Minggu, 06 September 2009

Mengenang Jenate Rendra 40 Hari

40 Dina Jenate WS. Renda Hadirkan
Penyair 4 Kota Bawakan
Sajak Terjemahandan dan Lagu Tegalan

Komunitas ‘Asah Manah’ pimpinan penyair Diah Setyawati bakal usung beberapa penyair dari 4 kota dalam pagelaran “Patangpuluh Dina Jenate WS. Rendra” dalam kemasan pembacaan puisi dan gelar musik tembang-tembang tegalan. Penyair 4 kota itu terdiri dari daerah Tegal, Banyumas, Indramayu, dan Solo. Mereka adalah Apas Kafasi, Linda Manise, Apito Lahire, Moh. Mi’roj Adhika, Abu Ma’mur, Diah Setyawati, Tambari Gustam, dan lain sebagainya (Tegal). Dari Indramayu, para penyair siap hadir diantarnya Nurochman Sudibyo, Acep Syahril, Supali Kasim, dan Hadi Utomo bakal membacakan sajak Rendra terjemahan Indramayu. Dari Banyumas, yaitu Ekadila Kurniawan, dan Hamidin Krazan. Sementara dari Solo penyair Sosiawan Leak, si pelukis ‘setan’ Indraning, dan besar kemungkinan di akan tampil Ki Dalang Slamet Gundono beserta komunitas wayang suketnya. Para penyair dari 4 kota itu nantinya wajib membawakan sajak Rendra dalam terjemahan bahasa daerahnya masing-masing. Hal ini menurut Ketua Penyelenggara, Diah Setyawati, dimaksudkan agar bahasa lokal tetap hidup dan menjadi kekuatan, bukan bahasa yang senantiasa dipinggirkan. “Bahasa lokal itu mustinya menjadi bahasa yang menguatkan bahasa nasional, bukan malah dipinggirkan atau dijauhi oleh para sastrawan,” katanya. Menurut Diah, untuk membangun perkembangan kebudayaan itu tidak harus terpatok pada khasanah sastra nasional saja. Jika hal itu terjadi, perkembangan sastra akan menyempit. “Memahami kebudayaan dengan cara demikian, hanya akan membuat kita kalap dan ribut besar, seolah ada entitas yang bisa dirampok dari kebudayaan itu. Ranah kebudayaan dengan bahasa lokal harus dibuka lebar-lebar, mblusuk-mblukus ke segala lini dan merembes pada tataran status apa saja. Seperti juga dalam pagelaran baca puisi yang sedang kami gagas ini, harus menggelobal di mana usur bahasa bukan lagi menjadi permasalahan yang menggelisahkan para pelakunya,” tandasnya. Konsep itulah yang diharapkani Diah, tak lain agar ranah sastra nasional semakin beraneka ragam, tidak hanya dijejali penggunakaan bahasa nasional, namun sastra lokal pun layak dicatat dan mendapat tempat. Dia mencontohkan, dulu, yang namanya baca puisi hanya menggunakan teks-teks sastra berbahasa nasional, tanpa melirik perkembangan kesusastraan yang sedang terjadi. Oleh karenanya, wacana pemikiran semacam itu perlu didobrak, Hl itu demi kemajuan sastra yang tidak membeda-bedakan bahasa. Karena kedudukan bahasa dalam kebudayaan itu sama. Tidak ada yang lebih “tinggi” atau “adiluhung”. Oleh karenanya, sekat-sekat kebudayaan harus mencair: tak ada bedanya antara yang “serius” dan “pop”, antara yang dianggap “tinggi” dan “rendah”, antara yang “gedongan” dan “jalanan”. Acara malam mengenang “Patangpuluh Dina Jenate WS. Rendra” yang rencananya digelar, Selasa 15 September 2009 mendatang itu, selain mengusung para penyair, dimeriahkan juga penampilan Dinda dan Bintoro. Mereka akam membawakan tembang tegalan ‘Tragedi Jatilawang’ ciptaan Lanang Setiawan yang sudah diaransemen ulang oleh Bintoro dengan irama orkestra berkolaborasi dengan musik-musik etnis. Acara bertempat di Gedung Rakyat Balai Kesenian Kabupaten Tegal, pukul 20. 00 Wib (*)

KETERANGAN FOTO: Penyair Diah Setyawati berfose dibelakang lukisan salah satu karyanya (Foto : Lanang Setiawan)

Tidak ada komentar: