Jumat, 30 Januari 2009

BAG II DARI NOVEL PENGENDARA BADAI


Bagian II

PENGENDARA BADAI
Novel: Karya Lanang Setiawan


Lawatan ke Indramayu
Bak halilintar yang sangar menyambar tiang-tiang listrik, antene tivi dan pemancar radio, Sastra Tegalan kian mencuat menjadi gelegar dentuman di tengah ingar-bingar arus deras keriuhan kesusastraan nasional. Sastra Tegalan begitu menggoda, menderu, meluap-luap, segar, dan menggelitik di jiwa-jiwa yang penasaran. Sastra Tegalan seperti halnya goyang Inul, sekali ngebor kalayak pun gempar. Sastra Tegalan adalah hulu ledak dalam keputusasaan para sastrawan yang jenuh menanti karya masterpiece tapi tak kunjung datang. Ia menjadi sebuah breaking news yang memaksa kita untuk menyimak di mana kami sedang bergerak memperjuangkan budaya lokalsentris.
Malam Minggu 28 Januari 1995 kami diundang oleh komunitas Forum Sastra Indramayu (FSI) untuk pentas. Ketika undangan itu aku terima dari penyair Nurochman Sudibyo YS, aku menyambutnya dengan perasaan penuh bara antusias seperti magma gunung yang meluncur santer melelehkan benda-benda. Maju, serang, pantang mundur bergerak menggerung, dan berkobar tanpa kompromi itulah semangat kami. Dengan tergopoh-gopoh aku kembali mondar-mandir menyambangi rekan-rekan seperti Denok Harti, Abidin Abror, Nurngudiono, Yono Daryono, Nurhidayat Poso, penyair gaek Widjati, dan dalang glètak Ki Bagdja. Kepada mereka aku bakar gairah libido kebangkitan kesenian rekan-rekan untuk beramai-ramai membadai, meradang, berderai-derai, mengibas-ibas dan siap menindas hegemoni para sastrawan Indramayu.
“Kita harus bahu membahu memperjuangkan Sastra Tegalan. Sudah telanjur kita menggulirkan satu fenomena Tegalan menjadi puncak kreatifitas orang Tegal agar bahasa kita tak lagi diremehkah, dianggap kampungan dan marginal. Kami mampu menunjukan eksistensi Tegalan menjadi sebuah karya sastra yang bermutu” kataku memprovokasi Nurngudiono ketika beranjangsana ke tempat tinggalnya.
“Aku siap mendukung gerakané énté, Jon. Bahasané dèwèk kudu dijunjung tinggi untuk menggapai kemulyaan kota kita yang tak pernah sepi dari geliat budaya”
Perasaanku berbunga-bunga. Aku melihat garis wajah keseriusan Nurngudiono lewat kata-katanya yang dia muntahkan. Selama ini aku memang mengetahui rasa simpati, kepedulian dan minat dia terhadap gerakan Tegalan ini menjadi satu ikatan emosional primordial yang terus kami pupuk.
“Ngko, nyong ora pan maca puisi tapi bermonolog. Naskah sudah aku buat judul Jobong”
“Soal materi, terserah kowen. Aku tak mau intervensi pada proses kreatifmu”
“Abidin pibén, Jon?”
“Abidin Abror masih tetap bermonolog, membawa lakon Kandang Bèbèk Mambu Bèbèk,”
“Tolih wis maring Harti?”
“Harti sudah aku hubungi lewat telpon. Dia berkenan membacakan Tembangan Banyak. Mamet ada kesibukan, absen dingin gak ikut lawatan budaya. Yono Daryono dan Nurhidayat aku peta-kompli untuk pemandu diskusi. Spesialisasi mereka ada di situ,” aku menjelaskan kedudukan kawan-kawan secara proporsional.
“Ya apik, pas. Yang lain?”
“Widjati,”
“Ya bagus. Penyair tua kudu diajak”
“Ya wis. Nyong tak maring Udi dan Ki Bagdja,” yang aku maksud Udi adalah Mas’udi Ach. Jeparan.
“Ya Jon. Selamat berjuang!”
Motor Yamaha butut jebolan tahun 74 aku pacu menuju wilayah Talang. Hari sudah sore, semburat cahaya kemuning menyulap langit lazuardi. Aku harus ketemu Mas’udi. Ini penting soal kesehatanku yang gampang drop. Dia tukang pijat refleksi dan aku membutuhkan dia untuk jaga-jaga kalau nanti dalam perjalanan ke Indramayu aku ambruk.
Ke arah selatan aku memacu kendaraan seperti kuli panggul mendaki bukit. Tidak boleh ngebut, karena semakin laju kendaraan berlari kencang, mesin cepat panas, suara knalpot bakal berderum meraung-raung sampai pada detik selanjutnya drop seketika.
Suatu hari aku pernah punya pengalaman yang bikin panik menghadapi motor bututku ini. Motorku baru saja diservice, tentu kondisi mesin motor lebih fit dari sebelumnya. Saat motor aku kendarai dan berboncengan dengan Endhy Kepanjen sehabis liputan berita, aku melintasi jalan raya menuju Slawi. Hilir mudik kendaraan angkutan, becak, motor dan dokar berseliweran. Para tukang pemecah batu, kuli angkut, buruh pabrik teh, dan pejalan kaki tampak lalu lalang. Di antara keramaian itu, aku tancap gas untuk mempercepat laju kendaraan. Tiba-tiba motorku mengalami kejadian aneh. Bunyi mesin berderum menjerit-jerit namun laju roda motor sontak berhenti. Mesin tetap menyalak bahkan suaranya semakin keras. Aku matikan stop kontak tetapi bukannya bunyi mesin berhenti, justru berderum semakin memekakan telinga seperti mengamuk. Seketika aku berinisiatif dengan cara mencabut kabel tutup busi. Bersamaan dengan tercabutnya penghantar listrik itu mestinya deruman mesin terhenti, malah terjadi keganjilan. Serta merta lidah api memercik dan terus membakar kerangka mesin.
Mendengar bunyi mesin yang menyalak seperti lolongan srigala dan melihat percikan api yang berkobar, orang-orang di sekitar bergegas mengampiriku.
“Kenapa mas? Bisanya kebakar?”
“Nggak tahu ini,” jawabku dengan perasan tak menentu. Sementara bunyi mesin terus menderum seperti sapi korban yang sedang sekarat.
“Pasir, pasir, nganggo pasir mas,” cetus salah seorang dengan nada tinggi.
Endhy pun sigap dengan mata awas mencari pasir. Endhy menghimpun pasir yang berserakan di pinggir jalan. Dengan kedua tangannya, pasir segera ditaburkan ke mesin yang terbakar. Tetapi api tak kunjung padam, dia pun panik.
“Waduh, keprimèn kiyé?” Endhy geligapan, hilang pikir.
Aku berlari ke warung makan untuk minta bantuan. Seorang lelaki tua pemilik warung menyodorkan karung goni basah.
“Patèni nganggo kiyé, mas” katanya.
Aku raih karung goni basah dan bergegas memadamkan api. Aku dibikin shock menghadapi tragedi itu. Musibah ini jarang tapi nyata. Sebenarnya kejadian itu terbilang lucu, tetapi tak ada kesempatan untuk menertawakannya. Kecuali panik, panik dan panik. Nah, sejak peristiwa itu aku tak lagi berani memacu motorku dengan kecepatan di atas kenormalan. Aku trauma.
Angin sore menerpa wajahku. Jalanan padat, lalu lalang kendaraan berseliweran. Aku melarikan motor bututku dengan kecepatan sedang-sedang saja. Yang penting sampai tujuan, alon-alon asal kelakon begitu orang Jawa bilang. Dan memang tak berapa lama motorku mendarat di depan rumah Mas’udi Ach Jeparan.
Aku mengetuk pintu. Suara langkah kaki mendekat. Pintu terkuak.
“His, dengarèn temen sore-sore maring nggonku, Nang”
Udi mempersilakan aku masuk dan aku duduk di kursi penjalin. Kondisi rumah rekan SMEP ini masih belum dilapis semen, tampak jelas susunan bata di tembok ruang tamu dan kamar. Meski demikian aku merasakan status dia sudah mulai menggeliat. Secara ekonomi dia sedang naik dan justru setelah berumahtangga. Terbukti dengan menjorokan rumahnya ke depan sekitar dua kamar berukuran 3x4 meter dengan ruangan tamu yang memanjang. Sebelumnya hanya satu kamar dengan MCK yang berhimpitan seperti rumah burung dara.
“Ana kabar apa, Nang?” Udi membuka percakapan.
“Ini Di, kami mau lawatan Sastra Tegalan. Kami diundang pentas ke Indramayu. Mereka penasaran dengan hebohnya berita Tembangan Banyak” kataku.
“Bener Nang. Aku mengikuti berita gègèran di koran-koran, Sastra Tegalan semakin moncer. Sejak énté menerbitkan Lembaran Kontak dan memuat sajak Nyanyian Angsa yang kamu terjemakan menjadi Tembangan Banyak, khasanah kesusastraan Indonesia geger. Aku salut maring kowen! Énté berhasil gawé gempar. Dan agaknya jagat sastra perlu dibikin ‘ribut-ribut’ biar Tegalan mencuat. Kik kik kik kik….” sambil terpingkal-pingkal Udi menimpali omonganku dengan kebiasaan menggunakan bahasa campuran antara Tegalan dan nasional.
Aku merasakan kebenaran omongan Udi. Keberadaan kesusastraan nasional memang perlu dibikin ‘ribut-ribut’, ekspresi seniman tak boleh tamat. Dan kawanku ini memang menjadi salah satu semangat pergulatanku dalam dunia sastra, sekaligus pelanggan buku-buku sastra lokal yang kerap aku sodori dan dia tak pernah mampu menolak untuk berpartisipasi.
“Tujuanku ke sini, maksudé, kowen pan tak jak maring Indramayu. Kowen kudu mèlu sebagai ‘dokter’ pribadiné enyong. Énté kan paham kondisi rentan tubuhku yang gampang drop?”
“Iya ya ya…paham, paham. Kik kik kik…..” Udi manggut-manggut. Wajahnya merah, matanya menyempit. Ia cekikikan, ciri khas kalau dia ngomong.
“Nah, laka masalah kan?”
“Siap! Aku mèlu. Hitung-hitung plesiran dan tambah pasien”
Ada sekitar satu jam aku ngobrol lantas pamitan. Tugasku sekarang tinggal menghubungi Ki Bagdja. Motor kupacu, tujuanku ke utara balik ke arah asal. Di Pagongan motor kubelokan ke kanan, memasuki wilayah Desa Sutapranan trus bablas ke timur dan menembus perbatasan Desa Kaligayam. Obongan bata merah dan sawah tampak di kiri jalan. Pelan-pelan motor melaju lurus ke utara. Langit mulai kelam, bayangan pohon bak jelaga pantat ketel. Hewan samber mata bertebaran dari berbagai penjuru menabrak-nabrak wajahku. Asap obongan bata membumbung dan membuat hamparan sawah di kiri kanan berkabut. Motorku memasuki Desa Kademangaran yang penduduknya banyak menyandarkan hidup sebagai buruh cetak bata dan penghasil mebel.
Lampu-lampu rumah penduduk tampak berpijaran dari kejauhan. Tiba-tiba motorku macet. Aku turun membuka jok dan tutup tengki bensin. Wadauw! Bensin taab, kosong plong, tak setetes pun tersisa di tangki. Motor aku tuntun mencari kios. Seratus meter baru ada penjual bensin dan dua liter motor kuisi.
Motor kembali aku stater kemudian melesat dan melesat lurus ke arah utara. Di perempatan lampu merah, motor kubelokan ke kanan merayap di jalan raya Langon, Kelurahan Slerok. Memasuki jalan kota kelahiranku ini, deretan penjual martabak telor dan manis serta tahu goreng, pisang goreng, roti bakar, buah-buahan, dan tetek bengek dagangan digelar. Berjubel pembeli makanan dan sandangan tampak juga di pusat pembelanjaan di kanan jalan.
Malam telah berdandan sempurna ketika aku memasuki wilayah Desa Mejasem Timur, di mana Ki Bagdja bertempat tinggal seorang diri.
“Édan ah! Srengèngé wis surup, sampèyan durung ngambah umah. Ana kabar apa, Nang?” sapa Ki Bagdja menyambut kedatangaku di rumah yang berdinding geribik.
“Perjuangan Ki, perjuangan…” kataku asal mecotot.
Aku lihat Ki Bagdja baru saja menyalakan lampu teplok dan gantung. Lampu teplok dia letakan di ruang tengah, sedang lampu gantung dia pasang di ruang tamu. Ki Bagdja duduk di kursi papan buatan sendiri, aku meletakan pantat di kursi panjang laiknya disebut lincak.
“Tak nggodog banyu dingin ya? Soré-soré angger moci pikiran kayong padang. Wis, kowen ngeluk boyok dingin. Digawé kepènak baé, Nang….”
“Okèm Ki…”
Ki Bagdja, dalang glètak dari Desa Mejasem Timur, Kecamatan Kramat itu berusia 71 tahun. Julukan yang dia sandang sebagai dalang glètak amat kondang karena saat dia mendongeng cukup menggeletak di selembar tikar. Ada juga yang menyebutnya sebagai dalang tutur karena memang bertutur. Tapi ada pula menyebut dalang tanpa wayang karena memang saat dia mendalang tanpa dibantu media wayang. Yang lain menyebutnya sebagai dalang maca, sebutan dari masyarakat yang terfokuskan pada pembacaan atau penuturannya.
Aku menemukan dia dua tahun silam. Perawakan Ki Bagdja kecil pendek seperti jago kate, namun dalam dirinya memantik gelora api yang membesar. Dia bukan sembarang dalang yang patuh pada pakem, dia siap menyelaraskan diri dengan kemauan si penanggap.
Suatu siang ketika kali pertama aku dan Gaharu mendatangi dia di gubuknya, kami tawarkan job untuk sebuah hajat pagelaran bagi masyarakat umum. Kami menghendaki dia mengangkat lakon baru bukan legenda atau babad klasik yang sering diusung dalam pementasan ketoprak seperti lakon Minakjinggo, Damarwulan, Joko Tingkir, Kamandoko atau sejenisnya.
“Yang kami maui adalah lakon baru dan menggunakan Bahasa Tegalan, Ki” kataku.
“Kalau ada catetané kenapa aku tampik? Nyong kiyé ibaraté pedagang, menolak kemauan si penanggap sama artinya menolak rejeki, ora ilok. Aja kuwatir mas Lanang, sampeyan siapna baé catetané, ngko tak pelajari temenanan. Pokoknya mas Lanang tahunya mateng baé ” tandas Ki Bagdja.
Yang dimaksud catetané oleh Ki Bagdja adalah sebuah naskah. Itulah yang membuat kami tertarik. Maka dua hari setelah pertemuan itu kami datang lagi dan kusodori naskah Lenggaong atawa Asmara Nyi Ronggèng. Lakon ini adalah folklor tragedi dari dua desa antara Desa Bumiharja dan Mangunsaren di Kecamatan Tarub, Kabupaten Tegal. Inti cerita kedasyatan perebutan kekuasaan antara lenggaong Pungawaren dari Bumiharja dan lenggaong Mangunsaren. Kedua musuh bebuyutan itu saling berseteru tanpa pernah mau berakhir. Mangunsaren sakti tapi Pungawaren lebih sakti tak terkalahkan. Mangunsaren penasaran dengan kesaktian Pungawaren, kemudian menyusupkan ronggeng Sailah, gendakannya. Dia ditugasi untuk berpura-pura menjadi gendakan Pungawaren. Dengan jalan itu, rahasia kesaktian Pungawaren yang tersembunyi di bayangannya sendiri tersingkap.
Suatu siang kedua lenggaong itu bertarung habis-habisan. Mangunsaren datang ke gubug Pungawaren berteriak-teriak ganas menantang.
“Wareng! Ke luar kamu sekarang! Keluaarrrrr….”
Dari dalam gubuk, Pungawaren mencolot.
“Tengik biadab kamu Mangun! Kali ini kamu mampus ha ha ha ha….”
“Jangan umbar suara Wareng! Sekarang juga hadapi aku. Perselisihan kita belum selesai, tak ada pesta yang tak pernah berakhir. Sekarang kita tuntaskan! Siapa yang bakal mampus dan siapa yang digjaya. Kamu atau aku yang berkalang tanah?” suara Mangunsaren kelihatan bengis. Wajahnya sangar, merah padam, haus darah.
Dengan trengginas Pungawaren mengejar Mangunsaren yang berlari ke sebuah tanah lapang benderang di bakar terik matahari. Sejurus kemudian mereka berhadap-hadapan. Wajah mereka penuh dendam, mengandung kebencian yang mereka pendam berbilang tahun. Tiba-tiba keris Mangunsaren secepat kilat menembus dada Pungawaren. Namun begitu trampil dia menghindar amukan Mangunsaren. Adu laga kesaktian semakin seru dan seram. Ketika kemudian ada kesempatan, keris Mangunsaren menghunjam bayangan raga Pungawaren yang membayang di tanah lapang. Seketika itu tubuh dia oleng. Darah mengucur di tubuh Pungawaren. Kembali Mangunsaren menancapkan keris sakti berulangkali ke raga Pungawaren. Darah kembali deras mengucur muncrat di mana-mana, membuat tanah lapang menjadi merah dan bau anyir. Mangunsaren terbahak membahana melihat tubuh Pungawaren sekarat, menggelepar di terik panas matahari yang membakar tanah lapang pesawahan.
“Ha ha ha ha ha….”
Berulangkali Mangunsaren tertawa penuh congkak. Dari jauh ada kidung kematian yang menyayat-nyayat terbawa hembusan angin. Suara itu makin lama semakin kentara, menembus telinga Pungawaren. Dia ingat betul suara yang tak asing lagi adalah suara ronggeng Sailah, gendakan lenggaong Mangunsaren yang telah melakukan apus kromo terhadap dirinya.
Tak berapa lama Sailah muncul dan mendekati Mangunsaren. Peronggeng asal Desa Kedungbungkus itu memiliki roman muka seperti bintang Bollywood Aishwarya Ray. Tapi bibirnya yang sensual dan mata yang sendu memancarkan daya tarik liar seperti bintang papan atas Angelina Julie dari Hollywood itu. Maka tak heran jika Pungawaren pun tergila-gila.
Dengan mata iblis dan bergelayut manja di dada Mangunsaren, ronggeng Sailah menyaksikan Pungawaren menggelepar kelojotan di tanah sawah seperti leher ayam terpenggal menjelang ajal mendekat dengan penuh luka bertabur darah. Namun di tengah keadaan sekarat itu, bola mata Pungawaren masih awas mengenali sosok Sailah dan aroma tubuhnya yang menusuk hidung. Tak berapa lama ia kemudian menebar mantra-mantra magis berbau kutukan.
“Sailah, Mangunsaren! Sampai akhir zaman nanti, keturunan kalian tak bakal rukun menyatu. Mereka akan terus satru bebuyutan ha ha ha ha……”
Sukma Pungawaren merenggang, hilang gandra. Bablas membumbung ke awan-awan kapas yang berarak.

*

Aku terpukau ketika hari pementasan lakon Lenggaong atawa Asmara Nyi Ronggèng itu digelar, Ki Bagdja memainkannya dengan penampilan penuh gelora. Aku dibuatnya terpana melihat dia menumpahkan ekspresi demikian total seperti tak terkalahkan oleh penampilan aktor monolog. Meski usia dia sudah uzur, tapi cara dia menyuguhkan pertunjukkan itu mampu memikat penonton. Selama dua jam lebih dia mengontrol suara dengan prima. Tiap-tiap karakter tokoh dapat dikuasai secara matang. Kadang-kadang dia melolong, menghentak-hentak, mendayu-dayu, menyanyi, bringas, mengeram, atau mendesis sesuai peran tokoh yang dia bawakan seperti menjadi naga, macan, hujan, api, petir, ronggeng dan pada gilirannya kembali berubah menjadi tokoh sentral Mangusaren dan Pungawaren ditingkah hiruk pikuk suara gamelan yang dia borong melalui mulutnya. Tak cuma itu, Ki Bagdja juga memberikan sajian ekspresif yang tak pernah terduga dengan gerakan silat ketika kedua lenggaong itu saling menerjang, meradang, menangkis, menendang, atau menghilang.
Pagi itu penampilan dia menakjubkan dan mencekam, disaksikan oleh dua truk pasir yang mengangkut pemuda dari dua penduduk desa Mangunsaren dan Bumiharja, sampai-sampai Kepala Desa Bumiharja turut mengawal mereka untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan. Aku sendiri merinding melihat Ki Bagdja seperti kelebonan ruh dari dua tokoh itu. Belum pernah aku menyaksikan dalang seperti dia. Beruntung sekali kami menemukan Ki Bagdja hingga masyarakat kotaku berkesempatan melihat aksinya. Aku mengagumi vitalitas dia, kegilaan dia, dan totalitas dia. Aku seperti dilanda birahi dan merasa kecil dengan ketangkasan Ki Bagdja bertutur atau gerakan tubuhnya yang lincah ekspresif, mampu menyeret-nyeret penonton untuk tetap terpaku khusyu di tempat sampai usai pementasan.
“Ki Bagdja bermain sangat total. Dia seorang empu sastra lisan, dalang tutur generasi terakhir yang tersisa dari Tegal. Saya belum pernah melihat orang seusia 71 tahun begitu total dan enerjik. Penampilan Ki Bagdja menjadi pembelajaran berharga bagi seniman-seniman muda yang klelar-kleler!” ujar Nurhidayat Poso usai pementasan yang berlangsung di aula SMP Negeri 10 Tegal, Minggu 18 April 1993 itu.
Dari penampilan perdana itulah yang kemudian menguatkan aku untuk menyertakan Ki Bagdja dalam Lawatan Sastra Tegalan ke Indramayu diantara para seniman Tegal.

*

Aku tersadar dari rehat ketika mendengar langkah terseret menuju ruang tamu. Agaknya Ki Bagdja telah selesai merebus air dan menuangkan dari ketel ke poci tanah. Bunyi krucuk-krucuk air yang dituang Ki Bagdja memaksa aku terbangun seketika.
“Eh Ki…sori kyèh, keturon” ujarku sambil beranjak duduk.
“Ah dènak baé mas Lanang, aja rikuh-rikuh nang nggonku. Mbokan tèsih kesel, turu maning ora papa…” ujar Ki Bagdja sambil menuang air di cangkir.
“Ora Ki. Wèdangé wis mateng?”
“Ya’u! Bulak-bulak nemen kyèh. Pokoké yahèr…”
Begitulah percakapan kami. Kadang kala bahasa yang kami pakai mencuat tanpa kaidah-kaidah bahasa yang normatif dan sekat strata usia atau status sosial. Semua itu justru bagian dari rasa keakraban dan kelumrahan kami dalam sebuah tradisi pergaulan.
“Ki, ada job ndalang di Indramayu sampèyan siap?” kataku sejurus kemudian.
“Siap. Apa jaré kono, nyong nurut kowen, Nang”
“Tapi lakoné gudu Lenggoang maning Ki”
“Sih apa?”
“Anusapati”
“Anusapati? Nyong tau krungu lakon kuwé tapi perlu belajar lagi. Kowen gawé catetané oh ya?”
“Naskah sudah siap, mung tak rombak gaya moderen. Sampèyan tinggal ngikuti alur ceritané”
“Ah, kayong bèrès nemen kuwé Nang. Digawé moderen?”
“Ya’ul Ki, bèn aja monoton!”
Posisi duduk Ki Bagdja makin maju. Bahasa campuran yang kami gunakan bukan hal asing. Kami sudah terbiasa pakai bahasa gado-gado.
“Dalam cerita asli, Ken Angrok sebagai raja Singasari tapi di naskah yang aku bikin, peran Ken Angrok sebagai bos gedèan di PT. Gudel Ki Singasari. Ken Angrok mati di tangan Anusapati juga bukan ditusuk oleh keris melainkan dibunuh dengan pistol buatan Mpu Gandring” aku menjelaskan inti cerita. Ki Bagdja terkekeh-kekeh. Deretan gigi depannya masih terlihat utuh dan bersih. Ki Bagdja biasa melakukan gosok gigi dengan menggunakan abu dari tungku.
“Kak kak kak…ngko tak gawé ngèdan dan aku mau ndapuk dengan laku compong-compongan…” katanya.
“Bagus! Aku seneng sampèyan main compong-compongan…”
Dan kami tertawa ngakak.

*

Jam setengah sepuluh pagi, kami; para rombongan Lawatan Sastra Tegalan ke Indramayu diangkut mobil. Kami bergerak menuju arah barat. Aku duduk di belakang sopir berdampingan dengan Udi. Di belakangku Ki Bagdja dan berderet ke belakang di kiri kanan duduk Nurngudiono, Denok Harti, Nurhidayat Poso, Widjati, Yono Daryono dan Abidin Abror.
Seperti biasa, kawan-kawanku menggoda dengan ledekan.
“Plastik kresek disiapna Di, mbokan Lanang muntah” kata Nurngudiono mulai memancing ledekan. Udi yang dipanggil terkekeh-kekeh seraya menengok ke belakang.
“Beres Bah!” sahut Udi dengan menyebut nama ‘Abah’ sebagai panggilan akrab Nurngudiono.
“Kreseké sing gedé sisan Di…” timpal Abidin Abror.
Gasakan atau ledekan kawan-kawan terus mengalir. Aku seperti biasanya cuma cengar-cengir. Aku memang salah satu teman mereka yang paling suka mabok jika berada di dalam kendaraan. Dan betul juga, ketika bus baru saja meninggalkan perbatasan Brebes memasuki daerah Cirebon, perutku mulai dihajar rasa mual. Aku ngulet-ngulet seperti mesin molen dalam perutku menggiling adonan semen pasir dan batu krikil. Keringat dingin bercucuran, aku lunglai dengan badan terasa anyep. Kepala aku sandarkan di jok kursi, berusaha mempertahankan kondisi pisik yang mulai sekarat.
“Di…kondisiku gak karuan ni. Pijat…” aku berbisik ke Udi.
Tangan kiri kuulurkan kepadanya. Lalu dengan ibu jari dan telunjuk, dia menekan-nekan. Aku meringis menahan nyeri dengan leher dan kepalaku tergetar-getar. Bus terus menderu, merayap, dan menyelip diantara bus-bus lain.
Udi mengolesi minyak angin di kedua keningku sambil ditekan-tekan. Lalu helai-helai rambutku ditarik-tarik. Aku kembali nyengir kuda dan entah berapa lama dia menekan jari-jemari kedua tanganku. Aku merasakan kondisi kesehatanku mulai sedikit demi sedikit berubah. Rasa pening berangsung sirna meski rasa mualku sedikit bergolak di dalam perut namun wajahku kembali dialiri darah segar dan pandangaku tak lagi samar. Aku bregas lagi sampai ke tempat tujuan.
Bus rombongan turun persis di depan rumah Nurochman yang kebetulan bercokol di tepi Jalan Raya Jendral Sudirman 69 Indramayu. Kami kemudian ditampung di rumah dia. Wong Tegal yang mengembara di Indramayu ini sudah berpuluh tahun menetap dan beranak pinak di kota mangga itu.
Nurochman Sudibyo aku kenal ketika di Tegal ada perhelatan Perkemahan Penyair Nasional tahun 1994. Dia terkesan dengan pembacaan sajak Tembangan Banyak saat dibacakan oleh Enthieh dalam parade baca puisi di kebun mangga dengan penerangan 15 watt. Acara malam itu cukup ramai diikuti 45 penyair dari penjuru nusantara. Salah satunya Nurochman yang turut ambil bagian. Dia terkesan atas inovasi Sastra Tegalan yang sedang menjadi perbincangan oleh banyak sastrawan Ibu Kota. Dari sanalah dia kebelet mengusung Sastra Tegalan ke Indramayu. Tak berapa lama Nurochman berkawat kepadaku dan kami menyambut tantangan itu!

*

Malam hari rombongan Tegal menginap di rumah Nurochman. Penyair Adlan Dai, O. Ushj Dialambaqa, Fajail Ayad Syahbana, Saptaguna, dan Supali Kasim yang juga redaktur budaya Pikiran Rakyat Edisi Cirebon, berduyun menemui kami. Suntuk gayeng kami ngobrol tentang geliat sastra. Menurut Saptaguna, perkembangan kepenyairan Indramayu saat ini sedang dalam kondisi kolap.
“Iklim berkesenian di Indramayu sedang menghadapi kondisi lesuh darah. Kami membutuhkan pemantik berkesenian agar gairah kami bangkit dari masa-masa stagnan. Karena itu kami mengundang teman-teman Tegal” aku Saptaguna.
“Secara pribadi saya cemburu terhadap gejolak kreatifitas yang senantiasa dipupuk oleh kawan-kawan Tegal. Kami perlu rangsangan” sambung Fajail Ayad Syahbana.
“Di sini kan ada raja penyair dari Cirebon? Ngapain dia?” yang dimaksud raja penyair oleh Yono Daryono tak lain adalah penyair Ahmad Sjubbanuddin Alwy. Aku kenal dia, karakter orangnya menghantam karena referensi yang dimiliki cukup mumpuni. Tah heran kalau dia gemar membantai saat terlibat dalam acara-acara diskusi sastra. Tapi aku tahu, maksud Alwy sekadar adu argumentasi sebab manakala lawan diskusinya mampu mematahkan, dia dengan besar hati mau mengakui keunggulan dan kecerdasan orang lain.
“Karena dia raja, itulah masalahnya tak mau turun tahta…”
Kami tertawa cekakakan mendengar pernyataan penyair O. Ushj Dialambaqa. Ada sekitar dua jam kami ngobrol diselingi cekakakan dan minum kopi. Pukul sebelas malam, mereka cabut diri. Sementara Supali Kasim memintaku untuk wawancara eksklusif. Aku sebetulnya capai. Guncangan perjalanan dari Tegal ke Indramayu sempat mengaduk-aduk isi perutku, menyebabkan kondisi fisikku butuh istirahat. Namun sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia jurnalis, rasanya tak sampai hati menolak Supali Kasim. Malam itu aku terpaksa menanggalkan acara tidur.

*

Di beranda rumah, aku, Ki Bagdja, Mas’udi dan Supali duduk bersila ditemani kopi dan berbungkus-bungkus rokok. Yono Daryono, Nurngudiono, Widjati, dan Abidin Abror tak kuat lagi menahan kantuk. Mereka masuk kamar, sedang Nurhidayat Poso malah sudah mendekur. Sementara Denok Harti sejak lepas mahgrib telah menyelonjorkan kedua kaki di kamar tersendiri. Tempat tidur kami disatukan dalam satu ruang, berjejer seperti jemuran ikan.
Malam di luar kian menisik ke pusat keheningan. Inilah malam kali pertama aku ngambah Indramayu, wilayah yang merebak subur kesenian tarling dan memiliki balong minyak tanah yang menghasilkan devisa amat menghiurkan. Tapi anehnya, masyarakat di sana hidup menjerit karena faktor ekonomi yang menjerat menyebabkan mereka terpaksa menjadi TKW di negara-negara Timur Tengah atau menjajakan tubuhnya sebagai pelacur, dicangkuli saban hari dari berbilang tahun tanpa mampu dientaskan.
Suatu pagi di tahun yang persisnya aku lupa, aku berkunjung ke Losarang. Wilayah dari sebuah daerah kecamatan di Kabupaten Indramayu begitu asing aku kenali. Tepatnya aku bercokol di Desa Krimun di mana kakaku tinggal dan berumah tangga dengan mendapat isteri orang dari sana.
Pada pagi itu kakak isteri kakaku –sebut saja Mas Darmo, mengajak jalan-jalan di sekitar wilayah Krimun. Kuikuti saja ke mana Mas Darmo mengajaku pergi melewati gang-gang dan rumah penduduk yang berberpagar anyaman bambu. Pada sebuah rumah kami kemudian bertamu. Terdengar nyanyian dangdut Demayonan dari tipe recorder yang keras menghentak-hentak ketika kami masuk rumah itu. Tapi pertama kali aku masuk ruang tamu, di meja berderet minuman berakohol. Dua wanita cantik duduk menemani tiga lelaki. Mereka ngobrol, minum dan merokok. Sambil duduk di meja yang lain, pikiranku jadi heran dan tak mengerti sesungguhnya aku ini sedang berada di tempat apa? Aku merasa asing karena banyak juga lelaki ke luar masuk kamar dengan perempuan muda, cantik dengan dandanan menghiurkan. Herannya juga, perempuan-perempuan di situ dengan enaknya menyedot dan menghempaskan kepulan asap tanpa canggung. Rumah apa ini?
“Mas, ini rumah siapa sih? Teman mas?” aku mencoba bertanya pada Mas Darmo.
“Ini lokalisasi mas”
“Astafirullah….” aku merajuk. Sekarang baru aku tahu siapa-siapa saja yang menjadi penghuni di rumah yang sedang kami singgahi ini. Wajar saja antara lelaki dan perempuan tak sungkan-sungkan mengisap rokok dan menenggak minuman memabokan. Uih! Baru kali ini kakiku ngambah daerah hitam. Edan, di tengah kampung yang pada penduduk ada bercokol lokalisasi, aku mrinding!
“Kalau mau coba, nanti saya suruh Mami untuk memilih yang masih baru dan muda. Mau?” kata Mas Darmo dekat-dekat di telingaku.
Aku tak tahu apa yang dimaksud ‘Mami’ oleh Mas Darmo. Tapi aku cepat-cepat menggelengkan kepala dan minta segera pulang. Kami meninggalkan tempat maksiat itu dengan perasaan campur aduk. Di jalan Mas Darmo menerangkan, bahwa perempuan-perempuan yang menjajakan tubuhnya itu sebagai cermin dari ketakberdayaan masyarakat Losarang dalam menyikapi kondisi ekonomi yang mengharu biru.
“Mereka melakukan itu karena kebutuhan. Tak ada jalan lain karena keterpurukan mereka dari hempasan ekonomi. Mereka menyadari betul apa yang sedang dijajakan, tapi itulah solusi terbaik mereka”
Tenggorokanku seperti menelan kelu atas penjelasan Mas Darmo. Kenangan itu akhirnya membekas dan aku mengutuki para penguasa, pejabat, dan para anggota Dewan yang terhormat di Indramayu itu karena tak mampu mengentaskan mereka dari kehidupan yang menyedihkan. Aneh, aneh sekali! Di daerah yang berlimpah minyak tanah, masih berjibun masyarakat yang hidup dengan menjual diri.

*

Menghapus Rasialisme Bahasa
Jalanan di depan rumah Nurochman kian lengang. Supali Kasim memasang dua batu baterai pada tipe recoder. Kemudian dia membuka wawancara denganku.
“Apa yang melatar belakangi Anda menerjemahkan sajak Nyanyian Angsa menjadi Tembangan Banyak?”
“Saya ingin Bahasa Tegalan tidak hanya digunakan sebagai bahasa lisan dan marjinal. Keinginanku menerjemahkan sajak itu agar Tegalan menjadi bahasa tulis sastra yang berkelas dan punya daya sengat. Perlu juga saudara ketahui, selama berabad silam kami merasa dibelenggu dan dijajah oleh bahasa wetanan Solo sehingga bahasa kami terasing dan kelu. Para pejabat dan kaum pendidik yang asli wong Tegal pun sok bergaya ningrat dengan eksyen kewetan-wetanan. Mereka malu menggunakan dialek enyong-kowen karena menganggap bahasa kami itu wagu, lucu, dan dlawèran” kataku.
“Umumnya, orang menterjemahan sajak menggunakan bahasa Asing, tapi Anda nganeh-nganehi menggunakan Bahasa Tegalan?”
“Dalam batok kepala saya, terjemahan sajak yang dilelehkan dan dibumitebarkan menggunakan teks bahasa Asing, bukan sesuatu yang istimewa lagi. Bahkan berkesan latah, biasa, umum, dan tak memiliki daya berontak. Saya sebagai anak muda yang menggenggam bara semangat, tentu tak mau meniru apa yang sudah dikerjakan oleh banyak orang. Saya ingin menancapkan tonggak fenomena baru dalam blantika kesusastraan nasional yang belum pernah dieksplor oleh siapapun”
“Bagaimana Anda punya pikiran norak semacam itu?” tanya Supali Kasim makin menderodot pikiranku.
“Saya terbiasa bergaul dalam pola keliaran kreatifitas para seniman yang ada di Teater Puber, di mana saya ada di dalam teater itu tentu ruh-nafas kesenian saya amat dipengarui oleh rekan-rekan” aku menarik nafas.
“Anda betul-betul nekat” Supali Kasim mulai menyerang.
“Saya rasa tidak! Gerakan yang kami lakukan ini bukan sebuah kenekatan. Kami sadar betul ingin menjadi anjing penjaga dari kepunahan bahasa lokal. Saudara tahu? Dalam terminologi politik kebangsaan, kata bahasa terkait dengan pasal 36 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa bahasa negara ialah Bahasa Indonesia. Sedangkan mengenai bahasa daerah disebutkan dalam pasal 32 (ayat 2) bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Dalam penjelasan pasal 36 UUD 1945 juga disebutkan bahwa ‘di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik, --misalnya Bahasa Jawa, Sunda, Madura dan seterusnya sebagainya. Bahasa-bahasa itu dihormati dan dipelihara juga oleh negara. Bahasa-bahasa itupun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup. Dan sebagai warisan budaya, bahasa lokal itu telah diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 36 dan UU Otonomi daerah ps. 22 huruf m jelas-jelas seluruh komponen masyarakat lokal hendaknya memelihara dan melestarikan warisan sosial budaya. Salah satu warisan tersebut adalah bernama Bahasa Tegal. Jadi, apa yang kami lakukan bukannya nganeh-nganehi atau ngawur-awuran. Maka saya pikir para pejabat, kaum yang sok myanyini itu perlu menengok serta mendalami kembali baik UUD 45 maupun UU Otonomi Daerah…” kataku.
Aku melihat Supali Kasim terkesima dengan penjelasan panjang lebarku yang sok keminter memahami perundang-undangan. Sorot mata dia kulihat berbinar-binar menyimak butiran kata yang melesat dari mulutku, dia sadap lewat tipe recoder. Dia kemudian meminta break wawancara untuk mengambil beberapa gambar phoseku.
“Maaf mas, wawancara ditunda. Aku ambil gambar mas dulu, nanti dilanjut”
“Oh ya. Enaknya di mana?” tawar lepasku.
“Udah di sini aja. Sekalian aku minta juga gambar Ki Bagdja. Boleh kan Ki?”
Ki Bagdja yang sedari tadi duduk di sebelahku mendengarkan sambil mengisap rokok itu, menatap Supali Kasim.
“Oh…boleh. Boleh mas…”
Berbagai phose aku diambil dari samping kiri, kanan, dan depan layaknya seleb yang sedang menjadi bahan gosip. Kilatan blitz gemebyar dalam udara malam yang tiris. Jalanan di depan rumah Nurochman sepi dan ngungun dari lalu lalang kendaraan. Perasaanku diliputi rasa aneh yang terus bergumpal di dada. Ujung keanehan yang menudungi perasaanku ini yakni sejak lepas maghrib hingga tengah malam lewat, aku tak pernah lagi melihat batang hidung Nurochman setelah dia menyambut kedatangan kami. Kami datang jauh-jauh dari Tegal memenuhi undangan pentas, sekarang dibiarkan mendekam tanpa tuan rumah.
“Nurochman ke mana sih mas? Sejak tadi kok tak kelihatan?” aku mencoba mengutarakan kegelisahanku pada Supali Kasim.
“Tahu mas. Mungkin lagi banyak urusan. Kita mulai wawancara lagi”
Kusandarkan badan di tiang penyangga teras beranda. Kedua kaki kujuntai lurus di alas tikar. Aku menuang api di sebatang rokok kretek sekadar mengusir hawa dingin. Kulihat Ki Bagdja asyik menikmati kopi kental yang agaknya menjadi doping pengusir kantuk.
“Apa yang menjadi daya tarik Anda terhadap sajak Rendra itu?” Supali Kasim mulai melanjutkan wawancara dengan menyodorkan tipe recorder berjarak satu kilan dari mulutku.
“Sajak itu menggoda saya. Berulangkali saya membacanya dan makin masuk ke dalam persoalan Maria Zaitun, sepertinya saya berada di daerah sendiri. Saudara tahu gak? Nyanyian Angsa itu ada kejumbuhan dengan kondisi daerah kami yang juga dipenuhi pelacur. Mampirlah saudara ke Tegal, telusuri jalur pantura terutama di wilayah Kramat sampai ke daerah Suradadi, saudara bakal terkejut dengan merebaknya warung remang-remang yang dipenuhi wajah-wajah perempuan prostitusi. Belum yang terlokalisir menjadi lokalisasi di dua wilayah itu, ratusan pelacur siap mewadahi amuk syahwat para lelaki hidung belang”
Kuperhatikan wajah Supali Kasim berkerut kening.
“Adanya gereja yang digambarkan Rendra dalam sajak Nyanyian Angsa membuat lakon pedih Maria Zaitun merasa dekat karena ada getaran kesamaan dengan situasi yang ada di daerah kami. Ini, inilah yang menambah greget saya menterjemahkan sajak itu semakin meletup-letup”

“Selain menterjemahkan sajak Rendra, sajak Chairil Anwar seperti Aku, Isa, Doa dan Krawang Bekasi juga Anda terjemahkan. Bisa diterangkan?”
“Chairil Anwar adalah penyair yang penuh vitalitas. Bahasanya menggelegar, menderu, segar, dan blak-blakan tanpa tedeng aling-aling. Terus terang saja saya menyukai dan terpikat pada ungkapan Chairil dalam sajak-sajaknya karena apa? Karena mewakili karakter orang Tegal yang juga keras dan berkobar-kobar”
“Maksudnya?”
“Sakyani atau kondangnya disebut Kutil adalah tokoh pergolakan di Tiga Daerah; Tegal, Brebes dan Pemalang. Dia penggerak revolusi dalam revolusi dari Desa Talang di wilayah kami. Meski tokoh Kutil hanyalah seorang tukang cukur pinggir jalan, namun dia mampu menggerakan kaum buruh untuk melawan kebringasan Pangreh Praja yang telah mengharu biru kehidupan mereka dengan senjata tanam paksa tebu rakyat. Pergerakan Kutil ini akhirnya kian melebar. Yang semula hanya di lingkup wilayah Talang, kemudian merembet ke Brebes, Pemalang dan Pekalongan. Saya sendiri memaknai perlawanan Kutil itu seperti terwakili pada sajak-sajak Chairil Anwar. Ruh semangat dalam sajak-sajak Chairil itu pun terasa ada dalam epos perlawanan Adipati Martoloyo. Kekaguman saya pada bupati dari Tegal ini karena beliau berani membantah dan melawan sabda Raja Mataram Amangkurat I. Nah, dengan adanya dua karakter yang ada pada sajak-sajak Chairil akhirnya saya pilih untuk saya terjemahkan”
Kuperhatikan Supali Kasim manggut-manggut. Matanya tak berkedip memandangku.
“Apa yang ingin Anda sampaikan dalam pementasan besok malam?”
“Kami ingin memberikan pelajaran penting tentang nuasa demokratis kepada para seniman atau sastrawan agar mereka bisa menghapus sikap rasialisme terhadap perbedaan bahasa ” kataku mantap.
“Itu saja?”
“Ya!” aku mantuk.
“Ini pertanyaan terakhir. Sampai kapan Anda memperjuangkan gerakan Sastra Tegalan?”
“Saya tidak akan pernah berhenti dalam gerakan ini. Saya ingin mendekat dan menerjang sekat-sekat pergaulan, sekaligus menebar virus Tegalan kepada siapapun yang mungkin tak dapat disangka-sangka, diprediksi atau ditebak. Saya adalah ‘pengendara badai’ sekaligus halilintar kreatif dalam pemberontakan berkesenian. Siapapun orangnya akan saya goda untuk terlibat dalam gerakan ini. Semakin saya disepelekan, saya akan semakin menindas mereka dengan Sastra Tegalan. Saya ingin berkeliaran ke mana-mana dengan kemungkinan-kemungkinan yang tak bisa ditebak dan dipasung. Saya tak mau membedakan pergaulan atau memilah-milah antara generasi tua dan muda. Saya ingin menembus ruang dan waktu, mengalir, merembes ke seluruh wilayah dan status hingga terbit fajar baru!”
“Terima kasih, mas…”
“Kembali kasih…”
Aku merasakan badanku capek sekali. Aku ingin tidur memulihkan kesehatan.


*

Pementasan
Di antara sorot lampu warna merah, kuning, dan jingga ditingkah gemericik air yang mengucur dari cadas taman, sosok Harti berdiri mengangkang di tengah-tengah saung, belakang Pendopo Pemda Indramayu. Dengan celana ketat, baju you can see, make up, gincu yang mencolok dan sebatang rokok di tangan, dia mulai membaca butiran demi butiran Tembangan Banyak. Suara Harti mengalir, meluncur, mengusik, dan menggelegar tandas.

Majikan umah tlembukan
ngomong kambèn dèwèké:
“Wis rong minggu kowen mung
bisané ngatang-ngatang
tur larané tambah ndadi
ora ngasilna pisan
malah kowen karo aku utangé njeblug
kiyé nggawé mlarat tok
ngentong-ngentongna beras bibit
aku ora sanggup
saiki raimu lunga, mèrad kana”


Para pengunjung berteriak, bahkan bersuit-suit. Ini baru permulaan belum apa-apa tapi mereka sudah merasakan ruh Maria Zaitun merasuk dalam diri Harti. Aku mengenal betul siapa Harti. Dalam kehidupan sehari-hari, dia bisa begitu lembut seperti nafas sajak Tegalannya yang dia tulis amat teduh bak telaga yang tenang di tengah keheningan. Namun begitu berdiri di atas pentas, siapapun tak bakal menduga-duga kalau dia mampu memainkan berbagai karakter dengan penuh gelora. Secara diam-diam aku menilai, Harti bisa saja seperti Britney Spears atau Paris Hilton yang gemar berpesta liar. Tapi sekali waktu dia sanggup berperan sebagai pelantun Gelas-gelas Kaca, Nia Daniati, yang berwajah sendu.
Dengan iringan sitar, seruling dan gending yang ditabuh Nurngudiono, suara Harti terus mengalir dan mengibar. Suasana remang digempur dengan kata-kata sangar yang sebelumnya ditabukan di kalangan para seniman Indramayu, tapi oleh Harti dimuncratkan tanpa tedeng aling-aling seperti kata wuda, plakangan, tlembuk bodol, nyipoki, susu, dan sampai pada kata mrètèli kutang membuat penonton terperangah karena dibawakan oleh seorang wanita.
Malam itu aku melihat kawan-kawan seniman Indramayu duduk ngungun sambil bersila. Bangunan berbentuk gazebo yang digunakan sebagai tempat pertunjukkan dipadati pengunjung dan para wartawan. Mata mereka tak berkedip tertuju pada satu titik menikmati gaya penampilan Harti yang seksi penuh dengan akting yang menghiurkan, terutama ketika dia menebalkan kata-kata vulgar dan mengandung aura birahi.
Harti memang jago memainkan perasaan penonton untuk tetap terpaku dan terpana. Sekali tempo ia menyilangkan kaki kanan dengan betis tersingkap dan tangan kiri menggapit sebatang rokok filter. Rokok yang menyala itu dia bakar kemudian dia sedot dalam-dalam dan dihempaskan kuat-kuat. Asap mengepul membumbung ke atas warna hijau pupus karena sorot lampu warna kuning dan hijau menyatu memusat pada dirinya. Sesudah itu dia menyemburkan butiran kata-kata dalam sajak Tembangan Banyak dengan aksyen lokal Tegalan yang medok. Dan semakin dia mendapat respon, keliaran aktingnya terus menindas mereka dengan mengeksploitir gaya bak penari dangdut yang eksotis.
“Dasyat!” teriak Supali Kasim yang duduk persis bersebelahan denganku.
“Apanya yang dasyat mas?” aku berpaling. Mata kami berbenturan.
“Pembacaan kaya gini yang kumaksud. Dia mendalami betul karakter tokoh Maria Zaitun, pelacur tua yang renta dan kena rajasinga dibawakan dia sedemikian hidup dan masuk, luar biasa!” puji Supali. Sorot mata dia kembali tertuju pada sosok Harti dari ujung kaki sampai ujung rambut. Dihisapnya rokok kretek dalam-dalam seperti menghempaskan rasa sesah yang bergelora di dada.
Denok Harti terus memainkan perasaan penonton. Keterpurukan Maria Zaitun sebagai pelacur tua berpenyakitan, telantar, terusir dan terbanting-banting tanpa bela siapapun, dibawakan Harti dengan kecerdasan pengolahan akting, mimik, dan vokal yang penuh pikat. Dengan suaranya yang cablak, tandas, berderai-derai, atau mendayu-dayu perasaan penonton teraduk-aduk dalam daya sihirnya yang tak hanya mengundang rasa sensual, segar, cadas, dan penuh kejutan, namun memaksa penonton tetap terpaku sampai usai pembacaan puisi itu diiringi gemuruh tepuk tangan bertalu-talu.
Sejak Denok Harti menerjuni dunia seni dan bergabung di Teater Puber, aku mempunyai firasat kuat kalau dia bakal menjadi daya tarik tersendiri. Penampilannya yang tenang, teduh dan wajah manisnya yang menggiurkan menambah keberadaan teater yang dia ikuti memiliki nilai greget. Namun bukan semata itu yang membuat kami kesengsem, melainkan totalitas, keiklasan dan penghayatan terhadap peran yang dia mainkan, satu hal yang membawa teater kami memiliki daya pukau ketika dia di atas panggung.
“Menerjuni sesuatu itu harus iklas dan total, jangan setengah-setengah. Aku pernah main ketoprak waktu kecil karena kampungku di Penampungan, Tegalsari, gudangnya ketoprak. Aku masuk di sana tanpa ragu sedikitpun. Setelah dewasa aku masuk di Teater Puber, karena aku suka dunia panggung dan belajar banyak dari ketoprak,” ungkap Denok Harti sebelas tahun yang lalu ketika aku dan Gaharu mewancarai.
Waktu itu kami memang masih menjadi wartawan Swadesi dan Pos Film, sekaligus sebagai anggota Teater Puber. Kami tertarik mewawancari Harti lantaran figur dia memancarkan aura ketegaran dan keseriusan menggeluti dunia peran. Ibarat denting kecapi, Harti adalah irama yang menyayat-nyayat seperti tangis seseorang yang tengah dikhianat kekasih. Dia adalah lubuk yang dinaungi pohon peneduh, sekaligus laut yang bergolak karena musim barat. Harti juga sosok imaji wanita Jawa yang menyimpan misteri dalam ketenangan.

*

Waktu terus merangkak. Jutaan bintang mengintip dari balik kelam, rela menjadi saksi lawatan kami ke Indramayu. Angin pesisir Jawa Barat merayap tiris. Aku menghampiri Ki Bagdja dan berbisik.
“Giliran sampèyan ndapuk. Main yang bagus. Kiyé ditonton seniman-seniman hebat. Tapi sampèyan aja urusan. Sampèyan luwih pentolan ketimbang mereka. Sampèyan wis pengalaman pentas berpuluh tahun. Tunjukkan bahwa sampèyan punya kelebihan yang tak dimiliki oleh mereka. Paham Ki?” aku memberi semangat.
“Aja watir. Nyong tak maèn compong-compongan. Tonton baé nyong ndapuk” katanya.
Ketika nama Ki Bagdja dipanggil oleh pembawa acara, dia melangkah pasti. Ia menuju panggung pertunjukkan dengan mengenakan lilitan kain batik. Blangkon yang dia kenakan bermotif batik pula. Sorot lampu memusat. Ia melipat kedua kakinya, bersila di atas level persegi empat. Kemudian tangan kanannya menyambar mikrofon. Semua mata penonton memandang ke arah Ki Bagdja. Mikrofon yang ada di tangan kanan Ki Bagdja diikat dengan tali raffia kemudian dikalungkan di leher. Ia mulai bicara.
“Nama saya Ki Bagdja, kelahiran Tegal tahun 1921, asal Desa Mejasem Timur, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal. Malam ini saya akan membawakan lakon Anusapati karangan Lanang Setiawan. Untuk kedua kali ini saya membawakan lakon yang menggunakan naskah drama. Pertama kali saya mendalang dengan naskah drama berjudul Lenggaong atawa Asmara Nyi Ronggeng karya Lanang Setiawan. Malam ini saya akan mendalang pakai naskah dia juga. Mudah-mudahan malam ini saya bisa lancar tak kurang satu apapun…”
Usai perkenalan, Ki Bagdja membuka penampilan dengan sulukan. Keramaian di saung Rumah Dinas Bupati Indramayu malam itu meriah. Suara Ki Bagdja yang merdu mengalun; “Anusapati sing lagi ngalub maring Mama Ken Dedes, ketekan wong-wong Batil pada gègèr oh oooooooo……”. Mata Ki Bagdja terpejam, kepala digoyang kiri kanan, sesekali ia menirukan suara gendang, kenong atau kecret dengan mulutnya. Penonton bersorak dan bertepuk tangan. Dalang yang mendalang tanpa wayang, nayaga dan tanpa sinden itu mulai menarik penonton. Mereka yang datang dalam pertunjukkan kami tak hanya dari seniman, wartawan, masyarakat pecinta seni, dan para pelajar merangsek duduk ke depan. Penampilan Ki Bagdja seakan melambai pada gerombolan penonton yang berada jauh untuk mendekat. Mereka yang semula duduk-duduk di taman terpangcing untuk segera bergabung di zasebo pertunjukan. Sementara penyair Adlan Dai, Ahmad Sjubbanuddin Alwy, Fajail Ayad Syahbana, Saptaguna, Dedi Apriadi, Untung Gatara, Ilham Soleh, dan O. Ushj Dialambaqa menyimak penampilan Ki Bagdja dengan mata tak berkedip. Blits-blitz para wartawan berkilat-kilat menyambar-nyambar.
Penghayatan terhadap tokoh Anusapati yang tersingkir dan terbuang dari pusat kerajaan Ken Anggrok, dimainkan Ki Bagdja dengan olahan suara dan karakter yang terjaga. Sebagaimana laiknya aktor teater, Ki Bagdja mampu mengendalikan babakan demi babakan sesuai dengan suasana batin yang sedang dihadapi para tokoh. Ketika ia harus memainkan adegan pergolakan rakyat Batil yang berduyun-duyun meminta perlindungan atas kecongkakan kekuasaan Ken Anggrok, sikap Ki Bagdja seolah menjadi samudra luas saat memerankan tokoh Anusapati yang sanggup menampung berbagai kotoran dari segala aliran sungai. Dalang tua itu sungguh dapat menghidupkan semua tokoh yang dia perankan. Tokoh Ken Anggrok yang bengis, dia kuasai. Ia mampu bersikap bengis dan biadab seperti tentara Israel membantai bangsa Palestina yang tak berdosa. Atau seperti tendangan geledek tokoh sepakbola David Beckham dari jarak dua puluh lima meter, merobek jaring gawang musuh tanpa ampun. Aku sendiri menyaksikan penampilan Ki Bagdja dengan perasaan merinding. Dalang berusia uzur itu ternyata tidak sekadar tampil namu begitu memukau ketika mendapuk mewedarkan sebuah lakon. Ibarat burung, Ki Bagdja adalah burung kacer. Suaranya menembus kendang telinga, ngerol dari subuh hingga senja. Bervariasi, ngembak atau mengepak-epakan ekornya dan tiada lawan ketika dia mengalunkan suluk atau tembang. Dia membawakan lakon Anusapati dengan penuh heroik. Kecompongan atau kegilaan dia seolah pisau lipat yang melakukan split di udara seperti jungkat-jungkit. Dia punya daya tarik seperti seorang pemandu sorak.
Tak canggung dan los betul Ki Bagdja melakonkan naskah Anusapari dengan bisnis akting dan kekayaan improvisasi. Kadang dia berdiri mengangkang, melakukan gerakan silat dalam pijaran lampu merah dicampur warna kuning, hingga sosok dia tampak semakin sangar. Lalu dia mengaung seperti aungan harimau lapar dalam kegelapan hutan yang ditudungi malam kelam. Sementara tiupan seruling patah-patah dan jeritan kecapi yang dimainkan Nurngudiono merayap, membuat suasana seram menyirep hening penonton. Hingga pada satu adegan berikutnya, tiba-tiba saja kedua tangan Ki Bagdja diangkat seperti menyangga sebuah senapan dengan kaki tetap mengangkang. Lalu tiga kali suara tembakan menyalak, meletus dari mulutnya bersamaan dengan peluit panjang seruling bambu yang ditiup Nurngudiono.
“Dor…! Dor…! Dooorrrrr……!!!”
Ki Bagdja rebah. Satu korban pengkhianatan Ken Angrok tumbang. Dan belum usai penontong dicekam akhir adegan, suara Ki Bagdja menyalak-nyalak lagi, riuh-redam antara kenong, kendang, kidung, dan raungan-raungan serta gemuruh suara-suara menggiriskan membahana ditingkah suara kecapi seperti suara pusaran lisus yang berhembus menggila. Ruangan pentas seperti dalam berkecamuk prahara. Selanjutnya, kedua tangan Ki Bagdja merentang dengan mata menyala. Tiba-tiba Ki Bagdja menjerit panjang dengan dua tangan memegangi perut dan posisi badan membungkuk seperti menahan kesakitan tak terperikan. Segerombolan wartawan membidik adegan itu. Kilatan blitz mereka tak henti-hentik menyala diantara rayapan suara kecapi. Itulah adegan terakhir saat amuk massa bala kurawa Anusapati menusukan tombak dengan kesetanan ke lambung Ken Angrok.
Tepuk tangan gemuruh. Aku memburu Ki Bagdja dan memeluknya kuat-kuat sebagai rasa haru, bangga tak terkira karena dia memainkan lakon Anusapati dengan standing applause yang berkepanjangan dari para penonton.

*

Kini giliran Nurngudiono tampil membawakan repotoar Jobong. Monolog Jobong mengisahkan tentang situasi lingkungan warga Penampungan yang kocar-kacir. Dusun tersebut berada di daerah Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegalsari, Kota Tegal. Pada zaman dahoeloe pedukuhan itu merupakan daerah berbahaya karena dihuni bermacam orang yang akrab dengan dunia hitam. Daerahnya terasing dari pergaulan masyarakat. Hidup mereka bar-bar dan kumuh dalam hunian kebanyakan para bencoleng dan pelacur berasal dari daerah Klaten atau Solo pinggiran. Tempat hunian mereka berdiri di antara rawa-rawa dan balongan yang dibangun secara liar dari gubug-gubug. Daerah ini disebut juga daerah pengasinan karena penduduk di sekitar itu berbaur dengan warga nelayan yang hidupnya total menyerahkan pada kemurahan hasil penangkapan ikan. Tidak mengherankan kalau masyarakat yang bercokol berdekatan dengan Tempat Pelelangan Ikan itu, hidupnya akrab dengan kemiskinan. Tidak mengherankan pula di sana berceceran jobong-jobong sebagai tempat pembuangan hajat besar mereka. Dari sana, agaknya ide repotoar Jobong karya Nurngudiono itu terinspirasi. Teristimewa lag, dia dibesarkan di wilayah itu seperti halnya Denok Harti.
Angin malam terasa menusuk dingin pada kulitku. Pukul setengah sepuluh malam baru berlalu ketika Nurngudiono mulai meniupkan harmonika sebagai tanda pembuka pemanggungan. Di depan mickropon dia berdiri. Tangan kiri memegang harmonika sedang tangan kanan menggenggam naskah Jobong. Mataku tak lepas memandang ke arah panggung. Aku melihat kedua kaki Nurngudiono berderap-derap di atas level menimbulkan suara hentakan kaki-kaki kuda yang berlari dalam sebuah pacuan. Kemudian break.
“Soré kiyé kayané pan udan Jo! Hawané kayong semelèt”
“Katoné iya, hawané krasa semromong nemen, pancèn pan udan,”
“Lik Darmun! Bisané sekolah saiki sing digèdé-gèdéna duwité tok sih? Sekolah apa barongan, ya? Wingi urunan semèn, winginé maning urunan nggawé taman, lagi kaé urunan ndandani mushola, lah tadi sing Suminah minta urunan lagi katanya untuk mbangun lapangan baskèt!”
“Kuwé mending Parlan! Mending! Jelas kamu ngetokna duwit ana alesané, saiki malah akèh sekolah sing pada nariki urunan tanpa jelas juntrungé. Dobol ka, ndasé enyong dadi ngrasakna panas ngluwihi pantaté enyong sing angel temen ngetokna tai kelang!”
Itu sepenggal dialog antara Darmun, Sarjo dan Parlan dalam repotoar Jobong. Orang-orang yang ngendon di Dukuh Keciran itu biasa membicarakan segala persoalan hidup ketika mereka berada di tempat pembuangan hajat besar itu. Tempat di mana masyarakat Keciran mengomel, menyumpah-nyumpah keadaan hidup yang kocar-kacir, sekaligus sebagai tempat atur strategi dari segala macam hajat purba.
Nurngudiono membawakan monolog itu seperti alunan musik yang kadangkala datar, mendayu, tapi kemudian menderu. Pada adegan pemulaan, ia langsung memainkan tiga tokoh itu. Dan aku tahu betul siapa Nurngudiono. Sebagai orang yang sudah berpuluh tahun bertetangga dengan warga Penampungan, tentu dia cukup mengenal betul karakter dan kehidupan orang-orang di sana. Tak disangsikan lagi kalau kemudian dia bermain cukup sublim menjiwai para tokohnya. Keahlian memainkan alat musik tiup pun dia gunakan untuk memberi tekanan pada bangunan suasana. Pementasan jadi tak berasa kering karena di sela-sela adegan kerap diisi tiupan seruling atau hentakan kaki. Pada satu kesempatan, secara bergantian dia memainkan rebana kencer Jawa dan memainkan alat musik harmonika dengan tiupan yang menyayat-nyayat. Hal itu berlangsung terutama pada saat pergantian adegan, di mana kekisruhan terjadi atas lenyapnya Jobong-jobong warga Keciran.
“Jobong ilang! Jobong ilang! Jobong tempat buwang hajat kita raib! Haduuuhhh bakal kiamat! Maring endi maning nyong buwang hajat? Tolih pan ngobrol nang endi? Tolih pan wadul maring sapa? Jobong! Jobongé enyong ilang…!!!”
Teriak tokoh Darmun yang dimainkan Nurngudiono dengan heroik. Dia berputar-putar kemudian ngeduprak di atas level. Nurngudiono meniup seruling dalam irama sendu. Suasana hening dan nglangut. Kami tersedot dalam permainan dia.
Tiupan seruling membentur-bentur kalbu. Tak ada suara di antara penonton, kecuali kilatan blitz para wartawan yang mengabadikan sosok Nurngudiono. Dalam hati aku merasa bangga. Lawatan Sastra Tegalan ke Indramayu tak sia-sia. Perjuangan bahasa Tegalan yang dulu kerap dilecehkan sebagai bahasa kampungan kini berbalik menjadi duaratus derajat. Setidaknya, bahasa lokal kami tak lagi dianggap remeh-temeh melainkan telah bisa digunakan sebagai bahasa sastra. Dan kami telah membuktikan pada masyarakat luas, tidak hanya di kandang sendiri tapi di Surakarta dan kini di Indramayu.
Di bawah sorot lampu temaram, malam yang terasa dingin dihentak pukulan rebana. Lalu senyap kemudian suara Nurngudiono seperti orang tahlilan. Kian lama suara itu seperti angin yang memusar, bergulung-gulung dan menderu. Dengan gagah dan congkak, Nurngudiono berdiri memerankan sosok Pengacara. Di mana kehadiran dia ke daerah Keciran mengabarkah agar warga setempat segera angkat kaki karena daerah itu sudah dibeli oleh Tuan Ban. Terjadi keributan antara warga dan Pengacara hingga muncul tokoh Mintarsih, perempuan lacur sesepuh warga Keciran itu protes. Tapi protes Mintarsih dan orang-orang Keciran tak didengar. Bahkan mereka diancam sang Pengacara bahwa, dalam tempo 1 x 24 jam mereka harus angkat kaki.
Fragmen ini, oleh Nurngudiono dimainkan dengan sangat manis. Terutama pada kemunculan tokoh Mintarsih dia bawakan dengan suara serak meradang sebagaimana orang berpuluh tahun tertindas dari situasi yang menghimpit. Totalitas dia menyodorkan monolog Jobong membuat para penonton terus menyimak sampai akhir pertunjukkan dengan kematian Lurah Simuh yang menjadi biang kerok dari keributan ini. Tepuk tangan bergemuruh. Beberapa seniman Indramayu menyalami, aku mengacungkan jempol! Tapi hatiku masih saja bertanya-tanya, sejak kemarin malam sampai pagelaran ini berlangsung, dilanjutkan Abidin Abror menyelesaikan monolog Kandang Bèbèk Mambu Bèbèk, dan penyair gaek Widjati bubaran membaca beberapa sajaknya kemudian dilanjutkan diskusi Yono Daryono, Nurhidayat Poso mewakili Tegal bersanding dengan para penyair Adlan Dai, O. Ushj Dialambaqa , Fajail Ayad Syahbana, Dedi Apriadi, dan Ahmad Sjubbanuddin Alwy usai sudah, aku kehilangan Nurochman Sudibyo YS. Kenapa dia menghilang, padahal lawatan kami ke Indramayu atas undangan dia? Sesama orang Tegal, dia kok bisa sampai hati? Dobol! Aku menyumpah dan menelan kelu.


*


bersambung

SAJAK-SAJAK FAUZI ROBBANI


Fauzi Robbani

Selamet Teka
nggo : Kanjeng Nabi
Sohabat lan kanjeng Bupati Tegal

Kyèh,
pengalamané rika ping pindoné
putih rupa warnané taqwa
setuhuné dosa sing paling didinganaken siksané
kuwé jinah
lan doraka marang wong tuwa loro

Kyèh,
pengalamané rika saterusé
ana telu klakuwané wong ngambung
krana dunya-brana, goropenan
setuhuné ngambung sing asli lan tregel
luwih bisa ngrosakna pribadi

Selamet teka, selamet ngahi rupa
setuhuné jagad kiyé ora luwih rampyo
timbang njero kandutan
soalé nyong dèwèk ora krasa

Warureja, Juli 2006


Nlangsa Apa Maning
Neng njaba, dunya sing kuduné takluk
maring menungsa, robah rai dadi majikan
sing nguasai menungsa
kunyuk ka.......

Pontren Al-Quthubi 2006


FAUZI ROBBANI penyair sing luwih kondang kasebut penyair sufi, jalaran puisi-puisiné poret nyuarakna nilai-nilai sosial sing dikemas sufiistik. Fauzi lair nang wilayah Kecamatan Warureja biasa nglalang maring jagad gumirat. Ngambah nang kota-kota kayadèné Jakarta, Semarang, Tegal, Slawi, Bandung, lan kota-kota liyané.

Rabu, 28 Januari 2009

APITO BACA SAJAK Di RUMAH BIDUAN DANGDUT


Apito Baca Sajak
di Rumah Biduan Dangdut

ADA-ADA saja yang ingin dicapai Apito Lahire. Begawan monolog dan penyair dari Pesayangan, Kabupaten Tegal ini keinginana menjelajah pembacaan sajak tidak hanya di tempat-tempat terpandang namun sampai ke rumah penyanyi dangdut pun dia lakoni. Hal itu seperti yang terjadi semalam di rumah penyanyi dangdut Rosalia Agustina dan Verani di Desa Mejasem Barat, Kramat, Kabupaten Tegal. Pada malam, Selasa kemarin dia sengaja diundang oleh dua penyanyi itu. “Saya diundang mereka untuk membacakan bebarapa sajak yang terkumpul dalam antoloji Tegalan Nranggèh Katuranggan” ujar penyair berambut gondrong itu.
Meski hanya ditonton oleh keluarga dua penyanyi tersebut dan beberapa tetangga mereka, namun hal itu tidak membuat Apito saat membaca sajak-sajak Tegalan mengurangi daya pukaunya. Dia membaca dengan penjiwaan yang total, bersuara lantang, mendayu, melenguh, menghiba, sangar, dan gerakan-gerakan teaterikal. Apito kadang menari, bersuluk ala Ki Dalang, juga merayap-rayap di dinding yang berlapis kerai dari lidi-lidi pohon aren.
Sajak-sajak yang dia bacakan seperti Jontrot, Toyib, dan Badriyah karyanya, juga karya milik Wakil Walikota Tegal, Dr. Maufur sajak berjudul Ngranggèh Katuranggan, Nasehat, dan termasuk sajak-sajak cinta Ngertia Maring Enyong yang tergabung dalam antoloji Nranggèh Katuranggan dan kesemuanya itu menggunakan bahasa Tegalan.
“Sajak Tegalan ternyata asyik juga saat dibacakan. Nggak kalah dengan sajak-sajak yang menggunakan bahasa nasional. Rasanya kita seperti akrab, mungkin yang banyanya juga bagus, sajak-sajak yang ada dalam Nranggèh Katuranggan itu rata-rata baik” ujar Shinta Dewi Rosmalasari, kakak dari Lia dan Verani Puspitasari seusai pembacaan.
Senada dengan Dewi, Vera dan Lia juga berpendapat sama. Menurut mereka, sajak-sajak Tegalan memberikan kesejukan dan daya pukau tersendiri bagi penonton.
“Seperti ada kedekatan dan merakyat,” tambah Vera.
Apito sendiri mengaku merasa enjoy membaca di rumah mereka. Dia tak merasakan canggung dan alersi dengan tempat di ruang tamu. Apito malah merasakan, pembacaan sajak yang dilakukannya itu justru lebih mendekatkan diri pada masyarakat ketimbang dilakukan di gedung-gedung pertunjukkan.
“Saya malah merasa lebih membumi karena dekat dengan masyarakat,” pungkas Apito yang merasakan betul mendapat pengalaman baru (*)

Senin, 26 Januari 2009

SAJAK SAJAK APITO LAHIRE


Apito Lahire


JONTROT

Prenjak, ciblek, gelatik watu, lebèan
sirdum, gatiyong
dipulut daning jontrot
sikil, endas, mata, bokong, tangan, rambut
unyeng-unyeng,
digorèng srèèng...
srèèng... srèèng.....
tempé, tahuaci, pilus, rempèyèkdikremusi
agama, keyakinan dientuti
bluuusssssssssssssssssss
waduuuuuk laaarrraaaaaaaa
urip ngenes tambah nelangsa
copèt kèlangan saksaktukang ngaduk klenger
duwit mabur mutermuter dadi layangan nglinter
cilukba............
gejuh dara dadi riyamobatmabit laka kuwasa
wanyaaad lenga campur kringet kolèh spirtus dadi apa?
gotri ala gotri matèni
mendem impèn:
”ana ula dudu Ula ngloker neng sadawadawa
”-ucrit kapicirit neng surgané tangga-
”boyok kumat”
-ganyong laka-
”anané sumpah lillah”
-anjog tampah-
“Telak?
Telih?”
-teglekteglek-

Preeeeeeeeeeeeeeeeet
”sapa sing Ngebom?”
-sampèyan apa Nippon-
”kucing gering”
-Tengu-
”rayap”
-Traktor-
”kalong Wengwong”
-kalongé wong-
”Wongé Golong”
dadi reketèèèèèèèèèèèèèèk
Lugedsèrab mandeng srengèngé
klèyang
”Mati Baéooooooooooooooooh”
-ah.


klonengan, 20 desember 2008



TOYIB
”Pito, kaceré énté regan pira?
”murah mung rolas”
satusrongpuluh?”
sajuta rongatus éwu
”duwit kabèh apa campur kwaci?
”mreki......

Kyé, yib, kaceréé siiip
ngebyak buntuté, tembus swarané, akèh pariasiné
nancep tarungé
akeh piagammé
”énté juriné?”
Ratno kriting, Predi gering, Nuridin bakul daging
yangho kalibuntu
”dudu énté, Pit?”
aku tah mung manto, sedakep nyambi nyomay
pokoké dijamin Garansi.....”
kaya mobil baé
”Kuwé aku ndeleng énté, jakwir cètèm
”ora bakal klalèn?”
énté bujang idol ya, seangkatan karo Mi'roj bocah
Pekiringan sing jaluné sagunung gajah
tapi ora tau diasah
-asah”
dikon ngebor neng peleman baéoh
”ustad, mboten pareng, kejaba...
”kejaba apa?
”kepèpèt....
”Dosa. Ora Ilok”
wiswis kembali ke kacer

Pibèn , yib,tuku baé kacerku
aku butuh nemen
”pan mbojo?
”ora”
sih?
pan nggo tuku geber, mubengmubeng
ndadar cangkem
”cangkem?”
iya, aku lagi nyinauni
”énté jebulé ésih bodo
”pancèn, krasa nemen mangkané aku
maburmabur neng sing nonton
”Nglawak?”
ya kaya kuwé
”Nggrèmèng?”
ya kaya kuwé
”Ngentir?”
ya kaya kuwé
”Ngablu?”
ya kaya kuwé
”YakaYakuwé Yakaya Kuwé
Kuwékuwé. Apa Dongèn?
”dongèng
”Dongèng?
”iya. ngoncèti sing klalèn.

”Kacang La mending
”sabangsané
”Ooooooooohhhhhhhhhhhhhhhhhhhh”
Iya.
”énté dikurungi, digantang, diceplèki
digembori?”
”Itu Burung Saya, Lihat itu Juri, Panto.
Lihat itu Ratno, Tèmbakannya.Prèd
Variasinya, Din, Tonjolannya. Yangho
Nancepnya. Édan ah

Éèèèèèèèèèèèttttttttttèmbakannya
Tembus Kuping. Ngerol terus dari
Subuh hingga senja. Koncer a saja
Langsung cair. Ayo, Kacerku terus
Terus..Terus......”
”oooohhhhhhh brarti énté dadi lakon sing
ora klakon klakon?
”Bener Yib, Sajutarongatus éwu! Wani, yib.....
”pibèn yah ..................
Ijolan Kolor Sawaring Olih?
(wanyad.........kumat.........pan pentas
monolog patlikur jam baé laka sing tanggap)


22 desember 2008




BADRIYAH
Yu Badriyah jaré wong sategal
sampèyan paling sugih apa bener?
”ora ding”
lah?
”aku sedengan
”Tapi awit cilik akèh wong ngomong:
sugihé ....duwité badriyah....”
gosip. Isu”
tapi asli.

”Kyèh tak kandakna
wong Tegal ka tegel-tegel
”hèh?”
sumpah. laka barang gawèan wong tegal sing asli
”pompa dragon, sanyo, pit jèngki, baut,
éngsèl, clana lepis, kolor, grabah....sepatuné pagongan?
”niru”
tahu aci?
”palsu”
asu kunyuk, bangsèt, raimu....(Niru)

Apa bener-bener iya....
”Iya Bener-bener”
sumberé?
”adol jaré”
wong Tegal senengé adol jaré ora jaré adol.
dadi?
”apaapa diadoli”

Kabèèèèh
Brarti nyong, sampèyan kyé palsu?
”kremyang kremyeng”
laka sejarahé, buyuté?
”ana”
apa?
”Sulap”
brarti dèwèk turunané Joko Bodho
”ingat, éling weton anda tidak cocok untuk hidup
di Tegal. Cocoknya di kantung plastik
”kresek?”
nyong ora ngomong loh sing ngomong énté
”kuwalat yu sampèyan Yu Badriyah”
jaré sapa?
”jaré sing nyiptané Jèjèré Jaré

Sampèyan nrokcok, Yu Badriyahnotoktlotok
”tapi aku bener, genah, jujur”
tapi sampèyan mbuka aib
”ora malah genah”
sampèyan propokatorneror
”aktor”
hororkompordobol
kèplélandaksunti
Tegel Maring Tegal
”ngèprèt“
bèn pada kejambrèt uteké.
(éling...nyong Badriyah dudu Mardiyah!)

klonengan, 21 desember 2008

APITO LAHIRE lair nang Desa Jatinegara, Kabupaten Tegal. Nulis puisi, cerpen, naskah drama awit SMA. Puisi Tegalané mlebu nang antoloji Potret Reformasi Dalam Puisi Tegalan, lan Muara Sastra. Begawan monolog kiyé sering menang nang lomba monolog, nulis-baca puisi tingkat daerah utawa nasional. Alamaté nang Dalan Projosumarto II Langgen 1/1 Talang 52193. HP. 081548077550. email: apito_lahire12@yahoo.com

*

MANING MANING BENCANA


Lanang Setiawan

Maning-maning Bencana


Maning-maning bencana, maning-maning lindu
maning-maning petaka, maning-maning kalabendu

Breg…
breg…
breg…!!
buminé dibanting
isi jagadé burak-rantak, kowol-kowol
sakedèpan mata wong-wong pada mati
nyong-sampèyan senengé pada mblunat
dipenging
diweling
dikandani
tetep baé mblekesunu
ndableg

Der…
der…
der…
gunung Sitoli jeblug
dalan-dalané pada mletèk
menungsané remuk
digempalong lindu

Dar….
dèr….
der….
breg…
breg…
breg…
rekayaaaaaaakkkkkkkkk……
malapetakané teka maning
nagena wis lereb
jebulé Nias rempon dikunclang bencana.

Kamis, 22 Januari 2009

PELUKIS WIDODO TEGAL GANTI ALIRAN


Widodo Ganti Aliran

SEORANG Ibu menjadi inspirasi yang dahsyat untuk sebuah karya yang tak pernah ada habis untuk digali. Ibu adalah keramat manusia, tempat meminta sekaligus selimut terhangat dari haru-biru keresahan jiwa.
Sosok Ibu yang tiada bandingan itu, kini menjadi obyek menarik bagi proses kreatif pelukis Widodo. Bagi Widodo, melukis ibu adalah sebuah pengakuan diri. Pengorbanan ibu dan kasih sayangnya tak mungkin mampu ditebus dengan apapun. Langit boleh runtuh dan gelombang lautan bisa saja menggerus gunung-gunung, namun keiklasan dan keridhoan ibu mengorbankan segala-galanya untuk anak, sepanjang hayat.
“Figur ibu adalah segala-galanya. Aku meletakan ibu dalam obyek lukisan karena sebuah pengkuan diri atas belai kasih sayangnya yang tak bakal aku mampu membalasnya. Ibu, bisa diibaratkan Tuhan dalam kasat mata,” aku Widodo yang ditemui di Komunitas Sorlem, tempat dia melukis dan mendasarkan karya-karyanya.
Widodo mengaku, selama ini dia sudah melukis sosok ibu sekitar 20 buah dengan berbagai macam tema. Ada 5 buah judul lukisan ibu yang dia pajang di markas Sorlem. Dalam karya bertajuk Menghitung Untung, Dodo menampilkan sosok ibu yang tengah menghitung laba. Berikutnya Dodo menumpahkan tema yang cukup menyentak, terutama pada gambar berjudul Kasih Seorang Ibu II, dia mengingatkan kita pada ketulusan, keiklasan dan keridhoan sang ibu. Dalam gambar tersebut, sang ibu dilukis Dodo tengah menyusui anaknya, kendati fisik sang ibu dalam keadaan kering kerontang namun tetap saja dia ceria senantiasa.
Menurut Dodo, semua itu adalah pelambang bentuk pengorbanan ibu yang tak mungkin bisa ditebus oleh sang anak dengan pemberiaan apapun.
“Harapan yang ingin aku sampaikan lewat lukisan itu adalah sebuah fragmen kilas balik. Yaitu, dari mana kita ini dibesarkan dan oleh apa darah dan daging kita terbentuk. Oleh karena itu kita musti sadar bahwa figur ibu adalah segala-galanya,” kata Widodo yang agaknya mulai ganti aliran dengan mata berkaca-kaca.
Pada lukisan Kasih Seorang Ibu I, Nglambèni Si Bocah dan Penjual Serabi, masih juga Dodo menyentak-nyentak jiwa penikmat. Selain berkisah tentang kasih sayang ibu, dilukiskan juga kegigihan perjuangan seorang ibu. Misalnya pada lukisan Penjual Serabi, Dodo melukis sosok ibu tua yang rela bermandikan asap tungku saat berjualan kue serabi yang kesemuanya itu demi untuk membesarkan anak-anak.
Oleh Widodo, semua lukisan yang dia goreskan dalam kavas itu dipulas dengan menggunakan dua warna; black and white. Widodo mengaku, dia sengaja menggunakan hanya dua warna itu, biar kelihatan natural.
“Black and White itu disamping natural, tapi efek yang ingin aku sampaikan cukup mengena dan menyentuh, dibanding dengan full color,” katanya yang mengaku bahwa semua lukisan black and white-nya itu dipersiapkan untuk pameran lukisan tunggalnya (*)


KETERANGAN GAMBAR : Pelukis Widodo nampang di depan karya terbarunya - Foto: Lanang Setiawan

Senin, 19 Januari 2009

PENYAIR TEMPE ANGANTEN


‘Penyair Tempe’
Buat Antologi Sajak Tempe

TOTALITAS
Dries Anganten yang dikenal dengan sebutan ‘Penyair Tempe’ tak diragukan lagi. Berbilang tahun penyair yang sehari-harinya menyandarkan hidup sebagai bakul tempe keliling dari kampung ke kampung ini, tetap menjaga keeksisannya sebagai penyair. Setelah baru lalu dia meluncurkan antologi puisi ‘Kangen’, Penyair Tempe ini dalam waktu dekat bakal meluncurkan kembali Antologi Sajak Tempe. Antologi tersebut menurutnya hanya akan dibagikan secara gratis sebagai kado ucapan terima kasih kepada mereka yang selama ini menjadi pelanggan tempe yang dia jual dari kampung ke kampung dari gang ke gang. Tak tahu apa motifasi Anganten memberikan antologi itu kepada mereka.
“Ini cara aku mengenalkan puisi kepada pelanggan tempe yang ada di kampung-kampung atau dari gang ke gang. Ya, setidaknya mereka bisa mengetahui ada bacaan lain selain novel, komik, majalah, cerpen, atau koran,” papar sang ‘Penyair Tempe’ ini di tengah kesibukan menjajakan tempe, barang dagangannya.
Dries Anganten sengaja melakukan semua itu karena sudah menjadi niatan agar puisi yang dia bukukan itu dapat dinikmati oleh masyarakat. Setidaknya, katanya lebih lanjut, makna dan jalinan kisah yang ada dalam kumpulan puisi tersebut bisa dicerna dan mereka diharapkan bisa menambah wawasan dari luar dunianya sebagai seorang ibu rumah tangga.
“Harapanku, seorang ibu rumah tangga pun bisa melek puisi dan tahu dunia luar yang sedang bergolak,” tandasnya.
Puisi-puisi sang ‘Penyair Tempe’ ini, selain berkisahkan tentang sosial, cinta, kepahitan hidup, juga saratnya nuansa hempasan kehidupan yang dialami seorang manusia. Rasa ketuhanan tak ketinggalan ada dalam antologi puisi ‘Tempe’ yang saat ini dalam persiapan.
Anganten sendiri menulis sajak-sajaknya itu, telah dipersiapkan sejak beberapa bulan lalu dengan tambahan sajak-sajak baru. Setelah uang terkumpul dari hasil menjajakan tempe, kini sang ‘Penyair Tempe’ tersebut baru berani melangkah untuk membukukannya.
“Insya Allah dalam waktu tak lama lagi kumpulan sajak ‘Tempe’ terbit. Doakan saja!”
Dries Anganten lahir di Desa Tegalwangi, Talang 21 Februari 1980 dengan nama lahirnya Idris. Sebelum dia menjadi penjaja tempe, ia pernah menjadi kernet bus jurusan Jakarta-Pekalongan, tukang patri panci keliling, pedagang seprei, dan kuli bangunan. Dia salah satu anggota teater binaan Begawan monolog dan penyair Apito Lahire. Alamat rumah di Desa Pepedan, Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal. HP: 081902468255 (LS)

Minggu, 18 Januari 2009

GELAR SENI UNTUK PALESTINA


Para Seniman Tegal Gelar Seni untuk Palestina


Kejahatan Iblis ada di tengah samudra
wilayahnya meliputi otak para pemimpin Israel dan Amerika
setiap detik jutaan syetan mengalir bersama buih ombak
membawa fitnah dan menebar kebencian ke penjuru dunia
mabuk di ruangan gedung putih dan menari-nari di daratan Israel
tidak heran bila para penentu kebijakan di Israel dan
Amerika kelakuannya seperti iblis
maka terjadilah pembantaian atas manusia

Lihatlah saudara-saudara kita di Palestina
mereka menderita karma kebiadaban Israel yang didukung Amerika
ribuan orang merenggang nyawa
anak-anak dan wanita dibunuh secara kejam

Palestina perkampungan mungil nan indah
sebuah negeri mashur yang terukir dalam lembaran Quran
kini hancur menjadi debu, leburbersama jiwa-jiwa para suhada
Palestina, hatiku larut dalam setiap tetesan darah perjuanganmu yang
berupaya mempertahankan sejengkal tanah dan harga diri

Wahai jiwa-jiwa yang terluka, jiwa-jiwa yang perkasa
bersabarlah…!
menghadapi Israel berarti melawan iblis
maka lawanlah..! Karena setiap saat iblis juga akan
mengoyak jantung kita


ITULAH
butiran bait-bait puisi karya Qomaruddin Assa’adah berjudul Menghadapi Israel Berarti Melawan Iblis yang bakal ditumpahkan pada besok malam, Selasa (20/1) dalam gelar seni Pedulian Rakyat Palestina di Balai Desa Banjarturi, Kecamatan Warureja, Kabupaten Tegal bekerjasama dengan Komunitas Seniman Warureja, Karangtaruna setempat dan Komunitas Klonengan Slawi.
Kebiadaban, kebencian, dan kekejaman Israel selalu membabi-buta meluluh-lantakan, mebantai rakyat Palestina kini telah menjadi gelombang kebencian manusia tak terkecuali para penyair, musikus dan dramawan di mana pun. Begitu juga bagi para seniman di wilayah Slawi, Tegal dan Desa Banjarturi – Warureja bersatu padu menggelar pentas seni dengan tema ‘Peduli Palestina Dalam Renungan Lirik Doa dan Puisi’.
“Derita Palestina adalah derita kami. Kalau kami bisa perang tentu ikut angkat senjata. Kami hanya bisa berdoa dan berpuisi sebagai simpati kami pada Palestina,” ujar penyair gondrong Qomaruddin.
Gelombang penyair yang bakal turut dalam kepedulian terhadap rakyat Palestina yang dinistakan Negara Yahudi Israel itu, seperti penyair wanita Diah Setyawati, Apito Lahire, Albadar Asikin dan Fauzi Robani bahkan berdzikir dengan syair-syair kutukan terhadap Israel di mana agar Negara Yahudi itu segera tenggelam dalam amuk prahara bencana yang tak terperikan. Sama juga halnya begawan monolog Apito Lahire akan mengangkat lakon lebih mengerikan bagaimana azab Tuhan yang demikian pedih terhadap bangsa Israel. Negara itu bakal diguncang malapetaka dahsyat sampai bangsa itu musnah di muka bumi.
“Negara itu bakal remuk redam, hancur kemudian sirna. Hilang gandra!” katanya.
Tampil juga penyair dari Tegal Bontot Sukandar, Nurhidyat Poso, Oni SR, dan penyair dari Komunitas Klonengan diantaranya Julis Nur Hussein, Yaskur Parandina, Abu Ma’mun MF, Dries Angaten, serta pembacaan puisi dari para pejabat Muspika Kecamatan Warureja, bahkan Bupati Tegal Agus Riyanto. Selain itu tampil meramaikan musik kentrung Mistar Kalbu dan Hadrah Almubarok (*)


Foto : Fauzi Robani

Kamis, 15 Januari 2009

VERA MAIN KLIP MUSIK LAGU 'TRAGEDI JATILAWANG'


Verani Main Klip Musik Lagu Tragedi Jatilawang

PENYANYI
Pop Verani, saat ini tengah mempelajari skanario film. Ia diserahi sineas muda berbakat asal Tegal, Andy Prasetyo untuk menjadi pemain dalam syuting adegan di video klip musik lagu ‘Tragedi Jatilawang’. Andy mecasting Vera sebagai bintang dalam video klip itu karena karakternya pas.
“Karakter mbak Vera ngepas banget dengan gambaran kisah lagu tersebut. Sudah puluhan calon pemain yang saya casting, tapi tak ada yang cocok dan sreg. Ketika kemudian pencipta lagu ini mengenalkan mbak Vera, langsung feelingku jalan. Lagian mbak Vera itu mahir juga dalam bidang tarik suara, tidak salah aku pilih dia” kata Andy berapologi.
Diakuinya, ngebet pada lagu tersebut karena kisah yang terkandung dalam Tragedi Jatilawang menarik dan orisinal. Lagu tersebut mengisahkan seorang lelaki yang dimabok cinta kepada perempuan cantik di Desa Jatilawang. Begitu menderunya mereka dipanggang api cinta sampai kemudian menemui kisah tragis. Lelaki pecinta itu akhirnya dikeroyok pemuda setempat. Ternyata kisah itu merupakan peristiwa yang dialmi oleh pencipta lagu itu.
“Kisah asmara yang ada dalam lagu itu menyentuh. Berulangkali aku mendengarkan lagu itu, tapi rasanya tak bosan-bosan. Lagu Tragedi Jatilawang seperti memiliki ruh yang tak pernah mati-mati. Ya..,semacam ada kekuatan magis yang mengental dalam lagu itu,” kata Andy.
Vera bersedia memerankan tokoh perempuan yang ada dalam kisah lirik lagu itu karena merasa tertantang. Vera sendiri telah lama mendengar lagu Tragedi Jatilawang tiap kali memutar radio Dewantara FM atau di Pertiwi FM.
“Kisahnya unik, lika-liku percintaan yang dituangkan dalam syair lagu Tragedi Jatilawang, amat jarang pada lagu-lagu manapun. Bahasanya puitis, romantis meski ditulis menggunakan bahasa Tegalan. Setiapkali aku menyimak lagu itu, rasanya gimana gitu ya? Pokoknya aku seperti dipelantingkan pada kisah cintaku yang juga menderu,” kata Vera ketika disambangi di rumahnya, Mejasem Barat.
Tak heran, ketika sineas Andy Prasetyo memilihnya sebagai pemain dalam video klip tersebut, Vera langsung bersemangat untuk mendalami peran tokoh ‘perempuan’ yang ada dalam lagu itu. Rencananya, dalam klip musik itu, tak hanya berperan sebagai perempuan si kekasih pencipta lagunya, tetapi didaulat pula untuk menyanyi duet dengan pencipta lagu tersebut, Lanang Setiawan.
“Untuk itu saya juga mulai mempelajari lagu Tragedi Jatilawang. Ya, meski saya kelahiran Tegal, tapi disiplin saya menyanyi di jalur pop, sehingga saya harus berlatih lagu yang menggunakan bahasa Tegalan” katanya. Pembuatan video klip musik lagu Tragedi Jatilawang mulai syuting pada pekan ini yang berlokasi di sekitar Tegal dan juga di rumah Verani (*)

Rabu, 14 Januari 2009

SAJAK WS RENDRA DALAM TERJEMAHAN TEGALAN

Lelakoné Bu Aminah
(Lanjutané Tembangan Banyak)
Alihbahasa: Lanang Setiawan


Wong wadon sing wetengé nggèmbol prahara :
kowen teka wayah bengi nganggo sepur sing
Jayanagara

Uput-uput kowen anjog
ora kober ngraupan rai
kowen mlebu maring pèron
sing mambuné bacin
kowen glogakan
wong lanang nyekel tangané kowen
kowen ngomong matur nuwun
tapi ujug-ujug kowen krasa
wong lanang mau ngutil dompèté kowen
cangkemé kowen ndomblong
sebabé kagèt ora bisa nggemboran
tapi wong lanang mau malah brangasan:
mbak bed, dèwèké njotos cangkemé kowen
Sepur liwat
wong lanang mau uga liwat
sisan dompèté kowen

Kowen ngadeg nang jogan sing kotor
sewaktu mau, kowen njengkangkang

Karo ngrasakna cangkemé mar lan godras
kowen nekani penjaga keamanan
dèwèké mandeng tapi krasa jiji maring kowen
lan sadurungé kowen kober nyuwara
dèwèké mbentak: “Lunga!”

Wong wadon sing wetengé nggèmbol prahara :
rainé abang mèrèt
kowen ngadol tindik nang toko
diregani mung separo
kowen nggoleti adiné
sedeng kowen blèh genah panggonané
.........................................................................
“Jebulé :
sing diarani urip mandiri
gudu kur ngrèpotna wong liya
tapi ora ngaruh-biru wong liya.
Arané enyong Aminah, wong dèsa klutuk
teka nang Ibu Kota
nggoleti adiné enyong: Maria Zaitun
Wong sing nang kota madani enyong cèngèng

Maring wong wadon
sing salosmèn karo enyong tak sapa:
“Sugeng énjing!”
lan dèwèké nyemaur: “Karepé kowen apa?”
......................................................................

Wong wadon sing wetengé nggèmbol prahara :
Aminah!
duwité kowen sangsaya tipis
toli kowen pan nggolèti pegawèan
kowen ndèpé-ndèpé maring sing nduwé losmèn
njaluk pitutur karo dèwèké
Dèwèké ngandani:
“Kiyé jaman susah tapi apa sing bisa kowen lakoni?”
Trus kowen njawab
kowen bisa njahit tau kerja nang salon
uga pernah kerja nang lèstoran.

Dèwèké ngunjal ambegan
kaya-kaya pan nyuwara tapi blèh sida.

Trus matané radan disipitna
mandeng maring rainé kowen
dadané kowen, bangkèkané kowen
lan sikilé kowen.

Dèwèké uga ngomong:
“Kiyé jaman susah. Mung nyong bisa mènèhi kerja maring kowen.”
“Teng pundi?”
“Nang kèné.”
“Kerja napa?”
“Nrima tamu.”
“Tapi teng ngriki pun énten tiang kalih sing nrima tamu.”
“Sing tak maksud:
nrima tamu nang kamaré kowen.”
“Napa?”
“Hasilé ora kur lumayan.
nyong bisa ngadol kowen
sing regané ora pèré-pèré”

Ndadak kowen ngadeg.
Dadané sesek
tangané kowen gemeter
trus ora poyan maning, kowen ngluyur lunga
sawetara dèwèké njubleg
njagong kalem tapi wangkot
....................................................................

“Jebulé:
nyong kudu luwih ati-ati
blèh saben uwong kuwé menungsa
Ning njeroné cahya ana tipu daya
Ning njeroné peteng ana rasa sentosa
Ning gili gedé laka dalan sing nggo liwat
Ning tritisan
laka panggonan sing nggo gendu-gendu rasa
kayong sumpeg ruwangan kiyé
tapi waktu nyong ngranggèh
sing tak cekel mung hawané gèl.....”
......................................................................

Wong wadon sing wetengé nggèmbol prahara :
akhiré kowen nyambut gawé nang lèstoran
kowen dadi rèwangé tukang masak
muga-mugaha kasembadan, kowen ana gunané
sebab, ahliné kowen nang kèné

Waktu sedina kowen rèwang-rèwang
tukang masaké bungah lan grapyak maring kowen

Waktu rong dinané
dèwèké ngalem-ngalem lan seneng gluwèhan

Waktu telung dinané
polah sikapé kaya bapa-bapa
Barang patang dinané
dèwèké molai miul trus ngremed bokongé kowen
kowen protès nganggo cara alus
lan jaga jarak
kowen semangkinan sopan maring dèwèké

Mung tekané dina kaping lima
dèwèké maksa nyikep kowen
lan dèwèké nyoba nyipoki kowen
Kowen njerit. Kowen mbanggèl
sapanci jangan sop tumplek
gara-gara bengkerengan
Kosihkèn nang enem dinané
kowen dipindah dadi pelayan.

Trus pas nang pitung dinané
kowen radan sembrana maring tamu
sing pancèn nduwé kekarepan
nggrayangi kèmpolé kowen

Waktu tekané dina kaping wolu
kowen dipindah dadi tukang asah-asah piring

Waktu sangang dinané
tukang banyu ngremed susuné kowen
kowen gemboran saseru-seruné
nganti Bendara Agengé tandang misah
dèwèké mandeng maring kowen
dèwèké gèdèg-gèdèg
trus kowen diundang maring kantoré
kowen dieneng-eneng trus diweling pengetèn
malah dèwèké manjeri duwit
lan gaji telung wulan
mbokan baé bisa nggo nglipur

Waktu sepuluh dina seterusé
kowen diprèntah nyalin catetan inventaris lèstoran

Waktu sewelas dinané
Bendara Agengé mènèhi bebungah hadiah
sepasang tindik, kalung lan gelang
jarèné kur nggo penghargaané kowen
sing nduwèni kepribadian
jelas lan tegas

Waktu rolas dinané
dèwèké ngomong soal hobi seni potrèt-memotrèt
kepimèn apiké tata cahya lan ayang-ayang
ébèn bisa ngatokna barang sing ora katon
dadi wujud ora baèn-baèn
sing awité biasa-biasa

Waktu telulas dinané
(sing jarèné uwong angka sial)
dèwèké ngomong:
“Sebagé wong sing ahli potrèt-memotrèt
nyong bisa mbayangna
kepimèn adong awaké kowen wuda
gunung lan lebaké
bisa mènèhi kesempatan warna-warni cahyané
lan ayang-ayangé ketata jempolan
Wong-wong sing édan kaé
duwé tapsir jorok
maring ayu-mulusé awaké kowen
Tapi nyong duwé rasa seni sing pentolan
pèngin ngrekam ayu-mulusé awaké kowen
sing lugu tur ora dirèka-rèkabèn langgeng.

Lan bayarané kowen, nyukupi
Saiki dipikir disit.
Sesuk bisa rembugan maning

”Waktu patbelas dinané
kowen kecoh idu maring bumi
trus ora mlebu kerja
......................................................................

“Sering nemen nyong weruh kranjang res-resan
kosong momplong laka guna manfaaté
filsafat cemantèl nang saben paku
agama mung dadi klèbèt bazaar

O, manèné enyong!
kayong aman nemen kandungané rika!

Waktu nyong nggleleng kepèngin turu
lempongé enyong kisruh, njeplak ngomong!”
........................................................................

Wong wadon sing wetengé nggèmbol prahara :
nang mètropolitan
Jayanagara
kowen nggolèti adiné
sing blèh genah alamaté

Saèlingané kowen, dèwèké tau ngomong
dèwèké manggon nang
Dalan Delima, nomer 5

Wis ping-loro kowen nekani mrana
lan dèwèké blèh ana

Nang umah kaé akèh wong wadon
lan sing paling tuwa ngomong:
“Sangang taun nyong nang kèné
sing arané Maria Zaitun
laka”

Lan akhiré
sapira lawasé nang Jayanagara
kowen ngerti
nang sebelah kulon kota
jebulé ana Dalan Delima, nomer 5
Mung, kaé kantor pulisi
kowen mrana lan komandané ngomong:
“Pancen, nang kèné ana Dalan Delima, nomer 5
kadèhané ana loro mbang kulon lan mbang wètan
Sing mbang kulon kantoré enyong
ora tau ana Maria Zaitun nang kèné
Sedeng sing mbang wètan.....dados Ibu mpun mriko?”
“Sampun. Dèwèké mboten énten teng mriko”
“Hm. Sing mbang wètan kaé....umah tlembukan”
“Astaghfirullah haladziiim!”
“Ya.”
“Alhamdulillah dèwèké ora nang kana”
“Tapi wong-wong sing nang kana
blèh tau nganggo aran asliné”
“Ya, Allah!”

Sawisé kuwé
kowen ngrasa awaké lèab-lèob
gentoyoran
Apa-apa sing kedadèn
antarané ana lan blèh nana
Lan kowen énggal baé, ora krungu
waktu komandané ngomong:
“Coba sukiki Ibu mampir mrèné maning
sisan nggawa poto karo informasiné
Nyong kabèh sing nang kèné pan mbantu Ibu
nglari dèwèké”

Sukikiné
kowen nglebokna poto adiné
nang dompèté kowen
mung kowen ora lunga maring Kantor Pulisi
Agé-agé kowen nekani Dalan Delima, nomer 5
mbang wètan kota
trus kowen nudukna poto mau
maring wong-wong sing manggoni

Wong wadon sing paling tuwa ngomong:
“Nah, kiyé enyong kenal
mung rong taun, dèwèké ana nang kèné
trus pindah maring panggon liyané
Dasar lagi murub drajaté
saiki malah wis ningkat, klas gedongan
tapi arané gudu Maria Zaitun Aminah!
Ya, arané kuwé!”

“Maria Zaitun aran adiné enyong
muga-muga ana getaran gaib
sing muncul saka njero atiné enyong
ngrasup maring kalbuné kowen.
Nyong dedonga kanggo kowen, adiné enyong
muga-mugaha kahanané kowen
luwih begja ketimbang enyong
Kayong angèl temen
raba impèn sing blèh peta
sing lagi disangga bareng-bareng
waktu nyong kowen njenggelèk tangi turu.

Nyong nyukuri temenan
saben-saben nrima duwit kirimané kowen.
tèsih sempet-sempeté kowen
nyisihna welas asih maring enyong
sajeroné urip pating clongat, gobal-gabèl
Kowen bener-bener wong blabah
Sayang, enyong kowen blèh bisa ketemu
pengarep-arep nggayuh ketemu kowen
wis tak sirep, rep.
Saluguné
ana bab penting sing pan tak omongna.
Apa kowen kemutan
waktu pamungkasé kowen niliki enyong?
Kowen nggandeng wong lanang
sing jarèné bojoné kowen

Telung wulan kepungkur
dèwèké teka maning.
Jarèné ana urusan
nyong ora takon
trus nyediakna panggonan nggo nginep dèwèké nang kèné.

Hubungané enyong karo dèwèké apik nemen
dèwèké bener-bener duwé rasa pengertèn
lan ora kurang-kurang mènèhi gagasan
kosihkèn blèh kepikir
sapira suwèné dèwèké pan manggon nang kèné
Trus
sawijiné bengi
waktu nyong lagi mbayangaken
tekané dèwèké sing mbungahna ati
dèwèké mlebu maring kondongé enyong
nylonong, blèh pamitan.
Separo blai, separo mukjizat
separo miul, separo maksatrus dèwèké nggabrudi enyong.

Sauwisé kuwé
nyong kèlangan imané
Kabèh mau tak ranapi
tanpa ngerti kesimpulané.

Dina sangsaya dina saterusé
nyong karo dèwèké trus nglakoni sing kaya kuwé
tanpa alangan uga wedi-wedi maning
Saben-saben kedadian
luwih nggegep nyong nyikepi dèwèké
nyong keyungyun karo dèwèké

Sawulan bab kuwé kedadèn
dèwèké trus ninggal lunga
Nang selembar surat sing ditinggal
dèwèké njelasna kowen kuwé saluguné gudu bojoné
Kanggo kowen lan kanggo enyong
dèwèké uga pada asingé

Sajegé kuwé, nyong terus nggoleti kowen
sebab, awit mula nyong ngrasa.
Soal kiyé nyong kudu ngomong
Tapi saiki kaya kiyé kedadian nyatané
Umpamané nyong kowen ketemu
nyong kepèngin ngomong
mèh telung wulan nyong mbobot anaké.”
.......................................................

Wong wadon sing wetengé nggèmbol prahara :
kowen njagong nang ruwangan tunggu
dokter kandungan
Wayahé tèsih ésuk
tapi akèh pasangan
pada nunggu kayadené kowen.
Kowen anteng katon ayem
maca koran.

Akhiré gilirané kowen nyampé
dokter takon :
“Pripun, napa wis mantep dipikir?”
“Mpun, dokter”
Dokter maca catetan maning
sing ana nang mèjatrus uga ngomong :
“Telung wulan!
Tambah wulané, nyong blèh wani
Nyong angkat tangan.
Dadi kudu dina kiyé.”
“Nggih empun, cacak”
“Ya. Saiki tak priksa maning.”

Waktu dokter mriksa
bayi sing nang wetengané ngrogèt-ngrogèt
Trus kowen merem
tangané kowen ngelus wetengé
lan kowen nggeget lambèné
“Pripun? Lara?” takoné dokter
“Mboten. Nikiné ngrogèt-ngrogèt.”
“Kan ora mung saiki ngrogèt-ngrogèté?”

Lan matané kowen mèsih merem
waktu kowen ngomong:
“Kayong tembé kiyé
dèwèké pèngin wadul”

Kowen blèh ngrungu
dokteré nyekakak
trus dèwèké nyekel pundaké kowen
lan ngongkon kowen nganggo
sandangan maning
Sauwisé kowen nganggo sandangan
trus dokteré rampung nulis nota
dèwèké ngomong:
“Kiyé nota nggo kowen.
Coba, maring klinik mbang mburi
jam telu awan ngko tak kerjani”
Ora gugup maning kowen njawab:
“Mboten, dokter kula mangsul”
.................................................................

“Apa sing pan diomongna kowen, anakku?
Adong kowen kuwé ana?
Uga kowen duwé kepènginan?
Umpamané kowen ora lair
blèh bakalan nyong ngrongokna
kowen ngomong.
Apa kowen ora nduwèni rasa wedi
maring angasé jagad kiyé?
Apa kowen ora nduwèni rasa wedi
adong sing ngrandebi maring awaké enyong
uga bisa ngrandebi maring awaké kowen?
Nang njero wetengané enyong
sikilé kowen obah, perkasané por-poran
Jejekané sing ngisyaratna gedé pengrasané
apa kuwé tanda pengandelané kowen
ngrasup nang awaké enyong?

Gelem busung, nyong sumpah maring kowen, anakku
mènèhi kesempatan kowen ngomong
luwih aji katimbang wedi maring dunya!
Nyawang uleté kowen nang njero wetengan
nyong cepet nyadari
ngadepi aniaya drita saporèté
nyatané nyong uga nduwèni keuletan
...................................................................

Gelem busung
sapa-sapa menungsanè ora jègod angon waktu
saluguné urip menungsa bakal kajogan
kejaba menungsa sing nyekeli waton
lan sapa sing ngamalna kebejikan jiwa
lan sapa sing bèla maring kebenaran
lan sapa sing bisa ngolah kesabaran.


Tegal, Kamis 22 Juni 2006


DICOMOT saka Sajak WS. Rendra sing judulé “Perjalanan BuAminah”, Minggu Pagi No. 16 Tahun ke-48 Minggu Ketiga Juli1 994.