Jumat, 30 Januari 2009

BAG II DARI NOVEL PENGENDARA BADAI


Bagian II

PENGENDARA BADAI
Novel: Karya Lanang Setiawan


Lawatan ke Indramayu
Bak halilintar yang sangar menyambar tiang-tiang listrik, antene tivi dan pemancar radio, Sastra Tegalan kian mencuat menjadi gelegar dentuman di tengah ingar-bingar arus deras keriuhan kesusastraan nasional. Sastra Tegalan begitu menggoda, menderu, meluap-luap, segar, dan menggelitik di jiwa-jiwa yang penasaran. Sastra Tegalan seperti halnya goyang Inul, sekali ngebor kalayak pun gempar. Sastra Tegalan adalah hulu ledak dalam keputusasaan para sastrawan yang jenuh menanti karya masterpiece tapi tak kunjung datang. Ia menjadi sebuah breaking news yang memaksa kita untuk menyimak di mana kami sedang bergerak memperjuangkan budaya lokalsentris.
Malam Minggu 28 Januari 1995 kami diundang oleh komunitas Forum Sastra Indramayu (FSI) untuk pentas. Ketika undangan itu aku terima dari penyair Nurochman Sudibyo YS, aku menyambutnya dengan perasaan penuh bara antusias seperti magma gunung yang meluncur santer melelehkan benda-benda. Maju, serang, pantang mundur bergerak menggerung, dan berkobar tanpa kompromi itulah semangat kami. Dengan tergopoh-gopoh aku kembali mondar-mandir menyambangi rekan-rekan seperti Denok Harti, Abidin Abror, Nurngudiono, Yono Daryono, Nurhidayat Poso, penyair gaek Widjati, dan dalang glètak Ki Bagdja. Kepada mereka aku bakar gairah libido kebangkitan kesenian rekan-rekan untuk beramai-ramai membadai, meradang, berderai-derai, mengibas-ibas dan siap menindas hegemoni para sastrawan Indramayu.
“Kita harus bahu membahu memperjuangkan Sastra Tegalan. Sudah telanjur kita menggulirkan satu fenomena Tegalan menjadi puncak kreatifitas orang Tegal agar bahasa kita tak lagi diremehkah, dianggap kampungan dan marginal. Kami mampu menunjukan eksistensi Tegalan menjadi sebuah karya sastra yang bermutu” kataku memprovokasi Nurngudiono ketika beranjangsana ke tempat tinggalnya.
“Aku siap mendukung gerakané énté, Jon. Bahasané dèwèk kudu dijunjung tinggi untuk menggapai kemulyaan kota kita yang tak pernah sepi dari geliat budaya”
Perasaanku berbunga-bunga. Aku melihat garis wajah keseriusan Nurngudiono lewat kata-katanya yang dia muntahkan. Selama ini aku memang mengetahui rasa simpati, kepedulian dan minat dia terhadap gerakan Tegalan ini menjadi satu ikatan emosional primordial yang terus kami pupuk.
“Ngko, nyong ora pan maca puisi tapi bermonolog. Naskah sudah aku buat judul Jobong”
“Soal materi, terserah kowen. Aku tak mau intervensi pada proses kreatifmu”
“Abidin pibén, Jon?”
“Abidin Abror masih tetap bermonolog, membawa lakon Kandang Bèbèk Mambu Bèbèk,”
“Tolih wis maring Harti?”
“Harti sudah aku hubungi lewat telpon. Dia berkenan membacakan Tembangan Banyak. Mamet ada kesibukan, absen dingin gak ikut lawatan budaya. Yono Daryono dan Nurhidayat aku peta-kompli untuk pemandu diskusi. Spesialisasi mereka ada di situ,” aku menjelaskan kedudukan kawan-kawan secara proporsional.
“Ya apik, pas. Yang lain?”
“Widjati,”
“Ya bagus. Penyair tua kudu diajak”
“Ya wis. Nyong tak maring Udi dan Ki Bagdja,” yang aku maksud Udi adalah Mas’udi Ach. Jeparan.
“Ya Jon. Selamat berjuang!”
Motor Yamaha butut jebolan tahun 74 aku pacu menuju wilayah Talang. Hari sudah sore, semburat cahaya kemuning menyulap langit lazuardi. Aku harus ketemu Mas’udi. Ini penting soal kesehatanku yang gampang drop. Dia tukang pijat refleksi dan aku membutuhkan dia untuk jaga-jaga kalau nanti dalam perjalanan ke Indramayu aku ambruk.
Ke arah selatan aku memacu kendaraan seperti kuli panggul mendaki bukit. Tidak boleh ngebut, karena semakin laju kendaraan berlari kencang, mesin cepat panas, suara knalpot bakal berderum meraung-raung sampai pada detik selanjutnya drop seketika.
Suatu hari aku pernah punya pengalaman yang bikin panik menghadapi motor bututku ini. Motorku baru saja diservice, tentu kondisi mesin motor lebih fit dari sebelumnya. Saat motor aku kendarai dan berboncengan dengan Endhy Kepanjen sehabis liputan berita, aku melintasi jalan raya menuju Slawi. Hilir mudik kendaraan angkutan, becak, motor dan dokar berseliweran. Para tukang pemecah batu, kuli angkut, buruh pabrik teh, dan pejalan kaki tampak lalu lalang. Di antara keramaian itu, aku tancap gas untuk mempercepat laju kendaraan. Tiba-tiba motorku mengalami kejadian aneh. Bunyi mesin berderum menjerit-jerit namun laju roda motor sontak berhenti. Mesin tetap menyalak bahkan suaranya semakin keras. Aku matikan stop kontak tetapi bukannya bunyi mesin berhenti, justru berderum semakin memekakan telinga seperti mengamuk. Seketika aku berinisiatif dengan cara mencabut kabel tutup busi. Bersamaan dengan tercabutnya penghantar listrik itu mestinya deruman mesin terhenti, malah terjadi keganjilan. Serta merta lidah api memercik dan terus membakar kerangka mesin.
Mendengar bunyi mesin yang menyalak seperti lolongan srigala dan melihat percikan api yang berkobar, orang-orang di sekitar bergegas mengampiriku.
“Kenapa mas? Bisanya kebakar?”
“Nggak tahu ini,” jawabku dengan perasan tak menentu. Sementara bunyi mesin terus menderum seperti sapi korban yang sedang sekarat.
“Pasir, pasir, nganggo pasir mas,” cetus salah seorang dengan nada tinggi.
Endhy pun sigap dengan mata awas mencari pasir. Endhy menghimpun pasir yang berserakan di pinggir jalan. Dengan kedua tangannya, pasir segera ditaburkan ke mesin yang terbakar. Tetapi api tak kunjung padam, dia pun panik.
“Waduh, keprimèn kiyé?” Endhy geligapan, hilang pikir.
Aku berlari ke warung makan untuk minta bantuan. Seorang lelaki tua pemilik warung menyodorkan karung goni basah.
“Patèni nganggo kiyé, mas” katanya.
Aku raih karung goni basah dan bergegas memadamkan api. Aku dibikin shock menghadapi tragedi itu. Musibah ini jarang tapi nyata. Sebenarnya kejadian itu terbilang lucu, tetapi tak ada kesempatan untuk menertawakannya. Kecuali panik, panik dan panik. Nah, sejak peristiwa itu aku tak lagi berani memacu motorku dengan kecepatan di atas kenormalan. Aku trauma.
Angin sore menerpa wajahku. Jalanan padat, lalu lalang kendaraan berseliweran. Aku melarikan motor bututku dengan kecepatan sedang-sedang saja. Yang penting sampai tujuan, alon-alon asal kelakon begitu orang Jawa bilang. Dan memang tak berapa lama motorku mendarat di depan rumah Mas’udi Ach Jeparan.
Aku mengetuk pintu. Suara langkah kaki mendekat. Pintu terkuak.
“His, dengarèn temen sore-sore maring nggonku, Nang”
Udi mempersilakan aku masuk dan aku duduk di kursi penjalin. Kondisi rumah rekan SMEP ini masih belum dilapis semen, tampak jelas susunan bata di tembok ruang tamu dan kamar. Meski demikian aku merasakan status dia sudah mulai menggeliat. Secara ekonomi dia sedang naik dan justru setelah berumahtangga. Terbukti dengan menjorokan rumahnya ke depan sekitar dua kamar berukuran 3x4 meter dengan ruangan tamu yang memanjang. Sebelumnya hanya satu kamar dengan MCK yang berhimpitan seperti rumah burung dara.
“Ana kabar apa, Nang?” Udi membuka percakapan.
“Ini Di, kami mau lawatan Sastra Tegalan. Kami diundang pentas ke Indramayu. Mereka penasaran dengan hebohnya berita Tembangan Banyak” kataku.
“Bener Nang. Aku mengikuti berita gègèran di koran-koran, Sastra Tegalan semakin moncer. Sejak énté menerbitkan Lembaran Kontak dan memuat sajak Nyanyian Angsa yang kamu terjemakan menjadi Tembangan Banyak, khasanah kesusastraan Indonesia geger. Aku salut maring kowen! Énté berhasil gawé gempar. Dan agaknya jagat sastra perlu dibikin ‘ribut-ribut’ biar Tegalan mencuat. Kik kik kik kik….” sambil terpingkal-pingkal Udi menimpali omonganku dengan kebiasaan menggunakan bahasa campuran antara Tegalan dan nasional.
Aku merasakan kebenaran omongan Udi. Keberadaan kesusastraan nasional memang perlu dibikin ‘ribut-ribut’, ekspresi seniman tak boleh tamat. Dan kawanku ini memang menjadi salah satu semangat pergulatanku dalam dunia sastra, sekaligus pelanggan buku-buku sastra lokal yang kerap aku sodori dan dia tak pernah mampu menolak untuk berpartisipasi.
“Tujuanku ke sini, maksudé, kowen pan tak jak maring Indramayu. Kowen kudu mèlu sebagai ‘dokter’ pribadiné enyong. Énté kan paham kondisi rentan tubuhku yang gampang drop?”
“Iya ya ya…paham, paham. Kik kik kik…..” Udi manggut-manggut. Wajahnya merah, matanya menyempit. Ia cekikikan, ciri khas kalau dia ngomong.
“Nah, laka masalah kan?”
“Siap! Aku mèlu. Hitung-hitung plesiran dan tambah pasien”
Ada sekitar satu jam aku ngobrol lantas pamitan. Tugasku sekarang tinggal menghubungi Ki Bagdja. Motor kupacu, tujuanku ke utara balik ke arah asal. Di Pagongan motor kubelokan ke kanan, memasuki wilayah Desa Sutapranan trus bablas ke timur dan menembus perbatasan Desa Kaligayam. Obongan bata merah dan sawah tampak di kiri jalan. Pelan-pelan motor melaju lurus ke utara. Langit mulai kelam, bayangan pohon bak jelaga pantat ketel. Hewan samber mata bertebaran dari berbagai penjuru menabrak-nabrak wajahku. Asap obongan bata membumbung dan membuat hamparan sawah di kiri kanan berkabut. Motorku memasuki Desa Kademangaran yang penduduknya banyak menyandarkan hidup sebagai buruh cetak bata dan penghasil mebel.
Lampu-lampu rumah penduduk tampak berpijaran dari kejauhan. Tiba-tiba motorku macet. Aku turun membuka jok dan tutup tengki bensin. Wadauw! Bensin taab, kosong plong, tak setetes pun tersisa di tangki. Motor aku tuntun mencari kios. Seratus meter baru ada penjual bensin dan dua liter motor kuisi.
Motor kembali aku stater kemudian melesat dan melesat lurus ke arah utara. Di perempatan lampu merah, motor kubelokan ke kanan merayap di jalan raya Langon, Kelurahan Slerok. Memasuki jalan kota kelahiranku ini, deretan penjual martabak telor dan manis serta tahu goreng, pisang goreng, roti bakar, buah-buahan, dan tetek bengek dagangan digelar. Berjubel pembeli makanan dan sandangan tampak juga di pusat pembelanjaan di kanan jalan.
Malam telah berdandan sempurna ketika aku memasuki wilayah Desa Mejasem Timur, di mana Ki Bagdja bertempat tinggal seorang diri.
“Édan ah! Srengèngé wis surup, sampèyan durung ngambah umah. Ana kabar apa, Nang?” sapa Ki Bagdja menyambut kedatangaku di rumah yang berdinding geribik.
“Perjuangan Ki, perjuangan…” kataku asal mecotot.
Aku lihat Ki Bagdja baru saja menyalakan lampu teplok dan gantung. Lampu teplok dia letakan di ruang tengah, sedang lampu gantung dia pasang di ruang tamu. Ki Bagdja duduk di kursi papan buatan sendiri, aku meletakan pantat di kursi panjang laiknya disebut lincak.
“Tak nggodog banyu dingin ya? Soré-soré angger moci pikiran kayong padang. Wis, kowen ngeluk boyok dingin. Digawé kepènak baé, Nang….”
“Okèm Ki…”
Ki Bagdja, dalang glètak dari Desa Mejasem Timur, Kecamatan Kramat itu berusia 71 tahun. Julukan yang dia sandang sebagai dalang glètak amat kondang karena saat dia mendongeng cukup menggeletak di selembar tikar. Ada juga yang menyebutnya sebagai dalang tutur karena memang bertutur. Tapi ada pula menyebut dalang tanpa wayang karena memang saat dia mendalang tanpa dibantu media wayang. Yang lain menyebutnya sebagai dalang maca, sebutan dari masyarakat yang terfokuskan pada pembacaan atau penuturannya.
Aku menemukan dia dua tahun silam. Perawakan Ki Bagdja kecil pendek seperti jago kate, namun dalam dirinya memantik gelora api yang membesar. Dia bukan sembarang dalang yang patuh pada pakem, dia siap menyelaraskan diri dengan kemauan si penanggap.
Suatu siang ketika kali pertama aku dan Gaharu mendatangi dia di gubuknya, kami tawarkan job untuk sebuah hajat pagelaran bagi masyarakat umum. Kami menghendaki dia mengangkat lakon baru bukan legenda atau babad klasik yang sering diusung dalam pementasan ketoprak seperti lakon Minakjinggo, Damarwulan, Joko Tingkir, Kamandoko atau sejenisnya.
“Yang kami maui adalah lakon baru dan menggunakan Bahasa Tegalan, Ki” kataku.
“Kalau ada catetané kenapa aku tampik? Nyong kiyé ibaraté pedagang, menolak kemauan si penanggap sama artinya menolak rejeki, ora ilok. Aja kuwatir mas Lanang, sampeyan siapna baé catetané, ngko tak pelajari temenanan. Pokoknya mas Lanang tahunya mateng baé ” tandas Ki Bagdja.
Yang dimaksud catetané oleh Ki Bagdja adalah sebuah naskah. Itulah yang membuat kami tertarik. Maka dua hari setelah pertemuan itu kami datang lagi dan kusodori naskah Lenggaong atawa Asmara Nyi Ronggèng. Lakon ini adalah folklor tragedi dari dua desa antara Desa Bumiharja dan Mangunsaren di Kecamatan Tarub, Kabupaten Tegal. Inti cerita kedasyatan perebutan kekuasaan antara lenggaong Pungawaren dari Bumiharja dan lenggaong Mangunsaren. Kedua musuh bebuyutan itu saling berseteru tanpa pernah mau berakhir. Mangunsaren sakti tapi Pungawaren lebih sakti tak terkalahkan. Mangunsaren penasaran dengan kesaktian Pungawaren, kemudian menyusupkan ronggeng Sailah, gendakannya. Dia ditugasi untuk berpura-pura menjadi gendakan Pungawaren. Dengan jalan itu, rahasia kesaktian Pungawaren yang tersembunyi di bayangannya sendiri tersingkap.
Suatu siang kedua lenggaong itu bertarung habis-habisan. Mangunsaren datang ke gubug Pungawaren berteriak-teriak ganas menantang.
“Wareng! Ke luar kamu sekarang! Keluaarrrrr….”
Dari dalam gubuk, Pungawaren mencolot.
“Tengik biadab kamu Mangun! Kali ini kamu mampus ha ha ha ha….”
“Jangan umbar suara Wareng! Sekarang juga hadapi aku. Perselisihan kita belum selesai, tak ada pesta yang tak pernah berakhir. Sekarang kita tuntaskan! Siapa yang bakal mampus dan siapa yang digjaya. Kamu atau aku yang berkalang tanah?” suara Mangunsaren kelihatan bengis. Wajahnya sangar, merah padam, haus darah.
Dengan trengginas Pungawaren mengejar Mangunsaren yang berlari ke sebuah tanah lapang benderang di bakar terik matahari. Sejurus kemudian mereka berhadap-hadapan. Wajah mereka penuh dendam, mengandung kebencian yang mereka pendam berbilang tahun. Tiba-tiba keris Mangunsaren secepat kilat menembus dada Pungawaren. Namun begitu trampil dia menghindar amukan Mangunsaren. Adu laga kesaktian semakin seru dan seram. Ketika kemudian ada kesempatan, keris Mangunsaren menghunjam bayangan raga Pungawaren yang membayang di tanah lapang. Seketika itu tubuh dia oleng. Darah mengucur di tubuh Pungawaren. Kembali Mangunsaren menancapkan keris sakti berulangkali ke raga Pungawaren. Darah kembali deras mengucur muncrat di mana-mana, membuat tanah lapang menjadi merah dan bau anyir. Mangunsaren terbahak membahana melihat tubuh Pungawaren sekarat, menggelepar di terik panas matahari yang membakar tanah lapang pesawahan.
“Ha ha ha ha ha….”
Berulangkali Mangunsaren tertawa penuh congkak. Dari jauh ada kidung kematian yang menyayat-nyayat terbawa hembusan angin. Suara itu makin lama semakin kentara, menembus telinga Pungawaren. Dia ingat betul suara yang tak asing lagi adalah suara ronggeng Sailah, gendakan lenggaong Mangunsaren yang telah melakukan apus kromo terhadap dirinya.
Tak berapa lama Sailah muncul dan mendekati Mangunsaren. Peronggeng asal Desa Kedungbungkus itu memiliki roman muka seperti bintang Bollywood Aishwarya Ray. Tapi bibirnya yang sensual dan mata yang sendu memancarkan daya tarik liar seperti bintang papan atas Angelina Julie dari Hollywood itu. Maka tak heran jika Pungawaren pun tergila-gila.
Dengan mata iblis dan bergelayut manja di dada Mangunsaren, ronggeng Sailah menyaksikan Pungawaren menggelepar kelojotan di tanah sawah seperti leher ayam terpenggal menjelang ajal mendekat dengan penuh luka bertabur darah. Namun di tengah keadaan sekarat itu, bola mata Pungawaren masih awas mengenali sosok Sailah dan aroma tubuhnya yang menusuk hidung. Tak berapa lama ia kemudian menebar mantra-mantra magis berbau kutukan.
“Sailah, Mangunsaren! Sampai akhir zaman nanti, keturunan kalian tak bakal rukun menyatu. Mereka akan terus satru bebuyutan ha ha ha ha……”
Sukma Pungawaren merenggang, hilang gandra. Bablas membumbung ke awan-awan kapas yang berarak.

*

Aku terpukau ketika hari pementasan lakon Lenggaong atawa Asmara Nyi Ronggèng itu digelar, Ki Bagdja memainkannya dengan penampilan penuh gelora. Aku dibuatnya terpana melihat dia menumpahkan ekspresi demikian total seperti tak terkalahkan oleh penampilan aktor monolog. Meski usia dia sudah uzur, tapi cara dia menyuguhkan pertunjukkan itu mampu memikat penonton. Selama dua jam lebih dia mengontrol suara dengan prima. Tiap-tiap karakter tokoh dapat dikuasai secara matang. Kadang-kadang dia melolong, menghentak-hentak, mendayu-dayu, menyanyi, bringas, mengeram, atau mendesis sesuai peran tokoh yang dia bawakan seperti menjadi naga, macan, hujan, api, petir, ronggeng dan pada gilirannya kembali berubah menjadi tokoh sentral Mangusaren dan Pungawaren ditingkah hiruk pikuk suara gamelan yang dia borong melalui mulutnya. Tak cuma itu, Ki Bagdja juga memberikan sajian ekspresif yang tak pernah terduga dengan gerakan silat ketika kedua lenggaong itu saling menerjang, meradang, menangkis, menendang, atau menghilang.
Pagi itu penampilan dia menakjubkan dan mencekam, disaksikan oleh dua truk pasir yang mengangkut pemuda dari dua penduduk desa Mangunsaren dan Bumiharja, sampai-sampai Kepala Desa Bumiharja turut mengawal mereka untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan. Aku sendiri merinding melihat Ki Bagdja seperti kelebonan ruh dari dua tokoh itu. Belum pernah aku menyaksikan dalang seperti dia. Beruntung sekali kami menemukan Ki Bagdja hingga masyarakat kotaku berkesempatan melihat aksinya. Aku mengagumi vitalitas dia, kegilaan dia, dan totalitas dia. Aku seperti dilanda birahi dan merasa kecil dengan ketangkasan Ki Bagdja bertutur atau gerakan tubuhnya yang lincah ekspresif, mampu menyeret-nyeret penonton untuk tetap terpaku khusyu di tempat sampai usai pementasan.
“Ki Bagdja bermain sangat total. Dia seorang empu sastra lisan, dalang tutur generasi terakhir yang tersisa dari Tegal. Saya belum pernah melihat orang seusia 71 tahun begitu total dan enerjik. Penampilan Ki Bagdja menjadi pembelajaran berharga bagi seniman-seniman muda yang klelar-kleler!” ujar Nurhidayat Poso usai pementasan yang berlangsung di aula SMP Negeri 10 Tegal, Minggu 18 April 1993 itu.
Dari penampilan perdana itulah yang kemudian menguatkan aku untuk menyertakan Ki Bagdja dalam Lawatan Sastra Tegalan ke Indramayu diantara para seniman Tegal.

*

Aku tersadar dari rehat ketika mendengar langkah terseret menuju ruang tamu. Agaknya Ki Bagdja telah selesai merebus air dan menuangkan dari ketel ke poci tanah. Bunyi krucuk-krucuk air yang dituang Ki Bagdja memaksa aku terbangun seketika.
“Eh Ki…sori kyèh, keturon” ujarku sambil beranjak duduk.
“Ah dènak baé mas Lanang, aja rikuh-rikuh nang nggonku. Mbokan tèsih kesel, turu maning ora papa…” ujar Ki Bagdja sambil menuang air di cangkir.
“Ora Ki. Wèdangé wis mateng?”
“Ya’u! Bulak-bulak nemen kyèh. Pokoké yahèr…”
Begitulah percakapan kami. Kadang kala bahasa yang kami pakai mencuat tanpa kaidah-kaidah bahasa yang normatif dan sekat strata usia atau status sosial. Semua itu justru bagian dari rasa keakraban dan kelumrahan kami dalam sebuah tradisi pergaulan.
“Ki, ada job ndalang di Indramayu sampèyan siap?” kataku sejurus kemudian.
“Siap. Apa jaré kono, nyong nurut kowen, Nang”
“Tapi lakoné gudu Lenggoang maning Ki”
“Sih apa?”
“Anusapati”
“Anusapati? Nyong tau krungu lakon kuwé tapi perlu belajar lagi. Kowen gawé catetané oh ya?”
“Naskah sudah siap, mung tak rombak gaya moderen. Sampèyan tinggal ngikuti alur ceritané”
“Ah, kayong bèrès nemen kuwé Nang. Digawé moderen?”
“Ya’ul Ki, bèn aja monoton!”
Posisi duduk Ki Bagdja makin maju. Bahasa campuran yang kami gunakan bukan hal asing. Kami sudah terbiasa pakai bahasa gado-gado.
“Dalam cerita asli, Ken Angrok sebagai raja Singasari tapi di naskah yang aku bikin, peran Ken Angrok sebagai bos gedèan di PT. Gudel Ki Singasari. Ken Angrok mati di tangan Anusapati juga bukan ditusuk oleh keris melainkan dibunuh dengan pistol buatan Mpu Gandring” aku menjelaskan inti cerita. Ki Bagdja terkekeh-kekeh. Deretan gigi depannya masih terlihat utuh dan bersih. Ki Bagdja biasa melakukan gosok gigi dengan menggunakan abu dari tungku.
“Kak kak kak…ngko tak gawé ngèdan dan aku mau ndapuk dengan laku compong-compongan…” katanya.
“Bagus! Aku seneng sampèyan main compong-compongan…”
Dan kami tertawa ngakak.

*

Jam setengah sepuluh pagi, kami; para rombongan Lawatan Sastra Tegalan ke Indramayu diangkut mobil. Kami bergerak menuju arah barat. Aku duduk di belakang sopir berdampingan dengan Udi. Di belakangku Ki Bagdja dan berderet ke belakang di kiri kanan duduk Nurngudiono, Denok Harti, Nurhidayat Poso, Widjati, Yono Daryono dan Abidin Abror.
Seperti biasa, kawan-kawanku menggoda dengan ledekan.
“Plastik kresek disiapna Di, mbokan Lanang muntah” kata Nurngudiono mulai memancing ledekan. Udi yang dipanggil terkekeh-kekeh seraya menengok ke belakang.
“Beres Bah!” sahut Udi dengan menyebut nama ‘Abah’ sebagai panggilan akrab Nurngudiono.
“Kreseké sing gedé sisan Di…” timpal Abidin Abror.
Gasakan atau ledekan kawan-kawan terus mengalir. Aku seperti biasanya cuma cengar-cengir. Aku memang salah satu teman mereka yang paling suka mabok jika berada di dalam kendaraan. Dan betul juga, ketika bus baru saja meninggalkan perbatasan Brebes memasuki daerah Cirebon, perutku mulai dihajar rasa mual. Aku ngulet-ngulet seperti mesin molen dalam perutku menggiling adonan semen pasir dan batu krikil. Keringat dingin bercucuran, aku lunglai dengan badan terasa anyep. Kepala aku sandarkan di jok kursi, berusaha mempertahankan kondisi pisik yang mulai sekarat.
“Di…kondisiku gak karuan ni. Pijat…” aku berbisik ke Udi.
Tangan kiri kuulurkan kepadanya. Lalu dengan ibu jari dan telunjuk, dia menekan-nekan. Aku meringis menahan nyeri dengan leher dan kepalaku tergetar-getar. Bus terus menderu, merayap, dan menyelip diantara bus-bus lain.
Udi mengolesi minyak angin di kedua keningku sambil ditekan-tekan. Lalu helai-helai rambutku ditarik-tarik. Aku kembali nyengir kuda dan entah berapa lama dia menekan jari-jemari kedua tanganku. Aku merasakan kondisi kesehatanku mulai sedikit demi sedikit berubah. Rasa pening berangsung sirna meski rasa mualku sedikit bergolak di dalam perut namun wajahku kembali dialiri darah segar dan pandangaku tak lagi samar. Aku bregas lagi sampai ke tempat tujuan.
Bus rombongan turun persis di depan rumah Nurochman yang kebetulan bercokol di tepi Jalan Raya Jendral Sudirman 69 Indramayu. Kami kemudian ditampung di rumah dia. Wong Tegal yang mengembara di Indramayu ini sudah berpuluh tahun menetap dan beranak pinak di kota mangga itu.
Nurochman Sudibyo aku kenal ketika di Tegal ada perhelatan Perkemahan Penyair Nasional tahun 1994. Dia terkesan dengan pembacaan sajak Tembangan Banyak saat dibacakan oleh Enthieh dalam parade baca puisi di kebun mangga dengan penerangan 15 watt. Acara malam itu cukup ramai diikuti 45 penyair dari penjuru nusantara. Salah satunya Nurochman yang turut ambil bagian. Dia terkesan atas inovasi Sastra Tegalan yang sedang menjadi perbincangan oleh banyak sastrawan Ibu Kota. Dari sanalah dia kebelet mengusung Sastra Tegalan ke Indramayu. Tak berapa lama Nurochman berkawat kepadaku dan kami menyambut tantangan itu!

*

Malam hari rombongan Tegal menginap di rumah Nurochman. Penyair Adlan Dai, O. Ushj Dialambaqa, Fajail Ayad Syahbana, Saptaguna, dan Supali Kasim yang juga redaktur budaya Pikiran Rakyat Edisi Cirebon, berduyun menemui kami. Suntuk gayeng kami ngobrol tentang geliat sastra. Menurut Saptaguna, perkembangan kepenyairan Indramayu saat ini sedang dalam kondisi kolap.
“Iklim berkesenian di Indramayu sedang menghadapi kondisi lesuh darah. Kami membutuhkan pemantik berkesenian agar gairah kami bangkit dari masa-masa stagnan. Karena itu kami mengundang teman-teman Tegal” aku Saptaguna.
“Secara pribadi saya cemburu terhadap gejolak kreatifitas yang senantiasa dipupuk oleh kawan-kawan Tegal. Kami perlu rangsangan” sambung Fajail Ayad Syahbana.
“Di sini kan ada raja penyair dari Cirebon? Ngapain dia?” yang dimaksud raja penyair oleh Yono Daryono tak lain adalah penyair Ahmad Sjubbanuddin Alwy. Aku kenal dia, karakter orangnya menghantam karena referensi yang dimiliki cukup mumpuni. Tah heran kalau dia gemar membantai saat terlibat dalam acara-acara diskusi sastra. Tapi aku tahu, maksud Alwy sekadar adu argumentasi sebab manakala lawan diskusinya mampu mematahkan, dia dengan besar hati mau mengakui keunggulan dan kecerdasan orang lain.
“Karena dia raja, itulah masalahnya tak mau turun tahta…”
Kami tertawa cekakakan mendengar pernyataan penyair O. Ushj Dialambaqa. Ada sekitar dua jam kami ngobrol diselingi cekakakan dan minum kopi. Pukul sebelas malam, mereka cabut diri. Sementara Supali Kasim memintaku untuk wawancara eksklusif. Aku sebetulnya capai. Guncangan perjalanan dari Tegal ke Indramayu sempat mengaduk-aduk isi perutku, menyebabkan kondisi fisikku butuh istirahat. Namun sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia jurnalis, rasanya tak sampai hati menolak Supali Kasim. Malam itu aku terpaksa menanggalkan acara tidur.

*

Di beranda rumah, aku, Ki Bagdja, Mas’udi dan Supali duduk bersila ditemani kopi dan berbungkus-bungkus rokok. Yono Daryono, Nurngudiono, Widjati, dan Abidin Abror tak kuat lagi menahan kantuk. Mereka masuk kamar, sedang Nurhidayat Poso malah sudah mendekur. Sementara Denok Harti sejak lepas mahgrib telah menyelonjorkan kedua kaki di kamar tersendiri. Tempat tidur kami disatukan dalam satu ruang, berjejer seperti jemuran ikan.
Malam di luar kian menisik ke pusat keheningan. Inilah malam kali pertama aku ngambah Indramayu, wilayah yang merebak subur kesenian tarling dan memiliki balong minyak tanah yang menghasilkan devisa amat menghiurkan. Tapi anehnya, masyarakat di sana hidup menjerit karena faktor ekonomi yang menjerat menyebabkan mereka terpaksa menjadi TKW di negara-negara Timur Tengah atau menjajakan tubuhnya sebagai pelacur, dicangkuli saban hari dari berbilang tahun tanpa mampu dientaskan.
Suatu pagi di tahun yang persisnya aku lupa, aku berkunjung ke Losarang. Wilayah dari sebuah daerah kecamatan di Kabupaten Indramayu begitu asing aku kenali. Tepatnya aku bercokol di Desa Krimun di mana kakaku tinggal dan berumah tangga dengan mendapat isteri orang dari sana.
Pada pagi itu kakak isteri kakaku –sebut saja Mas Darmo, mengajak jalan-jalan di sekitar wilayah Krimun. Kuikuti saja ke mana Mas Darmo mengajaku pergi melewati gang-gang dan rumah penduduk yang berberpagar anyaman bambu. Pada sebuah rumah kami kemudian bertamu. Terdengar nyanyian dangdut Demayonan dari tipe recorder yang keras menghentak-hentak ketika kami masuk rumah itu. Tapi pertama kali aku masuk ruang tamu, di meja berderet minuman berakohol. Dua wanita cantik duduk menemani tiga lelaki. Mereka ngobrol, minum dan merokok. Sambil duduk di meja yang lain, pikiranku jadi heran dan tak mengerti sesungguhnya aku ini sedang berada di tempat apa? Aku merasa asing karena banyak juga lelaki ke luar masuk kamar dengan perempuan muda, cantik dengan dandanan menghiurkan. Herannya juga, perempuan-perempuan di situ dengan enaknya menyedot dan menghempaskan kepulan asap tanpa canggung. Rumah apa ini?
“Mas, ini rumah siapa sih? Teman mas?” aku mencoba bertanya pada Mas Darmo.
“Ini lokalisasi mas”
“Astafirullah….” aku merajuk. Sekarang baru aku tahu siapa-siapa saja yang menjadi penghuni di rumah yang sedang kami singgahi ini. Wajar saja antara lelaki dan perempuan tak sungkan-sungkan mengisap rokok dan menenggak minuman memabokan. Uih! Baru kali ini kakiku ngambah daerah hitam. Edan, di tengah kampung yang pada penduduk ada bercokol lokalisasi, aku mrinding!
“Kalau mau coba, nanti saya suruh Mami untuk memilih yang masih baru dan muda. Mau?” kata Mas Darmo dekat-dekat di telingaku.
Aku tak tahu apa yang dimaksud ‘Mami’ oleh Mas Darmo. Tapi aku cepat-cepat menggelengkan kepala dan minta segera pulang. Kami meninggalkan tempat maksiat itu dengan perasaan campur aduk. Di jalan Mas Darmo menerangkan, bahwa perempuan-perempuan yang menjajakan tubuhnya itu sebagai cermin dari ketakberdayaan masyarakat Losarang dalam menyikapi kondisi ekonomi yang mengharu biru.
“Mereka melakukan itu karena kebutuhan. Tak ada jalan lain karena keterpurukan mereka dari hempasan ekonomi. Mereka menyadari betul apa yang sedang dijajakan, tapi itulah solusi terbaik mereka”
Tenggorokanku seperti menelan kelu atas penjelasan Mas Darmo. Kenangan itu akhirnya membekas dan aku mengutuki para penguasa, pejabat, dan para anggota Dewan yang terhormat di Indramayu itu karena tak mampu mengentaskan mereka dari kehidupan yang menyedihkan. Aneh, aneh sekali! Di daerah yang berlimpah minyak tanah, masih berjibun masyarakat yang hidup dengan menjual diri.

*

Menghapus Rasialisme Bahasa
Jalanan di depan rumah Nurochman kian lengang. Supali Kasim memasang dua batu baterai pada tipe recoder. Kemudian dia membuka wawancara denganku.
“Apa yang melatar belakangi Anda menerjemahkan sajak Nyanyian Angsa menjadi Tembangan Banyak?”
“Saya ingin Bahasa Tegalan tidak hanya digunakan sebagai bahasa lisan dan marjinal. Keinginanku menerjemahkan sajak itu agar Tegalan menjadi bahasa tulis sastra yang berkelas dan punya daya sengat. Perlu juga saudara ketahui, selama berabad silam kami merasa dibelenggu dan dijajah oleh bahasa wetanan Solo sehingga bahasa kami terasing dan kelu. Para pejabat dan kaum pendidik yang asli wong Tegal pun sok bergaya ningrat dengan eksyen kewetan-wetanan. Mereka malu menggunakan dialek enyong-kowen karena menganggap bahasa kami itu wagu, lucu, dan dlawèran” kataku.
“Umumnya, orang menterjemahan sajak menggunakan bahasa Asing, tapi Anda nganeh-nganehi menggunakan Bahasa Tegalan?”
“Dalam batok kepala saya, terjemahan sajak yang dilelehkan dan dibumitebarkan menggunakan teks bahasa Asing, bukan sesuatu yang istimewa lagi. Bahkan berkesan latah, biasa, umum, dan tak memiliki daya berontak. Saya sebagai anak muda yang menggenggam bara semangat, tentu tak mau meniru apa yang sudah dikerjakan oleh banyak orang. Saya ingin menancapkan tonggak fenomena baru dalam blantika kesusastraan nasional yang belum pernah dieksplor oleh siapapun”
“Bagaimana Anda punya pikiran norak semacam itu?” tanya Supali Kasim makin menderodot pikiranku.
“Saya terbiasa bergaul dalam pola keliaran kreatifitas para seniman yang ada di Teater Puber, di mana saya ada di dalam teater itu tentu ruh-nafas kesenian saya amat dipengarui oleh rekan-rekan” aku menarik nafas.
“Anda betul-betul nekat” Supali Kasim mulai menyerang.
“Saya rasa tidak! Gerakan yang kami lakukan ini bukan sebuah kenekatan. Kami sadar betul ingin menjadi anjing penjaga dari kepunahan bahasa lokal. Saudara tahu? Dalam terminologi politik kebangsaan, kata bahasa terkait dengan pasal 36 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa bahasa negara ialah Bahasa Indonesia. Sedangkan mengenai bahasa daerah disebutkan dalam pasal 32 (ayat 2) bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Dalam penjelasan pasal 36 UUD 1945 juga disebutkan bahwa ‘di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik, --misalnya Bahasa Jawa, Sunda, Madura dan seterusnya sebagainya. Bahasa-bahasa itu dihormati dan dipelihara juga oleh negara. Bahasa-bahasa itupun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup. Dan sebagai warisan budaya, bahasa lokal itu telah diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 36 dan UU Otonomi daerah ps. 22 huruf m jelas-jelas seluruh komponen masyarakat lokal hendaknya memelihara dan melestarikan warisan sosial budaya. Salah satu warisan tersebut adalah bernama Bahasa Tegal. Jadi, apa yang kami lakukan bukannya nganeh-nganehi atau ngawur-awuran. Maka saya pikir para pejabat, kaum yang sok myanyini itu perlu menengok serta mendalami kembali baik UUD 45 maupun UU Otonomi Daerah…” kataku.
Aku melihat Supali Kasim terkesima dengan penjelasan panjang lebarku yang sok keminter memahami perundang-undangan. Sorot mata dia kulihat berbinar-binar menyimak butiran kata yang melesat dari mulutku, dia sadap lewat tipe recoder. Dia kemudian meminta break wawancara untuk mengambil beberapa gambar phoseku.
“Maaf mas, wawancara ditunda. Aku ambil gambar mas dulu, nanti dilanjut”
“Oh ya. Enaknya di mana?” tawar lepasku.
“Udah di sini aja. Sekalian aku minta juga gambar Ki Bagdja. Boleh kan Ki?”
Ki Bagdja yang sedari tadi duduk di sebelahku mendengarkan sambil mengisap rokok itu, menatap Supali Kasim.
“Oh…boleh. Boleh mas…”
Berbagai phose aku diambil dari samping kiri, kanan, dan depan layaknya seleb yang sedang menjadi bahan gosip. Kilatan blitz gemebyar dalam udara malam yang tiris. Jalanan di depan rumah Nurochman sepi dan ngungun dari lalu lalang kendaraan. Perasaanku diliputi rasa aneh yang terus bergumpal di dada. Ujung keanehan yang menudungi perasaanku ini yakni sejak lepas maghrib hingga tengah malam lewat, aku tak pernah lagi melihat batang hidung Nurochman setelah dia menyambut kedatangan kami. Kami datang jauh-jauh dari Tegal memenuhi undangan pentas, sekarang dibiarkan mendekam tanpa tuan rumah.
“Nurochman ke mana sih mas? Sejak tadi kok tak kelihatan?” aku mencoba mengutarakan kegelisahanku pada Supali Kasim.
“Tahu mas. Mungkin lagi banyak urusan. Kita mulai wawancara lagi”
Kusandarkan badan di tiang penyangga teras beranda. Kedua kaki kujuntai lurus di alas tikar. Aku menuang api di sebatang rokok kretek sekadar mengusir hawa dingin. Kulihat Ki Bagdja asyik menikmati kopi kental yang agaknya menjadi doping pengusir kantuk.
“Apa yang menjadi daya tarik Anda terhadap sajak Rendra itu?” Supali Kasim mulai melanjutkan wawancara dengan menyodorkan tipe recorder berjarak satu kilan dari mulutku.
“Sajak itu menggoda saya. Berulangkali saya membacanya dan makin masuk ke dalam persoalan Maria Zaitun, sepertinya saya berada di daerah sendiri. Saudara tahu gak? Nyanyian Angsa itu ada kejumbuhan dengan kondisi daerah kami yang juga dipenuhi pelacur. Mampirlah saudara ke Tegal, telusuri jalur pantura terutama di wilayah Kramat sampai ke daerah Suradadi, saudara bakal terkejut dengan merebaknya warung remang-remang yang dipenuhi wajah-wajah perempuan prostitusi. Belum yang terlokalisir menjadi lokalisasi di dua wilayah itu, ratusan pelacur siap mewadahi amuk syahwat para lelaki hidung belang”
Kuperhatikan wajah Supali Kasim berkerut kening.
“Adanya gereja yang digambarkan Rendra dalam sajak Nyanyian Angsa membuat lakon pedih Maria Zaitun merasa dekat karena ada getaran kesamaan dengan situasi yang ada di daerah kami. Ini, inilah yang menambah greget saya menterjemahkan sajak itu semakin meletup-letup”

“Selain menterjemahkan sajak Rendra, sajak Chairil Anwar seperti Aku, Isa, Doa dan Krawang Bekasi juga Anda terjemahkan. Bisa diterangkan?”
“Chairil Anwar adalah penyair yang penuh vitalitas. Bahasanya menggelegar, menderu, segar, dan blak-blakan tanpa tedeng aling-aling. Terus terang saja saya menyukai dan terpikat pada ungkapan Chairil dalam sajak-sajaknya karena apa? Karena mewakili karakter orang Tegal yang juga keras dan berkobar-kobar”
“Maksudnya?”
“Sakyani atau kondangnya disebut Kutil adalah tokoh pergolakan di Tiga Daerah; Tegal, Brebes dan Pemalang. Dia penggerak revolusi dalam revolusi dari Desa Talang di wilayah kami. Meski tokoh Kutil hanyalah seorang tukang cukur pinggir jalan, namun dia mampu menggerakan kaum buruh untuk melawan kebringasan Pangreh Praja yang telah mengharu biru kehidupan mereka dengan senjata tanam paksa tebu rakyat. Pergerakan Kutil ini akhirnya kian melebar. Yang semula hanya di lingkup wilayah Talang, kemudian merembet ke Brebes, Pemalang dan Pekalongan. Saya sendiri memaknai perlawanan Kutil itu seperti terwakili pada sajak-sajak Chairil Anwar. Ruh semangat dalam sajak-sajak Chairil itu pun terasa ada dalam epos perlawanan Adipati Martoloyo. Kekaguman saya pada bupati dari Tegal ini karena beliau berani membantah dan melawan sabda Raja Mataram Amangkurat I. Nah, dengan adanya dua karakter yang ada pada sajak-sajak Chairil akhirnya saya pilih untuk saya terjemahkan”
Kuperhatikan Supali Kasim manggut-manggut. Matanya tak berkedip memandangku.
“Apa yang ingin Anda sampaikan dalam pementasan besok malam?”
“Kami ingin memberikan pelajaran penting tentang nuasa demokratis kepada para seniman atau sastrawan agar mereka bisa menghapus sikap rasialisme terhadap perbedaan bahasa ” kataku mantap.
“Itu saja?”
“Ya!” aku mantuk.
“Ini pertanyaan terakhir. Sampai kapan Anda memperjuangkan gerakan Sastra Tegalan?”
“Saya tidak akan pernah berhenti dalam gerakan ini. Saya ingin mendekat dan menerjang sekat-sekat pergaulan, sekaligus menebar virus Tegalan kepada siapapun yang mungkin tak dapat disangka-sangka, diprediksi atau ditebak. Saya adalah ‘pengendara badai’ sekaligus halilintar kreatif dalam pemberontakan berkesenian. Siapapun orangnya akan saya goda untuk terlibat dalam gerakan ini. Semakin saya disepelekan, saya akan semakin menindas mereka dengan Sastra Tegalan. Saya ingin berkeliaran ke mana-mana dengan kemungkinan-kemungkinan yang tak bisa ditebak dan dipasung. Saya tak mau membedakan pergaulan atau memilah-milah antara generasi tua dan muda. Saya ingin menembus ruang dan waktu, mengalir, merembes ke seluruh wilayah dan status hingga terbit fajar baru!”
“Terima kasih, mas…”
“Kembali kasih…”
Aku merasakan badanku capek sekali. Aku ingin tidur memulihkan kesehatan.


*

Pementasan
Di antara sorot lampu warna merah, kuning, dan jingga ditingkah gemericik air yang mengucur dari cadas taman, sosok Harti berdiri mengangkang di tengah-tengah saung, belakang Pendopo Pemda Indramayu. Dengan celana ketat, baju you can see, make up, gincu yang mencolok dan sebatang rokok di tangan, dia mulai membaca butiran demi butiran Tembangan Banyak. Suara Harti mengalir, meluncur, mengusik, dan menggelegar tandas.

Majikan umah tlembukan
ngomong kambèn dèwèké:
“Wis rong minggu kowen mung
bisané ngatang-ngatang
tur larané tambah ndadi
ora ngasilna pisan
malah kowen karo aku utangé njeblug
kiyé nggawé mlarat tok
ngentong-ngentongna beras bibit
aku ora sanggup
saiki raimu lunga, mèrad kana”


Para pengunjung berteriak, bahkan bersuit-suit. Ini baru permulaan belum apa-apa tapi mereka sudah merasakan ruh Maria Zaitun merasuk dalam diri Harti. Aku mengenal betul siapa Harti. Dalam kehidupan sehari-hari, dia bisa begitu lembut seperti nafas sajak Tegalannya yang dia tulis amat teduh bak telaga yang tenang di tengah keheningan. Namun begitu berdiri di atas pentas, siapapun tak bakal menduga-duga kalau dia mampu memainkan berbagai karakter dengan penuh gelora. Secara diam-diam aku menilai, Harti bisa saja seperti Britney Spears atau Paris Hilton yang gemar berpesta liar. Tapi sekali waktu dia sanggup berperan sebagai pelantun Gelas-gelas Kaca, Nia Daniati, yang berwajah sendu.
Dengan iringan sitar, seruling dan gending yang ditabuh Nurngudiono, suara Harti terus mengalir dan mengibar. Suasana remang digempur dengan kata-kata sangar yang sebelumnya ditabukan di kalangan para seniman Indramayu, tapi oleh Harti dimuncratkan tanpa tedeng aling-aling seperti kata wuda, plakangan, tlembuk bodol, nyipoki, susu, dan sampai pada kata mrètèli kutang membuat penonton terperangah karena dibawakan oleh seorang wanita.
Malam itu aku melihat kawan-kawan seniman Indramayu duduk ngungun sambil bersila. Bangunan berbentuk gazebo yang digunakan sebagai tempat pertunjukkan dipadati pengunjung dan para wartawan. Mata mereka tak berkedip tertuju pada satu titik menikmati gaya penampilan Harti yang seksi penuh dengan akting yang menghiurkan, terutama ketika dia menebalkan kata-kata vulgar dan mengandung aura birahi.
Harti memang jago memainkan perasaan penonton untuk tetap terpaku dan terpana. Sekali tempo ia menyilangkan kaki kanan dengan betis tersingkap dan tangan kiri menggapit sebatang rokok filter. Rokok yang menyala itu dia bakar kemudian dia sedot dalam-dalam dan dihempaskan kuat-kuat. Asap mengepul membumbung ke atas warna hijau pupus karena sorot lampu warna kuning dan hijau menyatu memusat pada dirinya. Sesudah itu dia menyemburkan butiran kata-kata dalam sajak Tembangan Banyak dengan aksyen lokal Tegalan yang medok. Dan semakin dia mendapat respon, keliaran aktingnya terus menindas mereka dengan mengeksploitir gaya bak penari dangdut yang eksotis.
“Dasyat!” teriak Supali Kasim yang duduk persis bersebelahan denganku.
“Apanya yang dasyat mas?” aku berpaling. Mata kami berbenturan.
“Pembacaan kaya gini yang kumaksud. Dia mendalami betul karakter tokoh Maria Zaitun, pelacur tua yang renta dan kena rajasinga dibawakan dia sedemikian hidup dan masuk, luar biasa!” puji Supali. Sorot mata dia kembali tertuju pada sosok Harti dari ujung kaki sampai ujung rambut. Dihisapnya rokok kretek dalam-dalam seperti menghempaskan rasa sesah yang bergelora di dada.
Denok Harti terus memainkan perasaan penonton. Keterpurukan Maria Zaitun sebagai pelacur tua berpenyakitan, telantar, terusir dan terbanting-banting tanpa bela siapapun, dibawakan Harti dengan kecerdasan pengolahan akting, mimik, dan vokal yang penuh pikat. Dengan suaranya yang cablak, tandas, berderai-derai, atau mendayu-dayu perasaan penonton teraduk-aduk dalam daya sihirnya yang tak hanya mengundang rasa sensual, segar, cadas, dan penuh kejutan, namun memaksa penonton tetap terpaku sampai usai pembacaan puisi itu diiringi gemuruh tepuk tangan bertalu-talu.
Sejak Denok Harti menerjuni dunia seni dan bergabung di Teater Puber, aku mempunyai firasat kuat kalau dia bakal menjadi daya tarik tersendiri. Penampilannya yang tenang, teduh dan wajah manisnya yang menggiurkan menambah keberadaan teater yang dia ikuti memiliki nilai greget. Namun bukan semata itu yang membuat kami kesengsem, melainkan totalitas, keiklasan dan penghayatan terhadap peran yang dia mainkan, satu hal yang membawa teater kami memiliki daya pukau ketika dia di atas panggung.
“Menerjuni sesuatu itu harus iklas dan total, jangan setengah-setengah. Aku pernah main ketoprak waktu kecil karena kampungku di Penampungan, Tegalsari, gudangnya ketoprak. Aku masuk di sana tanpa ragu sedikitpun. Setelah dewasa aku masuk di Teater Puber, karena aku suka dunia panggung dan belajar banyak dari ketoprak,” ungkap Denok Harti sebelas tahun yang lalu ketika aku dan Gaharu mewancarai.
Waktu itu kami memang masih menjadi wartawan Swadesi dan Pos Film, sekaligus sebagai anggota Teater Puber. Kami tertarik mewawancari Harti lantaran figur dia memancarkan aura ketegaran dan keseriusan menggeluti dunia peran. Ibarat denting kecapi, Harti adalah irama yang menyayat-nyayat seperti tangis seseorang yang tengah dikhianat kekasih. Dia adalah lubuk yang dinaungi pohon peneduh, sekaligus laut yang bergolak karena musim barat. Harti juga sosok imaji wanita Jawa yang menyimpan misteri dalam ketenangan.

*

Waktu terus merangkak. Jutaan bintang mengintip dari balik kelam, rela menjadi saksi lawatan kami ke Indramayu. Angin pesisir Jawa Barat merayap tiris. Aku menghampiri Ki Bagdja dan berbisik.
“Giliran sampèyan ndapuk. Main yang bagus. Kiyé ditonton seniman-seniman hebat. Tapi sampèyan aja urusan. Sampèyan luwih pentolan ketimbang mereka. Sampèyan wis pengalaman pentas berpuluh tahun. Tunjukkan bahwa sampèyan punya kelebihan yang tak dimiliki oleh mereka. Paham Ki?” aku memberi semangat.
“Aja watir. Nyong tak maèn compong-compongan. Tonton baé nyong ndapuk” katanya.
Ketika nama Ki Bagdja dipanggil oleh pembawa acara, dia melangkah pasti. Ia menuju panggung pertunjukkan dengan mengenakan lilitan kain batik. Blangkon yang dia kenakan bermotif batik pula. Sorot lampu memusat. Ia melipat kedua kakinya, bersila di atas level persegi empat. Kemudian tangan kanannya menyambar mikrofon. Semua mata penonton memandang ke arah Ki Bagdja. Mikrofon yang ada di tangan kanan Ki Bagdja diikat dengan tali raffia kemudian dikalungkan di leher. Ia mulai bicara.
“Nama saya Ki Bagdja, kelahiran Tegal tahun 1921, asal Desa Mejasem Timur, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal. Malam ini saya akan membawakan lakon Anusapati karangan Lanang Setiawan. Untuk kedua kali ini saya membawakan lakon yang menggunakan naskah drama. Pertama kali saya mendalang dengan naskah drama berjudul Lenggaong atawa Asmara Nyi Ronggeng karya Lanang Setiawan. Malam ini saya akan mendalang pakai naskah dia juga. Mudah-mudahan malam ini saya bisa lancar tak kurang satu apapun…”
Usai perkenalan, Ki Bagdja membuka penampilan dengan sulukan. Keramaian di saung Rumah Dinas Bupati Indramayu malam itu meriah. Suara Ki Bagdja yang merdu mengalun; “Anusapati sing lagi ngalub maring Mama Ken Dedes, ketekan wong-wong Batil pada gègèr oh oooooooo……”. Mata Ki Bagdja terpejam, kepala digoyang kiri kanan, sesekali ia menirukan suara gendang, kenong atau kecret dengan mulutnya. Penonton bersorak dan bertepuk tangan. Dalang yang mendalang tanpa wayang, nayaga dan tanpa sinden itu mulai menarik penonton. Mereka yang datang dalam pertunjukkan kami tak hanya dari seniman, wartawan, masyarakat pecinta seni, dan para pelajar merangsek duduk ke depan. Penampilan Ki Bagdja seakan melambai pada gerombolan penonton yang berada jauh untuk mendekat. Mereka yang semula duduk-duduk di taman terpangcing untuk segera bergabung di zasebo pertunjukan. Sementara penyair Adlan Dai, Ahmad Sjubbanuddin Alwy, Fajail Ayad Syahbana, Saptaguna, Dedi Apriadi, Untung Gatara, Ilham Soleh, dan O. Ushj Dialambaqa menyimak penampilan Ki Bagdja dengan mata tak berkedip. Blits-blitz para wartawan berkilat-kilat menyambar-nyambar.
Penghayatan terhadap tokoh Anusapati yang tersingkir dan terbuang dari pusat kerajaan Ken Anggrok, dimainkan Ki Bagdja dengan olahan suara dan karakter yang terjaga. Sebagaimana laiknya aktor teater, Ki Bagdja mampu mengendalikan babakan demi babakan sesuai dengan suasana batin yang sedang dihadapi para tokoh. Ketika ia harus memainkan adegan pergolakan rakyat Batil yang berduyun-duyun meminta perlindungan atas kecongkakan kekuasaan Ken Anggrok, sikap Ki Bagdja seolah menjadi samudra luas saat memerankan tokoh Anusapati yang sanggup menampung berbagai kotoran dari segala aliran sungai. Dalang tua itu sungguh dapat menghidupkan semua tokoh yang dia perankan. Tokoh Ken Anggrok yang bengis, dia kuasai. Ia mampu bersikap bengis dan biadab seperti tentara Israel membantai bangsa Palestina yang tak berdosa. Atau seperti tendangan geledek tokoh sepakbola David Beckham dari jarak dua puluh lima meter, merobek jaring gawang musuh tanpa ampun. Aku sendiri menyaksikan penampilan Ki Bagdja dengan perasaan merinding. Dalang berusia uzur itu ternyata tidak sekadar tampil namu begitu memukau ketika mendapuk mewedarkan sebuah lakon. Ibarat burung, Ki Bagdja adalah burung kacer. Suaranya menembus kendang telinga, ngerol dari subuh hingga senja. Bervariasi, ngembak atau mengepak-epakan ekornya dan tiada lawan ketika dia mengalunkan suluk atau tembang. Dia membawakan lakon Anusapati dengan penuh heroik. Kecompongan atau kegilaan dia seolah pisau lipat yang melakukan split di udara seperti jungkat-jungkit. Dia punya daya tarik seperti seorang pemandu sorak.
Tak canggung dan los betul Ki Bagdja melakonkan naskah Anusapari dengan bisnis akting dan kekayaan improvisasi. Kadang dia berdiri mengangkang, melakukan gerakan silat dalam pijaran lampu merah dicampur warna kuning, hingga sosok dia tampak semakin sangar. Lalu dia mengaung seperti aungan harimau lapar dalam kegelapan hutan yang ditudungi malam kelam. Sementara tiupan seruling patah-patah dan jeritan kecapi yang dimainkan Nurngudiono merayap, membuat suasana seram menyirep hening penonton. Hingga pada satu adegan berikutnya, tiba-tiba saja kedua tangan Ki Bagdja diangkat seperti menyangga sebuah senapan dengan kaki tetap mengangkang. Lalu tiga kali suara tembakan menyalak, meletus dari mulutnya bersamaan dengan peluit panjang seruling bambu yang ditiup Nurngudiono.
“Dor…! Dor…! Dooorrrrr……!!!”
Ki Bagdja rebah. Satu korban pengkhianatan Ken Angrok tumbang. Dan belum usai penontong dicekam akhir adegan, suara Ki Bagdja menyalak-nyalak lagi, riuh-redam antara kenong, kendang, kidung, dan raungan-raungan serta gemuruh suara-suara menggiriskan membahana ditingkah suara kecapi seperti suara pusaran lisus yang berhembus menggila. Ruangan pentas seperti dalam berkecamuk prahara. Selanjutnya, kedua tangan Ki Bagdja merentang dengan mata menyala. Tiba-tiba Ki Bagdja menjerit panjang dengan dua tangan memegangi perut dan posisi badan membungkuk seperti menahan kesakitan tak terperikan. Segerombolan wartawan membidik adegan itu. Kilatan blitz mereka tak henti-hentik menyala diantara rayapan suara kecapi. Itulah adegan terakhir saat amuk massa bala kurawa Anusapati menusukan tombak dengan kesetanan ke lambung Ken Angrok.
Tepuk tangan gemuruh. Aku memburu Ki Bagdja dan memeluknya kuat-kuat sebagai rasa haru, bangga tak terkira karena dia memainkan lakon Anusapati dengan standing applause yang berkepanjangan dari para penonton.

*

Kini giliran Nurngudiono tampil membawakan repotoar Jobong. Monolog Jobong mengisahkan tentang situasi lingkungan warga Penampungan yang kocar-kacir. Dusun tersebut berada di daerah Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegalsari, Kota Tegal. Pada zaman dahoeloe pedukuhan itu merupakan daerah berbahaya karena dihuni bermacam orang yang akrab dengan dunia hitam. Daerahnya terasing dari pergaulan masyarakat. Hidup mereka bar-bar dan kumuh dalam hunian kebanyakan para bencoleng dan pelacur berasal dari daerah Klaten atau Solo pinggiran. Tempat hunian mereka berdiri di antara rawa-rawa dan balongan yang dibangun secara liar dari gubug-gubug. Daerah ini disebut juga daerah pengasinan karena penduduk di sekitar itu berbaur dengan warga nelayan yang hidupnya total menyerahkan pada kemurahan hasil penangkapan ikan. Tidak mengherankan kalau masyarakat yang bercokol berdekatan dengan Tempat Pelelangan Ikan itu, hidupnya akrab dengan kemiskinan. Tidak mengherankan pula di sana berceceran jobong-jobong sebagai tempat pembuangan hajat besar mereka. Dari sana, agaknya ide repotoar Jobong karya Nurngudiono itu terinspirasi. Teristimewa lag, dia dibesarkan di wilayah itu seperti halnya Denok Harti.
Angin malam terasa menusuk dingin pada kulitku. Pukul setengah sepuluh malam baru berlalu ketika Nurngudiono mulai meniupkan harmonika sebagai tanda pembuka pemanggungan. Di depan mickropon dia berdiri. Tangan kiri memegang harmonika sedang tangan kanan menggenggam naskah Jobong. Mataku tak lepas memandang ke arah panggung. Aku melihat kedua kaki Nurngudiono berderap-derap di atas level menimbulkan suara hentakan kaki-kaki kuda yang berlari dalam sebuah pacuan. Kemudian break.
“Soré kiyé kayané pan udan Jo! Hawané kayong semelèt”
“Katoné iya, hawané krasa semromong nemen, pancèn pan udan,”
“Lik Darmun! Bisané sekolah saiki sing digèdé-gèdéna duwité tok sih? Sekolah apa barongan, ya? Wingi urunan semèn, winginé maning urunan nggawé taman, lagi kaé urunan ndandani mushola, lah tadi sing Suminah minta urunan lagi katanya untuk mbangun lapangan baskèt!”
“Kuwé mending Parlan! Mending! Jelas kamu ngetokna duwit ana alesané, saiki malah akèh sekolah sing pada nariki urunan tanpa jelas juntrungé. Dobol ka, ndasé enyong dadi ngrasakna panas ngluwihi pantaté enyong sing angel temen ngetokna tai kelang!”
Itu sepenggal dialog antara Darmun, Sarjo dan Parlan dalam repotoar Jobong. Orang-orang yang ngendon di Dukuh Keciran itu biasa membicarakan segala persoalan hidup ketika mereka berada di tempat pembuangan hajat besar itu. Tempat di mana masyarakat Keciran mengomel, menyumpah-nyumpah keadaan hidup yang kocar-kacir, sekaligus sebagai tempat atur strategi dari segala macam hajat purba.
Nurngudiono membawakan monolog itu seperti alunan musik yang kadangkala datar, mendayu, tapi kemudian menderu. Pada adegan pemulaan, ia langsung memainkan tiga tokoh itu. Dan aku tahu betul siapa Nurngudiono. Sebagai orang yang sudah berpuluh tahun bertetangga dengan warga Penampungan, tentu dia cukup mengenal betul karakter dan kehidupan orang-orang di sana. Tak disangsikan lagi kalau kemudian dia bermain cukup sublim menjiwai para tokohnya. Keahlian memainkan alat musik tiup pun dia gunakan untuk memberi tekanan pada bangunan suasana. Pementasan jadi tak berasa kering karena di sela-sela adegan kerap diisi tiupan seruling atau hentakan kaki. Pada satu kesempatan, secara bergantian dia memainkan rebana kencer Jawa dan memainkan alat musik harmonika dengan tiupan yang menyayat-nyayat. Hal itu berlangsung terutama pada saat pergantian adegan, di mana kekisruhan terjadi atas lenyapnya Jobong-jobong warga Keciran.
“Jobong ilang! Jobong ilang! Jobong tempat buwang hajat kita raib! Haduuuhhh bakal kiamat! Maring endi maning nyong buwang hajat? Tolih pan ngobrol nang endi? Tolih pan wadul maring sapa? Jobong! Jobongé enyong ilang…!!!”
Teriak tokoh Darmun yang dimainkan Nurngudiono dengan heroik. Dia berputar-putar kemudian ngeduprak di atas level. Nurngudiono meniup seruling dalam irama sendu. Suasana hening dan nglangut. Kami tersedot dalam permainan dia.
Tiupan seruling membentur-bentur kalbu. Tak ada suara di antara penonton, kecuali kilatan blitz para wartawan yang mengabadikan sosok Nurngudiono. Dalam hati aku merasa bangga. Lawatan Sastra Tegalan ke Indramayu tak sia-sia. Perjuangan bahasa Tegalan yang dulu kerap dilecehkan sebagai bahasa kampungan kini berbalik menjadi duaratus derajat. Setidaknya, bahasa lokal kami tak lagi dianggap remeh-temeh melainkan telah bisa digunakan sebagai bahasa sastra. Dan kami telah membuktikan pada masyarakat luas, tidak hanya di kandang sendiri tapi di Surakarta dan kini di Indramayu.
Di bawah sorot lampu temaram, malam yang terasa dingin dihentak pukulan rebana. Lalu senyap kemudian suara Nurngudiono seperti orang tahlilan. Kian lama suara itu seperti angin yang memusar, bergulung-gulung dan menderu. Dengan gagah dan congkak, Nurngudiono berdiri memerankan sosok Pengacara. Di mana kehadiran dia ke daerah Keciran mengabarkah agar warga setempat segera angkat kaki karena daerah itu sudah dibeli oleh Tuan Ban. Terjadi keributan antara warga dan Pengacara hingga muncul tokoh Mintarsih, perempuan lacur sesepuh warga Keciran itu protes. Tapi protes Mintarsih dan orang-orang Keciran tak didengar. Bahkan mereka diancam sang Pengacara bahwa, dalam tempo 1 x 24 jam mereka harus angkat kaki.
Fragmen ini, oleh Nurngudiono dimainkan dengan sangat manis. Terutama pada kemunculan tokoh Mintarsih dia bawakan dengan suara serak meradang sebagaimana orang berpuluh tahun tertindas dari situasi yang menghimpit. Totalitas dia menyodorkan monolog Jobong membuat para penonton terus menyimak sampai akhir pertunjukkan dengan kematian Lurah Simuh yang menjadi biang kerok dari keributan ini. Tepuk tangan bergemuruh. Beberapa seniman Indramayu menyalami, aku mengacungkan jempol! Tapi hatiku masih saja bertanya-tanya, sejak kemarin malam sampai pagelaran ini berlangsung, dilanjutkan Abidin Abror menyelesaikan monolog Kandang Bèbèk Mambu Bèbèk, dan penyair gaek Widjati bubaran membaca beberapa sajaknya kemudian dilanjutkan diskusi Yono Daryono, Nurhidayat Poso mewakili Tegal bersanding dengan para penyair Adlan Dai, O. Ushj Dialambaqa , Fajail Ayad Syahbana, Dedi Apriadi, dan Ahmad Sjubbanuddin Alwy usai sudah, aku kehilangan Nurochman Sudibyo YS. Kenapa dia menghilang, padahal lawatan kami ke Indramayu atas undangan dia? Sesama orang Tegal, dia kok bisa sampai hati? Dobol! Aku menyumpah dan menelan kelu.


*


bersambung

Tidak ada komentar: