Jumat, 11 September 2009

SASTRA TEGALAN SEBAGAI 'ANJING PENJAGA'


Sastra Tegalan sebagai ‘Anjing Penjaga’

Oleh Lanang Setiawan

Sastra tegalan kian booming di ranah sasterawan Tegal. Pencitraan dan penguatan jatidiri ini tampak kentara ketika beberapa waktu lalu digelar acara “Malam Mengenang Rendra” dibeberapa tempat di Kota Tegal. Tidak sedikit para penyair menyuarakan sajak-sajak Rendra dalam diterjemahan bahasa Tegal.

Sastra tegalan sebagai ikon Tegal yang makin diusung mereka agar lebih agresif, aktif, dan moncer di wilayahnya, tak bisa dipungkirin mulai melangkah dan menggebrakadalah ketika mereka melakukan pembacaan antologi “Roa, Kumpulan Sajak Penyair Indonesia Terjemahan Tegalan” di Taman Budaya Surakarta tahun 1994 silam. Gerakan pembrontakan ini kemudian disusul lewat undangan lawatan pembacaan puisi tegalan ke Indramayu, “Jèd-jèdan (adu) Maca Puisi Tegalan” antara Walikota Tegal Adi Winarso, Bupati Tegal Agus Riyanto, Ketua DPRD Tegal Ghautsun, plus dua anggota dewan, para birokrat, dan para seniman di Gedung Kesenian Tegal, diteruskan gerakan Bupati Tegal dan para seniman mendobak pembacaan “Tembangan Banyak” ketika kami diundang ke “Wapres”, di Bulungan, Jakarta. Belakangan kami tidak tanggung-tanggung merayakan “Hari Sastra Tegalan” yang kami peringati tiap tanggal 26 Nopember dengan melakukan pembacaan puisi tegalan di Semarang dan TBS. Sejak itu, sastra tegalan pun makin menjadi booming.

Gerakan kebudayaan yang kami dikibarkan itu, oleh sebagian kalangan dinamai sebagai gerakan pembrontakan memperjuangakan bahasa ibu yang selama ini bahasa Tegal kerap diidentikan sebagai bahasa pinggiran, norak, udik atau kampungan, dan tak bertatakarma, ternyata mampu menjadi hulu ledak di ranah kasusastraan nasional. Sekaligus menjadi sebuah breaking news yang memaksa para sasterawan untuk menyimak gerakan kami.

Tak dipungkiri, dengan lahirnya terjemahan puisi “Nyanyian Angsa” karya WS. Rendra yang diobrak-abrik ke dalam bahasa Tegal menjadi “Tembangan Banyak”, suasana keanehan terasa menghentak dan memancing luapan gelombang pro dan kontra di kalangan para sasterawan. Toh, kami tetap melakukan kebinalan bersastra ria demi kepedulian kami mendudukan kebesaran bahasa lokal. Kami sepakat ingin menunjukkan bahwa bahasa kami lebih demokratis dan membumi sebagai alat penyampai sastra, sakaligus menjadi ‘pembangkang’ dari dominasi bahasa ‘wetanan’. Kami sadar, berabad silam kami menjadi daerah ‘jajahan‘ atas domonasi bahasa wetan sejak jaman nenek moyang. Kami ingin mandiri dengan produk kebudayaannya sendiri sekali pun kebudayaan kami dinilai urakan, namun itu lebih baik ketimbang harus menjadi parasit berbilang abad.

Kami tak rela kalau karya sastra Jawa harus diarahkan menjadi seragam menggunakan bahasa ‘wetanan’. Kami tak rela kalau puisi Jawa itu parameternya berkiblat pada Solo, itu artinya karya sastra Jawa tidak beranjak dari estetika lama. Kami ingin menentukan teks-teks baru yang lebih berkarakter dan membebaskan diri dari gaya dan estetika para pendahulu.

Sebagai anak muda kami harus berani tampil. Kita ambil contoh, keberhasilan Soekarno membangun Indonesia disebabkan karena dia memulai kepemimpiannya dalam usia yang masih sangat muda. Bukan orang yang sudah sunset generation. Ibaratnya, yang muncul tengah hari seperti matahari yang sedang garang-garangnya, begitu juga kami. Kami mau muncul pada saat matahari sedang terik meluap-luap. Kalau mendekati ashar, mendekati magrib, itu sama artinya mendekati hampir gelap dan tidur. Kami betul-betul dilanda birahi dalam proses kesumat pencarian obsesi gebrakan ini. Kami serius sekali memikirkan hal ini agar bahasa ibu kami bener-benar menjadi ikon di kota kami.

Dalam pikiran kami, perkembangan kebudayaan itu tidak harus menyempit. Memberikan pemahaman habitat dan citra seni ini harus bergeser. Begitu juga dalam pagelaran baca puisi. Dulu, yang namanya baca puisi hanya menggunakan teks-teks sastra berbahasa nasional, tanpa melirik perkembangan kesusastraan yang sedang terjadi. Oleh karenanya, wacana pemikiran semacam itu perlu didobrak, karena akan mempersempit gerak dan pekembangan kebudayaan secara global.

Sastra tegalan harus lahir dan menjadi hulu ledak, tentu dibutuhkan perjuangan tanpa kenal lelah, lesu, dan anget-anget tai ayam. Tapi kenapa harus sastra tegalan yang musti dilahirkan dan eksis?

Kami kira, memahami dinamika kebudayaan itu tak cukup senantiasa berkutat pada pemahaman yang sempit. Lebih lagi untuk sastra tegalan yang sedang kami bangun, sebagai sebuah produk kebudayaan diharapkan agar tidak statis beku atau tidak mengenal perkembangan. Memahami kebudayaan dengan cara demikian, hanya akan membuat kita kalap dan ribut besar, seolah ada entitas yang bisa dirampok dari kebudayaan itu. Ranah kebudayaan bernama tegalan harus dibuka lebar-lebar, mblusuk-mblukus ke segala lini dan mrembes pada tataran status apa saja.

Bagi kami, memperjuangkan gerakan tegalan itu harus jumbuh pada pengamalan UUD 45, ini yang pertama. Yang kedua, kami ingin memberi pemahaman bahwa sesungguhnya soal kebahasaan itu tidak ada yang lebih “tinggi” atau “adiluhung”. Dengan demikian, yang namanya sekat-sekat kebudayaan jadi mencair: tak ada bedanya antara yang “serius” dan “pop”, antara yang dianggap “tinggi” dan “rendah”, antara yang “gedongan” dan “jalanan” (Kompas, halaman 12, Minggu 30 Agustus 2009).

Bahasa tegalan sebagai bahasa lisan yang kerap dipandang nyinyir dan dianggap sebagai buah karsa kaum marjinal, sangat berkeinginan menjadi bahasa sastra yang berkelas dan punya daya sengat.

Kedua, gerakan ‘pembrontakan’ kebudayaan kami ini dimaksudkan agar bahasa tegalan kami menjadi ‘anjing penjaga’ dari kepunahan bahasa lokal sebaimana yang dimaui oleh UUD 1945. Tahukah saudara?

Dalam terminologi politik kebangsaan, kata bahasa terkait dengan pasal 36 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa bahasa negara ialah Bahasa Indonesia. Sedangkan mengenai bahasa daerah disebutkan dalam pasal 32 (ayat 2) bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya Nasional. Dalam penjelasan pasal 36 UUD 1945 juga disebutkan bahwa ‘di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik, --misalnya Bahasa Jawa, Sunda, Madura dan seterusnya sebagainya. Bahasa-bahasa itu dihormati dan dipelihara juga oleh negara. Bahasa-bahasa itupun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup. Dan sebagai warisan budaya, bahasa lokal itu telah diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 36 dan UU Otonomi Daerah 2004 ps. 22 huruf m jelas-jelas seluruh komponen masyarakat lokal hendaknya memelihara dan melestarikan warisan sosial budaya. Salah satu warisan tersebut adalah bernama Bahasa Tegal. Jadi, apa yang kami lakukan bukannya sesuatu yang nganeh-nganehi atau ngawur. Tapi berpijak pada UUD 45 maupun UU Otonomi Daerah.

Pelajaran Penting

Sebagai sebuah gerakan memperjuangkan bahasa lokal, terus terang saja kami ingin sekali memberikan pelajaran penting tentang nuansa demokrasi kepada siapapun agar mereka bisa menghapus sikap rasialisme terhadap perbedaan bahasa. Karena apapun alasannya, yang namanya bahasa itu memiliki kekuatan sendiri-sendiri, tidak ada yang lebih “unggul”, “mapan”, atau ”terendahkan”. Soal kebasaan itu berkedudukan sama rendah dan mulia. Pemahaman inilah yang memaksa kami untuk tetap memperjuangkan bahasa tegalan, biarpun para sastrawan pada puyeng, terperangah, dan klenjengan layaknya tersengat kalajengking dengan antupnya yang garang. Atmosfer polemik biar terjadi diantara kritikus, pengamat seni, pemerhati sastra, budayawan, paus sastra atau wader sastra, saling beradu argumentasi dalam kegaduhan pro dan kotra. Sedang kami akan selalu terobsesi untuk menebar virus tegalan sebagai bentuk kreativitas dalam pemberontakan berkesenian.

Kredo kami; siapa pun orangnya akan kami goda untuk terlibat dalam sastra tegalan. Dan semakin kami disepelekan, kami akan menindas dengan karya sastra tegalan. Kami ingin berkeliaran ke mana-mana dengan kemungkinan-kemungkinan yang tak bisa ditebak dan dipasung. Kami ingin menembus ruang dan waktu, mengalir, merembes ke seluruh wilayah dan status sosial hingga terbit fajar baru (*).



Tidak ada komentar: