Selasa, 22 September 2009

Baca Sajak 4 Bahasa Lokal Untuk Mendiang Rendra

Baca Sajak 4 Bahasa 40 Hari Wafatnya Rendra Puncak Acara Kesenian Spektakuler

MALAM pembacaan terjemahan puisi karya Rendra, Selasa (15/9) lalu menjadi puncak acara spektakuler diantara pagelaran kesenian yang pernah diadakan. Pada malam “Mengenang Kematian Rendra” dan “40 Hari Wafatnya Rendra” yang digelar Dewan Kesenian Kota Tegal sebelumnya, tak lebih dari sekadar aksi pentas tanpa memiliki getaran apa-apa karena dilakukan hanya bertumpu pada teks-teks bahasa aslinya, seperti pembacaan puisi pada umumnya yang sama sekali tidak melahirkan geliat kebudayaan baru. Lain sekali pada malam 40 kematian Rendra yang digeber oleh komunitas Asah Manah bekerjasama dengan Sanggar Putik 99 Slawi, dan Komite Seni – Sastra Dewan Kesenian, Kabupaten Tegal, justru melahirkan aura pembaharuan. Tidak tanggung-tanggung, pagelaran malam itu mengusung 4 bahasa. Bahasa Tegal, Banyumas, Solo, dan Aceh. Demikian penyair Banyumas, Ekadila Kurniawan mengatakan hal itu seusai membacakan sajak Rendra “Sajak Wong-wong sing pada Kecot” dalam terjemahan Banyumasan dari sajak asli berjudul “Sajak Orang-orang Lapar”. Acara tersebut digeber di pelataran parkir Gedoeng Rakyat Balai Kesenian Kabupaten Tegal dalam rangka “Pengètan Patangpuluh Dina Tilar Donyané WS. Rendra”.


Keterangan Foto : Dinda Kharisma, Lanang Setiawan, dan Ekadila Kurniawan saat meramaikan acara mengenang 40 hari kematian Rendra


Menurut Ekadila, pagelaran tersebut benar-benar diluar jangkauan pikirannya karena dikemas sangat langka dan baru pertama kali di nusantara. “Ini benar-benar acara spesifik dan berbobot. Baru kali saya menemui pagelaran cukup unik, karena hanya dengan bilangan satu malam sajak Rendra diterjemahkan dalam 4 bahasa,” tuturnya. Eka mengaku antusias mengikuti acara tersebut, berkaitan dengan materi yang diangkat itu memiliki tantang. Masing-masing penyair diwajibkan menterjemahkan sajak Rendra dalam bahasa lokal. Ia sendiri harus bersusah payah menterjemahkan sajak Rendra dalam Bahasa Banyumasan. Bagi Eka, menterjemahkan dan membawakan sajak tersebut tidaklah mudah. Ia musti berlatihan secara mendalam untuk bisa fasih menggunakan bahasa ibu-nya. “Rasanya beda sekali ketika saya membacakan sajak alsinya. Saya sendiri waktu menterjemahkan sajak itu ke dalam Bahasa Banyumasan membutuhkan waktu satu minggu lebih,” kata Eka. Hal yang sama dirasakan juga oleh penyair Solo, Sosiawan Leak. Meski dia sudah berpengalaman melakukan lawatan budaya dengan pembacaan puisi, namun ketika menghadapi sajak terjemahan, ia mengaku harus berlatih beberapa hari. “Membaca dan menterjemahkan sajak Rendra dalam bahasa lokal Solo, ternyata tidak gampang. Saya kesulitan mencari padanan kata agar tidak menggusur makna dari sajak aslinya,” kata Leak. Ketika Leak membacakan sajak “Donga Nom-noman Rangkasbitung ing Rotterdam” dari sajak asli berjudul “Doa Pemuda Rangkasbitung di Rotterdam”, ia tampak kikuk pada awal pembacaan. Leak mengaku tak biasa membawakan sajak Rendra dalam teks-teks bahasa ibu-nya. “Pada tanggal 13 September lalu saya baca sajak Rendra di Kota Tegal dalam teks aslinya, malam ini saya dihadapkan pada teks terjemahan Bahasa Solo, saya merasakan ada nuasa lain yang asing. Tapi pagelaran di Slawi malam ini sangat menarik dan kreatif sekali,” akunya. Penyair Abu Ma’mur, Mi’raj Andhika, Dinda Kharisma, Yaskur Parondina, dan Linda Manise yang baru pertama kali membaca sajak terjemahan Tegalan, juga mengaku kerepotan. “Jebulé tak gampang baca sajak dalam bahasa lokal, ya?” ujar Linda Manise yang malam itu membawakan sajak terjemahan Diah Setyawati berjudul “Sajak Mané” dari sajak asli berjudul “Sajak Ibu”. Sementara itu ‘Si Pelukis Setan’, Indraning yang membacakan sajak “Kangen” terjemahan Solo-nan, menjadi pengalaman pertama yang mengasyikan. “Seumur-umur saya baru malam ini baca sajak, apalagi pakai Bahasa Solo luar biasa sulit.,” katanya. Ia mengaku, kendati merasa sulit namun asyik juga baca sajak terjemahan. Menurutnya, seperti ada pengalaman yang asing ketika ia melantunkan bait-bait puisi itu. Begitu juga ketika dia mendengarkan sajak-sajak Rendra yang diterjemahkan dalam Bahasa Tegalan, Aceh, dan Banyumasan. “Bener-bener penuh greget yang tak bisa diperoleh dari sajak-sajak yang menggunakan bahasa nasional. Saya merasakan pagelaran ini menjadi acara tiada dua dari acara-acara serupa,” tandasnya. Membaca sajak terjemahan dari bahasa ibu-nya, diakui oleh para penyair yang malam itu tampil, memiliki satu keindahan khusus meski mereka mengaku agak kikuk. Meski demikian, acara yang mengundang banyak pengunjung itu berlangsung cukup gayeng. Selama pagelaran, para penonton tak satupun beranjak dari tempat mereka duduk lesehan. Mereka antusias mengikuti jalannya acara. Bahkan ketika penyair dan penulis buku Hamidin Krazan membawakan sajak “Seonggok Jagung di Kamar”, penonton turut berdendang ketika dia membangkitkan suasana pentas dengan tembang dolanan. Bahasa ‘ngapak-ngapak’ Banyumasan yang dia pakai, mampu menciptakan suasana penuh greget dan sorak. Tak kalah menarik juga ketika muncul penyair Mi’roj Adhika membawakan sajak “Rick sing Coronna” dalam terjemahan Tegalan, aplaus penonton berkepanjangan karena Bahasa Tegalan yang dia bawakan cukup medok dan sangat memikat “Saya bangga dengan Bahasa Tegalan, mas Lanang sangat pas menterjemahkan sajak Rendra Rick Dari Coronna itu. Saya jadi ingin membawakan lagi pada even lain,” kata Mi’roj yang kondang ‘Si Burung Wambie’ itu usai pembacaan. Tak mau kalah penyair Abu Ma’mur. Dengan membawakan sajak “Wong Wadon sing Kesisih” dari sajak Rendra berjudul “Perempuan yang Terusir”, Ma’mur tampil menghentak dengan logat Tegalannya yang menggigit. Ia menguasai pembacaan dengan penghayatan penuh, kadang-kadang juga seperti lolongan srigala di malam buta seakan-akan merasakan kepedihan penderitaan kaum wanita yang nasibnya disingkirkan oleh kesewenangan. Sebagai pembaca puisi, Ma’mur tampil amat utuh memberikan nuasa Tegalan yang memiliki kekuatan pukau. Ia mengaku, Bahasa Tegalan sebagai bahasa sastra membawa gairah kebudayaan di jagat khazanah sastra nasional. “Baca sajak dengan bahasa nasional, orang awam pun bisa. Tidak perlu hafalan, langsung bisa. Tapi baca sajak dengan bahasa lokal, sungguh penuh tantangan!” katanya. Pada puncak acara, tampil novelis ‘Pengendara Badai’ Lanang Setiawan. Dengan melantunan lagu tegalan “Tragedi Jatilawang” ciptaannya, ia ‘menghipnotis’ penonton untuk tetap terpaku. Aransemen musik orkestra yang dikemas oleh violis Bintoro Tanpo Aran, menjadikan lagu itu semakin berkelas. Apalagi ketika Bupati Tegal Agus Riyanto tampil membacakan Catatan Putu Wijaya tentang konsisten Rendra sebagai tokoh pembahru, acara tersebut melipat-gandakan makna pagelaran. Dan ketika kemudian Agus didesak penonton untuk menyanyikan satu tembang dari album miliknya, para penonton turut berdendang bersama. Usai penampilan bupati, sederetan musikalisasi puisi oleh grup musik Asah Manah, melengkapi malam itu seperti dipenuhi sihir pukau, karena kelompok ini tampil prima dengan garapan musik tak sekadar muncul, tidak seperti kelompok musik yang mengaku sebagai kelompok musik sastra. Grup pimpinan Diah Setyawati itu membawakan sajak-sajak Diah Setyawati dan Nganti Wani Wiji Thukul, dinyanyikan oleh Bintoro dan Dinda Kharisma. Menurut ketua penyelenggara, Diah Setyawati, puisi-puisi terjemahan yang dibacakan malam itu ada 25 buah. Selain diterjemahkan oleh Lanang Setiawan, Diah Setyawati, Sosiawan Leak, Hamidin Krazan, Ekadila Kurniawan, Indraning, Abu Ma’mur, dan lain sebagainya. ”Ini luar biasa, puisi Rendra disulap dalam berbagai bahasa lokal menjadi semakin akrab dengan kita. Enak, lugas dan menyenangkan,” ujar Diah. Ditambahkan, kegiatan ini dimaksudkan untuk menyemarakkan geliat berkesenian dengan berpijak pada spirit Rendra dan spirit Tegal. “Diharapkan kegiatan ini tidak sebatas seremonial mengenang almarhum melainkan untuk menambah daya dalam berkarya seni apapapun bentuknya. Ppengangkatan bahasa ibu sebagai media penerjemahan sajak-sajak Rendra, antara lain agar penyair lebih intens dalam olah bahasa,” tandas Diah. Selain mereka, panitia juga mengundang penyair Haryono Sukiran (Purbalingga), Lukman Suyanto (Brebes), Cak Kacung (Padepokan Bengkel Teater Rendra), Bukhori (Pemalang), dan secara khusus panitia mengundang Cik Firmansyah dari Aceh yang malam itu membawakan sajak Rendra dalam kemasan budaya Aceh. Dia tampil dengan diiringi seruling dan tari etnis yang dibawakan Wahyu Boled Cs (*)

Tidak ada komentar: