Selasa, 28 April 2009

Di TBS PENAMPILAN PENYAIR TEGAL LUAR BIASA


Temu Penyair 5 Kota di TBS
Penampilan Apito Lahire Berkelas


APITO Lahire semakin matang sebagai penyair dan monologer. Penampilan Apito dalam Perhelatan Temu Penyair 5 Kota Jateng, di Taman Budaya Surakarta (TBS), Selasa (28/4) malam, luar biasa dan berkelas.Mantan Kepala TBS Jawa Tengah, KRT. Murtijono mengutarakan hal itu seperti dituturkan penyair Abu Ma’mur MF yang juga terlibat dalam perhelatan tersebut. Menurut Kanjeng Raden Tumenggung itu, penyair Apito Lahire mampu menggabungkan antara tehnik-tehnik pembacaan puisi dan monolog.
“Saya sering mendengar nama Apito Lahire, tapi baru kali ini saya melihat langsung penampilannya luar biasa. Apito menjadi penyair yang berkelas, mampu menggabungkan gaya penampilan antara pembacaan puisi dan monolog,” katanya serius.
Pada acara tersebut, Apito tampil urutan ke 14 dari 14 penyair. Ia membawakan dua buah puisi; Ronggeng Roh dan Tangan Angin. Dengan baju dan celana hitam-hitam, Apito berputar mengelilingi panggung berenergi penuh, vokal mantap, dan tempo yang kuat. Mulutnya mendesis dan berdengung-dengung menciptakan sebuah musik di antara sela, awal dan akhir bait pada pembacaan puisi Ronggeng Roh. Sebuah perjalanan roh manusia dalam mencapai kejejatian. //Tanpa apa kau pun bisa berbisa/tanpa susuk kejantanan bisa setangguh banteng rimba/tak perlu mak erot/sebab mak erot telah musnahkan ilmunya…//.
Menyaksikan Apito berpuisi, penonton di Teater Arena TBS tercekam. Mereka menyimak dan melototi sang penyair beraksi. Tehnik suara Apito meneror dan pencapaian penghayatan pembacaan sangat kokoh hingga mampu menyedot mata penonton tak sanggup berkedip. Mereka seperti disihir dengan deru gema bunyi mulut magis dari suara-suara purba di rimba-rimba yang dia ciptakan. Malam itu Apito beraksi total seperti pelaku kuda lumping yang sedang trance. Hal yang sama juga ketika dia membawakan sajak Tangan Angin. Sebuah perjalanan pedih ketika seorang manusia terlunta-lunta memburu kesejatian manusia yang belum sampai pada tataran kepasrahan terhadap Sang Illahi;//Dahan cinta yang bergeser itu/aku/tangan angin//Aku sudah menulis isyarat di langit/manusia akan melambung tanpa sayap kecuali yang mengisi jantungnya dengan marifat//.
Selain Apito, tujuh penyair Tegal lainnya Abu Ma’mur MF yang tampil pada awal pertunjukkan. Kemudian diacak penyair-penyair dari Semarang, Solo, Cilacap, dan Ungaran. Tampil pada urutan ke 4, 7, 9, 11, dan 13 penyair Nana Eres, Julis Nur Hussein, Igho, Diah Setyawati, dan M. Enthieh Mudakir. Rata-rata penampilan mereka menguasai pembacaan dengan kehebohan masing-masing. Lebih lagi ketika pembacaan sajak Chesa yang dibawakan Dwi Ery Santoso dan dua sajak Persetubuah Kata-kata dan satu sajak Tegalan Kidung Sewaliké Gunung karya Diah Setyawati dibawakan oleh sang penyairnya dalam kemasan musikalisasi Komunitas Musik Asah Manah, penonton turut mengentak-hentakkan kaki karena kemasan musik yang diramu dengan irama campuran atara Jawa, blues dan orkestra.
Sungguh, sepertinya malam pementasan di Teater Arena TBS itu milik penyair Tegal. “Malam ini saya terkesan dengan penyair-penyair Tegal,” komentar Murtijono seperti yang ditirukan penyair Abu Ma’mur (LS)

Foto : APITO

Senin, 27 April 2009

PEDANGDUT HARUS KEMBALI PADA JATIDIRI


Pedangdut Harus
Kembali pada Jatidiri

Musikus dangdut harus kembali pada jatidirinya dan eksistensinya sebagai pemusik. Musik instan semacam itu kudu di tinggalkan sesegera mungkin. Ini era musik hidup bukan lagi organ tunggal.

SELAMA dasawarsa ini, jenis pertunjukan musik dangdut di ranah hajatan kampung dan kota, dirasa telah bringas menindas dengan munculnya jenis musik organ tunggal. Musik instan yang cukup simpel itu menyebabkan group dangdut di mana pun gulung tikar tanpa ampun. Kondisi semacam itu dinilai tidak fair dan mencidrai pertumbuhan kesenian secara manual.
Adalah Jalil Sudirman, vokali dari Kelompok Musik Sastra Warung Tegal itu, berontak agar hal itu segera dihentikan. “Musikus dangdut harus kembali pada jatidirinya dan eksistensinya sebagai pemusik. Musik instan semacam itu kudu di tinggalkan sesegera mungkin. Ini era musik hidup bukan lagi organ tunggal,” kata Dirman panggilan akrabnya.
Berangkat dari pemikiran itu, Dirman kemudian mengumpulkan anak-anak dari jebolan kelompok Dangdut Pesisir Java Group. Dia mengontak mereka untuk bersama-sama bangkit setelah berbilang tahun tiarap dari ranah bermusik dangdut agar segera eksis.
“Mereka ternyata menyambut baik dengan gagasan saya. Mereka sepakat untuk kembali bermusik secara alami. Tidak mengandalkan lagi pada kecangihan tehnologi musik digital” papar Dirman yang ditunjuk oleh teman-teman sebagai ‘Kepala Suku’ Dangdut Pesisir Java Group.
Bagi Dirman, kebangkitan bermain musik hidup yang dia lakukan itu, dinilai sangat tepat senyampang munculannya group-group band anak muda dengan bertebarannya rental-rental musik dewasa ini. Hal itu menjadikan dia bertambah yakin bahwa di Tegal bakal bermunculan lagi group-group dangdut seperti sediakala.
“Di Kota Tegal, dulu pernah ngetop orkes melayu seperti adanya Ramcandra pimpinan Salim, Gembira pimpinan Tukiman dan juga M. Yasid. Kemudian pada Orkes Melayu Kenangan Masa pimpinan M. Hudi Nur, Ambisi 88 pimpinan Slamet, Kresna pimpinan Sadi, dan masih banyak lagi seperti Maya Group, Asofi, Gelora, dan Buana…”
Tidak berlebihan kalau Dirman Cs kemudian berupaya keras untuk mengembalikan kejayaan group-group dangdut yang pernah subur di wilayah Kota Tegal.
“Masyarakat Tegal, sudah saatnya mendapat suguhan musik hidup. Bukan lagi dinina bobokan dengan organ tunggal atau semi organ tunggal,” tandas Dirman.
Keputusan Dirman dengan mengembalikan eksistensi musik hidup dipandang cukup tepat. Karena itu dia tak mau serampangan untuk mengundang dan memilih orang-orang berpengalaman di bidangnya. Maka formula tersusun anggotanya benar-benar dengan seleksi ketat. “Saya tidak mau asal comot. Mereka yang saya ajak di group saya harus sudah berpengalaman dan punya dedikasi tinggi terhadap kemajuan seni dangdut” tegasnya di sela-sela latihan dalam persiapan pentas di Gedung Kesenian Kota Tegal.
Akhirnya, susunan formula pada groupnya itu; Toat Katono pada melodi, Khairil Bazar pada bass, Jungkat Prayago pada rythem, Unji Manual dan Iwan Tole pada keybord, Agus Rumangsa pada kendang, Jaelani pada suling, dan Warak Rakasiwi pada tamborin. Untuk vocalis Jalil Sudirman merangkap sebagai ‘Kepala Suku’.
Menurut Dirman, groupnya pada tahun Tahun 1995 pernah menjadi Juara I pada tingkat Jawa Tengah (LS)

Minggu, 26 April 2009

KI BAREP PENTAS WAYANG TEGALAN



Asyik! Ki Barep Pentas Wayang BerbahasaTegalan

PAGELARAN
Wayang Golek Ki Barep di halaman Gedung DPRD Kota Tegal, Sabtu (25/4) malam, mengisahkan lakon Ki Gede Sebayu. Dalang asli Kota Tegal itu menggeber pementasannya dengan mengusung Wayang Golek menjadi hiburan tersendiri bagi para masyarakat Kota Tegal yang sedang memeriahkan HUT Kota Tegal Ke-429.
Dalang peraih rekor Muri itu, memiliki kekuatan menggunakan Bahasa Tegalan pada setiap penampilan, membuat penonton menjadi akrab untuk mengikuti jalan cerita yang dia usung karena tidak ndakik-ndakik sebagaimana pedalang tempo doeloe yang bikin mumet dan kurang gaul.
Malam itu, Ki Barep mengaku bangga, karena bisa memainkan lakon Ki Gede Sebayu. Tapi yang dimaksud Ki Gede Sebanyu di sini bukan sosok tokoh pendiri Kota Tegal melainkan tokoh pendiri Kadipaten Tegal.
Ki Barep tak mau ambil resiko jika mengangkat Sebayu sebagai tokoh pendiri Kota Tegal. Pasalnya, dua tahun silam, para seniman Tegal secara terang-terangan menggugat ketokohan Ki Gede Sebayu lewat pementasan spektakuler dengan judul ‘Sebanyu Gugat’. Oleh para seniman yang terwadahi di Dewan Kesenian Kota Tegal, Sebayu dinilai masih samar-samar. Karena itu, mereka menggugat untuk mendapatkan kepastian siapa sebenarnya Sebayu dan siapa yang berhak mendapatkan gelar sebagai tokoh pendiri Kota Tegal.
Gugatan terhadap sosok Sebayu juga didengungkan oleh anggota dewan dari PDI-P. Mereka menilai terlalu pagi jika memposisikan Ki Gede Sebayu sebagai orang yang pernah mendirikan tlatah Tegal. Oleh karena itu, tak mengherankan jika mereka terang-terangan tak pernah mau mengikuti rapat paripurna saat para anggota dewan Kota Tegal membahas persiapan HUT Kota Tegal dengan ketokohan Ki Gede Sebayu.
Berdasarkan kisruh berkepanjangan ketokohan Sebayu, Ki Barep akhirnya tak mau ambil resiko untuk menggelar lakon itu yang berkaitan dengan berdirinya tlatah Tegal. Dia mengalihkan ketokohan Sebayu justru sebagai pendiri Kadipaten Tegal.
Pagerlaran Ki Barep kali ini boleh dikata mampu memberikan hiburan yang segar. Bahasa Tegalan yang dia sampaikan menciptakan kehangatan dan membuat jalannya cerita yang disampaikan gampang dicerna. Sulut yang dibawakan juga menggunakan cengkok Tegalan dan syairnya demikian pula.
Asyik! Asyik sekali menonton pagelaran wayang Ki Barep yang selalu menggunakan Bahasa ‘Ibu’-nya. Tidak mokal-mokal sehingga gampang diterima oleh pengunjung. Pagelaran Ki Barep selan di tonton oleh beberapa staf Pemko Tegal, hadir dalam pagelaran itu Wakil Walikota Tegal Habib Ali Zainal Abidin (LS/OK)


KETERANGAN GAMBAR : -Dalang asal Kota Tegal Ki Barep memainkan wayang dengan lakon Ki Gede Sebayu dalam rangka HUT Kota Tegal ke 429 di Halaman DPRD Kota Tegal, Sabtu (25/4). Dalam pertunjukan wayang tersebut tampak hadir Wakil Walikota Tegal Habib Ali Zainal Abidin dan staf Pemkot Tegal (Foto: Oky Lukmansyah)



KRONCONG IRAMA BERSAMA


Kroncong
Irama Bersama
Mendekat ke Selera Pasar


MESKI baru dibentuk beberapa pekan lalu, kehadiran Kelompok Musik Kroncong Irama Bersama yang bemarkas di Jalan Sumbing 6 Kampung Kalibuntu, Kelurahan Panggung, Kota Tegal itu tak bisa disepelekan. Para senior dan anak muda yang berasal dari berbagai wilayah di Tegal menyatu agar warisan budaya nenek moyang ini tak lekang dimakan zaman. Soeroso Benan mengutarakan hal itu ketika berbincang-bincang dengan NP, Jumat (24/4) malam di rumahnya .
Menurut Roso, panggilan akrabnya, dibentuknya kelompok tersebut pimpinan Agus Topan itu karena dirinya merasa prihatin terhadap para pemain keroncong di Tegal yang sudah bercerai-berai dan karut marut. Dengan keprihatinan dan melihat kondisi semacam itu maka bersatulah mereka membentuk sebuah kelompok Irama Bersama dengan tanpa melihat batas usia dan status sosial anggota.
“Kami mencoba menyatukan mereka agar bersama mengeksiskan kembali kejayaan musik kroncong di Tegal. Ibaratnya, merangkai dan menata tulang-tulang yang berserakan,” katanya. Oleh kawan-kawan, Roso kemudian ditunjuk sebagai Litbang. Hal itu memandang adanya kemampuan pada diri Roso memiliki wawasan ke depan di tengah galau keriuhan musik anak muda masa kini yang tengah menderas. Karena itu, ia terus mencermati dan mengkaji pangsa pasar di masyarakat.
“Kami ingin kelompok kami tidak hanya terpaku pada lagu kroncong yang sudah ada. Kelompok kami akan berupaya mendekat pada selera pasar yang berkembang di lapisan masyarakat,” ujarnya.
Oleh karenanya, agar kelompoknya tidak ditinggal oleh generasi muda, siap menyuguhkan berbagai jenis lagu dari mulai dangdut, pop, lagu-lagu anak muda zaman sekarang sampai pada tembang-tembang berasal dari manca negara dilalap juga.
Meski demikian, Roso juga mengkritisi. Menurutnya, jika pemusik keroncong hanya mengandalkan insting dan bakat alam, maka kelompok tersebut bakal tumpas digerus oleh kecerdasan anak-anak muda yang pintar membaca notasi. Karena itu, pemusik kroncong pada masa mendatang harus mengenali hal itu. Juga harus memperhatikan pada penampilan dan pemasaran.
Kelompok yang beranggotakan Yanto pada melodi gitar, Nanang pada bass, Cuk dan Cak dipercayakan pada Tiyar dan Goen, Cello pada Ismet, Flute pada Ranto, Biola pada Kamsari, serta selaku penyanyi dipercayakan pada Ani dengan anggota Karyono dan istri serta Manto itu, kontinyu latihan pada paroh bulan dengan kedisiplinan yang cukup ketat (LS)



KETERANGAN GAMBAR :Para pesonil dan penyanyi dari Kelompok Musik Keroncong ‘Irama Bersama’ nampang bersama sesaat sebelum mereka manggung di Kecamatan Tegal Timur dalam acara Malam Pentas Seni dalam rangka HUT Kota Tegal Ke-429 (Foto : Lanang Setiawan)

Sabtu, 25 April 2009

DWIKY PENARI ENDHEL


Dwiky Puspasari
Bela-belain Tari Endhel

Saya ingin mengembangkan tari Endhel. Tari tersebut harus kita bela-belain agar generasi muda kita mau peduli pada jenis tarian produk sendiri. Bukan mengagungkan budaya dari luar manca negara.

ALUNAN suara gending Ombak Banyu dari pita kaset merayap-rayap lewat sound system. Pukulan kendang menderap bertalu-talu. Suasana purba mendadak tercipta begitu muncul sosok penari dengan wajah berlindung di balik topeng. Gerakan wanita itu gemulai menari, mendayu mengikuti hentakan musik. Tangan kanannya kukuh memegangi topeng, sedang tangan kirinya mengibas selendang sutra seolah alat dayung bagi perahu yang berlayar di laut lepas. Dan pacak lehernya yang jenjang bergeleng-geleng menawan hingga pementasan tarian itu berakhir dengan applaus penonton yang menggemuuruh.
Begitulah momen suguhan yang menarik dari penari Dwiky saat mementaskan Repertoar I dari Tari Topeng Endhel, berlangsung pada Malam Pentas Seni di pelataran Kecamatan Tegal Timur dalam rangka Hari Jadi Kota Tegal Ke-429, Rabu (23/4) kemarin.
Dwiky Puspasari, nama lengkap penari itu, mahasiswi Smester Akhir FE UPS Tegal, mengaku amat total menyajikan repertoar itu.
“Membawakan Tari Topeng Endhel butuh waktu panjang dan ketekunan, karena menyedot tenaga, juga lemah gemulai. Minimal bisa menguasai satu repertoar tari Endhel bisa tiga bulan atau duabelas Minggu, tapi itu ya tergantung si anak,” kata Dwiky.
Ia sendiri mengaku membawakan Repertoar I itu dari pencapaian latihan yang dia tempuh selama satu minggu tanpa jeda. Cukup memeras tenaga tapi Dwiky amat suka dan gandrung pada tari tradisional. Lebih-lebih pada Tari Topeng Endhel yang notabene tarian khas Tegal, kepedulian dia amat tinggi.
“Saya mempelajari jenis tarian tradisional karena prihatin. Sejak usia lima tahun hingga sekarang saya masih terus belajar menari sampai kemudian bisa membawakan Tari Topeng Endhel,” paparnya.
Anak semata wayang dari pasangan Ketua RW 03 Mangkukusuman, Herry Susanto dengan Thesis Kistanty itu, lebih jauh mengaku, belajar Tari Endhel karena dirinya masuk pada Sanggar Tari Perwitasari pimpinan Damayanthi. Bahkan sudah lima tahun ini Dwiky masih terus dipercaya untuk bergabung pada sanggar itu. Kemana sanggar itu mendapatkan job tari Endhel, Dwiky menjadi salah satu andalan seperti yang berlangsung pada pementasan di Kecamatan Tegal Timur malam itu.
Tidaklah sia-sia Dwiky berlajar tari Endhel dan bermacam tari Jawa lainnya. Pada tahun 2004, ia merebut Juara I Tari Endhel Tingkat SLTA se-Tegal, juara III Tari Gambyong se-Tegal pada tahun 2004, kemudian pada tahun 2006 dia merebut juara II Tari Endhel Tingkat Umum.
“Saya juga turut berpartisipasi pada Hari Tari Internasional ’24 Jam Menari’ di Kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta tahun 2007, termasuk membawakan tari Endhel di PRPP Semarang dan TMMI Jakarta,” katanya.
Pergaulan Dwiky ternyata tidak hanya terpaku pada kelompok tari saja, bersama Damayanthi, dia pun banyak dikenalkan pada dunia teater. Tak mengherankan kalau diapun sering terlibat dalam pertunjukan teater, drama kolosan dan pementasan-pementasan seni yang dikolaborasikan dengan tarian.
“Saya ingin mengembangkan tari Endhel. Tari tersebut harus kita bela-belain agar generasi muda kita mau peduli pada jenis tarian produk sendiri. Bukan mengagungkan budaya dari luar manca negara,” tekat gadis cantik yang punya motto: maju terus pantang mundur itu.
Karena kesuntukan dan keuletan serta prestasi yang dia capai, pada tahun 2009 ini, Dwiky ditunjuk Pemkot Tegal menjadi Duta Seni untuk tingkat Propinsi (LS)




Jumat, 24 April 2009

PENYAIR SUFISTIK DHARMADI


Penyair Darmadi:
Lewat Sajak
Saya Mengolah Spiritual

SALAH satu persoalan yang melanda dan mendera para penyair nasional dewasa ini, adalah keterpakuan pada kata atau frase keindahan kebahasaan. Namun semua itu sering tidak memberikan arti sama sekali atau bahkan membuat puisi itu kehilangan kepekaan terhadap nilai-nilai religius. Karena mereka terpuruk dan terikat pada keindahan semata.
Dharmadi, penyair kelahiran Semarang 30 September 1948 sejak tahun 1968 menetap di Purwokerto, kini bolak-balik Jakarta, Tegal dan Purwokerto, bicara banyak tentang proses kreatif puisi-puisinya yang digolongkan bernuansa sufistik. Bagaimana dia digolongkan sebagai penyair semacam itu, wartawan Lanang Setiawan mewancarainya ketika dia melancong di Kota Tegal. Berikut ini petikannya:
Bisa jelaskan kenapa banyak penyair menilai puisi anda digolongkan bernuasa sufistik?
Sesungguhnya saya sendiri awam dengan sufisme. Mungkin yang kebetulan membaca puisi-puisi saya itu menangkap suasana religius.
Bagaimana anda bisa mengungkapkan warna religius dalam puisi tanpa mendasarkan pada suatu agama, Islam misalnya?
Pada waktu kecil saya tidak pernah disuruh-suruh orang tua untuk salat tetapi saya sering melihat dan mengikuti ritual yang dilakukan oleh orang tua saya tiap waktu tertentu seperti misalnya pada malam Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon atau weton saya dan saudara-saudara saya meski membakar kemenyan sambil menyediakan seperangkat alat ritual itu tadi. Ada sebatang rokok, secangkir kopi, gelas yang berisi air putih di dalamnya kembang telon; kantil, mawar dan kenanga. Juga saya sering diajak ibu saya ke suatu tempat pasar tradisional yang di tengah-tengahnya tumbuh pohon beringin besar. Di situ membakar kemenyan dan menabur bunga di pokok pohon. Pengalaman itu, membuat saya terbiasa membaca kehidupan dan beranggapan Tuhan itu ada dimana-mana.
Lalu bagaimana anda menuangkan pengalam religius ke dalam puisi?
Dalam proses kreatif saya berpuisi, saya memandang atau beranggapan bahwa alam itu mempunyai daya. Daya yang ada pada alam itu menurut saya adalah daya yang berasal dari Tuhan atau Kuasa Tuhan. Di situlah saya menggunakan diksi-diksi alam sebagai symbol ritual atau metafora seperti contoh dalam buku kumpulan puisi saya Aku Mengunyah Cahaya Bulan pada sajak berjudul Dalam Kemarau; //Demi hujan langit menjaring awan yang/digiring angina sambil mengat bumi/. Sajak itu sesungguhnya ingin saya katakana bahwa Tuhan selalu mencintai umatnya dan alam seisinya. Tetapi kenapa kita sebagai umat Tuhan tidak saling menghormati, mengasihi sesama maupun alam itu sendiri. Lewat sajak itu saya sedang berusaha mengolah jiwa ditataran spiritual dan mencoba untuk membumikan Tuhan dalam kehidupan lewat puisi. Mungkin inilah yang ditangkap oleh pembaca puisi-puisi saya digolongkan ke dalam puisi sufistik.
Pendapat anda tentang perkembangan puisi dewasa ini bagaimana?
Secara keindahan dalam arti bahasa memang estetikanya cukup tinggi. Tetapi apakah puisi itu hanya mengejar keindahan di dalam kebahasaan semata? Sebab menurut pengertian atau pemahaman saya, karya seni seperti puisi disamping indah mesti mengandung makna (*)



Kamis, 23 April 2009

RATIH BIDUAN MBAH DICKUN


Ratih
Temukan
Ketenangan


BERDERAI-DERAI menjajal sebagai penyanyi kafe di sebuah mall Kota Tegal, sudah dia lakoni. Bernorak-norak menjadi anak band juga sudah lalui. Terakhir mendesis dan berdesah di tengah goyang hot di atas panggung dangdut, pun dia coba. Berwarna sekali dia menekuni hidup sebagai seorang biduan. Tapi semua itu, ternyata bagi Rea Ratih Setiana, biasa dipanggil Ratih, vokalis Group Musik Qasidah Moderen Mbah Dickun itu, tak sanggup memberikan ketenangan batin, bahkan dirasa jiwanya terlunta-lunta. Ia justru seakan dirinya berenang di laut hitam penuh lumpur.
“Kebutuhan spiritual saya hampa. Saya baru merasa menemukan spiritual Agama Islam ketika saya masuk di Group Musik Qasidah Mbah Dickun,” kata Ratih usai manggung pada Malam Pentas Seni di Kecamatan Tegal Timur, Rabu (23/4) dalam rangka memperingati Hari Jadi Kota Tegal Ke-429 malam.
Ratih mengaku, masuk di group Mbah Dickun baru beberapa lama. Ia terpuaskan karena alur musik yang dilantunkan dengan syair lagu tentang kebenaran yang dapat membawa manfaat dan hikmah dalam dirinya.

“Saya bangga menjadi anggota Group Musik Mbah Dickun. Syair lagu yang dilantunkan bernas dan bernafaskan islami” kata gadis hitam manis lulusan SMA Negeri 4 tahun 2006 itu dengan sorot mata yang berkilat.
Ratih anak ke 3 dari 4 bersaudara, lahir di Tegal, mulai menjajali dunia tarik suara sejak kecil beraliran musik Pop Rock. Ketika di SMP dia tergabung dalam Free Band menjadi vocalis. “Saya menjadi anak band. Saya berani tampil di atas panggung sejak kelas I SMP. Waktu itu aliran yang saya anut Pop Rock” katanya.
Waktu sekolah di SMA Negeri 4 Tegal, hobi nyanyi Ratih semakin terasah dan berkembang. Bersama teman-temannya, dia mendirikan group Band Dot.
“Saya sering ikut lomba nyanyi solo dari mulai lagu pop sampai dangdut. Saya pernah mengikuti ajang audisi Indonesian Idol tahun 2008 waktu di Jakarta. Alhamdulillah saya bisa tersaring dari ribuan orang menjadi beberapa ratus peserta dalam wilayah Jakarta” ujar jebolan SMP Negeri 12 Tegal itu.
Jebolan SMP Negeri 12 Tegal itu menuturkan lebih lanjut, semasa dia bekerja di wilayah Cibitung, Bekasi, Jawa Barat sempat fakum sebagai penyanyi. Ketika kontrak kerja berakhir, ia mudik dan kembali terjun sebagai penyanyi di Group Mbah Dickun.

“Kebetulan pendiri dan Ketua Group Mbah Dickun paman saya. Saya coba masuk menjadi vokalis. Lama-lama jadi keterusan karena saya menemukan apa yang selama ini saya cari, adalah kepuasan batin” pungkasnya yang mengaku tak akan pernah meninggalkan dunia tarik suara (LS)

Selasa, 21 April 2009

DKT AUDIENSI DENGAN WALIKOTA


Pengurus DKT Audiensi dengan Walikota Tegal

PENGURUS harian dan komite DKT, Selasa (21/4) siang menghadap Walikota Tegal H. Ikmal Jaya. Mereka terdiri dari Ketua DKT Nurngudiono beserta wakilnya Ki Barep, Sekretaris I, II HM. Enthieh Mudakir dan Dinhaz Yussac beserta Bendahara DKT H. Tambari Gustam.
Dalam pertemuan tersebut, Walikota Tegal didampingi Kepala Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Disporabudpar) Kota Tegal, M. Wahyudi, Kabag Humas dan Protokol Setda Kota Tegal, Drs HM Khaerul Huda Msi, Akur Sujarwo dan Siswoyo dari bagian Kesos yang juga wakil bendahara DKT.
Pertemuan audensi antara seniman dan walikota berlangsung dalam suasana yang penuh keakraban di ruang kerja walikota. Dalam acara tersebut, inti permasalahan yang diajukan Ketua DKT Nurngudiono, adalah agar di tahun-tahun mendatang antara seniman dengan SKPD yang menangani bidang kesenian harus ada komunikasi secara terbuka dan transparan, karena sesuai tugas dan fungsi DKT sebagai mitra kerja pemerintah dalam melestarikan, memelihara dan mengembangkan kesenian masyarakat. DKT sebagai pemikir dan konseptor kebijakan di dalam penyeimbangan dan pengembangan kesenian di Kota Tegal, dan sebagai koordinator pembinaan dan pengembangan kesenian melalui langkah-langkah peningkatan aktivitas dan kreativitas kesenian serta peningkatan apresiasi masyarakat, juga meningkatkan kesejahteraan seniman. Hal itu, menurut Nurngudiono sesuai dengan Peraturan Dasar DKT bab II pasal 2.
Pada pokok lain, DKT mengusulkan pengajuan dana untuk kegiatan para seniman lewat dana ubahan agar diakomodir. Sementara itu, Tambari Gustam juga mengusulkan alokasi dana untuk Musda DKT Ke-3 segera diwujudkan karena sifatnya mendesak, (9/5) akan digelar. Kecuali itu mereka juga meminta agar Pemkot Tegal memberi anggaran pentas kesenian dalam rangka penutupan HUT Kota Tegal termasuk bantuan kepada sejumlah penyair yang akan berangkat dalam acara temu penyair Jawa Tengah di Surakarta.
Mengenai adanya keterbukaan antara pemerintah dan DKT, Walikota Tegal Ikmal Jaya sangat merespon dengan baik. Hendaknya dinas-dinas yang terkait dengan para seniman saling bekerjasama agar tercipta iklim sejuk. Hal tersebut disepakati oleh Kepala Disporabudpar M Wahyudi. Pihaknya akan lebih baik lagi berkoordinasi demi kemajuan bersama untuk menjunjung Kota Tegal di bidang budaya dan kesenian. “Kedepan kami akan lebih baik koordinasi,” katanya.
Sementara itu, menurut Drs HM Khaerul Huda, sebetulnya untuk kegiatan penganggaran tahun ini dan berikutnya, semua harus ada proposal yang diajukan. Khaerul mengatakan hal itu senyampang dengan anggaran yang diajukan untuk kegiatan yang mendesak oleh DKT. Meski begitu, walikota menandaskan jika masih ada anggaran dapat diadakan tapi jika tidak ada diajukan dalam ubahan. Namun pada prinsipnya dia mau memberi solusi agar kegiatan yang mendesak itu terwujud.
Harapan Ikmal, DKT ke depan harus bersinerji dengan Pemkot Tegal sesuai dengan program pemerintah untuk memajukan sektor pariwisata yang di dalamnya menyangkut budaya dan kesenian. “Persoalan-persoalan dan permasalahan masa lalu harus dikubur,” pungkas Walikota (LS)



TATAP MUKA - Jajaran Pengurus harian dan komite DKT bertatap muka dengan Walikota Tegal H. Ikmal Jaya, Selasa (21/4) di ruang kerja Foto : Lanang Setiawan


Kamis, 16 April 2009

KEN NARENDRA MEDIASAH MUHAMMAD


KEN NARENDRA

Saiki kari potone tok
nggo tanda mata

Rabu, 15 April 2009

PEMENTASAN 200 JUTA DISOAL

Pentas Shalawatan Barzanji 200 Juta Disoal

PEMENTASAN kolosal Shalawatan Berzanji yang menelan anggaran APBD sampai 200 juta, ramai dibicarakan para seniman Kota Tegal. Hal itu dinilai cukup fantastis, karena masih banyak seniman Tegal yang mau pentas saja harus terpaksa menggadaikan sepeda motor seperti yang dialami oleh seniman ketoprak Mintoro. Sementara ada pula para seniman harus ‘ngemis-ngemis’ dan sibuk cari pinjaman demi untuk pagelaran seni yang sejatinya untuk kebesaran nama Kota Tegal. Makanya, tak pelak lagi kalau anggaran pementasan tersebut menjadi sangat berlebihan dan Pemkot Tegal jangan sampai mengulang kejadian serupa. Demikian rangkuman perbincangan para seniman yang dihimpun NP, Rabu (15/4) siang.Menurut seniman Nurhidayat Poso menilai. Pementasan dengan dana ratusan juta bahkan milyaran rupiah pun, tak ada persoalan sepanjang pementasan itu berkualitas mempunyai dampak bagi pencerahan masyarakat, dia akan mendukung sepenuhnya. Akan tetapi, kata Nurhidayat lebih lanjut, dana pertunjukan yang gede di tengah angka pengangguran di Kota Tegal yang fantastis diambil dari dana rakyat digelontorkan untuk escapisme segelintir seniman dengan galah sengget para penguasa nepotisme kultural, dan terus menerus hanya melahirkan karya-karya yang jauh dari realitas masyarakatnya. “Kenapa para seniman yang dibiayai APBD itu tidak mengangkat tema Kota Tegal sebagai kota terkorupsi ke 2 se-Indonesia? Kota ranking ke 3 dari bawah sebagai kota terkotor dari kacamata adipura? Kenapa tidak mengungkit slogan Tegal Keminclong ternyata menyebarkan bau bangkai di mana-mana?” tanya Dayat panggilan akrabnya, dengan pedas. Baginya, yang namanya kesenian itu mesti jadi pengilon masyarakatnya. Bukan terus mengulang cerita legenda, membesarkan mitos-mitos pembodohan, penonjolan kesakralan agama tertentu. Apalagi dibiayai dana rakyat yang tidak semua dapat menikmatinya, hal itu akan menyakitkan rakyat pembayar pajak yang sah.Lain lagi pendapat Ketua DKT Nurngudiono, anggaran DKT tahun 2009 saja cuma dapat bantuan dana 100 juta untuk ngopeni 9 komite seni dan Pepadi untuk masa selama 1 tahun. Bandingkan dengan pementasan Shalawat Barzanji yang notabene hanya satu setengah jam, tapi dana yang digelontor mencapai nilai 200 juta, baginya sungguh fantastis. “Alangkah baiknya dana sebesar itu digunakan untuk pentas 20 atau 30 kelompok seni dari beragam cabang kesenian. Saya prihatin, dan semoga kedepan tak ada kebijakan Pemkot yang menguntungkan kelompok tertentu.” tandasnya. Pendapat yang sama juga diutarakan oleh pelukis Suroso Benan. Menurutnya, seandainya anggaran 200 juta diberikan ke DKT melalui komite-komite yang menaungi tiap cabang seni dan tiap cabang dapat plafon 3 juta saja, berapa kali pementasan yang bisa digelar? “Coba bayangkan, berarti tiap hari di Tegal akan ada pertunjukan selama dua bulan. Maka alangkah bangganya Tegal jadi barometer kota seni di kawasan pantura” katanya.Pendapat penyair HM. Enthieh Mudakir lain lagi, dengan biaya anggaran yang tak terkirakan itu, diharapkan penyelenggara pementasan kolosan tersebut harus tetap profesional dan profesional mengenai dana APBD. “Tuntutan masyarakat seni tidak sekadar artistik, akan tetapi sikap keterbukaan dalam pelaksana proyek atas pementasan tersebut. Dia dituntut memiliki arti penting di dalam konsekuensi menggunakan dana itu” tandasnya KZ/LS

Foto : Nurhidyat Poso

Selasa, 14 April 2009

PENGENDARA BADAI BAGIA SATU


Lanang Setiawan
Pengendara Badai
(Sebuah Ensiklopedi Gerakan Tegalan)

Tegal 1950

ALUN-ALUN Tegal malam hari merintih dan merana. Cahaya lampu mercury tumpah-ruah menghambur di jalan beraspal tampak berpedar-pedar, namun tak sedikitpun sanggup menjangkau lingkaran alun-alun yang luas. Pusat malam jadi seperti mengental dalam kegelapan. Dalam balutan keremangan itu aku berdiri tegak lurus sejajar dengan langit di tengah-tengah kepungan kesunyian gulita. Helai-helai rambutku berkibar-kibar ditampar hembusan angin. Suara cekikikan dari pasangan orang yang berpacaran di bawah keremangan pohon kedawung menusuk-nusuk daun telingaku. Di bawah tiang bendera tidak jauh dari Masjid Agung, kulihat bocah-bocah cilik berkejaran. Penjual mainan anak-anak, tukang bakso, kupat glabed, wedang ronde, pangsit, nasi goreng, bakul rokok, kancang godog, roti bakar, dan para penjual minuman bercokol di trotoar. Lalu lalang kendaraan dari tiga penjuru yang lewat perempatan A. Yani, melintas lingkaran utara alun-alun. Di pertigaan tugu garuda kendaraan ambil jalur ke timur menuju arah Stasiun Kereta Api. Sebagian kendaraan yang melaju dari arah berlawanan itu melintasi jalan depan balai kota dan merayap ke barat pada pertigaaan Jalan Diponegoro. Ada juga menikung ke kiri memasuki Jalan KH. Ahmad Dahlan di sebelah kanan Gedung Bioskop Dewa.
Mengamati geriap kesibukan pusat kota kelahiranku ini tidak hanya membawa pada suasana yang mengasyikan namun sesuatu yang hilang sedang berdesakan dalam alam pikiranku dan oleh karena hatiku ditudungi kelu. Pada jarak pandang dua ratus meter, aku masih bisa dengan jelas melihat gedung tua yang remang kusam di depan mataku; Gedung Dewa! Ya gedung bioskop kebanggaan masyarakat Tegal itu, membuat pikiranku terlempar jauh pada kenangan masa silam.
Dulu, gedung itu bernama Rex tapi entah tahun berapa nama tersebut diganti. Yang kutahu, gedung itu bernama Dewa, tiap malam ratusan masyarakat dari golongan ekonomi lemah berjubel menunggu dibukanya loket penjualan karcis. Mereka berdatangan dari berbagai pelosok kampung seperti semut yang mudal ketika segayung air ditumpahkan dalam lubang rumah mereka.
Masyarakat itu berduyun-duyun menyerbu Bioskop Dewa selepas magrib dengan tujuan ingin menonton film India yang menjadi daya pikat dan sihir bagi mereka. Ketika aku masih SD, aku seperti juga mereka menyandui film-film India sampai aku mengenal betul nama-nama aktor dan artis seperti Rajesh Khanna, Dimple Kapadia, Jeetendra, Dharmendra, Hemamalili, Rabidranath Tagore, Helen, Ray Kapoor, Sashi Kapoor, Sunil Dutt, dan pemeran yang paling nggemesi adalah tokoh antagonis Prem Chopra. Jika salah satu dari pesohor itu beraksi dalam sebuah film, bukan main Bioskop Dewa penuh sesak penonton seperti pasar tiban pada hajatan Pilkades. Tak terkecuali aku, selepas magrib sudah rapi berdandan. Rambut kuolesi minyak wangi bermerk tanco dengan kusisir klimis. Bersama teman sebaya, aku kemudian bergegas menyerbu gedung itu dengan berjalan kaki. Jarak antara kampungku dengan Gedung Dewa memang tak seberapa jauh, kurang lebih setengah kilo meter.
Penyerbuan kami ke gedung itu bukan untuk berdesak-desakan di loket pembelian karcis, melainkan menghadang orang-orang yang hendak menonton.
“Mèlu oh Um, nyong dianggap adi atawa keponakan. Tiket satu bisa untuk dua orang ka…”
Begitu cara kami merayu penonton. Dan bagi para penonton bioskop yang baik, hal itu bukan masalah. Dengan senang hati mereka akan menggandeng tangan kami untuk bersama masuk melewati penjagaan karcis. Begitu sampai di dalam gedung, kami memisahkan diri untuk mencari tempat duduk yang kosong. Dengan cara seperti itu aku dan kawan-kawan menikmati tontonan film India secara gratis.
Di sini kalau bukan film India yang diputar, dapat dipastikan film nasional seperti pada kebanyakan pemutaran film di bioskop-bioskop kelas pinggiran atau kelas kerotak. Jangan berharap kalau di sini memutar film Hongkong atau Hollywood. Tak ada cerita di bioskop ini menyuguhkan film-film semacam itu. Kalau pun ada, dua tahun kemudian baru bisa kami tonton. Toh, meski demikian setiap hari penonton di Bioskop Dewa tak pernah sepi, mereka tumpah ruah seperti ramainya malam lebaran.
Aku merasakan sekali gairah mengasyikan mereka turut meramaikan kehidupan malam di kotaku lewat gambar hidup, walau mereka harus berdesakan runtung di loket pembelian karcis seperti ular naga. Loket karcis untuk klas I berada di depan gedung, sedang loket pembelian karcis klas II berada di belakang. Bukan perkara mudah jika Anda bisa mendapatkan seri-seri karcis berkelas balkon karena sebelum loket dibuka, seri karcis tersebut sudah habis diborong para calo yang ‘berkolaborasi’ dengan pihak bioskop. Alhasil, karcil yang tersisa hanya seri-seri tempat duduk di deretan depan. Jika Anda memaksa menonton dengan seri-seri tersebut, posisi kepala seperti bersandar di kursi malas dengan kepala mendongak ke langit-langit, sedang gambar film seakan mau ambruk menimpa wajah karena saking dekatnya posisi pandang dari layar pemantul film. Mata rasanya pedas berkunang-kunang dan kepala pusing tujuh keliling.
Ya! Betapa asyik aku mengingat memori masa kecil yang kini berputar-putar dalam batok kepala. Sayang, semua itu tinggal kenangan yang membuat hatiku dihantam kelu. Gedung Dewa kini seperti gadis yang merana dan merintih ketika dikhianati kekasih karena tragedi perselingkuhan. Kejayaan gedung itu musnah sudah, suram, kusam, gelap gulita dan berkesan menakutkan lantaran gedung yang dulu megah dan bercokol di pusat kotaku itu telah bangkrut. Dua teras di sirip jendela kiri dan kanan lantai dua, tampak juga berlumut dan bermunculan tanaman liar. Cat brown di trali besi mengelupas dan besinya berkarat.
Mengenaskan dan menggelepar-gelepar nasib tragis yang menimpa gedung itu, ternyata sama halnya melindas kondisi Gedung Bioskop Dewi. Gedung tua yang bercokol di belakangku itu, tampak kokoh berdiri seperti ketangguhan Gedung Dewa. Posisi bangunan menghadap ke selatan, di sirip kiri dan kanan bagian depan berbentuk benteng berjendela kaca. Pada bagian kanan digunakan sebagai tempat penjualan tiket klas II sementara di sirip kiri untuk klas I. Bagian tengah di atas dua bangunan itu, dibuat dinding kokoh sebagai tempat membentangkan poster film yang akan diputar.
Gedung ini semula bernama Roxi. Tapi seperti halnya pergantian nama Dewa menjadi Rex, aku pun tak tahu sejak kapan nama Roxi menjadi Dewi. Yang kutahu, film-film pilihan yang diputar di bioskop ini senantiasa berasal dari Hongkong dan Hollywood seperti sengaja menandai sebuah simbol kelas masyarakat yang berjuis. Film India? Nehi maharad dunia dipatil lèlé! Artinya sama sekali tak mungkin terjadi. Kejomplangan terhadap harga tiket masuk pun terasa menyengat sekali untuk ukuran kelas bawah. Jika di Dewa mematok harga sebesar 350 rupiah untuk klas I, maka di bioskop Dewi bisa terpaut sampai tiga atau empat kali lipat. Di Bioskop Dewi ini boleh dikata sebagai gedung ‘perlawanan’ dari kaum priyayi, orang-orang Tionghoa, jetset dan mereka yang berkantong tebal. Tak pernah aku melihat ada orang kampung mampu menembus masuk menikmati tontonan berkelas di Bioskop Dewi. Dan jangan harap anak-anak bisa nebeng nonton pada kebaikan penonton, karena tanda masuk untuk anak-anak sudah ditentukan separoh harga. Penjagaan di pintu masuk pun sangat ketat didampingi dua anggota CPM sehingga tak memungkinkan anak-anak bisa nyeluduk atau masuk ke dalam bioskop di tengah berjubelnya penonton.
Aku menarik nafas dalam-dalam mengenang delapan belas tahun silam. Angin malam kurasakan semakin mendera dingin. Aku masih saja berdiri di tengah pusat kota dalam bundaran kegelapan alun-alun. Entah kenapa malam ini aku merasakan ada kerinduan berkilas balik.
Kubakar sebatang rokok untuk menahan rasa dingin sambil duduk mengunyah permen jahe. Jalanan mulai sepi, baru jam sepuluh lewat seperempat menit tapi para pejalan kaki dan orang-orang yang duduk di trotoar, berangsur pergi. Pasangan anak muda yang tadi berpacaran dan cekikikan di bawah keremangan pohon kedawung itu telah lama berlalu. Bangunan menara water ledeng berdiri angkuh di Jalan Pancasila menuju arah Stasiun Kereta Api tampak menghitam dikelam malam seperti hantu. Hanya kelap-kelip lampu bagai bintang kejora di atapnya sebagai penanda bangunan itu bisa aku tatap dari kejauhan.
Di sini ya di sini! Di tengah bundaran alun-alun kotaku yang sepi dan remang, siapa sangka pada tahun 50-an pernah menjadi pusat kebudayaan yang menggelegar sebagai tanda sebuah kota yang tak pernah tidur. Ibarat ladang pertunjukan, kehidupan malam di bundaran Alun-alun Tegal penuh dengan kompetisi rombongan kesenian rakyat dari kaum urban yang datang seperti pusaran lisus bergulung-gulung.
“Hampir setiap malam bukan main ramainya dayoh kesenian tradisional datang ke pasar malam Alun-alun Tegal. Lusdruk, sulap, sintren, joget jantoek, doger, atau apa saja bebas mengisi di ringin kurung termasuk kesenian tandak” ungkap Karno Wibowo suatu ketika.
Kata-kata itu aku dengar tujuh tahun yang lalu ketika aku bertandang di rumahnya. Karno Wibowo adalah tetangga sekampungku, dia pelukis, penggemar keroncong dan kepala sekolah SD. Aku bertandang ke rumah dia karena aku penyuka hasil lukisannya dan secara diam-diam aku banyak menyerap cara bagaimana dia memuntahkan pewarnaan gelap terang pada lukisan yang dia bikin. Pada dunia lukis, aku pun sedikit memiliki hobi. Tapi kesenian tandak, apa pula?
Kata Um Karno -begitu aku suka memanggil dia, kesenian tandak itu tidak jauh beda dengan pementasan ronggeng. Ketika kesenian itu ndapuk di bundaran ringin kurung, tak kalah heboh menyedot khalayak ramai karena kesemuanya bertitik sentral pada figur ledek atau tandaknya yang banyak menampilkan dimensi rayuan dan kerling mata pada diri perempuan yang menjadi primadona, entah kepiawian langensuara, tarik suara atau dalam langenbeksa, bersendratari, bisa pula kecantikan dan keluwesan.
“Biasanya, tugas sang primadona tandak akan berjalan kesana kemari mendekati konsumen dengan segala tutur kata penuh daya pikat,” ujar Um Karno.
Pada konsumen lelaki yang terjerat rayuan dan kerling mata, dia bakal langenbeksa atau joget bareng bersama sang tandak. Pada ujung pementasan, antara tandak dan konsumen laki-laki akan melangsungkan ‘langenbeksa yang sesungguhnya’ di sebuah losmen seperti halnya biduan-biduan dangdut yang banyak mengumbar nafas-nafas birahi.
“Tak beda dengan para pendangdut, tandak pun bisa diboking seusai pementasn. Deraan ekonomi yang menghimpit, akhirnya memaksa dia merelakan untuk menempuh jalan pintas di luar kerja seninya,” tandas Um Karno.
Dari Um Karno, aku juga memeperoleh kejelasan tentang pusat-pusat kebudayaan yang dimiliki kotaku. Selain di tiga tempat itu, geriap kesenian yang lebih prestisius bercokol di Gedoeng Rakjat. Gedung warisan Belanda ini berada di wilayah Tegalsari, 5 kilometer dari kegiatan perkotaan alun-alun. Tepatnya bersemayam di sebelah barat pelabuhan, gedung tersebut dibangun sebagai sarana penyeimbang antara kesenian marjinal dan gambar hidup.
Gedoeng Rakjat ini dulunya bernama Gedung Sositet (society de Slamat) merupakan gedung sejarah yang menjadi saksi gaya hidup baru dibawa kolonial Belanda untuk berpesta pora dan berdansa-dansi. Salah satunya terdapat ballroom yang kemudian orang menyebutnya sebagai Kamar Bola karena di sana kerap digunakan bermain billiard. Ukuran gedung pertunjukannya 8 x 10 meter dengan kapasitas 600-700 orang. Disamping untuk pertunjukan musik, juga sandiwara keliling, tonil. Di depan Gedung Sositet ada Taman Bunga yang kadang kala digunakan untuk pesta kebun.
Orang-orang Belanda menyebut tempat plesiran itu Gedung Sositet, artinya gedung ‘rakyat’. Meskipun disebut sebagai Gedung Rakyat namun tidak semua orang pribumi bisa masuk kecuali kaum menak, priyayi dan orang-orang Tionghoa. Gedung ini menjadi simbol kelas dalam interaksi sosial di kalangan masyarakat Tegal, dalam bahasa Inggris society diartikan sebagai sekelompok manusia yang hidup bersama, saling berhubungan dan mempengaruhi, saling terikat satu sama lain sehingga melahirkan kebudayaan yang sama.
Gedung Sositet juga menjadi simbolis megapolis masyarakat kolonial di Tegal, menjadi tempat in grup feeling yang begitu kuat dari golongan kolonial, sehingga menjadi tembok pengalang asimilasi dengan masyarakat biasa. In grup feeling artinya suatu perasaan yang kuat sekali bahwa individu tertentu terikat pada kelompok dan kebudayaan yang bersangkutan dan hal ini ditegaskan Sositet sebagai ruang publik.
Pada era Pemerintah Pendudukan Jepang, gedung ini diganti dengan nama yang lebih familiar yaitu Gedoeng Rakjat, sebagai tempat para dramawan Tegal untuk memompa gairah semangat mereka berkarya sampai kemudian lahir aktor dan sutradara berkelas nasional Soedjai S.

*

Tema Sosial
Soedjai S adalah seorang dramawan dan sutradara. Nama Jai -sapaan akrabnya, cukup kondang di tengah masyarakat. Jai mendirikan grup senidrama Pelajar Tegal sebagai bentuk pengenalan terhadap masyarakat agar mereka tahu apa yang dinamakan senidrama. Bagi Jai, senidrama adalah bentuk pementasan yang tidak sekadar memainkan lakon namun perlu ada latihan, intonasi suara, setting, tata lampu, tatarias, bloking, kostum, musik, dan penghayatan karakter tokoh yang satu dengan yang lain. Semua itu diramu secara harmonis oleh sang sutradara sebagai kerja kreatif sebuah pementasan.
“Pemahaman senidrama itu sangat lain dengan bentuk pementasan sandiwara tradisional yang kerap dibawakan oleh seniman tempo doeloe. Kesenian Kècrèt misalnya, tidak perlu naskah, latihan, tata lampu, setting, kostum, atau pendalaman karakter tokoh. Sandiwara Kècrèt juga tidak membutuhkan penata laku atau sutradara. Para pemain dijor klowor, dibiarkan begitu saja tanpa arahan sutradara. Mereka bermain asal pentas tanpa detail-detail sebuah tontonan,” ujar Jai pada suatu hari di rumah kontrakan Jalan KH. Nahrawi, Pedukuhan Sentanan, Tegal.
Jai dilahirkan di Tegal 2 Januari 1930. Dia mulai dikenal sejak pergulatan masa mudanya begitu suntuk di ladang keaktoran. Hari-hari dia dihabiskan untuk berkesenian. Kegilaan tokoh yang satu ini tak asing bagi masyarakat Tegal karena luapan karyanya kerap digelontorkan di Gedoeng Rakjat. Lakon Korban Demoralisasi merupakan salah satu karya dia yang digelar beberapa hari di gedung tersebut dengan mendapat respon penonton yang cukup membludak. Drama ini memberikan nuasa baru berkisah tentang kehidupan remaja yang tersungkur dalam kubangan lumpur maksiat; berbagai macam minuman alkohol dan seks bebas menjadi nyanyian lumrah akhir pekan mereka. Sisi kelam adalah pilihan hidup para tokoh yang digambarkan Jai lantaran di dalam kekelaman itu ada segenggam kenikmatan seperti persenggamaan binal. Dan itu menjadi konsep pergaulan mereka; merupakan imbalan kelalaian orang tua yang mengukur kemuliaan hidup dengan limpahan harta yang didapat dari hasil colongan. Norma-norma agama cuma dogma dari suara sumbang yang tak pantas didengar. Demoralisasi itu akhirnya berdampak pada keturunan mereka karena otak, pikir, hati, daging, jiwa dan darah anak-anak dibentuk dari hasil kejahatan korupsi. Tema itu sangat langka namun berhasil diangkat Jai ke dalam pentas dari efek pergaulannya yang multietnis.
Tema serupa seperti lakon Terkutuk Masa, Bumantara dan Ratapan Si Miskin. Tiga lakon karya Jai ini sarat pula dengan ketajaman kritikan sosial. Pikiran Jai muda, senantiasa tak pernah lepas dari kesalehan sosial. Keberpihakan pada tingkatan masyarakat kelas bawah dan kebusukan moral para pejabat, menjadi ide utama. Eksistensi Jai seperti diakui aktris Ida Sri Maedah sewaktu aku berkunjung ke rumah dia di wilayah Randugunting.
“Lakon-lakon yang ditulis Jai, hampir semuanya bertumpu pada realita hidup penuh dengan kritik sosial. Jangkauan pemikiran Jai melampaui pikiran kebanyakan orang. Lakon Korban Demoralisasi atau Terkutuk Masa, menarik sekali karena kentalnya nilai sosial. Lakon itu tidak hanya ditonton oleh anak-anak remaja melainkan ditonton oleh kebanyakan masyarakat Tegal. Dimainkan tidak cukup sekali tapi sampai lima pementasan. Penontonnya selalu penuh. Jai muda, menjadi bintang, dambaan dan pementasannya selalu ditunggu-tunggu,” kata Maedah.
Kesaksian Maedah bukan bualan tanpa realita karena semasa mudanya, dia salah satu awak kelompok dari senidrama Pelajar Tegal. Dia sendiri menjadi tokoh sentral sekaligus lawan tanding Jai yang berbakat. Tak pelak kalau dia tahu betul bagaimana sepak terjang Jai sebagai penulis lakon dan sutradara jenius. Hingga suatu siang di tahun 1954, Ketua Bidang Senibudaya Tegal, Woerjanto mengundang para seniman. Mereka dikumpulkan di Kantor Jawatan Penerangan untuk membentuk organisasi ISMT kepanjangan dari Ikatan Seniman Muda Tunas. Belakangan organisasi tersebut lebih kondang disebut Tunas di bawah pimpinan Woerjanto. Salah satu usul yang dicetuskan Jai adalah pembentukan senidrama di komunitas Tunas.
“Saya setuju sekali kalau di Tegal ini ada wadah organisasi para seniman muda. Tapi hendaknya di kelompok Tunas ini tidak hanya kesenian musik, wayang orang, ketoprak atau kesenian tari saja. Saya usul harus ada wadah ekspresi keseniaan lainnya” kata Jai.
“Terima kasih saudara punya gagasan lain. Tapi kami ingin tahu usul saudara Jai apa?” ujar Woerjanto sebagai pemimpin penentu kebijakan.
“Dalam forum ini, yang hadir ada banyak aktor dan aktris senidrama. Oleh karenanya kelompok senidrama jangan sampai ditinggalkan!”
Usulan Jai mendapat dukungan penuh. Pimpinan rapat kemudian memutuskan untuk membentuk sebuah kelompok senidrama. Nama Tunas akhirnya dipilih sebagai ajang mereka untuk berkiprah. Dan Jai didaulat untuk membuat naskah sekaligus sebagai sutradara pementasan.

*
Menjaring Ilham
Jai merasa mendapat tantangan. Apakah ia bakal berhasil membuktikan pada orang-orang Tunas dan mempertaruhkan reputasinya sebagai seniman jenius? Apakah ia benar-benar seorang dramawan profesional yang akan mengharumkan nama komunitas Tunas?
Sejak Jai diserahi tugas, dia banyak begadang, nongkrong di warung-warung dengan tukang becak, semacam menyadap dan menyaring cerita-cerita pedih. Atau duduk berkontemplasi di pantai Tegal untuk menjaring ilham. Tak jarang Jai nampak murung. Jika di tengah obrolan kawan-kawan, Jai lebih banyak diam ketimbang bersuara. Sikap Jai yang demikian sudah dipahami oleh kawan-kawan.
Seniman jika sedang bekerja memang suka bersikap aneh. Orang awam sering tidak mengerti bagaimana mereka bekerja dengan otak kanannya. Perenungan, pencarian ide, mengolah pikir, rasa, dan kontemplasi, dimatangkan penuh kesungguhan, membuat pekerjaan itu bukan persoalan sepele. Melahirkan sebuah karya serius menyedot energi cukup banyak karena menyangkut harkat diri. Karya adalah sebuah pertaruhan, eksistensi, prestisius yang harus diperjuangakan oleh seniman. Dan Jai tahu soal itu, oleh karenanya ia tidak main-main dalam memburu ilham. Melahirkan karya master piece memang menjadi dambaan setiap pelaku seni.
Suatu siang yang berawan, wajah Jai tampak berseri-seri, sumringah. Dia datang ke Kantor Jawatan Penerangan menemui Woerjanto. Di batok kepalanya sarat ilham yang dia gali dari jalanan dan pantai. Ia sudah tak tahan menanggung beban itu ingin segera dia tumpahkan dalam naskah.
Woerjanto yang kerja di sana menyambut kedatangan Jai dengan suka cita. Mereka duduk berhadapan. Jai membakar rokok putih, dihisapnya dalam-dalam.
“Mau minum apa Kang Jai?” kata Woerjanto.
“Kopi”
Woerjanto mengundang salah satu anak buah untuk memesan minuman. Lima menit kemudian pesanan datang.
“Tumbèn sampeyan ke sini, apa yang bisa saya bantu?” kata Woerjanto.
“Saya mau andon ngetik di sini Woer, mesin ketiku lagi diservis”
“Oh silakan, sampeyan pakai. Mau sekarang apa kita ngobrol dulu Kang?”
“Sekarang Woer, saya sudah amat tersiksa mengandung luapan ilham”
Jai diantar ke satu ruangan khusus. Di ruangan paling barat, ada dua mesin ketik besar bertengger di atas meja.
“Sampeyan bebas mengetik di sini. Kertas dan karbon tinggal ambil di lemari itu,” Woerjanto menunjuk ke arah almari.
“Ya Woer, makasih”
Woerjanto berlalu, kembali masuk ruangan kerja. Jai bergegas mengambil kertas dan karbon. Lima lembar kertas buram dijepitkan di mesin ketik dengan empat karbon sekaligus dipasang di sela-sela kertas. Jari-jari lentik Jai kemudian menari-nari di atas tut-tut mesin ketik. Selembar demi selembar Jai menghabiskan waktu di ruangan itu. Berhari-hari Jai bolak-balik mendatangi Kantor Jawatan Penerangan untuk menyelesaikan naskahnya. Tidak jarang ia melembur.
Menghadapi mesin ketik, kegilaan Jai menggebu. Ia akan menghabiskan waktunya berjam-jam sampai apa yang dia tulis tuntas. Sebuah lakon berjudul Kandas akhirnya terselesaikan. Inti cerita adalah perebutan cinta segi tiga.
Hari-hari berikutnya Jai mendatangi Sri Ida Maedah dan Imam Sumarto untuk melakonkan tokoh dalam naskah Kandas. Jai sendiri merangkap sebagai pemeran utama dan tiga pemain lainnya menjadi figuran. Latihan pun berderap, langsung berbulan-bulan penuh gelora.

*

Kandas
Sebuah panggung pementasan dengan kain putih lebar yang kedua ujungnya dijepit bambu, membujur dari langit-langit atap menjuntai ke bawah seperti asap putih tebal sisa pembakaran pesawat terbang menggantung di awang-awang. Suasana panggung gelap gulita, sorot lampu berwarna merah memusat di kain putih. Di tengah-tengahnya bergelantung seutas tambang panjang ditimpa cahaya lampu melahirkan siluet garis, menambah giris suasana. Sayup-semayup suara musik gesek merayap-rayap ditingkah dentuman genderang, dan musik gesek itu menyalak lebih keras lagi seperti jeritan pelaku curamon yang disuruh lari Polisi untuk ditembak. Rayapan rebana kencèr berbareng menghentak ditingkah musik gesek yang semakin lama semakin menggila. Kemudian break. Tiupan seruling lamat-lamat. Dari balik kain itu kemudian muncul siluet bayangan perempuan.
Berdiri di tengah-tengah kain putih, perempuan bayangan itu melontarkan kalimat dengan nada berat seperti memanggul beban hidup.
“Hidupku berlumpuran dosa. Kekasihku lenyap pada masa pergolakan Jepang ketika aku mengandung benih darinya. Harapan membangun maligai berantakan sampai aku melahirkan si orok. Aku diusir orang tua ketika mereka tahu diriku mengandung. Aku menggelandang dari satu kota ke kota lain hingga terdampar di komplek pelacuran Barasid. Mas Hardi adalah orang pertama yang meniduriku. Berpuluh lelaki hidung belang silih berganti menghisap sari kenikmatan tubuhku. Pada Mas Hardi aku jatuh cinta tapi tak kalah dasyat aku menjalin hubungan gelap dengan Mas Tikno. Keduanya sulit aku lepaskan. Cinta segitiga ini sama gilanya dan mereka saling memperebutkan diriku. Aku tak bisa memilih satu diantara dua kekasihku itu. Separo hatiku digenggam Mas Hardi dan separonya lagi direngkuh Mas Tikno. Aku bimbang, sulit sekali aku memutuskan. Dada ini seolah disayat sembilu berbulan-bulan bahkan menahun, menimbulkan kedukaan panjang…. ”
Perempuan yang ada dalam siluet itu tak kuat lagi menahan prahara batinnya. Perempuan itu kemudian merengkuh tali yang menggantung. Seketika lampu padam, ruangan gelap. Musik menyayat, gesekan biola dan suara seruling berpadu di antara kegelapan menimbulkan suasana mistis. Ada tiga menit, lampu di balik kain putih itu samar ramyang-ramyang berpijar. Sosok bayangan tergambar di tiang gantungan. Bunyi kentongan dipukul berulang-ulang menandai adanya raja pati. Perempuan itu membeku, menjadi mayat. Muncul tokoh Hardi dan Tikno saling melolong dan berebut ingin memeluk perempuan yang menggantung. Mereka akhirnya saling tikam dengan sebilah pisau ketika tahu perempuan yang ada dalam siluet itu adalah kekasih mereka.
Itulah lakon Kandas yang digelar komunitas Tunas di Gedoeng Rakjat dengan gemuruh tepuk tangan penonton mengiringi akhir pertunjukan. Sebagai tontonan, pementasan itu amat memukau dan menteror. Secara dramatis, tokoh Hardi behasil dimainkan Jai. Sebagai sutradara sekaligus pemeran lenggaong Pasar Sore, Jai telah menunjukkan sebuah tontonan yang segar, menyergap, dan berkelas. Ditangan Jai, pertunjukkan Kandas itu berhasil menciptakan persona yang penuh imajinatif. Karakter Hardi misalnya, ketika harus melakukan adegan senggama dengan Indah --perempuan yang ada dalam siluet itu, tidak serta merta divisualisasikan secara vulgar. Dengan cerdas, Jai mengalihkan adegan mesum itu dengan cukup manis. Ia mengajak penonton untuk berpikir keras, menafsirkan peristiwa apa yang sedang dilakukan oleh kedua pemain itu saat mereka berada dalam bilik peraduan.
Awalnya kedua tokoh itu masuk dalam bilik bambu yang dimaksudkan sebagai setting kamar. Ke dua alas kaki mereka di lepas di depan pintu bilik. Tak lama, dari dalam bilik berhamburan secarik gaun, rok, celana panjang, kolor, baju sampai BH. Dari adegan ini saja, penonton sudah cukup mengerti lebih dari nafsu birahi menggebu yang melanda perasaan daripada mereka membaca sebuah novel stensilan. Penggambaran seperti itu, sungguh baru kali pertama terjadi dalam sebuah pementasan di Tegal.
Kali lain, Jai menciptakan hal spektakuler. Misalnya ketika adegan tokoh Hardi dikeroyok oleh tiga lelaki begal, Jai menampilkan peristiwa itu dengan bayangan siluet di sebuah bilik empat persegi panjang, terbuat dari kertas putih. Sebelum membentuk sebuah kotak bilik, kertas putih itu turun perlahan-lahan dari langit-langit panggung bersamaan dengan tiga pemeran begal berhamburan mengepung Hardi. Begitu membentuk bilik, sorot lampu seketika membuncah dan mereka pun berkelahi habis-habisan. Gerakan perkelahian diekspresikan dengan tarian. Adakalanya mereka berputar-putar seperti anak-anak kampung bermain komedi putar di antara dentuman musik keras yang harmoni. Akhir dari adegan ini, tokoh Hardi merobek satu bilik dengan lolongan panjang memekakan telinga. Dan Jai memerankan tokoh itu amat memukau penonton.
Sebagai sutradara berbakat, Jai pun mampu mengemas Imam Sumarto sebagai tokoh Kirno sama seperti Sri Ida Maedah memerankan tokoh Indah. Kedua pemain itu tak sia-sia digojlog Jai selama dua bulan menjalani proses latihan. Tak pelak, mereka mendapat applaus dari penonton.
Malam perdana pementasan Tunas, perasaan Jai diliputi kegembiraan penuh seluruh. Woerjanto tak segan memeluk Jai dengan mata berbinar-binar dan wajah berseri-seri.
“Sukses, sukses, selamat buat kamu, Kang. Sampeyan telah memulai pementasan Tunas dengan gemilang. Rasanya tak salah aku memilih sampeyan sebagai sutradara di kelompok Tunas. Aku merasakan kemampuan bakatmu sebagai seniman luar biasa. Sukses Kang, sukses!” kata Woerjanto dengan pelukan yang erat.
Malam ini Jai telah membuktikan reputasinya sebagai seniman yang jenius. Imajinasinya liar, baru, segar, dan tak terjangkau oleh seniman lain. Tak sedikit orang-orang menyalami dia. Juga menyalami Imam Sumarto dan Sri Ida Maedah sebagai tanda keberhasilan pementasan.
“Selamat…sukses luar biasa”, ucap kawan-kawan kepada Jai dan kedua pemeran.
Sebagai tanda kepuasan, malam itu Jai dan para seniman Tunas begadang, nongkrong sampai pagi di warung Tegal. Dan aku tahu cerita ini seperti dituturkan Soekarno Wibowo, tetangga sekampung di Kalibuntu yang menjadi anggota Tunas pada bidang seni lukis.

*


Multietnis
Kiprah Jai sebagai dramawan tetap meledak-ledak. Ia tak pernah puas bersemayam di satu kelompok. Konsep hidup Jai bukan seniman yang memiliki paham semangat primordialisme, melainkan konsep pergaulan multiras yang dia tanamkan karena dengan konsep itu dia serasa merengkuh keindahan sejati. Bertahun-tahun ia meyakini konsep itu dan berkeinginan melebarkan sayap kesenimannya dengan mendekati orang-orang Cina keturunan.
Pada suatu sore yang diguyur hujan, Jai, Tsai Ching Sin dan Liem Tek Giap bertemu di warteg. Mereka menikmati minuman teh poci dalam suasana dingin yang menggiris. Dua hari lalu mereka telah berjanji bertemu untuk satu kesepakatan membentuk sebuah komunitas yang tak membedakan golongan atau ras.
“Hidup berdampingan dengan berbagai kelompok etnis, bukanlah sebuah dosa tapi keindahan. Aku ingin di Tegal ini ada persatuan antara kelompok Cina keturunan dan orang-orang pribumi. Persatuan ini musti diwujudkan melalui kelompok seni budaya, karena kita adalah seniman. Kamu Sin dan kamu Liem, apa sepakat dengan gagasanku ini?” kata Jai seraya memandang wajah Tsai Ching Sin dan Liem Tek Giap secara bergantian.
“Secara pribadi saya setuju dengan gagasanmu. Saya sendiri sering omong-omong dengan Tsai Ching. Hidup berdampingan dengan sesama insani menjadi keinginan bersama,” kata Liem Tek Giap.
Jai mantuk-mantuk. Sementara Tsai Ching Sin menarik nafas. Ia mengiakan apa yang diomongkan Liem Tek Giap.
“Pendapatmu bagaiman Sin?” tanya Jai diantara detis hujan yang mulai mereda.
“Aku sepaham apa yang diomongkan Liem Tek Giap. Kita ini seniman, dan hidup berdampingan dengan sesama adalah keindahan. Aku tak bisa menolak kecuali bersepakat,” tegas Tsai Ching Sin.
Sore itu menjadi hari yang paling indah dalam hidup Jai. Keinginan membentuk kelompok seni budaya pembauran yang dibekap bertahun-tahun, kini menjadi kenyataan. Kelompok itu disepakati dengan menggunakan nama Seni budaya CCS (Chiao Chung She) dibawah pimpinan Tsai Ching Sin. Mereka yang berkiprah sejak tahun 1956 itu seperti Lie Soen Hiem, Lie Yap Pie, Loe Lian Twan, Tjia Giok Lie dan masih banyak lagi.
Batu Merah Lembah Merah adalah drama satu babak karya Bachtiar Siagian. Lakon itu menandai awal kiprah CCS dalam gelanggang senidrama di Tegal, sekaligus menandai pula orang-orang Tionghoa memandang Jai sebagai dramawan yang mumpuni. Dia ditunjuk sebagai sutradara dan ringkas kata, nama Jai menjadi jaminan sebuah keberhasilan. Nyatanya begitu, pementasan Batu Merah Lembah Merah menyedot penonton. Jai dielu-elukan seperti Megawati Soekarno Putri menyambangi orang-orang desa dengan sambutan meriah dan tebaran senyum yang berhamburan karena melihat dewi pujaannya turun ke bumi. Dari sinilah rupanya awal pembauran terjadi. Jai merasakan hidupnya semakin berarti dan membuktikan kalau dirinya memiliki paham pergaulan multietnis. Hal mana juga dibuktikan dengan kemampuan dia dapat menyatukan empat keturunan saat menggeber drama kolosal Bunga Bangsa.
Lakon itu karya dan sutradara Jai, melibatkan etnis Cina, Arab, Jawa dan orang Belanda. Drama spektakuler itu pun digelar di halaman depan Balai Kota Jalan Pemuda dari mulai Kantor Polresta memanjang ke selatan hingga ujung Kantor Pos dan Giro. Sebuah pementasan yang kontroversi mengundang banyak perhatian dan decak kagum. Itu terjadi pada tahun 1960.

*

Bersambung......

Sabtu, 11 April 2009

UDAN


Lanang Setiawan

Udan

Wis tak busek
aran karo nomoré kowen
nang folder hapèné enyong
lunga gagiyan aja katon mata

Enyong blèh lila jogrogé kowen nyluduk
manjing nang alam impèn
pan tak bendung mbuh pibèn carané

Bengi kiyé udané ngricek laka lirèné
nyong nyawang ujung-ujungé udan saka jendèla kaca
gambaré kowen ngambang nang endongan banyu
langsè jendèla agé-agé tak tutup, nyong emoh weruh
wujudé kowen

Mèsih tak catet kedadèyan sawindu kaé
kowen ngelos enyong kon balik dèwèkan
ngoyos nang bengi sing udan campur barat kanginan
awaké enyong kosih ndrodog katisen
kayong angèl anggoné enyong mbusek kedadèyan kaé
butuh waktu sing embuh kira-kira dawané sapira

Mèsih tak catet kedadèyan kaé nganti kebek nang
buku harian

Tegal 3.3.2009

Jumat, 10 April 2009

OJI SUNGKAR PENGAMAT GAYA


Oji - Pengamat Gaya
Gaya Rendra
Perlu Dipelajari
BELAKANGAN ini muncul trend yang semakin kuat tentang bagaimana cara kita menarik di depan umum. Salah satunya adalah kemampuan meramu gaya. Demikian Pengamat Gaya, Oji Sungkar mengatakan ketika berbincang-bincang serius tentang penampilan seniman di Sorlem.
Oji mengatakan hal itu karena cintanya pada dunia seni pemanggungan yang kerap dilakukan para pekerja seni di Tegal. Menurutnya, dalam dunia pemanggungan baca puisi maupun pementasan teater, seorang WS. Rendra menjadi tokoh seniman yang paling memukau saat dia di atas panggung pertenjukan. membuat para penonton antusias sekaligus terkesima. “Kemampuan Rendra mengemas gaya dalam pemanggungan saya kira belum muncul di kalangan seniman Tegal” kata Oji.
Makanya, katanya lebih lanjut, gaya pukau yang sering ditampilkan Rendra sangat perlu dipelajari (*)

Foto : OJI SUNGKAR

Selasa, 07 April 2009

SYAIR LAGU TEGALAN LANANG SETIAWAN


TRAGEDI JATILAWANG
Ciptaan : Lanang Setiawan

Pria :

Ngebet kesumat maring kowen
kadang, kadang, kadang, kadang
kadang ketemu prahara
kadang jiwaku merana
kadang uga kukecewa

Wadon :

gebet kesumat maring rika
kadang, kadang, kadang, kadang
kadang ketemu prahara
kadang jiwaku merana
kadang uga kukecewa

Reff:

Pria:
Kepribèn maning aku demen rika
tambah suwé tambah ngebet
aku kesumat

Wadon:
Kepribèn maning aku demen rika
tambah suwé tambah ngebet
aku kesumat

Koor:
Dijambaki, ditaboki
demenan laka kapoké
didupaki, ditentangi
tragedi nang Jatilawang

Dijambaki, ditaboki
demenan laka kapoké
didupaki, ditentangi
tragedi nang Jatilawang


WULAN KABANGAN
Ciptaan : Lanang Setiawan

Samèné baé tresnaku kambèn kowen
ora pan tangisan, ora pan tak getuni
rasa nelangsa, ngremed jiwa
tak tebus kelara-lara
wulan kabangan nang nduwur langit
tanda kresna dadi kesumat

Samèné baé tresnaku kambèn kowen
ora pan tangisan, ora pan tak getuni
rasa nelangsa, ngremed jiwa
tak tebus kelara-lara
wulan kabangan nang nduwur langit
tanda kresna dadi kesumat

Reff :
Seumpama bumi kebek
luh tangisan nggrentesé kowen
percuma…
tresnamu dadi wilad nang jero dada

( reff : 2x……)


Samèné baé tresnaku kambèn kowen
ora pan tangisan, ora pan tak getuni
rasa nelangsa, ngremed jiwa
tak tebus kelara-lara
wulan kabangan nang nduwur langit
tanda kresna dadi kesumat



RIKA TÈGA ENYONG TÈGA
Ciptaan : Lanang Setiawan

Apa rika pancèn wis tèga
ninggal lunga enyong kesepian
ngemu tangis luh dlèwèran

Rika aja kaya kuwé
karo wong wadon sagelemé
gawé lara sapènaké

Reff: Ana perkara aja dibekep
ana nganti ora wani ngadep
Ana perkara aja dibekep
ana nganti ora wani ngadep

Aja nganggo karepé dèwèk
aja nganggo menangé dèwèk

Poma rong poma aja dibekep

Angger rika pancèné tèga
aja getun enyong demenan
luru ganti sing temenan

(Kembali Ke Reff…)

Enyong ora pan guyonan
rika tèga enyong uga tèga
rika njarag enyong uga njarag


MUMPUNG KETEMU

Ciptaan : Lanang Setiawan

Kayong tembé wingi
enyong ketemu karo kowen
ati krasa kemretegan
weruh kowen mèsih dèwèkan…2x

Apa ngentèni enyong
prawan ayu lagi nunggu
nunggu kowen sing gemiyèn
nang kèné mumpung ketemu…2x

Reff: Pan apa maning
pan pribèn maning
Pan apa maning
pan pribèn maning

Koor : Wong loro pada karepé
wong loro pada mbanclengé
dudu watu, dudu gunung
aja ragu aja bingung
Wong loro pada demené
wong loro mbokan jodoné
dudu lintang, dudu wulan
aja bimbang ayo lamaran


CANDU KASIH
Ciptaan : Lanang Setiawan

Misal sampèyan keket duaan
ditinggal lunga kasih juwita
apa sampèyan dendam kecewa
ditinggal lunga kasih juwita
Umpama sampèyan diapus janji
pupus harapan tinggal lamunan
apa sampèyan sirep urubé asmara

Reff: Tresna pancèn abot
aboté ngungkuli jagad
tresna pancèn ganas
ganasé ombak lautan

Tresna pancèn candu
canduné candu kasih
Tresna penggawé tatu
tatuné nggares ning kalbu

Lamon sampèyan koprot nestapa
sepi dèwèkan nangis dèwèkan
apa sampèyan wani ngadepi lelara


AJA NGALUB
Ciptaan : Lanang Setiawan

Apa maning duhai kekasih
sing dijaluk maring enyong

Turua rika sing angler

Aduh indahnya wulan
nyusup ning sepi
Aduh indahnya lintang
ngambang ning kedung

Turua rika aja ngalub


Reff : Deru debur ombak sing nyumbat
nang dada, upaya dilereb
aja nganti dadi kesumat

Rika aja kabongan aja ngalub
apus kromo
enyong ora sudi belèh lila digawé kecèwa

Turua wulané wis lingsir



CINTA PENDEM

Ciptaan : Lanang Setiawan

Neng wayah bengi
ati kisruh ngantemi jiwa
kemutan kowen sing lunga adoh
tlaga bening ngambang ning mata
wujud tresna ngemu dukana

Tiba-tiba enyong tangisan
cintané kowen dipendem nang dada
kaya-kaya ati kesuduk

Koor: Aduh…aduh prawan ayu…2x
ora nyana dilabrag kecewa
ora nyana tambah senewen

reff : Pancèn…
enyong sing salah, nyong jual mahal
enyong sing mblunat, acuh tak acuh
maring kowen sing ngebet demen


LAGI KÈDANAN

Ciptaan : Lanang Setiawan

Wis sewindu ati nyong beku
wis sewindu ati nyong sintru
mbeku sintru mbekep nang dada
gawé lara dadi nestapa
duh aduh dadi nestapa…2x

Saben bengi nyong mandeng wulan
mbokan ana bayang sampèyan
apa iya ora kèlingan
maring enyong sing lagi kèdanan
duh adu lagi kèdanan…2x

Ref f: Apa arti sagegem emas lamaran
angger ora nganti tekan maring kawinan
Apa arti kemerlob intan berlian
angger rika mung bisané nggo dolanan

Saben bengi nyong mandeng wulan
mbokan ana bayang sampèyan
apa iya ora kèlingan
maring enyong sing lagi kèdanan
duh adu lagi kèdanan…2x

Reff:
Apa arti janji manis kaya madu
mung nyatané kabèh mau campuran lebu
Apa arti slèndang biru sutra ungu
mung nyatané rika cuman colong playu

Saben bengi nyong mandeng wulan
mbokan ana bayang sampèyan
apa iya ora kèlingan
maring enyong sing lagi kèdanan
duh adu lagi kèdanan…2x

















Senin, 06 April 2009

AB AH NUNG PEKERJA SENI SEIUS


Suparjo Ali :

Abah Nung Pekerja Seni Serius

MENGIKUTI geriap gencarnya berita tentang bursa pemilihan calon ‘G-1 Dewan Kesenian Kota Tegal (DKT), Ketua MPO (Majelis Pertimbangan Organisasi) Pemuda Pancasila, Kota Tegal, Supardjo Ali angkat bicara, majunya incumbent Abah Nung -panggilan akrab Nurngudiono, dalam bursa pemilihan ‘G-1 DKT’ yang bakal digelar Mei mendatang menjadi sesuatu yang menarik. Karena menurutmya, Abah Nung merupakan sosok seniman pekerja keras “Dari dulu sejak dia dia aktif di KNPI Kota Tegal, Abah Nung itu wong sing langka wudelé dan kreatif,” kata Supardjo Ali kepada NP, Minggu malam (5/4) di sebuah warung lesehan.
Meski dia tidak terlibat secara langsung terlibat di dunia kesenian, tapi dalam amatannya, selama DKT diketua dia, dunia kesenian di Tegal maju demikian pesat dan diperhitungkan di semua dewan kesenian yang ada di wilayah Jawa Tengah.
“Dalam berkesenian, dia itu pekerja serius” katanya yang dibenarkan oleh Nurhidayat Poso.
Sejarah juga telah membuktikan dan mencatat, selama kepemimpinan DKT di jabat Abah Nung, sudah 70 event kegiatan kesenian digelar. Dan itu ketika dia baru saja menjabat dalam kurun waktu 1,5 tahun. Ini merupakan sebuah prestasi yang luar biasa dan belum pernah dalam sejarah berdirinya DKT memiliki seabrek kegiatan sebesar itu. Selama dia menjabat, pernah menggelar pentas remojongan selama 10 hari berturut-turut berlangsung saban malam. Pembacaan puisi Jèd-jèdan Walikota/Bupati Tegal, Ketua DPRD plus anggota dewan, para pejabat dan para seniman Tegal menjadi satu dalam sebuah pentas akbar. Pementasan keroncong, mendatangkan grup teater dari luar kota, pameran lukisan, demo lukis dan seabrek pementasan yang spektakuler, dia geber.
Yang mengejutkan dan baru pertamakali, dia memberikan penghargaan kepada 3 3 penulis yang telah membukukan karyanya yaitu pada novelis perempuan Ken Ratu, penyair M. Enthieh Mudakir, dan eseis Patria Nur Bani.
Tidaklah berlebihan kalau incumbent ‘G-1 DKT’ Abah Nung itu sangat berpeluang dan masih diganduli oleh para pekerja seni agar dia menduduki jabatan ‘G-1 DKT’ untuk kedua kalinya
(*)


Foto : SUPARDJO ALI





Sabtu, 04 April 2009

BURSA KETUA DKT


Bursa Ketua DKT
Wacana Memunculkan ‘G1 dan G2’


DINAMIKA berkesenian di Kota Tegal selalu menarik diikuti. Para pelaku seni di kota yang dijuluki ‘kota negeri poci’ itu penuh geriap. Lebih lagi setelah dibetuknya dewan kesenian, letupan proses kreatif mereka terus menggila dan tak pernah padam. Kini, pergantian Ketua Dewan Kesenian Kota Tegal (DKT) sudah diambang pintu. Di tengah proses itu, Komunitas Roti Bakar Dian Gendut, merasa perlu memberikan masukan penting kepada panitia penyelenggara pemilihan untuk mencari figur panutan ketua DKT yang ideal, amanah dan bukan asal-asalan.
Berangkat dari niat baik itu, Senin (6/4) malam ini pukul 20.00, Komunitas Roti Bakar Dian Gendut, siap menggelar dialog budaya dengan tema ‘Mencari Figur Ideal G1 dan G2 DKT’. Mengundang nara sumber Hamidah Abdurrachman dan Wijanarto dengan moderator Atmo Tan Sidik. Demikian ‘Lurah’ Komunitas Roti Bakar, Saunan Rasyid mengatakan kepada NP di ruang kerjanya, Sabtu siang (4/4) dengan didampingi Atmo Tan Sidik.
Dijabatkan oleh Atmo, perlunya dimunculkan wacana G1 dan G2 dalam bursa pencalonan ketua DKT, secara dini agar konstituen masyarakat seni dapat memilah dan memilih kader dengan kualitas unggul SDM tinggi. “G1 ngurus masalah eksternal, G2 ngurus internal, sehingga ada pembidangan yang jelas” kata ‘Carik’ Komunitas Roti Bakar itu dengan berapi-api.
Lebih dari sekadar itu, Atmo mengatakan, ketika terjadi kefakuman, tidak terlalu ada goncangan karena G1 dan G2 adalah figus solidarity maker, sedang jika saat fakum dijabat sekertaris, posisinya sebagai administrative maker, bobot legitimasinya kurang.
Sementara itu Saunan Rasyid menandaskan, siapapun figur panutan calon G1 dan G2 DKT itu boleh maju. “Sing penting mereka pernah berkecimpung dalam dunia kesenian. Mereka yang punya semangat, kemauan, kreativitas dan kapabilitas,”.
Menjawab pertanyaan, Saunan menegaskan, mulai saat ini panitia penyelenggara pendaftaran bursa pencalonan G1 dan G2 DKT, segera mungkin dibuk. “The sooner the better, untuk menyaring yang terbaik, agar tidak seperti membeli kucing dalam karung” (*)



Apito Lahire Tampil Bersama Rendra

BEGAWAN monolog dan penyair Apito Lahire bak penyanyi dangdut yang lagi laris job. Di bulan April ini jadwal manggung di luar kota, padat. Tanggal-tanggal pentas dan temu penyair dia lingkari di kalender.
“Tanggal 16 – 22 April ini aku mau tampil bersama WS Rendra dan musikus Sawung Jabo dalam Festival Eloprogo di Borobudur, Magelang” ujar Apito.
Dalam festival itu, Apito akan tampil monolog membawakan Bau Mulut Raja Rimba karya Agus Riyanto. Selain itu, Apito akan mengisi work shop keaktoran bagi pelajar di sana.
Seminggu kemudian, tepatnya tanggal 28 April Apito turut dalam Temu Penyair Jateng, di Taman Budaya Surakarta. Dalam acara tersebut dia mewakili Kabupaten Tegal bersama tiga penyair lainnya seperti Abu Ma’mur MF, Julis Nur Hussein dan Nanae Eres. “Aku akan baca puisi, ikut diskusi dengan pembica Eko Tunas, dan Bandung Mawardi dari Kabut Institute Solo” katanya.
Menurut Panitia Penyelenggara, Wijang Warek, acara tersebut untuk memetakan kepenyairan di Jawa Tengah. Mewakili Kota Tegal, penyair DiahSetyawati, HM. Enthieh Mudakir, dan Joshua Igho.
Pada hari sebelumnya, Apito banyak melakukan baca puisi berkeliling di wilayah Kabupaten Tegal dalam acara kampaye caleg. Dia mengaku, untuk saat ini hari-harinya banyak dihabiskan untuk latihan monolog dan baca puisi. “Untuk bulan ini, hari-hari padat latihan. Banyak undangan pentas di kampung dan di luar daerah Tegal” katanya (*)


KETERANGAN GAMBAR : Saunan Rasyid








Rabu, 01 April 2009

ANEHDOTEGALAN LANANG SETIAWAN


Badak
KAPÈR bener-bener klabakan ngadepi anak mbototé sing tembé klas loro SD. Salah siji dina waktu dèwèké lèha-lèha nang rusbang tengah, anak mbontoté ngumbel baé.
“Bah, maèn tebak-tebakan yuh?”
“Tebak-tebakan apa Tong?” semauré Abah Kapèr.
”Ayoh Bah, apa bèdané badak kambèn Abah?”
”Apa ya?”
“Seng Bah? Abah ora ngarti jawabé?”
“Ya…dong badak jelasé kèwan, dong Abah kuwé menungsa” ”Abah salah”
“Bisané salah Tong?” takoné Abah Kapèr.
“Ya..iya lah. Abah payah ah, bodo….”
“Sih apa, jawabé Tong?”
“Adong badak, endasé ana culané tapi dong Abah, culané ana endasé. . .” (Lanang Setiawan)


Agé-agé Nglilir
RANI PÈSÈK pikirané bener-bener mumet. Sauwisé putus gèrèlan karo tukang sulap Ramdon, dèwèké pet-petan. Padalèn ngebeté maring Ramdon paribasan kosih kepentut-pentut. Mung kepibèn maning, wong jodoh kuwé wenangé Pengèran. Dadi bisa ora bisa kudu dijalani. Urip kuwé saluguné mung dadi tumpukan nasib kelara-lara. Njarem lan nunjemé ora bisa ditebak. Bab kuwé sing saiki dirasakna Rani Pèsèk sajeroné ngadepi u rip.
“Kang Dasmad, enyong ditulungi. Please Kang! Rasané, saiki nyong linglung. Nyong wis ora duwé sapa-sapa. Saiki nyong dèwèkan. Please Kang nyong ditulungi!” tangisé Rani Pèsèk sms maring Kang Dasmad alias KD.
Maca sms Rani Pèsèk, KD ora paham apa sing dikarepi. Tapi tetep mbales sms-é Rani.
“Nyong kudu nulungi apa Ran? Apa sing lagi diranapi kowen, wong ayu?”
“Atiné enyong lagi kesuduk biting sujèn. Nyong wis pisahan karo Ramdon,”
Atiné KD sangsaya nggrentes maca sms Rani Pèsèk. Dèwèké priyatin krungu Rani pisahan kambèn Ramdon. Wong lanang sing diarep-arep dadi bojoné malah nugel tresna. Tapi pancèné KD wis pernah ngandani, mbok Rani aja demenan karo Ramdon, tapi Rani njarag, ora nggugu omongané. Saiki tibané kelara-lara.
Durung sempet KD mbales sms, Rani kirim sms maning.
“Umuré enyong wis tuwa, jalan 31 taun. Saiki sapa sing gelem dadi bojoné enyong, Kang?”
Endasé KD kaya digebugi alu, ditibani lumpang sing aboté puluhan kilo. Tapi ora bada, KD mbales sms Rani.
“Kowen gelem dibojon loro daning Kapèr, Ran?”
“Sikah! Sènggané nyong ngimpi karo Kapèr baé, agé-agé nglilir. Suka nganggur!” (Lanang Setiawan)


Nunggu
GiliranKIYÉ critané Kapèr wadul maring Jayèng. Waktu samana jaman enomé Kapèr duwé tarok, tapi taroké sèrong kambèn KD alias Kang Dasmad sing pancèn uwongé ganteng.
”Waktu nyong balik nyambut gawé, Dasmad nang kebon umahé enyong. Nyong pan nguyuh latan krungu ana kresek-kresek. Enyong nginggeng saka bolongan papan. Éh, nagèna apa ya? Jebulé ya Yèng, taroké enyong lagi ambung-ambungan kambèn Dasmad!” omongé Kapèr karo ngelus dada. Jayèng nglegleg krungu critané Kapèr.
”Wah, tèga nemen ya Dasmad? Maring jakwir dèwèk kolu. Tolih tindakané ènté pibèn Pèr? Ciplosé énté weruh tarok lagi dikaya kuwé kambèn Dasmat?” takoné Jayèng.
”Ya….kepaksané nyong nunggu giliran!” (Lanang Setiawan)

Bojo Loro
KAPÈR gawé gara-gara kambèn bojoné. Critané, dèwèké pèngin mbojo loro. Latan dèwèké ngomong blaka.
“Jo... nyong pèngin mbojo loro olih belèh?” omongé Kapèr maring bojoné waktu nang kondong.
“Oh Kang Kapèr....adong kuwé bisa gawé sampèyan seneng, nyong ora papa, Kang”
“Sampèyan bener lila? Ora keberaten nyong mbojo loro?”
“Ora Kang! Enyong mung njaluk syarat telu” omongé bojoné Kapèr.
“Apa kuwé?” njagoné Kapèr sangsaya cedek maring bojoné.
“Pertama,...sampèyan kudu sayang lan demen maring enyong, tetap bimbing lan nglindungi...”
“Oh…aja watir! Kang Kapèr tetep nglindungi lan sayang!”
“Sing keloro... sampèyan kudu adil, aja andeb sebelah...”
“Okèm! Tak sanggupi kabèh...” Kapèr bèrag.
“Sing ketelu?” takoné Kapèr
“Sing ketelu, langkahi dingin mayidé enyong!!” (Lanang Setiawan)

Kado Pengantèn
KIYÉ critané Kapèr waktu tembé bebojoan. Wong lanang wadon lagi mbukani kado nang kondong pengantèn.
“Kang, delengen . . . kiyé ana kiriman kado saka Jayèng, Pot Kembang, artiné apa Kang?” takoné bojoné Kapèr.
“Artiné, kowen dadi Pot-é lan enyong Kembangé” jawabé Kapèr.
“Saiki delengen Kang, ana kiriman kado saka Glèmboh ujudé Asbak, artiné apa Kang?”
“Artiné, kowen dadi Asbaké lan enyong Rokoké” semauré Kapèr.
“Lha kiyé ana sing mèin Figura saka Um Wapèk, artiné apa Kang?”
“Artiné, kowen kuwé Figurané lan enyong Tukang Fotoné!” jawabé Kapèr.
Kado selanjuté dibuka maning gonèng bojoné Kapèr.
“Kang, mèné gèn. Delengen, apik nemen! Kang Dasmad mèin kado Sarung, artiné apa Kang?”
“Ah, kuwé artiné, kowen Sarungé lan enyong Selangé!” jawabé Kapèr (Lanang Setiawan )


Bayanganmu
CRITA Kapèr jaman mèsih mbrahol-mbraholé, senengé maring lokasi Peleman. Waktu kuwé Kapèr lagi pan énak-énakan kambèn pacar gelapé nang kondong. Wong lanang wadon wis pada ucul-ucul, ujug-ujug wadoné mencolot saka peturon. Kapèr kagèt ora kira-kira.
“Ana apa, bisané kowen mencolot?”
“Kaèh rongokna Kang, nang njaba ana lagu nyemek-nyemek nemen. Lagu Elvi Sukaesih, lagu kesenengané enyong!” jawab pacar gelapé Kapèr.
Kepaksané kupingé Kapèr ngrongokna lagu saka tipé rèkoder.

Bayanganmu selalu menggoda
membuatku tiada bedaya
membuatku sedih oh oh…


Kapèr waduké kaku, saguluné ndeleng pacar gelapé ngigel nang adepané. Manuké Kapèr sing mauné akas, dadi tiarap maning. Dasar tlembuk compong, yèrak! Pan dipangan malah ngigel-ngigel. Kapèr akhiré metu saka kondong, nyangga endas mumet peng-pengan (Lanang Setiawan)

Ora Hèbat
KANG Dasmad alias KD jawané dadi Direktur PT. Radio “Laras Queena” sing tembé dibangun nang Kota Tegal. Nang radioné dèwèk, KD gawé program brita. Arané “Info Sakletik”, reporteré Kapèr. Samana uga Jayèng dadi reporter nang Radio Emblak Embluk.
Salah siji dina Jayèng nelpon Kapèr.
“Pèr, antène radioné yanu ambruk!”
“Ana korbané ora Yèng?” takoné Kapèr.
“Laka!”
“Ya ora layak digawè brita. Ora hèbat!”
Salah siji dinané maning, Jayèng olih telpon saka Kapèr.
“Yèng, nyong ora bisa siaran”
“Sih kenangapa?” semauré Jayèng.
“Antène radioné enyong ambruk!”
“Ana korbané ora Pèr?”
“Aa…”
“Ya ora layak digawè brita Pèr. Ora hèbat!” (Lanang Setiawan)

Blantik
DASMAD, Kapèr, lan Jayèng lagi nang kafé Embak Embluk, ujug-ujug ana wong wadon ayu saporèté. Anggonané hot nemen, roké mini, pupuné putih mulus kaya iwak tongkol. Wong telu ngiler deleng wong wadon sing liwat nang ngarepé.
“Nyong wani sajuta, Mad!” omongé Kapèr.
“Yanu rong juta wani jahat Pèr!” omongé Jayèng ora gelem kalah.
“Nyong telung juta bé wani, bol!” Dasmad nyekak-stèr maring jakwir-jakwir.
Telung menit sauwisé, mbak slonong ana wong lanang gedé duwur brengosan marani maring mèjané Dasmad Cs.
“Sampèyan kabèh pada ngomong apa, hèh?” takoné.
Wong telu krasa dadané runtag kabèh.
“Ora ngomong apa-apa, Kang” semauré Dasmad Cs.
“Sampèyan aja pada mukir! Aku krungu dèwèk, ana sing ngomong sajuta, rong juta, lan telung juta. Karepé apa?” omongé wong lanang sing gèdé duwur kuwé.
Wong telu tambah panik, siji baé laka sing wani nyuwara.
“Gagiyan ngomong! Sapa sing wani limang juta, tak lepas saiki!”
Dasmad Cs saiki tembé ngerti, jebulé wong sing marani kuwé, ora liya tukang blantik wadonan! (Lanang Setiawan)

Cup-cupan
MALEM bada Ji, nang umahé Dasmad pan qorban wedus. Jayèng, Um Wapèk, Glèmboh, Um Brindil, lan Kapèr pada kumpul, lèk-lèkan.
“Nyong sikilé…” omongé Um Wapèk sing wis ngecupi.
“Cup! Nyong endasé, Mad” omongé Um Wapèk.
“Nyong atiné kambèn empeduné nggo jamu sisan” jaré Um Brindil.
“Yanu terpèdoné plus dagingé” omongé Jayèng.
“Nyong kebagian apa Yèng? Wong wis dicupi kabèh?” omongé Kapèr.
“Énté ora susah kakèhen rèka. Énté wuluné karo tlepongè, bol!” (Lanang Setiawan )

Kado Pengantèn
KIYÉ critané Kapèr waktu tembé baé bebojoan. Wong lanang wadon lagi mbukani kado nang kondong pengantèn.
“Kang, delengen . . . kiyé ana kiriman kado saka Jayèng, Pot Kembang, artiné Kang?” takoné bojoné Kapèr.
“Artiné, kowen dadi Pot-é lan enyong Kembangé” jawabé Kapèr.
“Saiki delengen Kang, ana kiriman kado saka Glèmboh ujudé Asbak, artiné apa Kang?”
“Artiné, kowen dadi Asbaké lan enyong Rokoké” semauré Kapèr.
“Lha kiyé ana sing mèin Figura saka Um Wapèk, artiné apa Kang?”
“Artiné, kowen kuwé Figurané lan enyong Tukang Fotoné!” jawabé Kapèr.
Kado selanjuté dibuka maning gonèng bojoné Kapèr.
“Kang, mèné gèn. Delengen, apik nemen kyèh! Kang Dasmad mèin kado Sarung, artiné apa Kang?”
“Ah, kuwé artiné, kowen Sarungé lan enyong Selangé!” jawabé Kapèr (Lanang Setiawan)

Qurban
GLÈMBOH lagi lèyèh-lèyèh nang kursi males. Ujug-ujug ana sms mlebu maring hapèné. Koran sing lagi diwaca didalah nang mèja. Tangan tengené ngrogoh sak, njukut hapé. Hapé dibuka, ana sms saka anak wadoné sing lagi sekolah nang Lanjutan Atas.
“Bah, ngèsuk bayar qurban 20 éwu” isi sms anak wadoné.
Glèmboh ngunjal ambekan. Latan njawab sms anak wadoné.
“Sing duwé inisiatip qurban kuwé sapa Nok?”
“Wali kelasé, Pak Guru Jayèng Bah. Moniné, mumpung ana bada Ji” jawab anak wadoné Glèmboh
“Bada Ji wingi, wis qurban...” Glèmboh mbales sms anak wadoné.
“Iya Bah. Jaré Pak Jayèng, sataun sapisan. Miki nyong wis ditagih Bah” rèngèk anak wadoné.
Abah Glèmboh ngelus dada. Latan mbales sms anaké.
“Ngomong ya Nok? Wong qurban kok urunan sih? Sing nganakna qurban, jarèné Pak Jayèng. Ilokén saben taun wali muridé didadèkna qurban terus-terusan? Guru-guruné kapan didadèkna qurban?” (Lanang Setiawan)


Tangan
KAPÈR dadi dokter. Salah siji dina ditekani Kakèk-kakèk pan priksa penyakit.
”Kaya kiyé dok, tangan kiwané enyong kayong mati separo ora bisa digerakna,” omongé si Kakèk.
”Kuwé ta, jalaran si mBah umuré wis uzur” jawab Dokter Kapèr.
Karo mbentak si kakèk culag alias sèwot maring dokter.”Dokter!”
“Iya Mbah, pripun?” semauré Dokter Kapèr.
“Dokter aja mbodoni…”
“Mbodoni pibèn mBah?” takoné Kapèr.
“Buktiné, tangan kiwané enyong sing umuré pada karo tangan tengen, bisa tak gerak-gerakna. Dokter mègin enom aja mbodoni, aja nrocok maring wong tuwa oh…?!”
Dokter Kapèr ora bisa nyuwara, rainé mengkered (Lanang Setiawan)

Suwara Anèh-anèh
GLÈMBOH teka nang dukun Kapèr. Jaré tangga-tangga, Glèmboh klebon makhluk alus. Kuduné, digawa maring dukun bèn roh alusé lunga saka awaké.
Barang anjog nang umah dukun Kapèr, dèwèké langsung dikon mlebu kondong remeng-remeng. Mung ana klasa lan sajèné, uga menyané sing dibakar. Gonèng dukun Kapèr, dèwèké dikongkon njagong nang klasa.
“Saiki matané kowen merem, lan tangané sedakep, konsentrasi. Matané kowen aja wani-wani dibuka dong nyong ora kongkon. Paham?” penjaluké dukun Kapèr.
”Okèm Mbah”
Sepi seketika.
“Kang...” dukun Kapèr nyuwara.
”Yaul Mbah…”
”Apa kowen pernah ngalami hal sing anèh-anèh?” takoné dukun Kapèr.
”Maksud Mbah?””Ya, misalé kowen krungu suwara tapi langka jongkoté”
”Pernah, Mbah”
”Kapan tur nang endi?” takoné dukun Kapèr.
”Saiki, nang umahé Simbah.....” (Lanang Setiawan)

Ngisi Mangsi
CRITANÉ Kapèr wis patang wulan kursus computer nang tempaté Kang Dasmad alias KD. Gagahan nemen kanca-kancané KD saiki pada genau kursus computer. Jaré Kapèr moniné jaman modèren kudu bisa computer bèn ora ketinggalan. Mulané ora éram adong Kapèr genaunan kursus.
Salah siji dina Kapèr dolan nang Jayèng sing lagi pan ngeprin surat, tapi mangsiné entong, dèwèké kèder cara ngisin mangsi nang katrité. Kebeneran Kapèr anjog nang umahé, ngiras-ngirus dikongkon.
“Éh, kebeneran nemen énté anjog nang umahé Yanu Pèr” omongé Jayèng waktu Kapèr teka nang umahé.
“Ana apa sih?”
“Yèki Pèr, Yanu pan ngeprin surat tapi mangsiné entong, Yanu blèh paham ngisiné. Énté sing mèlu kursus computer nang Dasmad tulung diisikna” Jayèng ngongkon maring Kapèr.
“Sori berat Yèng, nyong blèh bisa,” jawabé Kapèr.
“Énté kan kursus komputer, ilokèn blèh bisa? Énté aja yahanu, dijaluki tulung jakwir kayong kangèlan. Tak kèprèt lha uwis…”
“Sung Yèng! Nyong angkat tangan. Soalé nang tempat kursus laka pelajaran ngisi mangsi!” jawabé Kapèr (Lanang Setiawan)


Kwitansi
CRITANÉ Dasmad dadi dokter ahli bedah plastik. Dèwèké tembé baé ngilangna kriput sing ana nang guluné pasièn wadon, uga nyiliki cangkemé sing dowèr lan ndandani cunguré sing mblesek menjero dadi mancung.
”Saiki apa maning sing perlu tak bantu, bu?” takoné Dokter Dasmad.
”Nyong njaluk supaya matané nyong luwih mencilak” omongé si pasièn.
”Oh . . .kuwé tah cèrèm, ora perlu dioperasi. Mengko pembantuné enyong kon nyerahna kwitansi sing kudu sampèyan bayar” omongé Dokter Dasmad.
Barang pembantuné Dasmad nyodorna kwitansi, jumlahé ora kira-kira kosih 12 juta, matané si pasièn mencilak kaya barongan (Lanang Setiawan)

Rèka-rèka
BOJONÉ Kapèr pancèn rèka-rèka. Sakalé dayiké wakaré, njaluké penampilané yahèr. Kapèr dadi digawé atiné medekel. Tèol njawab pitakoné bojoné, Kapèr tuku kaca pengilon sing ora tanggung-tanggung gedèné sadedeg pengadeg. Tapi maning-maning usahané ora gawé puas, bojoné Kapèr tetep ngaca, nliti sakujur awakè.
Salah siji dina, bojoné Kapèr ngrasa adong jemblukan sing ana nang dadané tetep cilik. Lan dèwèké kepèngin nggedekna. ”Diusap nang sela-selané nganggo tisu toilèt sadina ping loro utawané ping telu, ndeyané bisa gedé, Jo,” sarané Kapèr sing wadè ndeleng bojoné sangsaya gonjal-ganjel. Bojoné Kapèr krungu omongan sing kaya kuwé ngrasa hèran, tapi ya tetep dicoba uga.Pirang dina sauwisé, dèwèké takon maring Kapèr.
“Kang, dongé éfèk usapan tisu kuwé apa bener bisa nggedèkna apa belih? Kosih saprèné ka laka probahan apa-apa?” takoné bojoné Kapèr.
”Ya kira-kira butuh setaun utawané rong taun,” semauré Kapèr.”Sampèyan ora goroh? Yakin?”
”Lha bokongé kowen sing gedèné satampah, waktu kaé butuh pirang tauh?”
“Sikah!” (Lanang Setiawan)

Golèt Emas
RANI Pèsèk mlaku ngènjèg nang dalan gedé. Nujuné ngalor jurusan Pasar Ésuk Tangan tengené Rani ngempit dompèt, penganggoné kaos lengen dawa lan clanané levis. Rani Pèsèk senajan cunguré njeblos menjero, tapi adong wis gelem dandan, ora kalah karo biduan dangdut sing paèsané mènor. Pèndèké, Rani Pèsèk kuwé okèm banget.
Lagi énak-énak mlaku, ana suwara sing ngundang arané. Kepaksané Rani Pèsèk nglinguk maring asal suwara. Jèbulé Bojoné Kapèr.
“Hai, Ran, lunga dèwèkan pan maring endi?”
“Pan maring Pondok Yu” semauré Rani Pèsèk sakepènaké.
“Pondok Martoloyo?” omongé Bojoné Kapèr.
“Mm…mm….”
“Nyong mèlu ya?” bojoné Kapèr motong omongan.
“Aja ah. Nyong pèngin dèwèkan baé Yu. Ora butuh batir”
“Enyong mèlu…” bojoné Kapèr maksa.
“Aja Yu! Nyong pan golèt emas….”
“Apa? Kowen pan golèt emas? Bareng baé oh, kebeneran pada”
“Emoh ah, ngko dong ketemu malah rebutan” jawabé Rani.
“Rebutan pibèn?”
“Masalahé, emasé mung siji. Mas Dasmad!” (Lanang Setiawan )

Singa-singa
JAYÈNG critané dadi guru SD nang kampungé. Dèwèké diserahi mulang Klas I tapi dadi guru gambar. Mahlum, Jayèng kuwé pancèné duwé pinteran nggambar awit cilik mula. Ora éram dong SD kono butuh guru gambar, Jayèng akhirè dadi Guru Tidak Tetap alias GTT.
Dina pertama dèwèké ngajar, ana pengalaman sing gawé waduké nyengkelak tapi ora bada atiné kaku. Kedadiané kaya kiyé. Waktu samana, murid-murid dikonkon pada nggambar.
“Anak-anak, dina kiyé nyacak latihan nggambar. Ngko sing gambaré apik dipajang nang majalah dinding, ngarep sekolah. Ayo, saiki pada nggambar kabèh” omongé Pak Guru Jayèng.
“Pak Guru!” salah siji murid ngacung.
“Iya Tong, pibèn?” semauré Pak Guru Jayèng.
“Nggambaré, gambar apa?”
Pak Guru Jayèng gurung njawab, ana murid lima nyusul pada takon.
“Iya Pak Guru! Nggambaré apa?”
“Singa-singa…!” jawabé.
Bocah sakelas akhiré pada nggambar. Setengah jam selanjuté, waduké Jayèng kaku. Sebab sing digambar murid-murid dudu gambar anèka rupa. Kejaba kabèh murid pada nggambar kèwan Singa! (Lanang Setiawan)


Keturon
WAKTU dina Minggu bengi Kapèr nonton pertandingan bal-balan nang layar tivi. Mung lantaran kesel, dèwèké keturon nang rusbang. Édané, turuné Kapèr ora kira-kira nganti srengèngèné mletèk, njengongos nang mega. Ndeleng Kapèr kudu mangkat kerja, bojoné nggugah.
”Kang, Kang, tangi Kang! Saiki wis pitu telung puluh”
Kagèt ora ketulungan, Kapèr kedangsrakan mencelat saka rusbang.
”Pitu telung puluh, sing menang reguné sapa, Jo?” omongé Kapèr.
“Kang, Kang…maksudé, saiki wis jam pitu luwih telung puluh! Gudu soal bal-balan. Gagiyan saiki mangkat kerja” jawab bojoné Kapèr (Lanang Setiawan)


Dèwi Tèmpé
ARAN asliné okèm banget, Dèwi Indriani. Mègin menos-menos, umuré telung puluh punjul. Bocahé ireng manis kaya duwet. Adong ngecèbrès, laka pedoté paribasan cangkemé ora ucul. Wateké apik, kondangé kasebut Dèwi Tèmpé. Kiyé ana sejarahé.
Waktu samana, critané Jayèng pan nyunati anaké nanggapé orjen tunggal khusus lagu-lagu Tegalan karyané Begawan Tegal. Jayèng kepèngin émsiné Dèwi Indriani. Jayèng kenal dèwèké waktu Dèwi ngèmsi nang umahé Um Blèmboh.
“Tulung ya Wi, idep-idep apa kowen ngèmsi nang acara sunatan anaké enyong” omongé Jayèng waktu nekani Dèwi.
“Bèrès Kang karo jakwir dèwèk. Pokoké dong langka udur, nyong blèh nolak!” jawabé Dèwi.
Ringkas crita, Dèwi ngèmsi nang acara sunatan anaké Jayèng. Balik ngèmsi, ala kadaré Dèwi diolih-olihi bungkusan. Ésuké, waktu dèwèké pan maring pasar papagan KD nang tengah dalan.
“Édan ah! Barang ngèmsi nang Jayèng, langsung pan mborong-mborong. Kandel amplopé oh ya? Bèrèr nemen lah…” omongé KD alias Kang Dasmad.
“Bèrès apané. Dasar Jayèng, mèin job ngèmsi ka bayaré lonjoran tèmpé mentah!”
“Ilokèn bayar tèmpé mentah?”
“Sung Mad. Lonjoran tèmpé!”
“Aha! Adong kaya kuwé, arané kowen kudu diganti!”
“Ganti apa Mad?”
“Dèwi Tèmpé! Kik kik kik…” (Lanang Setiawan)


Gègèr
WAYAH soré nang Taman Lilin, ngarep Gedung DPRD Kota Tegal, Jayèng, Dasmad kambèn Kapèr jejagongan nang baturé air mancur. Wong telu lagi gayeng-gayengé ndospok ngalor ngidul, ujug-ujug mambu bacin kaya entut mbulek, glutekan nang tempat. Jayèng kambèn Dasmad gègèr. Rèflèk wong loro pada tutupan cungur, ora kuwat gonèng mambuné sing bring-brengan kaya batang wirog butak.
“Raimu ndobol Pèr? Bangsèt énté, ndobol ka nang kèné. Mèrad oh, mana sing adoh!” omongé Jayèng sengak.
“Kowen sembrana! Bisa kowen nuduh enyong ngentut? Dasmad ndèyan oh…” semauré Kapèr.
“Sikah! Kowen biasa kiyé, adong ndobol ora ndeleng panggonan. Ndobol mbok nyingkir oh. Mambuné bacin lekèk, ketongkrong nang kèné baé. Raimu ngaku baé gèl. Ngaku, kowen ndobol oh ya?” KD nyecer pitakonan.
“Bisané pada nuduhé enyong sih?” omongé Kapèr.
“La iya laa...nang kèné kur anané enyong, Jayèng trus kowen, sapa maning?”
“Kowen ngarti dong nyong sing ngentur, atas dasar apa Mad?” takoné Kapèr.
“Ya iya yaa…soalé ambuné entut kambèn raimu ora bèda, bol! Otomatis, adong gudu kowen sapa maning?”
“Brèngsèk kowen Mad! Rainé enyong dipadakna karo entut. Kirik teles kowen Mad!” Kapèr culag.
“La iya laa...masa iya dèh ?!” (Lanang Setiawan)

Pipis
BOJONÉ Kapèr kambèn bojoné Jayèng, jawané lagi bèrag tuwa. Wong loro pada seneng-seneng inung-inungan nang kafé, kosih pada mendem, teller. Baliké tengah wengi, kebelet pipis. Bojoné Jayèng ngajak pipis nang kuburan sing diliwati wong loro. Sauwisé pipis, bojoné Jayèng cèwok nganggo caweté trus dibuwang. Sawetara bojoné Kapèr, cewoké nganggo pita gedé sing dijukut saka gubedané rangkaian kembang sing ana nang tenger.
Wong loro akhiré balik. Ésuké, Jayèng ketemu Kapèr. Wong loro pada ngangluh perihal bojoné.
“Pèr, bisa blèh bisa, yanu kambèn énté kudu bisa menging maring bojo. Aja pisan-pisan maning pada seneng-seneng umbar bèrag tuwa! Coba dibayangna Pèr, mau bengi bojoné yanu balik-balik ora nganggo cawet!” omongé Jayèng.
“Kuwé gurung apa-apa Yèng!” omongé Kapèr.
“Gurung apa-apa pibèn maksudé énté Pèr?” takoné Jayèng.
“bojoné enyong mau bengi balik umah malah nang bokongé ana kartu ucapané. Nang kana ana tulisan 'Saka Jakwir-jakwir asrama Prajurit. Kenangan sing indah karo kowen ora bisa ilang'…!!” (Lanang Setiawan)

Tikèt Karcis
DASAR wong dèsa klutuk, sing arané Jayèng kuwé pancèn wayad. Salah siji wayah bengi, Jayèng jawané pan nonton film nang bioskop Dèwa, Tegal. Kiyé cerita pengalamané Jayèng waktu pertama kaliné nonton film.
Gelisan crita, Jayèng anjog nang bioskop, dèwèké runtung nang lokèt tuku tikèt karcis. Rong menit saterusé, dèwèké tuku karcis maning. Malahan ora mung tuku sapisan atawa né pingdo, tapi bolak-balik tuku karcis terus-terusan. Si tukang dodol karcis kosih bingung. Ngiras-ngirus dèwèké takon maring Jayèng.
“Dongènèn sampèyan bolak-balik tuku karcis, sing pan nonton ana wong pira, Kang?”
“Siji Kang” jawabé Jayèng.
“Ya, tukuné dongèn siji baé, cukup”
“Ya’ul. Yanu ngarti, tapi petugas jaga pintuné, maning-maning nyuwèk karcisé yanu. Dobol ka!” (Lanang Setiawan)

Imajinasi
TEMBÉ pirang minggu Kapèr nyambut gawé nang perusahaan Periklanan, dèwèké undang Bosé nang kantor.
“Apa-apaan dongé kiyé, Pèr?” omongé Si Bos maring Kapèr waktu dèwèké ngadep nang ruwangané..
”Pibèn sih Bos?” semauré Kapèr balik takon.
“Waktu kowen nglamar pegawèan, kowen moniné duwé pengalaman kerja limang taun. Saiki jebulé kowen ora bisa kerja! Kowen babar blas ora duwé pengalaman apa-apa. Pibèn, tanggungjawabé kowen, hai?” brondong pitakonané Si Bos.
”Iya! Bos, bener. Tapi Si Bos kudu inget. Iklan sing dipasang nang koran, Si Bos moniné blèh pan golèt wong sing wis duwé pengalaman. Sing dibutuhna wong sing duwé imajinasi. Kan kaya kuwé, belèh? (Lanang Setiawan)

Sega Toktokan
SUWATU Kapèr tembé maring Jakarta, dèwèké mlebu nang warung. Sang pelayan warung agé-agé nyodorna menu panganan. Kapèr mentelengi menu panganan sing ana nang adepané, ana Nasi Rames, Nasi Goreng, Nasi Kuning, lan Nasi Doang.
Sauwisé mikir, Kapèr akhiré pesen Nasi Doang. Masalahé dèwèké durung tau ngrasakna sing arané Nasi Doang, mumpung lagi nang Jakarta, kesempatan. Pèndèké bèn waktu balik maring Tegal bisa pamèr kambèn kanca batir.
Suwé Kapèr ngentèni pesenané teka. Latan pelayané teka gawa pesenané. Tapi suwé sangsaya suwé dèwèké nunggu lawuhé ora teka-teka, akhiré Kapèr ngundang maring pelayané latan takon.
“Lawuhé endi Bang? Ganing sega tok-tokan!”
“Abang kan pesené Nasi Doang? Ya, sing metu sega toktokan oh!” (Lanang Setiawan)

Bu Wèndi
KAPÈR dadi tukang kridit teka nang umahé Bu Wèndi, ditemoni gonèng anaké.
“Maaf Um, Mané tembé baé lunga maring Pasar Ésuk. Baliké ngko awan” omongé anaké Bu Wèndi
Kapèr sing wis luyuten dadi tukang kridit, mastikna adong anaké Bu Wèndi gorohé ngletek. Sebab dèwèké tembé baé weruh sikilé Bu Wèndi nganggo sandal jepit mondar-mandir nang nginggor seprèi lan gordèn sing lagi dilèr nang kawat pèmèhan samping umah.
Kesal tur sèwot, Kapèr titip pesen maring anaké Bu Wèndi.
“Tong, tulung ya? Diomongna maring Manèné kowen?”
“Nggih Um, pripun?”
“Dong lunga maring Pasar Ésuk, sikilé aja nganti ketinggalan nang ngingsor pèmèhan, mbokan dicakar kucing!” (Lanang Setiawan)

Pèmpes!
DASMAD karo Jayèng lan Kapèr duwé kesan yahud maring biduan Rani Pèsèk. Wong telu kagum maring penampilané waktu manggung nang Alun-alun Tegal. Jaré Jayèng karo Kapèr, kelebihané Rani Pèsèk ora nang suarané tapi nang mbapuké, dudu nang suarané kaya penilèané Dasmad.
“Suarané Rani Pèsèk, jaré yanu umum batir, Mad” omongé Jayèng nilai penampilané Rani Pèsèk.
“Jaré enyong, tetep suarané Rani Pèsèk pancèn jos. Liyané ramé pasar” semauré KD, sebutan topé Kang Dasmad.
“Kowen payah Mad…” Kapèr nrandu, motong omongan.
“Payah pibèn Pèr?” takoné KD.
“Matané kowen wis blabur ndèyan. Kowen ora duwé éstètika seorang lelaki tulèn!”
“His! Raimu olih bahasa apik kaya kuwé ngutip saka sapa, Pèr? Mbegaya temen énté, éh?! Kaya bocah pendidikan baé Raimu. Tapi ya, bener uga omongané énté Pèr. Matané Dasmad pancèn blabur! Ndeleng Rani kur suarané doang ha ha ha….padahal justru mbapuké Rani Pèsèk sing gawé daya tariké wong lanang!” nrocosé Jayèng.
“Satus kanggo kowen Yèng!”
“Goblog kabèh! Kowen, kowen kué ngarti apa soal Rani? Sing katon mbapuk nang titik-titiké Rani kuwé apa sih?” takoné KD maring wong loro.
“Lha sih apa?” wong loro takon bebarengan.
“Pèmpes bol!” (Lanang Setiawan)

Akal Bulus
DASMAD paling jago dong ngerjani maring wong wadon. Contoné maring Rani Pèsèk. Salah siji dina, dèwèké ora tahan ndeleng Rani Pèsèk sing bengi kuwé katon ayu temen.
“Ran, bengi kiyé kowen katon ayu, nyong gemes maring kowen. Pipiné kowen tak jiwit, setitik ya? Ngko tak bayar satus éwu pèrak wis” omongé Dasmad.
Rani Pèsèk mrengut. Mung akhiré dipikir-pikir duwit satus éwu lumayan gedé. Setitik dijiwit ora papalah, batin Rani. Akhiré, Rani Pèsèk nrima tawaran Dasmad.
“Tapi aja nang kèné Kang,”
“Sing nang endi?”
“Umpetan nang wit kèrsem, ya?” omongé Rani Pèsèk.
Tekan nang wit kesem, pipiné Rani Pèsèk dielus-elus gonèng Dasmad, tapi Dasmad ora gagiyan njiwit, malah diendé-endé kosih Rani kikuk.
“Pibèn sih Kang, gagiyan oh dijiwitt!” desak Rani Pèsèk.
“Sori Ran, nyatané nyong ora bisa” jawabé Dasmad kambèm ngelus-ngelus terus pipiné Rani Pèsèk.
“Pimèn sih?”
“Sori Ran, nyong lagi ora gableg duwit!”
“Sikah!” Rani kèprèh-kèprèhan. Kang Dasmad dipleter (Lanang Setiawan)

Prasaané Kowen
SALAH siji dina Rani Pèsèk numpak Taksi Kuning jurusan Slawi. Taksi disupiri Kapèr, ujug-ujug nang tengah dalan Rani Pèsèk kepèngin bèol. Kebeneran dèwèké njagong nang ngarep jèjèré Kapèr, maring Kapèr latan ngomong.
“Pèr, tulung mandeg dingin. Nyong kebelet bèol!”
“Ah…kuwé mung prasaané kowen baé, Ran!” semauré Kapèr.
Rani Pèsèk meneng kambèn nahan rasa kebelet bèol sing ora bisa ditahan maning.
“Tulung mandeg tuli Pèr, rasané nyong wis keblètèngen” omongé Rani Pèsèk. Tapi supir Kapèr ora nggubris. Akhiré Rani Pèsèk pasrah. Suwé-suwé cunguré Kapèr ngisep ambu bacin ora karuwan.
“Hé Ran! Kowen bèol?” takoné Kapèr.”Ah.. .kuwé mung prasaané kowen baé Pèr!” (Lanang Setiawan)


Trunyak Truyuk
TEMBÉ numpak motor mabur, Kapèr trunyak-trunyuk. Nang toilèt, tangané pètat-petèt tombol. Tombol-tombol sing ana nang jèjèré wadah tisu, ana tulisan WW, WA, PP, tolih ATR. Awité Kapèr mètèt tombol WW, latan nyemprot banyu anget nang bokongé.
“Ih.. jebulé tombol WW (Warm Water) kiyé banyu anget sing nggo cèwok. Pantes wong wadon kènaken,” batiné Kapèr. Trus dèwèké mètèt tombol WA, nyemprot hawa anget (Warm Air).
“Oh, mugané wong wadon betah nang njero toilèt soalé pelayanané istimèwa” Kapèr trunyak-trunyuk maning mètèt tombol PP. Ujug-ujug bantalan bedak (Powder Puff) metu saka samping mbedaki bokongé. Kapèr gumun, akhiré mètèt tombol ATR, ujug-ujug dèwèké ora sadar, jebul-jebul ana nang rumah sakit. Tangané diinfus. Dèwèké kèder latan takon maring perawaté sing lagi tugas. Gonèng perawaté Kapèr olih penjelasan.
“Ya..wong sampèyan numpak motor mabur mlebu nang toilèté wong wadon tolih tangané sampèyané musti trunyak-trunyuk mètèt tombol ATR oh ya?”
“Bener, Yu. ATR kuwé artiné apa sih?” takoné Kapèr.
“Artiné Automatic Tampon Removal atawa Pelepas Pembalut Otomatis. Nah, gitu tangané sampèran mètèt tombol kuwé, burungé sampèyan dadi ketarik gonèng alat kuwé!” omongé perawat kambèn cekikikan (Lanang Setiawan)

Job Merem Melik
KD alias Kang Dasmad lagi jèngkèl kambèn Rani Pèsèk. Wis saminggu luwih dèwèké ora gelem sms-an. Bab kiyé dadèkna Dèsi Poso, sahabaté Rani Pèsèk priyatin.
“Kang, dongé ana masalah apa karo Rani Pèsèk, nyong krungu sampèyan karo Rani Pèsèk lagi ora sambung-rapet. Mbokan nyong bisa mecahna persoalan, crita oh” ujug-ujug Dèsi Poso sms maring KD.
“Laka masalah apa-apa ka….” KD mbales sms.
“Aja goroh. Nyong olih wadulan saka Rani. Ngomong baé gèn, masalahé pibèn?”
“Masalahé udan”
“Udan pibèn Kang?” takoné Dèsi Poso.
“Saminggu kepungkur nyong dikon nganter maring Adiwerna. Jaré ana kancané mbuka warung saté. Nyong boncèngan karo Rani, kakangé karo yarigé gawa motor dèwèk boncèngan. Baliké udan, nyong ditlantarnya dèwèkan. Sedeng Rani karo yarig lan kakangé pan numpak Taksi. Motoré dèwèk dititipna maring sing duwé warung. Enyong dianggep apa? Dilawani bengi-bengi nganter, kok digebah. Mangkané udan bengi, banyuné nampeki rainé enyong! Apa nyong ora olih sèwot? Sing nggo éram, cah telu ora rumangsa salah ora njaluk ngapura. Bocah apa dongé, jaré, nyong dianggep sedulur, ganing klakuwané kaya ora duwé éstetika? Biduan pancèné kaya kuwé, Dès?”
“Sing nyong ngarti, jaré ana job”
“Job apa Dès? Job ka bengi-bengi”
“Job bubuk!”
“Bubuk merem melik?! Kik kik kik…” (Lanang Setiawan)

Ora Étungan
NANG njero sepur wayah bengi, Dasmad, Kapèr, wong Amrik uga wong Prancis njagong nang lèstoran. Lagi gayeng-gayengé ngobrol, wong Amrik nyuled rokok sing regané larang, ngecrèsé nganggo zippo. Tembé pirang sedotan, rokok karo korèké dibuang. Wong Jepang karo Dasmad uga Kapèr kagèt.
“Tenang, nang Amerika ora kurang, akèh nemen” omongé wong Amrik.
Wong Prancis ora gelem kalah, njukut minyak wangi. Tembé pirang semprotan, minyak wangi dibuwang maring njaba sepur.
“Tenang, nang Prancis ora kurang,” omongé.
Ndeleng wong bulé pada mbergaya kabèh, Dasmad nyedeki Kapèr, latan ngongkon ngadeg. Kapèr manut maring printahé Dasmad. Pirang menit selanjuté, ana suwara gemboran saka njaba jendèla. Wong-wong bulé kagat lan gemboran, kèprh-kèprèhan.
“Kok sampèyan kejem temen sih? Maring kancan dèwèk ora duwé melas malah dibuwang??” omongé wong-wong bulé.
“Tenang! Aja kagèt lan pada gègèr. Nang negarané enyong, wong kaya Kapèr jumlahé jutaan, ora étungan!” jawabé Dasmad (Lanang Setiawan )

Coh Coh Coh
JAYÈNG critané dadi OKB alias wong paling sugih kayaran. Embuh, dunyané olih kekayaan sing endi, kanca-kanca KD Cs blèh pada paham. Jelas baé, Jayèng saiki sèjèn maring maring kanca batir, luwih-luwih maring Kapèr jan wadèné por-poran. Pèndèké, maring Kapèr ora gelem campur. Sombongé nyundul langit. Jahat.
Dikayakuwèkna gonèng Jayèng, Kapèr culag. Dèwèké ngintim-ngintim, kapan tlenggongé, Kapèr pan males ukum. Salah siji bengi, Kapèr duwé niat ndodos hartané Jayèng pan dikuras, bèn nangis kebo.
Awit soré Kapèr siap-siap golèt linggis, prekul lan benda keras liyané. Saiki benginé teka, dèwèké gitir maring umahé Jayèng. Tapi kagèt ora ketulungan waktu Kapèr tekan nang ngarep umahé, lawang wesiné duwur nemen. Tolih sing ndadèkna eneké nang atiné Kapèr, nang kono ana tulisan kaya kiyé: ‘Adong Nang Umah Kiyé Ana Barang Sing Ilang, Ora Liya Maning, Kapèr!!”.
“Kunyuk Jayèng! Ngina saporèté maring enyong. Tak kutuk kowen Yèng, dunyané dilayak maning gonèng Pengèran! Cuih…coh..coh …coh!! Nyong ora kèré mbadok dunyané raimu, Yèng?!” grutuné Kapèr karo kecoh idu tur agé-agé ninggal umahé Jayèng (Lanang Setiawan )

Nyong Demen Kowen
KANG Dasmad alias KD ngagul. Akhir-akhir kiyé, jaré jakwir-jakwir, bahasa apa baé nang KD, laka sing angel. Pokoké cèrèm!
Salah siji wayah bengi, kaya biasané Kapèr karo KD jejagongan nang gardu ronda. Kapèr sing penasaran, akhiré ngetès maring kepinterané KD.
“Ndelèn Mad. Kowen ngagulé nguasai bahasa pirang-pirang. Saiki tak tès enyong, Bahasa Inggrisé Nyong Demen Kowen kuwé apa?” takoné Kapèr.
”Cèrèm! Kuwé tah sakuku ireng. Jawabané: I Love You, bol”
”Adong bahasa Cinané, apa Mad?”
”Wo Ai Ni” jawabé KD.
”Bahasa Jermané?” takoné Kapèr tambah nafsu.
”Ich Li Bedih…”
”Hèbat! Kowen bener-bener hèbat, ora salah kowen kuwé ahli bahasa. Saiki Bahasa Koreané apa, Mad?”
”Sun Dong Yang, su!” jawabè KD kambèn cangkemè muncis-muncis (Lanang Setiawan)

Dompèt
DASARÉ Rani Pèsèk wong wadon ngas-ngasan, senajan wis duwé pacar megin baé nggaèt Dasmad didadèna pacar simpenan. Salah siji dina pacaré Rani Pèsèk lunga maring luar kota, Dasmad ngapèli langsung mesraan nang kondong. Tapi lagi asyiké wong loro éhé-éhé, ana wong dodog-dodog lawang. Barang dibuka jebulé pacaré Rani. Dasmad umpetan nang longan kondong, pacaré Rani kaya biasané langsung nggèred Rani manjing kondong.
“Kiyé rambuté sapa dik?” tangan pacaré Rani ngelus rambut dawané Rani.
“Dèkèné Kang Mas, sayang…”
“Cungur sing pèsèk kiyé dèkèné sapa, dik ?”.
“Dèkèné Kang Mas, sayang…”
“Kiyé lambèné sapa, dik?”
“Dèkèné Kang Mas, sayang…”
“Kiyébibiré sapa, dik?”
“Dèkèné Kang Mas, sayang… "
Ujug-ujug mata demenané Rani weruh dompèt nang cedeké bantal.
“Lha kiyé dompèté sapa, dik ?”
Durung sempet Rani njawab, saka longan kondong Dasmad nggembor
“His! Kuwé dompèté enyong, bol!!!” (Lanang Setiawan )

Tukang Roti
BOJON É Kapèr jaluk tulung maring lakiné kon ndandani komporé sing rusak. Tapi dasaré Kapèr malesé dubilah belis, jejalukané bojoné ora digubris.
“Pancèné rainé enyon kaya tukang las, Jo?!” omongé Kapèr.
Liyan dina bojoné jaluk tulung maning. Saiki sing rusak mèja tamuné, tapi dijawab nyangkak.
“Pancèné rainé enyong kaya tukang kayu?!”
Saminggu brikuté, bekakas umah sing pada rusak bèrès kabèh, gawé Kapèr éram por-poran, sebab dèwèké ora rumangsa ndandani.
“Sing ndandani barang-barang umah kiyé, wongé sapa Jo?” takoné Kapèr.
“Bujang sebelah, Kang. Mung dèwèké jaluk imbalan”
“Imbalan apa?”
“Nyong kon nggawèkna roti utawa ‘turu’ sewengi dur” jawab bojoné Kapèr santé.
“Latan kowen nggawèkna roti?” Kapèr penasaran.
“Pancèné rainé enyong kaya tukang roti, Kang?!” (Lanang Setiawan )

Sauto
UM Kumplang critané nodong sauto. Tapi tembé dipangan pirang sèndok, dèwèké kapiselek nganti saka cangkemé metu utah-utahan, matané pet-petan lan jebul-jebul dèwèké njengkakang nang rumah sakit.
“Kang Dasmad endi Bu?” takoné Um Kumplang maring bojoné sing nunggoni.
“Dasmad sapa?” bojoné balik takon.
“Jakwir kita bu, bocah Kalibuntu kaé kon mèné”
“Sampèyan sadar ora sih Kang? Kiyé nang Surabaya. Ngundang Dasmad kon maring Surabaya pan nggo apa? Sampèyan aja nggayuh baé maring Tegal.” omong bojoné.
“Nyong duwé salah gedé karo Dasmad. Saiki tembé kepikir, nyong manjing rumah sakit jalaran kapiselek sauto, Bu!” omongé Um Kumplang.
“Apa hubungané sauto karo Dasmad?”
“Hubungané ana, Bu”
Um Kumplang latan crita, waktu samana dèwèké pan purna tugas saka jabatan penting nang Tegal, Dasmad mujar jaluk sauto. Ora dimèin malah cocoté Kumplang dlawèran omong-omong maring hadirin acara Jèd-jèdan Maca Puisi Tegalan sajeroné Perpisahan.
“Dasmad ora salah, Bu. Nyong kliru nafsirna panjaluké Dasmad. Saluguné, Dasmad njaluk sauto ora pan dipangan dèwèk, tapi pan dibagi-bagi maring pengunjung baca puisi Tegalan. Nyong salah Bu, tulung saiki hapèné Dasmad dihubungi. Nyong pèngin pan njaluk ngapura, lan khusnul khotimah!” omongé Um Kumplang karo mbrebes mili.
Ora suwé, bojoné kontak hapèné Dasmad. Tapi puluwan dikontak, laka jawabané.
“Pibèn Bu?”
“Hapé yang anda tuju tidak bisa dihubungi, Kang!”
“Sih nyong kon nggubungi sapa?”
“Ya embuh, ya…” (Lanang Setiawan)

Prasaané Kowen
SALAH siji dina Rani Pèsèk numpak Taksi Kuning jurusan Slawi. Taksi disupiri Kapèr, ujug-ujug nang tengah dalan Rani Pèsèk kepèngin bèol. Kebeneran dèwèké njagong nang ngarep jèjèré Kapèr, maring Kapèr latan ngomong.
“Pèr, tulung mandeg dingin. Nyong kebelet bèol!”
“Ah…kuwé mung prasaané kowen baé, Ran!” semauré Kapèr.
Rani Pèsèk meneng kambèn nahan rasa kebelet bèol sing ora bisa ditahan maning.
“Tulung mandeg tuli Pèr, rasané nyong wis keblètèngen” omongé Rani Pèsèk. Tapi supir Kapèr ora nggubris. Akhiré Rani Pèsèk pasrah. Suwé-suwé cunguré Kapèr ngisep ambu bacin ora karuwan.
“Hé Ran! Kowen bèol?” takoné Kapèr.”Ah.. .kuwé mung prasaané kowen baé Pèr!” (Lanang Setiawan)


Jaluk Nomer Hapé
KAPÉR dadi guru pelajaran IPS nang SMA. Salah siji dina, dèwèké takon maring murid-muridé apa kerjané Manèné sadiné. Jawabané macem-macem, ana sing njawab dadi dokter, insinyur, bankir, ibu rumah tangga, lan liya-liyané. Pak Guru Kapèr latan takon maring Tono sing meneng baé awit pelajaran dimolai.
“Tono, awit mau kowen meneng baé, kerjané Manèné kowen apa, sih?” Radan aras-arasen lan isin dèwèké jawab.
“WTS pak…”Pak Guru Kapèr kagèt ora ketulungan. Tono akhiré kon ngadep maring Kepala Sekolah Dasmad. Sauwié ngadep, Tono ditakoni Guru Kapèr pibèn hasil obrolané kambèn Kepala Sekolah Dasmad.
”Apa kowen ngomong sajujuré apa sing diomongna kowen waktu nang kelas?”
”Ya pak” jawabé Tono.
”Tanggapan Pak Kepala Sekolah, pibèn?” takoné Kapèr serius.
”Jaré Kepala Sekolah, kabèh jenis gawèan penting kanggo kesuburan ekonomi negara. Malahan Bapak Dasmad mèin enyong permèn coklat latan jaluk nomor hapé Manèné enyong . . .” (Lanang Setiawan)


Gunting
KAPÈR mbuka warung klontong ketekan bocah prawan. Kapèr kaya ketiban pulung, jam sanga bengi pisan ketekan wong ayu. Yahèn, asoy!
“Pan tuku apa Nok?” omongé Kapèr.
“Adol ciu Kang?”
Kapèr ngrajug, kagèt ora baèn-baèn. Durung pernah dèwèké ketekan bocah wadon tapi pan tuku ciu. Toblèg, toblèg! Ampun dèwa!
”Nang kèné ora adol ciu, Nok” omongé Kapèr.
Ésuk dinané prawané teka maning, dijawab Kapèr ora sedia. Tapi let dinané maning, prawané tetep ndableg teka maring warungé Kapèr.
“Pan tuku ciu? Nang kèné ora adol! Kowen aja gawé sètan. Nyong wis ngomong, barang haram kayak kuwé laka nang warungé enyong! Dong pisan maning teka takon ciu, kupingé kowen tak gunting! Paham?!”
Kapèr kalah sèwot. Cah prawan kuwé gitir ninggal warung. Tapi dasar bocah gebleg, ésuké teka maning. Kapèr pasang rai angas.
“Pan apa kowen teka mèné? Tuku ciu?”
“Ora! Ana gunting?” takoné njarag.”Laka gunting!” semauré Kapèr.”Dong kaya kuwé, ana ciu Kang?” (Lanang Setiawan)

Ora Ngarti
NANG gardu ronda, rainé Kapèr ora kaya biasané. Ulaté katon besem, mbesengut baé, ndadèkna KD alias Kang Dasmad wadé.
“Tak deleng-deleng, awit mau rainé kowen ditekuk baé, ana apa Pèr? Urip ka, ora tau begèr. Hèpi oh, hèpi….aja mikir sing ora-ora. Dong ora nyandak nggayuh impian, aja dipaksa, kowen bakal jontas. Santé baé ngadepi urip, aja ngotot!” omongé KD.
“Kon blèh ngotot pibèn Mad? Coba dibayangna, bojoné enyong ngedrèl njaluk duwit terus. Minggu sing wis lèwat njaluk 200 éwu. Sadurungé njaluk 125 éwu, bengi kiyé njaluk 150 éwu. Apa ndasé nyong ora mumet? Kowen ngarti oh, saiki nyong ora duwé gajih, nyong wis ditendang, dijejek gonèng pimpinan anyar ora dadi mandor maning. Salawasé urip nyong tembé olih gajian, barang ana pimpinan anyar, ora dianyomi malah dijejek” angluhé Kapèr.
“Iya ya? Édan ah bojoné kowen”
“Sih ndarani Mad, bojoné enyong tah blèh ngarti maring kahanan sing lagi werit…”
“Iya ya…, tapi omong-omong Pèr, duwit sing dijaluk bojoné kowen dongé nggo apa sih?” takoné KD.
“Embuh! Nyong blèh ngarti”
“Bisané kowen ora ngarti, Pèr?”
“Ya iya ya, soalé nyong ora tau mèin duwit!” (Lanang Setiawan )

Medit
BOJONÉ Kapèr waduké lara, ora kuwat duwé laki kaya Kapèr, medité dubilah belis. Urip bojoné dijatah pas-pasan. Salah siji dina bojoné Kapèr njaluk duwit tambahan blanja..
“Tulung duwit blanja ditambah rongpuluh éwu baé Kang. Bèn bocah-bocah bisa mangan dèndèng” jaluk bojoné Kapèr.
Kapèr jukut selembar rongpuluh éwun saka saké kambèn diajungna nang kaca pengilon.
“Delengen ya, duwit sing nang kaca pengilon kaé, Jo. Sing nang kaca pengilon nggo kowen, sing nang tangan kiyé dèkèné enyong,” omongé Kapèr karo nglebokna duwit rongpuluh éwu nang saké dèwèk.
Ésuk sorèné, waktu Kapèr manjing umah, matané weruh panganan saté, gulé, sop, ayam gorèng, lan liya-liyané nang mèja.
“Panganan nang mèja akèh temen, Jo? Kowen olih duwit saka sapa?” takoné Kapèr.
Agé-agé bojoné Kapèr nggawa dèwèké maring kaca pengilon.
“Delengen ya, awak kiyé sing ana nang kaca pengilon kaé dèkèké sampèyan. Nah, sing kiyé, dèkèné bakul dèndèng!” omongé bojoné Kapèr kambèn ngangkat roké (Lanang Setiawan)

Compong
CRITANÉ Jayèng dadi polisi lagi tugas nang prapatan Kejambon. Saka elor, mbak slonong ana wong lanang numpak motor ora nganggo hèlm. Prit…prit…prit… Polisi Jayèng nabuh sumpritan. Barang dicedeki jebulé Kapèr, jakwiré dèwèk.
“Kira-kira oh Pèr, aja kadiran jakwir dadi polisi, numpak motor ora nganggo aturan” takoné Polisi Jayèng.
“Ora nganggo nganggo aturan pibèn, Yèng?” Kapèr balik takon.
“Kuwé sih, énté nggawa motor ora nganggo hèlm. Apa kuwé sing arané nganggo aturan?”
“Waduh! Matané kowen ora ndeleng enyong nganggo hèlm?”
“Compong ya, énté?! Sing dionggo énté dudu hèlm, bol! Kuwé émbèr”
“Pancèné pimèn sih? Khan ana pepatah…”
“Pepatah apa maning?” takoné Jayèng.
“Laka rotan, akar ora masalah. Dadi ya, dong laka hèlm, émber blèh papa oh…” (Lanang Setiawan)

S.1NANG salah siji pabrik sabun, Kapèr dipercaya dadi staf bagian personalia. Tugasé mriksa berkas-berkas lamaran sing pada mlebu. Salah sijiné berkas lamarané Glèmboh. Lan kebeneran baé Glèmboh lagi ngadep nang kantoré Kapèr.
“Lamarané enyong pibèn Pèr?” omongé Blèmboh.”Berkas lamaran kowen wis tak tampa, Mbloh…”
“Oh ya. Kayongé ana tanda-tanda ketrima enyong kerja nang kèné belih, Pèr?”
“Pabrik kèné mbutuhnané tenaga kerja sing lulusané S1, Mbloh…” omongé Kapèr.
”Alhamdulillah….brarti enyong ketrima ya Pèr?” omongé Glèmboh bèrag.
“Ketrima pibèn? Kowen kuwé ijasahé apa sih Mbloh?”
“SMA Pèr!”
“Lha kuwé, Mbloh? Kowen ora ketrima!”
”Lha, kepibèn sih? SMA kan S-é siji, brarti enyong wis menuhi rsyarat kerja nang kèné oh…ora ketrima rijèk?”
“Dasar koprok! Wis mana kowen metu saja ruwangan kiyé. Tak sangoni limang éwu pèrak nggo tuku udud! Gagiyan balik! (Lanang Setiawan)


Ta Uu…
WAYAHÉ wis jam setengah telu bengi, udan baraté santer nemen waktu hapèné Dokter Dasmad moni kenceng. Barang dideleng, jebulé Um Wapèk.
”Tulung kowen teka maring uamhé enyong, Mad. Gagiyan!” omongé Um Wapèk nang hapé.
“Ana apa sih? Udané barat kanginan”
“Bojoné enyong perlu dipriksa, Mad. Wetengé ngulèt-ngulèt baé, kayongé pan lairan” semauré Um Wapèk.”Bengi kiyé nyong turu mung rong jam, Pèk. Mobilé enyong mogok kejebak banjir. Nyong kudu mlaku patang kilo mèter. Tapi aja watir, nyong tak ganti pakèan dingin lan nulungi bojoné kowen. Mung baé kiyé, Pèk…”
“Pibèn?”
“Bengi-bengi langka angkutan, bisa ora bisa kowenkudu njemput enyong”
”Apa Mad?! Enyong kon njemput kowen wayah undan barat tur bledègé ngampar ngampar? Ora melas temen kowen maring enyong, Mad?” omongé Um Wapèk kaya pan nangis.
“Kowen uga sing kira-kira oh! Wayah bengi undané barat tur bledègé ngampar ngampar, enyong kon mlaku tengak-tenguk maring umahé kowen? Nehi maharad dunya dipatil lèlé ya? Ta uu…!” (Lanang Setiawan )


Bakul Jamu
TAMBAH tuwa, Rani Pèsèk ora payu laki lan job nyanyiné bangkrut. Kalah kèder dèwèké dadi bakul jamu gendong. Rani Pèsèk duwé kebiasaan dong trima duwit saka pelanggan, duwité didalah nang jero kutang. Wayah soré dèwèké maring pasar, blanja barang dagangan. Waktu bayar, ujug-ujug pedagané ora gelem nrima duwité Rani Pèsèk.”Maaf mbak, duwité palsu!” alesané.”Wah masak nyong nipu? Kuwé duwit asli, hasil dodolan jamu mau ésuk!” omongé Rani Pèsèk.”Duwit kiyé palsu, adong ora percaya dipriksa baé. Duwité laka gambaré!”Radan éram, Rani Pèsèk terusan ndeleng maring njero kutang, tembé ngomong:
“É…pantesan, duwité laka gambaré, sebab uwongé lagi nyusu!” (Lanang Setiawan)