal, Pengurus Percasi Kabupaten Tegal, Pengurus Forum Guru Swasta Kabupaten Tegal divisi seni budaya, dan Sekretaris Yaysan Shofa Plus Kabupaten Tegal. Banyaknya organisasi yang dia masuki, karena ingin menunjukkan bahwa hidupnya itu harus bermanfaat bagi dimasyarakat kendati sekecil apapun. “Sekali berarti, sesudah itu mati,” tandas Mi’roj meminjam kata-kata penyair Chairil Anwar.
Dalam waktu dekat, Mi’roj akan mendeklamasikan puisi-puisi religiusnya di Kendal, Semarang, Kudus, Pati, Indramayu, dan Jakarta atas biaya sendiri (*)
BIODATA:
Nama : Moh. Mi’roj Adhika AS
Tempat/tgl lahir : Tegal, 14 Januari/27 Rajab
Ayah : KH. Abd. Shomad
Ibu : Nyai Sarisah
Pekerjaan : Pendidik
Alamat : Jl. Beji Pekiringan Rt 08/02 No 38
Kecamatan Talang Kabupaten Tegal
Organisasi : PC (Pengurus Cabang) IPNU Kabupaten Tegal 1992-2006
PC Ansor Kabupaten Tegal 2006-2009
Ketua Lesbumi Kabupaten TEgal
Ketua Komunitas Sastra Tegal di Slawi
Pengurus Percasi Kabupaten Tegal
Pengurus Forum Guru Swasta Kabupaten Tegal divisi Seni Budaya
Sekretaris Yayasan Shofa Plus Kabupaten Tegal
Prestasi : Pembaca puisi terbaik di PC NU Kabupaten Tegal
Juara Lomba Cipta Puisi Cinta di Pekalongan
Antologi : Tergabung di Antologi Puisi Indonesia (API) tahun 1997
Jentera Terkasa, tahun 1998
Potret Negeri Londok Kasmaran, 1998
Juadah Pasar, Tegal1998
Potret Reformasi Dalam Ruh Puisi Tegalan, 1998
Sajak Cinta Bulan Tembaga, 1999
Manusia Angin, 2000
Tusukkan-tusukkan Ilalang, 1999
Puisi Cinta, 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar