Jumat, 31 Oktober 2008

YANI BIDUAN DANGDUT TEGAL


Pedangdut Yani:

Separoh Gairahku

Dirampas Dangdut

LAGU dangdut sepertinya sudah menjadi darah daging Yani. Pedangdut asal Desa Padaharja Kecamatan Kramat itu mengaku separoh gairah hidupnya ‘dirampas’ musik dangdut dan ia tak bisa berpaling dari jenis musik yang membumi itu.
“Aku jatuh cinta sama dangdut. Dalam hidupku sepertinya tiada hari tanpa dangdut yang selalu mengiringi langkahku. Separo gairah hidupku bahkan dirampas oleh musik dangdut,” ujar Yani ketika berbicang dengan penulis pada Rabu (29/10) malam di sebuah rumah makan kawasan Kramat, Kabupaten Tegal sebelum dia tampil pada acara Penyerahan Penghargaan MURI kepada penyair Husin, pembaca sajak terlama 4 hari 4 malam.
Bagi Yani, totalitas sebagai pedangdut adalah sebuah kemutlakan. Ia percaya bahwa apa yang dia pilih bukanlah sebuah tindakan keliru. Delapan tahun ia suntuk berprofesi sebagai biduanita adalah bukti kalau dunia dangdut ternyata bisa untuk menghidupi dirinya dan keluarga.
“Aku memilih jalan hidup tak mau setengah-setengah. Sebagai pedangdut, aku penuh suntuk memilih profesi ini karena telah aku rindukan” tegasnya.
Yani mengawali karirnya delapan tahun silam. Kegilaannya pada lagu dangdut terasa sekali sejak ia masih kanak-kanak. Ia senang mengikuti biduan menyanyi saat dia mendengar lagu dangdut di radio. Berawal dari sana, Yani semakin suntuk mendalami lagu-lagu dangdut. Akhirnya dia memutuskan hidup total sebagai pedangdut dari kampung ke kampung, dari satu kota ke kota lainnya.
“Cengkok suaraku memang lebih menonjol ke dangdut, lagian lagu dangdut itu lebih gampang dan asyik, jadi aku seneng aja bawain” ujar Yani menjawab pertanyaan.
Entah sampai kapan Yani bakal kuat pada pilihan hidupnya itu, ia hanya mengaku bahwa sampai detik ini belum merasa bosan jadi penyanyi dangdut. Alamat Yani berada di Desa Padaharja dukuh Kedawung Rt1/Rw 1 Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Indonesia.

Selasa, 28 Oktober 2008

Baca Sajak dan Gugatan NURHIDYAT POSO


Penyesalan Nurhidayat Poso
dan Baca Puisinya di Solo


PENYAIR Nurhidayat Poso hari Selasa (28/10) membacakan sajak-sajaknya di TBS (Taman Budaya Surakarta) di Teater Arena pada pukul 19.30 dalam acara “Silaturahmi Puitik” atas undangan Devisi Sastra Taman Budaya Jawa Tengah. Dia akan mewakili penyair dari Kota Tegal dalam acara yang cukup selektif dan berpengaruh dalam peta sastra di Jawa Tengah dan peta sastra Indonesia.
Penyair-penyair yang diundang pada acara tersebut antara lain Timur Sinar Suprabana, Eko Tunas, Beno Siang Pamungkas (Semarang) Kuspriyanto Namma (Ngawi) Dharmadi (Jakarta) Sosiawan Leak, Murtidjono, Widjang Warek (Solo) dan lain-lain.
Nurhidayat Poso akan membacakan beberapa puisi terbarunya seperti: Interlude Kematian, Negeri Para Penagih Hutang, Cerita dari Hobart untuk Mas Mul, Anjing Herry Aveling dan Piano Mozart dan lain-lain.
“Saya bukan pengecer puisi, sajak-sajak saya berubah. Karena saya mengalami fase yang membuat saya tak mampu mendifinisikan sesuatu dengan cepat. Hidup sekarang menjadi semacam hutan buruan. Kata-kata mengalami erosi pemaknaan. Jadi saya sekarang mencomot saja kata-kata yang berhamburan di hutan itu” tutur Nurhidayat Poso di rumahnya yang asri dengan banyak bunga.
Dayat demikian sapan akrab penyair yang jam terbangnya sudah tinggi ini adalah figure seniman yang dedikasinya kuat di Kota Tegal. Gagasan dan pemikirannya sering kontroversial. Tetapi secara tak terduga sebenarnya ide-idenya jernih dan orsinal.
Sastrawan Kota Tegal ini tahun 2007 mendapat penghargaan dari Departemen Seni Budaya dan Pariwisata dan diserahkan langsung oleh Menteri Jero Wacik justru di kotanya sendiri tersingkir tidak dapat Penghargaan Seni. Menyinggung tentang penghargaaan itu, Nurhidayat menuturkan,
“Setiap reward adalah versi. Jadi tak ada masalah bagi saya. Versinya siapa dulu, dong? Wong yang menyeleksi adalah Dewan Kesenian yang tidak mengerti tentang seni. Mereka ndak ngerti kebudayaan kok, ndak punya kriteria apalagi konsep Saat saya dapat penghargaan kebudayaan Nasional oleh menteri saya harus mengalahkan ribuan tulisan yang pernah dimuat di media massa dalam setahun, berhadapan dengan ratusan media massa yang terbit di Indonesia. Dengan seleksi yang kuat dan tim juri yang profosional. Jadi bukan berhadapan dengan juri yang yang punya selera suka atau tidak suka, apalagi penilain berdasarkan belas kasihan tapi kretaria ini tidak termasuk Lanang Setiawan. Jadi kalau saya tersingkir tidak dapat Penghargaan Seni di Kota Tegal, yang malu adalah Pemkotnya bukan saya. Saya di luar negeri dan tingkat Nasional ke mana-mana membawa nama Tegal. Kalau tidak diakui di Tegal berarti kan Pemkotnya ada masalah dengan saya. Seperti Pramudya Ananta Toer di Indonesia dilarang, dijegal, tetapi di luar negeri di elu-elukan dapat penghargaan. Wah, sudah jamak, biasa”
Menurut Nurhidyat yang juga salah satu pendiri Teater Puber Tegal, ia menyesalkan Penghargaan Seni dari Pemkot Tegal itu kenapa diberikan juga kepada pelukis Suleman Dito yang nilai kurang memiliki dampak kreatifitas pada masyarakat Tegal. Juga kepada dalang S. Sardjono kenapa mesti panitia Verifikasi memasukannya sebagai orang yang layak diberi penghargaan. Sedang dirinya yang sudah malang melintang dan menerima penghargaan dari seorang mentri, malah tersisih di kotanya sendiri. Hal itulah yang membuat dirinya kurang sependapat. Perlu diketahui, ia pada beberapa tahun lalu sajak-sajak karyanya pernah dibacakan di beberapa Universitas Australia.

Sekadar diketahui, pada hari Minggu (19/10) sejumlah 6 seniman Kota Tegal yang mendapat Penghargaan Seni dari Pemkot Tegal adalah Lanang Setiawan, SN. Ratmana, S. Sarjono, Yono Daryono, Piek Ardijanto Soeprijadi, dan Suleman Dito RS. Penghargaan diberikan langsung oleh Walikota Tegal Adi Winarso bertempat di angjungan Jawa Tengah Taman Mini Indonesia Indah.

KETERANGAN GAMBAR : Nurhidayat Poso




Lutfi AN – Seniman
Buktikan Ikmal
Apresiatif Pada Seni

DI ANTARA visi missi yang diusung lima kandidat calon walikota Tegal pada kampanye tempo hari, hanya satu calon, Ikmal Jaya yang secara apresiatif menyampikan idenya terkait dengan usaha dalam pengembangan seni budaya. Hal itu dikatakan seniman Tegal Lutfi AN kepada Nirmala Post, Senin (27/10).
“Meski dalam visi dan missinya tidak secara hitam di atas putih disebutkan tentang programnya di bidang kesenian, namun pernah ada penegasan yang diucapkan secara langsung tentang perlunya penghargaan kepada seniman. Ini penegasan yang luar biasa. Dia satu-satunya kandidat yang apresiatif terhadap dunia kesenian," tegas Lutfi.
Menurutnya, jika dia apresiatif terhadap kesenian pasti dalam usaha melanjutkan pembangunan yang telah dilakukan pemimpin sebelumnya, pasti akan membangun yang disertai dengan sentuhan seni.
“Diharapkan visi misi yang dipaparkan dapat direalisiasikan. Saya yakin dengan landasan kepemilikan apresiasi seni itu, nantinya dalam melanjutkan pembangunan Kota Tegal, tak hanya apik tapi juga punya nilai estetika,” tandasanya.
Senada dengan seniman lain seperti, Bontot Sukandar, Dwi Ery Santoso, Bramanti S Riyadi, Widodo dan Hartono Ch Surya, mereka berharap, terpenting lagi bagaimana ide-ide tentang kesenian dapat diwujudkan.
“Seperti rencana pembangunan Taman Budaya Tegal dapat segera ditindaklunjuti. Karena pembangunan TBT itu sangat penting. Bukan semata persoalan provit oriented, melainkan dengan terwujudnya pembangunan TBT itu secara otomatis mengembangkan nilai-nilai edukasi dan nilai-nilai sosial kebudayaan. Itu yang harus dipahami walikota. Dan saya yakin dia memahami itu,” ujar Lutfi.
Sementara cerpenis Hartono Ch Surya, lebih menunggu bukti dari janji yang pernah ada. “Bagi saya tidak perlu harapan yang muluk-muluk lah, yang penting ada perhatian, sebab iklim kesenian di Tegal sedemikian maraknya. Mustahil iklim itu menjadi bergairah tanpa dukungan yang memadai dari pemerintah daerah,” tuturnya.
Sedangkan seniman Bramanti S Riyadi, memberikan satu hubungan yang erat antara sarana dan prasarana yang memadai dengan gairah kreativitas seni.
“Selama ini yang menjadi kendala adalah sarana yang kurang representatif. Kebutuhan media ekpresi yang memenuhi kebutuhan artistik sebuah pertunjukan. Tentu saja tidak hanya untuk pentas tetapi sekaligus sebagai proses berkreasi,” kata Bram.
Sementara penyair dan pelatih teater, Dwi Ery Santoso menjelaskan mengenai perkembangan teater di kalangan pelajar.
“Diharapkan ada peningkatan penghargaan kepada para pemenang festival. Selain itu perlu ada dukungan agar budaya berteater tingkat dewasa kembali tumbuh melalui ajang festival. Karena ajang itu salah satu cara untuk mengembangkan seni teater di kalangan masyarakat,” paparnya.
Selain itu, lanjutnya, pentas rutin yang digelar pada setiap Agustusan dan dalam rangka ari jadi Kota Tegal tetap dilestarikan. Baik Eri, Bontot maupun Bram, menandaskan, TBT sebagai pusat kebudayaan di Jawa Tangah bagian barat.
“Dengan diwujudkannya TBT kelak dapat mengembalikan citra Tegal sebagai kiblat kegiatan seni khususnya seni teater,” tandas Ery yang diamini seniman lainnya.

KETERANGAN GAMBAR : Lutfi AN





Senin, 27 Oktober 2008

IPUK NM NUR


Ipuk NM Nur

Tegalan Harus
Jadi Ikon Tegal

KEMENANGAN pasangan H. Ikmal Jaya SE AK – Habib Ali Zaenal Abidin SE dalam Pilkada Kota Tegal, Minggu (26/10) kemarin untuk jabatan G1 dan G2 periode 2009 – 2014 mendatang, menjadi sebuah pencerahan dan harapan bagi kalangan seniman. Terkhusus lagi bagi para seniman yang getol mengibarkan bendera musik tegalan yang selama ini kurang tersentuh oleh pemerintah setempat. Herannya lagi para ‘penggedenya’ hanya mengenal lagu-lagu barat atau lagu anak muda yang notabenenya bukan hasil karya kreatif anak-anak Tegal. Hal inilah yang kemudian menjadi keprihatinan Ipuk NM Nur, salah satu penggiat musik tegalan. “Ya, menurut saya, budaya asli Tegal khususnya lagu tegalan harus mendapat tempat khusus. Sebab selama ini, lagu-lagu tegalan terkesan dinomor 27-kan.
Oleh karena itu, ia berharap terhadap H Ikmal Jaya yang bakal menggantikan Walikota Tegal Adi Winarso nanti, lagu-lagu tegalan harus menjadi ikon.
Sekadar diketahui, pelantun dan pemusik tegalan Ipuk NM Nur selama ini hanya mengkhususkan bernyanyi dengan materi lagu-lagu tegalan yang diciptakannya sendiri dan karya-karya lagu teman-teman seniman Tegal yang dia bawakan baik saat pentas di sebuah acara, maupun saat dia melakukan 'konser jalanan' alias ngamen. Lagu Ipuk pernah masuk dalam album Tegalan Remix Anyar berjudul 'Kelara Lara' bersama pencipta lagu tegalan asal Tegal diantaranya Moch. Hadi Utomo, Ayo Waryono dan Lanang Setiawan. Salah satu lagu tegalan lainnya juga masuk dalam album indie lebel di grup musik tegalan KMSWT (Kelompok Musik Sastra Warung Tegal).
Hidup seniman berperawakan kerempeng ini suntuk dia abdikan pada dunia musik tegalan dan mengabdi pada dunia jurnalistik.
"Hidupku boleh dikata lebih suntuk pada dunia seni tegalan. Aku ngamen ya menggunakan lagu-lagu tegalan, aku tak pernah melakukan 'konser musik jalanan' dengan melantunkan lagu-lagu lain. Aku mantap ngamen dengan lagu tegalan, baik ciptaan aku sendiri maupun lagu tegalan milik kawan-kawan seniman. Rasana ada kepuasan yang tak bisa diukur dengan materi" papar Ipuk bapak dari 4 anak.
Ipuk selain banyak mencipta lagu, juga menulis puisi dalam bahasa tegalan. Ia juga mengaku, akan menjadi seniman sampai usia dia diengemban dikandung badan.


Minggu, 26 Oktober 2008

PROFIL NURNGUDIONO


Nurngudiono

Seni Harus Dikembalikan

Kepada Wilayahnya


Seniman harus terus berkarya. Setiap karya yang dicipta tentu tidak lepas dari proses berkarya itu sendiri. Pementasan seni di kampung-kampung, adalah upaya mengembalikan komunitas seni kepada ibunya. Karena wilayah seni itu bermuasal dari desa. Situasi dan kondisinya menjadi sumur yang senantiasa memancarkan oase ide. Dari sana banyak sekali inspirasi yang lahir dan bermuara dari kondisi masyarakat sekitaranya. “Kehidupan masyarakat dengan dinamika permasalahannya, kehidupan orang-orang tertindas dan didhalimi oleh sesamanya, merupakan sumber inspirasi bagi saya,” kata Pendiri Kampoeng Seni Desa Bedug, Nurngudiono, Minggu (26/10) di rumahnya Jalan Sawo 41 RT 12/III Desa Bedug, Kecamatan Pangkah, Kabupaten Tegal.


SEJAK tahun 1996, guru SD yang mahir nembang, Nurngudino selain suka bermusik, juga menulis lirik dan membuat lagu hingga berhasil rekaman. Album pertamanya ‘Kembang Geni’ (bersama Lanang Setiawan). Disusul dengan album kedua ‘Babon Ngoyok-oyok Jago’. Kemudian membuat lagu ‘Tegal Keminclong Moncer Kotane’. Lagu tersebut dijadikan ikon kota Tegal.
Lagu ‘Babon Ngoyok-oyok Jago’ tercipta setelah mencermati perkembangan kehidupan masyarakat dan jaman yang semakin jungkir balik, sebagaimana pernah diramal pujangga Ronggowarsito ratusan tahun silam. Lagu itu menggambarkan fenomena jaman watu itu. Kehidupan sosial masyarakat yang tidak lagi sesuai dengan tata adat kehidupan bernilai positif. Kehidupan masyarakat yang melanggar adat kebiasaan alias jaman edan itu tersirat dalam syairnya:

Babon ngoyok-oyok jago
jamane jaman edan
akeh babon ngoyok-oyok jago
sing bener dadi salah
sing salah dadi bener
jamane jaman edan

Janji pancen gampang
ngomong pancen gampang
sing penting ana buktine
sing penting ana nyatane
suradadi kotane
sing penting nyatane…….

Selain pernah mendirikan Kelompok Musik Ngiongsoran pada tahun 1987, ayah dari empat anak ini juga mendirikan KMSWT (Kelompok Musik Sastra Warung Tegal) pada tahun 1996. Hingga sekarang masih rutin tampil tidak hanya dalam ajang apresiasi seni ansich, tetapi juga ditanggap dalam acara-acara seremonial.
Sehingga kehidupan KMSWT itu sendiri pernah difilmkan menjadi sebuah film dokumenter. Tujuannya untuk dijadikan referensi budaya sebagai pengayaan khasanah kajian proses berkesenian yang ada di tengah masyarakat oleh masyarakat dan untuk masyarakat.
Sedangkan syair lagu-lagu yang ditulis seniman yang pernah menjadi pengurus hingga menjdi Ketua DKT Kota Tegal ini, telah dialihbahasa ke dalam syair berbahasa Inggris oleh pengamat kebudayaan dari Australia, Richard Curtis. Lagu-lagu tersebut dibawa ke negeri kanguru, dan dijadikan bahan kajian seni di sebuah universitas di Australia.
Hal yang paling membuat seniman yang kini tinggal di Desa Bedug merasa trenyuh sekaligus bangga, lantaran lagu ‘Dolanan Rakyat’ yang iramanya enak dinikmati, syairnya penuh satire meski tidak teramat vulgar itu, ternyata disukai kaum demonstran. Termasuk para mahasiswa, pada era reformasi lagu itu menjadi yel-yel favorit dan dikumandangkan di tengah-tengah orasi politik di berbagai kota.

Dolanan rakyat
rakyate nggo dolanan
aja kaya kuwe
aja dolanan rakyat….

Sebagai seniman harus terus berkarya. Setiap karya yang dicipta tentu tidak lepas dari proses berkarya itu sendiri. Menurut suami dari seniwati Sunarti, dia merasa bersyukur dengan lingkungan dimana dia tinggal. Karena situasi dan kondisinya menjadi sumur yang senantiasa memancarkan oase ide. Diakuinya, sebagian inspirasi dari sejumlah karyanya justru bermuara dari kondisi masyarakat sekitaranya.
“Kehidupan masyarakat dengan dinamika permasalahannya, kehidupan orang-orang tertindas dan didhalimi oleh sesamanya merupakan sumber inspirasi bagi saya,” kata suami Sunarti yang dikaruniai empat putra, Karel Kurniawan (25), Dilan Prihananda (22), Brian Arif Maulana (20) dan Dean Rahajeng Sastriani (alm).
Selain itu, cetusnya, kondisi alam juga sering merangsang dirinya dalam setiap pergulatan cipta karya. Terutama berkaitan dengan syair lagu yang ditulisnya. Sebagai seniman seringkali tidak lepas dari tantangan yang sedemikian rupa bentuk dan macamnya. Seperti penentangan dan ketidaksetujuan yang datang dari orang di sekitaranya bahkan orang-orang yang dicintainya. Apakah dia itu kedua orang tua, mertua, istri, anak-anak ataupun keluarga dekat. Bagi Nurngudiono, justru sebaliknya.
“Saya bersyukur, baik orang tua, istri dan anak-anak sangat mendukung kesenimanan saya. Bahkan saya sering pentas bersama istri,” tandas pemilik prinsip hidup ‘Jangan pernah menyerah’ yang juga Ketua Dewan Kesenian Kota Tegal periode 2006-2007.
Pencermatannya terhadap denyut kehidupan berkesenian di wilayah Brebes, Kota Tegal serta Kabupaten Tegal, hingga sekarang terus bergerak semakin bagus. Terutama para generasi muda dengan berbagai kegiatan keseniannya. Karena itu perlu adanya penanganan serius. Ia menilai, dalam perhelatan seni di Tegal, masih ada kelemahan yang cukup berdampak terhadap perkembangan kesenian. Sedangkan kelemahan itu justru datang dari para seniman itu sendiri.
“Kelemahan dalam kehidupan seni di Tegal itu dalam soal penanganan managerial,” kata Nurngudiono.
Menurutnya, ada tiga komponen dasar yang sangat mendukung eksistensi berkesenian. Pertama adanya peran serta pemerintah. Kedua, managemen yang bagus. Ketiga kreativitas para senimannya. Jika ketiga aspek itu dipadu akan semakin meningkatkan perkembangan kesenian.
Bagi Nurngudiono, seniman dalam mencurahkan kreativitasnya tidak boleh terpaku oleh hal-hal yang bersifat teknis. Seperti seni teater, seni musik ataupun lukis. Dimaksudkan, pentas teater, pentas musik itu bisa dimana saja. Tidak harus di gedung yang megah. Di panggung menterang dalam sebuah acara yang bersifat seremonial. Sekalipun itu penting, tetapi jangan dijadikan moment satu-satunya, meski berekppresi dan menuangkan kreativitas.
Pentas drama. Bemain musik bisa saja digelar di halaman rumah. Di pelataran kampung di antara rumpun bambu meski alat penerangnya mengandalkan cahaya bulan purnama ataupun sederet obor bambu. Sedangkan para penontonnya bukan pejabat tinggi serta para pengusaha. Melainkan para tetangga di sekitaranya. Dengan cara seperti itu, justru ekpresi dalam berkesenian semakin cermat. Karena audiennya orang-orang yang polos. Ketika lucu ya tertawa. Ketika tidak paham ya melongo. Bahkan ikut bergoyang tanpa rikuh saat ada sajian lagu yang menyentilnya untuk bergoyang. Alasan itu, sehingga diprakarsai sebuah pementasan seni di kampung. Dan tercetuslah adanya Kampeong Seni Desa Bedug.
“Dengan pementasan seni di kampung-kampung, saya ingin mengembalikan komunitas seni kepada ibunya. Karena wilayah seni itu bermuasal dari desa. Dalam pandangan saya, ketika seni yang tumbuh dan berkembang di kota-kota besar telah terinveksi virus politik, kepentingan kekuasaan dan kepentingan-kepentingan lain di luar ranah kesenian, maka seni harus dikembalikan kepada wilayah ibunya, yakni desa. Biarlah seni kembali kepada asal muasal seni. Di desa seni akan lebih berdaya guna, di desa, seni akan lebih akrab dengan penikmatnya. Wilayah pedesaan menjanjikan nuansa berkesenian yang lebih bening,” papar Nurngudiono yang menjabat Koordinator Jaringan Kerja Seniman Tiga Kota.
Pementasan kesenian di desa, sedikitnya memberikan dampak positif seperti apresiasi murni dari masyarakat sehingga kesan yang dirasakan lebih awet. Kedua bermanfaat untuk menghibur masyarakat dengan sajian yang mendidik dan bermoral. Ketiga dapat langsung dinimati masyarakat. Karena itu, mantan Ketua DKT ini beranggapan, panggung desa itu lebih besar dari gedung kesenian bahkan panggung seni manapun (Hamidin Krazan)

Jumat, 24 Oktober 2008

Wwancara SOAL PENGHARGAAN SENI TEGAL


Moh. Hadi Utomo:

Penghargaan Seniman
Harus Periodik


PENGHARGAAN seni yang diberikan Pemerintah Kota (Pemkot) Kota Tegal sebagai satu bukti adanya pengakuan terhadap eksistensi seniman. Diharapkan, seniman yang masih hidup dapat memacu kreativitasnya. Ada dua alasan mengapa penghargaan seni itu penting bagi seniman. Lantas bagaimana penghargaan seni itu berkesan prestise. Untuk mengetahuai apa manfaat dari penghargaan seni bagi para seniman, simak wawancara Nirmala Post Hamidin Krazan dan Lanang Setiawan dengan budayawan asal Kabupaten Tegal Moh Hadi Utomo, Jumat (24/10) berikut petikannya:
Bagiamana tanggapan Anda atas penghargaan seni di Kota Tegal?
Ada dua manfaat dari penghargaan seni. Pertama, penghargaan seni memang dibutuhkan seniman untuk memacu semangat dalam berkarya. Kedua untuk menghargai seniman dimana profesi seniman itu merupakan sebuah pilihan hidup yang mulia. Sebagaimana seseorang berprofesi sebagai ustadz, guru, karyawan dan lainnya. Semua itu merupakan pangilan jiwa. Hargailah itu. Sebaliknya sebagai seniman juga jangan sekedar pelarian hidup.
Haruskah pemerintah yang memberikan penghargaan itu?
Tentu saja tidak hanya pemerintah. Siapapun bisa sebagai pemrakarsa, pengusaha ataupun sebuah lembaga kesenian itu sendiri maupun lainnya yang ada di masyarakat yang memiliki perhatian terhadap karya seni.
Idealnya bagaimana?
Penghargaan harus rutin. Jika adanya hanya sesekali saja, penghargaan itu akan menjadi tidak bernilai. Hal yang perlu dipahami, jika kemudian hari penghargaan itu akan diadakan setiap tahun, maka harus ada tim khusus, semacam tim verifikasi yang ditetapkan terlebih awal dari proses lainnya. Kemudian dalam proses kerjanya tim verifikasi ini bersifat independent. Tentu segala hal yang berkaitan dengan penghargaan dibuat draf sehingga segala sesuatunya jelas. Baik kategori, periodisasi berkesenian, teritorialnya sampai jenis kesenian yang diberi penghargaan. Melalui tahapan penyaringan secara terbuka serta atas usulan siapa. Setiap kategori harus mencerminkan prestasi dari karya seni sesuai dengan kapasitas senimannya. Saya mengharapkan, penghargaan seni baik oleh pemerintah maupun lembaga non pemerintah, harus melalui lembaga yang otonom, berwibawa, credible dan tidak bisa didikte oleh siapapun. Salah satu indikasinya, para peraih penghargaan adalah para seniman yang karyanya bisa dipertangungjawabkan secara estetika.
Dengan agenda rutin itu apakah agar semua seniman kebagian?
Bukan itu orientasinya. Perlu dipahami juga, jika penghargaan seni itu menjadi agenda setiap tahun, itupun harus ada batasan kongkrit dan jelas. Jangan sampai akhirnya malah menyerupai arisan penghargaan. Artinya penghargaan diberikan sesuai nomor urut, kemudian semua mendapat giliran. Tahun depan giliran siapa yang mendapat karena sebelumnya belum mendapat. Padahal kreativitasnya sudah mandek, tidak ada karya sekalipun masih tetap mengaku dirinya seniman. Bukan itu. Melainkan atas azas prestasi. Siapa yang menjaga kontiunitas dalam berkarya, meningkatkan volume dalam melakukan kegiatan seni, merekalah yang berhak, sekalipun sebelumnya pernah mendapat juga.
Penghargaan itu identik dengan perolehan finansial?
Perlu dipertegas juga, penghargaan yang prestise itu selain ada secara periodik, juga ada reward. Jika itu dalam bentuk finansial, dananya dari mana? Kalau pemerintah kota/ daerah yang memberikan, apakah dari APBD? Jika iya, adanya sejak kapan. APBD yang akan datang mungkinkah masih ada atau akan ditentang anggota dewan? Jika dari swasta apakah dia bekerja sama dengan sebuah lembaga tertentu? Seperti hadiah nobel itu memang sudah ada dana yang disimpan di bank dunia, sedangkan uang sebagai salah satu bentuk rewardnya diambil dari bunganya.
Terpenting dari penghargaan itu sendiri apa?
Sebenarnya untuk membangkitkan motivasi masyarakat itu tidak mudah. Pada masa sekolah kepala sekolah menyediakan hadiah bagi siswa berprestasi, ada bea siswa bagi mahasiswa, semua itu upaya menumbuhkan motivasi. Karya seni yang relative bermanfaat dalam kehidupan manusia pun para senimanya harus dipacu agar karya yang dibuatnya berkualitas dan bermanfaat. Caranya mereka dipacu dengan itu. Apa yang dilakukan pemkot Tegal sebagai langkah awal yang baik, meskipun terkesan berjalan dengan langkah seribu. Jadi ada sesuatu yang tertinggal, dalam proses awalnya. Padahal itu bekal yang sangat penting dan tidak boleh dikesampingkan. Kedepannya, sebelum ada penghargaan, perlu ada kajian, survey dan diumumkan selayaknya lomba. Pelru juga tim verifikasi belajar pada lembaga yang pernah memberikan penghargaan yang telah rutin berjalan. Seperti yang diprakarsai penyair Ajip Rosidi.
Bagaimana agar penghargaan tidak memicu kecemburuan?
Harus ada kategori penghargaan yang jelas untuk seniman. Jika dalam penghargaan itu ada jenis sastra, lantas senin musik dimasukan atau tidak. Jika ada seni pedalangan mengapa seni ketrampilan tidak, bukankan di Tegal juga banyak pengrajin, termasuk batik dan alat rumah tangga lainnya? Jika teater mendapat penghargaan mengapa drama tradisional tidak disertakan? Semua itu akan menjadi jelas jika ada kategori, klasifikasi dan ukuran yang jelas. Tujuannya untuk menghidari unsur subyektivitas dan pertemanan (*)


Kubah Masjid EMAS


Masjid Kubah Emas

Simbol Kemegahan Islam

BERAWAL dari sebuah cita-cita yang mulia dari seorang hamba Allah SWT, tercetuslah gagasan untuk mendirikan sebuah masjid simbol keagungan Islam. Keagungan dan kemegahan yang menggetarkan perasaan, menggerakkan jiwa, menggenapkan niat meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Keindahan yang dapat mengingatkan kita akan kebesaran Sang Pencipta. Masjid di Desa Maruyung - Cinere, Limo, Depok ini memang sangat megah. Sosok bangunan seluas 60m x 125m yang terletak di atas lahan seluas 55 ha ini bagaikan oase di padang pasir. Ibu Hj. Dian Juriah M. Al-Rasjid yang memprakarsai pembangunan masjid Dian Al Mahri tersebut ingin "memindahkan" masjid Nabawi di Madinah yang bergaya Timur Tengah itu ke Depok.
Untuk mewujudkan impian ini ibu Hj. Dian sebagai pemilik dibantu Uke G. Setiawan selaku principal designer dari masjid ini. Rencananya, areal yang luas tersebut akan dijadikan Islamic Centre yang menyediakan fasilitas rumah sakit, boarding school, pertokoan dan sebagainya sehingga mirip kota kecil. Saat ini pembangunan baru mencapai 30% dari rencana, berupa bangunan masjid, kediaman pribadi dan gedung serba guna. Adapun masjid yang tahap perencanaannya dimulai pada Desember 1998 baru diresmikan oleh ibu Hj. Dian Juriah M. Al-Rasjid pada 31 Desember 2006, bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha 1427 H dan sejak itu terbuka untuk umum.
Arsitektur masjid ini mewakili citra yang tertanam di benak masyarakat kita pada umumnya. Contohnya adalah diterapkannya lima kubah yang melambangkan Rukun Islam dan enam minaret yang melambangkan Rukun Iman. Langgam arsitektur berupa motif belah ketupat dan segitiga khas Islam juga diterapkan. Selain itu pemilik juga mengadopsi elemen tertentu dari Taj Mahal, misalnya kubah bawang. Selain itu ada pula detail-detail ornamen dari India, misalnya pada krawangan di area selasar.
Masjid ini terdiri dari ruang utama berukuran 40m x 60m yang dapat menampung sekitar 5.000 jemaah. Dua gerbang di sisi Utara dan Selatan serta gerbang utama yang terletak di sisi Timur berhubungan langsung dengan courtyard di bagian dalam. Halaman dalam yang berukuran 45m x 57m ini dapal menampung sekitar 10.000 jemaah dan dapal digunakan untuk perluasan pada saat salat Jum'at, salat Idul Fitri dan Idul Adha serta untuk kegiatan manasik haji. Salah satu sisi halaman dalam ini langsung berhubungan dengan ruang salat sedangkan tiga sisi lainnya dibatasi selasar dengan deretan pilar berbalut batu granit yang didatangkan dari Brazil. Pilar-pilar ini membentuk deretan arcade yang seolah-olah menjadi pembatas.
Enam minaret masjid ini berbentuk segi delapan setinggi 40m, masing-masing terdiri dari enam tingkat yang melambangkan rukun iman. Semuanya dibalut batu granit berwarna abu-abu dengan ornamen berpola melingkar pada setiap tingkat sementara bagian puncaknya dilapisi mozaik emas. Kubah utama masjid ini mengacu ke masjid-masjid di Persia dan India yang menjulang ke atas.
Lima kubah di masjid ini melambangkan rukun Islam, seluruhnya dibalut mozaik berlapis emas sedangkan interiornya didominasi warna-warna monokromatik dari krem ke salem agar tecipta suasana yang tenang dan hangat. Material yang digunakan adalah marmer dari Turki sedangkan ornamennya menggunakan marmer berwarna hitam dan warna emas.
Di langit-langit kubah terdapat mural yang nuansanya dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi dl luar masjid. Pada dasar kubah terdapat koof lampu yang diberi aksen warna emas, seolah-olah batas cakrawala. Di atasnya terdapat 33 jendela yang masing-masing diisi kaligrafi tiga nama Allah SWT sehingga seluruhnya berjumlah 99 (Asmaul Husna).
Di puncak langit-langit kubah terdapat kaligrafi selawat yang terbuat dari lempengan kuningan berlapis emas. Seluruh kaligrafi bergaya Kuffi, tersebar di sekeliling dinding ruang salat dan terbuat dari batu marmer hitam yang diselipkan ke dalam marmer putih sebagai dasarnya dengan teknik semprotan air bertenaga tinggi (waterjet system).
Di masa mendatang masjid ini diharapkan menjadi sarana wisata spiritual disamping sebagai tempat syiar agama yang dapat menyejukkan jiwa setiap insan Muslim.



Rekreasi Religi: Masjid Kubah Emas

A. Selayang Pandang
Masjid Kubah Emas merupakan sebuah masjid megah yang berdiri di Kota Depok, Propinsi Jawa Barat. Ciri khas masjid ini terletak pada atap kubahnya yang terbuat dari emas 24 karat. Bangunan masjid ini mempunyai luas sekitar 8 hektar dan menempati area tanas seluas 60 hektar. Konon, karena kemegahannya, masjid ini sering disebut sebagai masjid termegah di Asia Tenggara, melebihi Masjid Istiqlal di Jakarta.
Masjid ini diresmikan pada tanggal 31 Desember 2006 dengan nama Masjid Dian Al Mahri. Tanggal peresmian ini bertepatan dengan Hari Raya Iduladha 1427 H. Menurut cerita yang beredar, bahan-bahan material masjid ini langsung didatangkan dari negara-negara Eropa dan Brazil, seperti emas, lampu, dan granit dari Italia, serta beberapa material lain dari Spanyol, Norwegia, dan Brazil. Pembangunannya pun dijalankan oleh tenaga profesional dari luar negeri dan memakan biaya milyaran rupiah. Masjid Kubah Emas dibangun oleh seorang pengusaha asal Banten bernama Hj. Dian Djuriah Al Rasyid. Pengusaha kaya tersebut telah membeli tanah di daerah Depok sejak tahun 1996 dan mulai membangunnya sejak tahun 2001. Pembanguan masjid selesai pada akhir tahun 2006 dan dibuka untuk publik tepat pada tanggal 31 Desember 2006.**

B. Keistimewaan
Salah satu keunikan yang dapat disaksikan pengunjung masjid ini adalah kubah tengah masjid. Masjid Dian Al Mahri mempunyai kubah berjumlah lima, yakni satu kubah utama dan empat buah kubah kecil. Bentuk kubah utama menyerupai kubah bangunan Taj Mahal di India. Kubah tersebut mempunyai diameter bawah 16 meter, diameter tengah 20 meter, dan tinggi 25 meter. Sementara kubah-kubah kecil lainnya memiliki diameter bawah 6 meter, diameter tengah 7 meter, dan tinggi 8 meter. Seluruh kubah tersebut dilapisi emas setebal 2 hingga 3 milimeter dan dihiasi oleh mozaik kristal.
Selain itu, di pojok-pojok masjid juga berdiri enam menara yang berbentuk segi enam (heksagonal) dengan tinggi sekitar 40 meter. Keenam menara ini dibalut oleh batu-batu granit abu-abu yang diimpor dari Italia dengan ornamen melingkar. Pada puncak menara-menara ini juga terdapat kubah yang dilapisi oleh emas. Enam menara ini melambangkan jumlah rukun iman, sedangkan lima kubah melambangkan rukun Islam.
Di Masjid ini juga terdapat lampu gantung yang didatangkan langsung dari Italia dengan berat sekitar 8 ton. Selain itu, pengunjung juga dapat menyaksikan kekhasan relief yang menghiasi ruang Mihrab yang terbuat dari emas 18 karat. Kekhasan relief ini juga dapat dilihat pada pagar pembatas di lantai dua, hiasan kaligrafi di langit-langit masjid, dan mahkota pilar masjid yang berjumlah 168 buah yang berlapis bahan /prado/ atau sisa emas. Khusus untuk langit-langit masjid terdapat hiasan kaligrafi bergaya Kuffi yang terbuat dari lempengan kuningan berlapis emas. Kalau dilihat secara umum, arsitektur masjid ini mirip bangunan-bangunan masjid di Timur Tengah, yakni dengan ciri khas kubah, menara, halaman dalam, serta corak hiasan dekoratif dengan elemen geometris dan obelisk-nya. Sebagai sebuah bangunan yang megah dan memesona, masjid ini mempunyai bangunan dan halaman yang begitu luas.
Luas bangunan masjid sekitar 8.000 meter persegi dan mampu menampung sekitar 15.000 hingga 20.000 jamaah. Ruangan masjid terbagi atas ruang utama, ruang mezanin, halaman dalam, selasar atas, selasar luar, dan ruang-ruang fungsional lainnya.
Ruangan utama masjid didominasi oleh warna monokrom dengan warna dasar krem. Warna-warna ini seolah memberi nuansa tenang dan nyaman bagi pengunjung yang berada di dalam masjid ini. Pada bagian luar masjid terdapat taman luas yang mengitari masjid. Taman ini ditumbuhi pepohonan rindang yang dapat memunculkan suasana sejuk dan asri bagi pengunjung. Konsep penataan taman ini merupakan kolaborasi antara arsitektur bangunan masjid bernuansa Timur Tengah dengan suasana lingkungan tropis Indonesia.

C. Lokasi
Masjid ini terletak di Jalan Meruyung, Kelurahan Limo, Kecamatan Cinere, Kota Depok, Propinsi Jawa Barat, Indonesia.

D. Akses
Masjid Kubah Emas berlokasi di pinggir Jalan Meruyung, Kecamatan Cinere, Kota Depok. Untuk menuju lokasi ini tidak terlalu sulit, karena dapat ditempuh dari beberapa arah. Bila berangkat dari arah Terminal Depok, pengunjung yang menggunakan kendaraan pribadi dapat mengambil jalan menuju arah Kecamatan Sawangan. Setelah sampai di pertigaan Parung Bingung, pengunjung disarankan berbelok ke kanan ke arah Kecamatan Cinere, lalu menuju lokasi masjid. Jarak antara pertigaan Parung Bingung ke lokasi masjid sekitar 3?4 km.
Bagi pengunjung yang tidak menggunakan kendaraan pribadi, dari Terminal Kota Depok, dapat berangkat dengan menggunakan jasa angkutan kota (angkot) nomor 03 menuju pertigaan Parung Bingung. Dari pertigaan ini, pengunjung disarankan menggunakan ojek menuju Masjid Kubah Emas. Kota Depok berjarak sekitar 7 km dari Masjid Kubah Emas. Sedangkan untuk pengunjung yang berangkat dari Terminal Lebak Bulus atau Terminal Pondok Labu di Jakarta Selatan, dapat menggunakan jasa angkutan kota (angkot) bernomor 102 menuju pertigaan Parung Bingung, kemudian belok kanan menuju arah lokasi masjid.

E. Harga tiket
Wisatawan yang berkunjung ke masjid ini dikenai biaya parkir kendaraan. Untuk rombongan bus dikenai tarif parkir sebesar Rp 10.000, untuk mobil keluarga dikenai tarif 3.000, sedangkan pengendara roda dua hanya sebesar Rp 2.000 (Mei 2008). Masjid Kubah Emas dibuka setiap hari untuk umum pada pukul 04.00?06.00 WIB dan pada pukul 10.00?20.00 WIB. Pada hari Kamis, masjid ini ditutup untuk persiapan kebersihan shalat Jumat.

F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Di masjid ini terdapat fasilitas-fasilitas penunjang yang bisa membuat pengunjung semakin betah berlama-lama di sini, di antaranya mini market, restoran, kios makanan, toko butik, rumah penginapan, gedung serbaguna, auditorium, gedung /Islamic Center/, dapur umum, dan toko suvenir. Wisatawan yang berniat mampir ke toko suvernir dapat membeli aneka cenderamata, seperti cangkir, pin, kaos, mukena, sajadah, songkok, dompet, jam, piring, dan lain-lain. Selain itu, masjid ini mempunyai tempat parkir seluas 7.000 meter persegi yang dapat menampung 300 kendaraan roda empat atau 1.400 kendaraan bermotor. Sistem pengamanan kompleks masjid ini diserahkan kepada para satpam yang bertugas di lokasi masjid. Bagi para pengunjung yang ingin berfoto di lokasi masjid ini tidak perlu khawatir, karena di sini terdapat banyak fotografer yang menawarkan jasa foto.
Pengunjung yang ingin berwisata rohani ke masjid ini juga dapat mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan masjid ini secara rutin, di antaranya kegiatan /tausiyah/ umum setiap hari Selasa, Rabu, Sabtu, dan Minggu pada pukul 10.30 - 12.00 WIB. Sebagai sebuah kawasan terpadu untuk sarana ibadah, dakwah, pendidikan, dan kegiatan sosial, masjid ini di masa mendatang akan dilengkapi dengan rumah sakit, sekolah perawat, pesantren, dan universitas.


Rabu, 22 Oktober 2008

SAJAK SAJAK BAMBANG SIREGAR


Sajak2 Bambang Siregar

Anak Miskin dan Sekolah

Anak miskin tidak sekolah dengan anak kaya. anak miskin mendapat jawab "maaf sekolah ini tidak menerima anak dari comberan". anak miskin itu, menerawang...belum tau salahnya kenapa bapak membuangnya persis di comberan depan rumah kepala sekolah yang menolaknya masuk sekolah itu.
sekolah dibiayai negara. negara milik anak-anak dari orang kaya yang tentu tak akan membuang anaknya di comberan. anak miskin harus mencari sekolah di negara miliknya, negara milik anak-anak comberan. tapi di mana negara itu ? anak miskin makin tak tau salahnya kenapa tidak ada orang miskin yang mampu bikin negara sendiri. untuk membiayai sekolah anak-anak miskin. anak-anak yang dibuang bapaknya di comberan depan rumah orang miskin yang jabatannya kepala sekolah negeri miskin.
jangan menangis anak miskin, sebab menangis hanya membuat anak-anak kaya itu sontak menggertak-mu. jangan bikin pusing anak kaya yang sudah cukup pusing dengan utang bapaknya. untuk membiayai sekolah mereka, sekolah anak-anak kaya yang tentu tak akan dibuang ke comberan---betapapun bapak mereka sangat pusing.

Sunday, June 05, 2005



Jenuh yang Lelah

Ketika jenuh itu bicara...ketika jenuh itu marah..ketika jenuh mencabik rasa
aku terpaksa mengalah
rehat sejenak--sebab kulihat lelahnya
kulihat keringat dan otot-otot kecil di keningnya
mengeras membelalakkan mata

Apa yang dikejar dalam hidup ini
hanyalah harapan...yang tak pernah sampai
maka istirahat menjadi begitu mahal
untuk membunuh lelah yang membuat gila
dan hasrat bunuh diri
dan mencekik leher sendiri
dan...untuk sebuah harapan
mati baik-baik saja
pintu itu nyata di depan kita
pintu mati
baik-baik saja

Thursday, May 05, 2005


Korupsi Rezim Politisi

Yang harus diwaspadai adalah politisi yang mengedepankan kepentingan memperkaya diri sendiri. Ketika ada segelintir aktifis ORNOP tergoda korupsi, hal itu hanya symptom yang masih mungkin diatasi, namun jika rezim politisi dibiarkan korupsi harus dilawan dengan cara luar biasa--revolusi.


Thursday, October 28, 2004


Hari Ini Aku Bahagia


Hari ini bahagianya aku,
dan berulang Hamdallah
pujisyukur Tuhan….Godbless…Haleluyah…
semua ungkapan semakna rasa
rasa syukur Just for You Gustiku Esa
….jika mati hari ini,
dimanakah tempatku…
ampunankah
karena dosa begitu jorok senista-nista,
ketika waktu lalu
begitu berat angkat kaki satu-satu
dari kubang nista itu…
Kini…..di sini….
tanpa teman tak mengapa,
tanpa sekutu dalam kejahatan
tak apa
Kuhanya ingin berteman denganMu,
menjadi babu-Mu…
mengabdi selurus semestaMU
lalu teringat Ibu…
anak-anak ku serta istri cantikku
“Dan aku sangat percaya bahwa doamulah Ibu… yang membuka pintu
Karunia Allah untuk kami”
jangan jengah saksikan kemelaratan anak-anakmu
agar tidak membuatmu henti berdoa….
karena ada anakmu bergayut malu
sekedar mengangkat dagu atau menatap mata-mu
pun untuk memberimu senyum……

Saturday, October 23, 2004


Presiden Mulai Menjawab Harapan

Saat harapan itu mulai dijawab---menteri-menteri dilantik, ada yang bagus dan tak kurang yang cukup memenuhi "harapan" kelompok kepentingan ketimbang harapan kebanyakan rakyat. Kata salah satu dari mereka, jangan atasnamakan rakyat karena kami punya konstituen, betul. Tapi konstituen yang pilih partai kalian bukan untuk menunjuk jadi menteri tapi jadi wakil rakyat. Konstituen anda tidak pernah diajak konggres atau muktamar untuk mendukung calon presiden kalian, hingga presiden itu menunjuk kalian jadi menteri maka jangan bawa-bawa juga nama rakyat (konstituen) kalian : jika rakyat menganggap kalian tidak layak, tidak cakap, tidak kompeten, lucu dan terlalu dipaksakan untuk mengemban tugas kementerian di jaman sulit melilit ini.
Pesanku, selamat bekerja--jangan dengarkan kritik pedas kanan-kiri, jalan terus jika benar dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik pada kalian....juga jangan buat kerusakan dengan KKN di negeri yang sedang rusak berat di segala sektor kehidupan ini.... melantik kalian jadi menteri berarti: presiden terpilih memberikan sebagian mandat rakyat kepada kalian untuk memperbaiki kerusakan negeri ini....



BAMBANG SIREGAR - seorang penggiat NGO lokal--advokasi kebijakan publik dan hak sipil-politik di Kota Tegal. Sejak awal '99 memimpin Amardaya (Advokasi Martabat Rakyat & Studi Pemberdayaan) Tegal. Menulis sajak sejak masih di tingkat sekolah lanjutan atas. Sajak-sajaknya hanya dibacakan di radio-radio Tegal.

Selasa, 21 Oktober 2008

PEMBACAAN SAJAK TEGALAN di TAMAN MINI


Iqbal Baca Puisi ‘Raimu’

Karya Wakil Walikota Tegal

MESKI sudah lama meninggalkan dunia kepenyairan dan baca puisi, HM. Iqbal masih memiliki daya pukau ketika dia membawakan sajak ‘Ketemu Ning Taman Mini Jakarta’ dalam acara pentas seni, agenda tahunan Dishubparsenbud Kota Tegal dan halal bihalal dengan jajaran pejabat Pemkot Tegal di anjungan Jateng Taman Mini Indonesia Indah, Minggu (19/10) kemarin.
Sajak tegalan karya Wakil Walikota Tegal Dr. Maufur itu, dibacakan Iqbal dalam suasana yang gayeng dan memancing keakraban para pengunjung yang memadati anjungan Jawa Tengah Taman Mini. Mohamad Iqbal mampu menghidupkan suasana yang beku menjadi cair.
Sebelum mengawali pembacaan, Iqbal mendaratkan sebuah kata dalam bahasa tegalan. “Enyong mantuné penyair Piek, kira-kira pantes ora nyong maca puisi? Apa maning kiyé puisiné Wakil Walikota Tegal Dr. Maufur. Ndelèn tak jajal, mesih sakti kaya kegimiyèn apa ora ya?”
Dengan lantang dan medok, Iqbal pun membaca sajak itu:


Ning taman cilik sing gedé nemen

nyong kowen kabèh pada kumpul

margané ana rasa demen

ketemu kanca lawas tetangga lor kidul..


Semula saat dia membawakan puisi itu belum begitu mengejutkan. Meski demikian, suasana yang tadinya tegang dan penuh kejutan, mendadak para penonton dibuatnya ngerajuk ketika dengan penuh keberanian sang penulis sajak yang notabene Wakil Walikota Tegal itu, menuangkan kata-katanya begitu bak-bakan namun sangat akrab ditelinga orang Tegal. Bahkan menjadi kerinduan bagi masyarakat perantau yaitu pada kata ‘raimu’. Kita simak saja baik kedua pada sajak berjudul Ketemu Ning Taman Mini Jakarta’ itu.


Atiku ya pancèn bungah

raimu ya kayong sumringah

ana sing njagong

ning pinggir lan ning tengah

katon kang Sakir toli yu Minah…


Kata ‘raimu’ ketika dibacakan Iqbal, begitu menggempar, meledak, namun dengan aksen pembacaannya yang medok itu mampu mengundang tawa pengunjung. Bahkan Iqbal pun beberapa kali mengulang dan para penonton makin akrab dan sama sekali tak merendahkan diri siapapun. Mereka bahkan begitu senang, karena seperti mengenang pada pergaulan masa kanak-kanak di daerahnya, Tegal. Tak kayal lagi, tepuk tangan mengguruh. Pembacaan sajak tegalan ini menjadi sebuah puncak acara yang ditunggu-tunggu. Karena ungkapan ‘raimu’ itu dibacakan pada suasana dan kondisi sangat tepat, ketika para perantau Jakarta tak lagi mendengar kata itu, menjadi kerinduan menderu yang mereka bekap dalam dada selama bertahun-tahun. Makanya, begitu mereka mendengar kata itu, kerinduan panjang mereka jadi terlunasi. Dan agaknya Maufur, sang penulis sajak itu, mengerti akan kerinduan para perantau dengan kata-katanya yang blakasuta. Ditambah lagi Iqbal sendiri membawakan sajak itu dengan pas dan kental aksen tegalannya yang medok. Sungguh, pertemuan yang resmi itu akhirnya menjadi gayeng dan penuh keakraban. Cair dan mencair dengan puisi tegalan *

KETERANGAN GAMBAR:

HM. Iqbal saat membacakan puisi ‘Ketemu Ning Taman Mini Jakarta’ karya Wakil Walikota Tegal Dr. Maufur, di anjungan Jateng Taman Mini Indonesia Indah, Minggu (19/10)

Minggu, 19 Oktober 2008

Lanang Setiawan Menerima Penghargaan Seni















Redaktur Budaya NP Dapat Penghargaan Seni

Ki dalang Sarjono sebagai Penggiat Seni Pedalangan, Sulaiman Dito sebagai Penggiat Seni Lukis, Lanang Setiawan sebagai Penggiat Seni Tegalan, Yono Daryono dan SN Ratmana mendapat Pakarti Seni dan Piek Ardijanto(alm) mendapat Bintang Putra Seni.

ALHAMDULILLAH, besok aku ke Taman Mini. Mau diberi penghargaan seni oleh Pemkot Tegal. Begitu tulis Redaktur Budaya Nirmala
Post, Lanang Setiawan melalui SMS pada Sabtu (18/10) pagi sebelum ia berangkat ke Jakarta bersama rombongan duta seni Kota Tegal. Dikatakan Kepala Dishubparsenbud, Sumito Sip, dari sembilan nominator hanya enam seniman yang mendapat undangan untuk berangkat ke Taman Mini.
"Enam seniman itulah yang memperoleh penghargaan itu," jelas Sumito kepada NP, Jumat (17/10) melalui telpon.
Kemudian via SMS, Minggu (19/10) siang Lanang menjelaskan, ada enam seniman untuk lima jenis penghargaan. Yaitu Ki dalang Sarjono sebagai Penggiat Seni Pedalangan, Sulaiman Dito sebagai Penggiat Seni Lukis, Lanang Setiawan sebagai Penggiat Seni Tegalan, Yono Daryono dan SN Ratmana mendapat Pakarti Seni dan Piek Ardijanto (alm) mendapat Bintang Putra Seni.
"Sulaiman Dito tidak hadir, penerimaan penghargaan diwakili oleh Ketua Dewan Kesenian Tegal, Ki Barep. Sedangkan penghargaan kepada Pak Piek (alm) diwakili menantunya, M Iqbal," jelas Lanang.
Menurutnya, penghargaan seni diserahkan Walikota Tegal, Adi Wanarso dalam rangkaian Pagelaran Seni Budaya dan Pameran Produk Unggulan serta Halal Bihalal Pemda Kota Tegal dengan Ikatan Keluarga Besar Tegal (IKBT) Bahari Ayu Jakarta, Minggu (19/10) di anjungan Jawa Tengah TMII.
Penghargaan itu tidak lepas dari perhelatannya di dunia kesenian khususnya seni Tegalan. Jika ditilik dari koleksi karyanya, Lanang memiliki ragam karya, baik sastra maupun suara. Seperti Kumpulan puisi Tegalan berjudul 'Nggayuh', novel bahasa Tegalan berjudul 'Oreg Tegal', kini novel itu menjadi cerbung di tabloid Suaka Brebes, naskah sandiwara radio berbahasa Tegal berjudul 'Tegal Bledugan'. Kecuali itu Lanang juga menulis naskah drama yang sudah dibukukan di antaranya berjudul 'Lenggaong', 'Ken Angrok Gugat', 'Surti Gandrung' dan 'Ni Ratu'. Sementara album lagu Tegalan direkam atas biaya sendiri (indilabel) berjudul 'Lagi Kedanan' (2002), 'Rika Tega Enyong Tega' (2002),'Tragedi Jatilawang' (2004) dan dua lagu Tegalan yakni 'Apus Asmara' dan 'Manuk Blekok' masuk dalam album remix Anyar Tegalan produksi Doble R, Jakarta (2000). Teranyar satu lagu berjudul 'Gendul Oclak- Aclik' direlease dalam album Pantura Tegalan 4 (2008) produksi Ariwani record. Ia juga pernah mendirikan Teater Swadesi, tabloid Kontak, Porem, Literasi, Muara Sastra, Jurnal Tegal Tegal dan tabloid Tegal Tegal. Menurutnya, itu merupakan tabloid pertama di Tegal tahun 1998. Karya lainnya, berupa penerjemahan sajak WS Rendra berjudul 'Nyanyian Angsa' ke dalam bahasa Tegalan menjadi 'Tembangan Banyak'. Puisi panjang itu pernah dibaca Bupati Tegal Agus Riyanto dalam acara Jed-jedan maca Puisi Tegalan bersama Adi Winarso, Ketua DPRD Tegal Ghoutsun dan para seniman Tegal. Kemudian dibacakan kembali oleh Agus Riyanto di warung Apresiasi Bulungan Jakarta. Lanang juga menulis buku (Catatan Reformasi di Tegal), novelette 'Sibeng', serta pernah mendapat gelar Man of The Year 2004 untuk seniman Tegal. Kini ia sedang mengerjakan memoar tentang perjalanan berkeseniannya berjudul'Jalan Panjang Teater' dan 'Sastra Tegal', 'Tegal Dugal' 'Lanang Pengendara Badai'. "Dalam artian badai kreatif yang ditulis sebanyak 500 halaman," kata pemilik prinsip hidup sing penting bergerak, beberapa waktu lalu. Selain itu, sebagai penulis tetap Anehdot Tegalan di Harian Nirmala Post sejak tahun 2008 hingga sekarang (KZ)

Keterangan Foto:
Dari kiri, M Iqbal, SN Ratmana, Walikota Tegal Adi Winarso, Ketua DKT Ki Barep, Ki Dalang Sardjono, Yono Daryono dan Lanang Setiawan usai menerima penghargaan Seni di Anjungan Jawa Tengah TMII, Minggu (19/10).

Jumat, 17 Oktober 2008

Orasi BUDAYA SISDIONO


Sisdiono Ahmad:
Kes
enian Bisa
Ambil Peran



SELAMA kebijakan pemerintah masih tidak berpihak kepada rakyat. Peran masyarakat termasuk para seniman harus peduli akan nasib mereka. Setidaknya seniman diharapkan dapat menjaga keadaan yang sudah kronis ini agar tidak lebih buruk melalui penyuaraan kritis sehingga mereka mendengar dan berubah. Hal itu dikatakan Sisdiono Ahmad, SPd dalam orasi budaya pada ajang seni yang digelar Jaringan Kerja Seniman (JKS) Tegal – Slawi – Brebes di rumah penyair Dyah Setiyawati, Dukuh Sabrang, Pangkah, Kabupaten Tegal pada Kamis (16/10).
"Jika kita menelaah sepak terjang novelis asal Ceko yang menegaskan bahwa perjuangan melawan kekuasaan merupakan perjuangan melawan lupa, maka sebagai seniman harus tiada henti-hentinya untuk menyuarakan nilai-nilai kebenaran, keadilan melalui bermacam cara dan karyanya," kata Sisdiono.
Menurutnya, dari kisah Milan Kundera, sebenarnya dapat diyakini bahwa dimana-mana eksistensi seorang penyair sebenarnya bisa menjadi tokoh penggerak. Penyair maupun para seniman melalui karyanya harus selalu secara berulang-ulang menyuarakan nilai-nilai dan ide agar didengar semua kalangan termasuk pemerintah untuk menuju kepada sebuah perubahan.
"Caranya tidak hanya di panggung saja tetapi di berbagai kesempatan, agar telinga orang-orang baik masyarakat, wakil rakyat, pejabat tidak hanya mendengar melainkan tergerak jiwanya," tandasnya.
Dijelaskannya, suasana kritis di tengah masyarakat harus diciptakan. Sehingga mampu mendobrak ketimpangan melalui ide dan gagasan yang disampaikan secara intens kepada kelompok yang mapan, para birokrat dan pejabat di setiap tingkatan. Dengan demikinan nantinya para pengambil kebijakan itu mau menentukan keputusan yang membela kepada masyarakat.
"Kalau ranah agama tidak bisa memperbaiki perilaku mereka, seperti para penguasa, maka melalui puisi, naskah drama, sastra karya para seniman agar disuarakan secara terus menerus di berbagai kesempatan dan cara sehingga ada dampak yang menghasilkan perubahan," tandas lelaki yang masa mudanya itu banyak bergelut dalam dunia penulis an puisi.
Yang penting, lanjutnya, jangan pernah pesimis tetapi yakinlah semua manusia, siapapun dia pasti punya perasaan.
“Maka sentuhlah mereka dengan perasaan. Sedangkan seniman sangat lihai dalam mengolah rasa. Tuangkan oleha rasa itu dalam bentuk karya,” tandasnya (KZ)

Minggu, 12 Oktober 2008

nOVEL TEGALAN


Oreg Tegal
(Kedadèn Taun 1947)

Karya: Lanang Setiawan


Bagian Siji

SEPUR tuit mbak tralap liwat brug Kali Ketiwon. Suwara pating kedobrag sebab empak-empakan brugé, embat-embat diklindesi roda sepur. Saka wètan, sepur nuju ngulon nggawa muatan kopra. Adeg-adegé brug, katon mèlu mlayu sanalika sepur tuité liwat.
Sepur tuit sing bahan bakaré nganggo kayu glondongan, ngetokna kukus mbulek-mbulek nimbulaken suwara tuit-tuit. Saka kono, masyarakat Tegal ngaraniné ‘Sepur Tuit’.
Antara selawé mèter saka brug Ketiwon, Catim ketongkrong nang mbang elor. Tangané nyekeli watang, bolak-balik pancingé dibalang nang kali tapi maksa baé laka iwak sing gelem mangan umpané. Catim ngrasa getun maring awaké dèwèk. Kayong apes temen ya?
Nang nduwur, srengèngèné mangar-mangar. Hawa bumi rasané semèlèt kaya pawon sing mangar-mangar, geniné mulad-mulad. Mbang kidul, jogrog Jènggèr, jakwiré Catim ketongkrog. Katon semanger dèwèké ngidoni cacing sing tembé dipasang. Radan nengah pancingé dibalang maring kali. Ana limang lonjor iwak sembilang glupak-glupuk nang kepis. Catim kayong ngiler ndeleng iwak-iwak kuwé.
Saka kadohan, lamat-lamat krungu suwara mesin Pabrik Texin. Catim ngrasakna hawa srengèngé ngganjar nang tenggorokan. Ah, ah ah! Apa iya, iwak-iwak nang Kali Ketiwon agamané Islam dadi pada puasa? Adong pada puasa, bisané pancingé Jènggèr bangèn nemen? Catim nggrundel nang ati. Orabada, dèwèké ngarep-arep iwak gedé nyangkol nang pancingé. Dèwèké kepèngin Abah Kiai kambèn Niti, anak prawané buka puasa lauhé iwak gamol saka kasil pancingané. Tapi, nganti pan sadawané dina, laka iwak sing nyaplok. Catim kayong ketiban apes!
Matané Catim mandeng ngidul. Uh! Kaé delengen, nang tanggul kali ana wong wadon papat munggah runtungan rambuté teles klebes. Awaké gubedan tapih, nutupi susu. Sawetara tangané ngekep kranjang isi kumbahan melep-melep. Catim ora weruh jongkoté Niti nang grombolan kaé. Dengarèn temen? Ana apa ya? Catim takon maring awaké dèwèk. Dirasa-rasa atiné dadi mrina. Saiki dina apa sih? Kayong apes nemen. Ahad? Oh... pantesan! Saiki dinané Ahad, dina pengapesané dèwèké.
Wis akèh contoné. Adong dina Ahad, ana-ana baé sing diranapi Catim. Lagi kaé, waktu dèwèké tiba saka wit klapa, dinané ya dina Ahad. Saiki uga dina Ahad. Pantesan, saiwak-iwak acan laka sing narik pancingé. Laka pisan klèntabé Niti, bocah prawan sing lagi diicer tapikèn mèsih diampet nang jero ati. Gurung wani kawetu, diutarakna nang adepané Niti sebab wedi mbokata ditampik, atiné Catim bakal kelara-lara. Paribasan kaya disèsèt silèt. Ih, gelem kesamber bledèg, dèwèké ora siap sènggané ngranapi pedot kasih.
Matané Catim mandeng nyawang ambané sawah garing mletèk. Sagrombolan manuk jalak sungu pencolotan nang galengan nggolèti pakan. Cukuké notoli rayap-rayap sing ana nang gundukan lemah garing. Catim dadi kemutan waktu dèwèké karo Niti luru glagah nang sawah. Oh, Catim ngrasakna ésemé Niti gawé nunjem nang ati. Ésemé Niti sing manis pipiné dadi katon dekik. Sung, jaman samana Catim senengé por-poran. Kedadèan kuwé, utamané waktu bocah loro lagi gawé hiasan lis poto lan dolanan glèdègan.
Catim ngunjal ambekan ngèmuti bab kuwé. Tapi, ujug-ujug baé pikirané dikepung rasa nelangsa, sanalika kèlingan maring bapané sing wis mati jalaran dibrondong pèlor pasukan Landa.
Waktu saprana, Bapané Catim dadi pejuwang nang “Pasukan Bantèng Lorèng”. Pasukan kuwé, ora liya kelompok bencolèng sing dikumpulaken gonèng Abdul Muin. Yakuwé, salah sijiné tokoh masyarakat Tegal sing duwé kasektèn. Konon kabaré, Abdul Muin ora mempan kambèn gaman lan pèlor. Uga bisa ngeclap lan manglih ujud dadi pitu. Sing kaya kuwé, ndadèkna musuhé kèder mbèdakaken endi sing asli lan endi sing palsu. Mung senajan dèwèké sakti mandraguna, Abdul Muin ora gelem gagahan utawané kegedèn endas. Dèwèké tetep andap asor, tapiné aja takon dosa adong diwiwiti ganing sapa baé bakal dibledig.
Ana cerita sing ngèdap-ngèdapi. Waktu Tegal ngadepi jaman werit, kasebut bencolèng pentolan Darmo Jèmbrak. Dèwèké kaonang-onang nang endi paran. Sebab tindakané ngentorang lan bengis. Sapa baé laka sing wani.
Anak buahé Darmo Jèmbrak ora étungan, nyebar nang wilayah Slawi, Brebes, lan Tegal. Nang telung wilayah kuwé, bencolèng-bencolèng grombolané Darmo Jèmbrak, laka tandingané. Ora kur siji loro, uwong dipatèni paribasané nganggep menungsa kayadèné tuma sing gampang dipites.
Tau kedadèn, anak buahé Darmo Jèmbrak, Rasso Rangga, dilawongi gonèng Tungtak Kapsan. Waktu samana Rasso Rangga numpak bècak saka Pagongan tekan Gudang Barang daèrah Kalimati Tegal.
Mangkané jarak antara Pagongan – Gudang Barang, meluk-meluk. Kira-kirané sangang kilo mèter. Mung barang paman bècaké njaluk bayar, Rasso Rangga malah mamprang-mamprang.
“Raimu blèh ngarti sapa enyong, bol? Njaluk bayar waduké dilembag. Duwité Mardiyah.....”
Paman bècaké trus ngèyèl. Akhiré dijotosi kosih rempon. Uwong-uwong sing weruh, ora pada ngaruh-biru. Sebab ngarti, adong Rasso Rangga anak buahé Darmo Jèmbrak.
Salah siji uwong lanang gedé duwur, Tungtak Kapsan, jawané pan nulungi. Dèwèké kemelasen weruh paman bècak mau lempé-lempé, tapiken tègin baé dijotosi gonèng Rasso Rangga.
“Cukup Kang! Rika aja onggrongan,” omongé Tungtak Kapsan.
“Raimu pan mèlu-mèlu? Kiyé gudu urusané kowen, bol”
“Ora kaya kuwé”
“Ora kaya kuwé pibèn, bol?”
“Ciplosé rika nden weruh oh. Paman bècaké ka wis ora bisa apa-apa, kaningapa dijotosi baé?”
“Oh... jawané raimu pan dadi pahlawan? Pan mbèlani? Ocèh! Mbokan raimu pèngin nyacak ilmuné yanu, hayoh!”
“Hayoh! Tak ladèni, nyong ora pan mundur”
Tantang-tantangan kuwé, akhiré dadi temenanan. Rasso Rangga nglorod gobangé sing nyelad nang kempongané. Gobang mingis-mingis latan dibacokna maring awaké Tungtak. Rikat dèwèké ngepongna. Rasso Rangga sangsaya dugalé munjuk paribasan nganti sagulu.
Pisan maning gobang dibacokna maring endasé Tungtak, terus-terusan. Tapi tetep baé mlèsèd. Jurus pencak silaté Tungtak, nyatané luwih pentol. Tangan tengené Rasso Rangga dipuntir lan dipotès sisan. Dèwèké kaing-kaingan kaya kirik dibandem watu.
Dina kuwé, Rasso Rangga bener-bener ketemu batuné. Dèwèké kalahbreg nglawan Tungtak. Tapi jebulé, kedadèan kuwé ora cukup tekan samono. Sebab waktu Tungtak balik maring umahé, meneng-meneng dèwèké ngintili.
“Oh...jebulé raimu umahé nang Muarareja? Ya, ngko.... raimu aja kaniaya aja takon dosa walesané enyong!” omongané Rasso Rangga tetep ngintim-ngintim.
Barang benginé, ana wong pitu bala-balané ngonjogi maring umahé Tungtak. Waktu samana, wong-wong kampung Muarareja lagi pada turu. Énak baé bala-bala bencolèngé Rasso Rangga, ngguyuri pinggir-pinggir umahé Tungtak nganggo bensin.
Umahé Tungtak latan disuled nganggo korèk api. Sanalika geni mulad lan sangsaya mrèmbèt. Rikat, grombolané Rasso Rangga mlayu. Sipatkuping.
Geni sing mulad-mulad trus mrèmbèt maring menduwur. Suwara blandar tiba sing wuwungan, ndadèkna tangga teparoné Tungtak pada tangi lan gita-gita.
“Kobongan....kobongan.....”
“Ana geni mulad-mulad.....”
“Tungtak Kapsan!! Umahé kebakaraaannn...”
“Gagiyan metu bol....”
“Émbèr, émbèr...!!”
“Banyu, banyuuu....”
Wong sakampung pada gègèr. Pating jlerit saseru-seruné. Benginé tambah ramé. Rèang. Sekandang-bentang, uwong-uwong pada gitir njukut banyu digebyurna maring umah sing kobongan.
“Tung! Tungtaaakkkkk....!! Gagiyan metu, umahé kobongan...”
Wong-wong mèsih nggebyuri banyu. Kiwa tengen umahé uga diguyuri, nyegah mbokan geniné mrèmbèt. Ana sajam, geni sirep. Tapi umahé Tungtak, orakalap. Malahan, dèwèké, bojoné, anaké, lan maratuwané, uga pada dilalab geni. Kabèhané dadi mayid. Kondisiné melasaken, geseng kaya liwetan sangit.
Peristiwa kuwé, akhiré dadi werta maring endi paran. Mung senajan akèh wong pada ngarti; sing ngobong umahé Tungtak sapa, tibané kur meneng. Malahan kamigila lan dedonga; mugacha sing ngobong umahé Tungtang diwales nang Gusti Pengeran Sing Ngecèt Mèngkrèng. Lan pancèné, Sing Gawé Urip ora saré. Paring wales keadilan maring Rasso Rangga.
Wayah sèndakala, dlanggung Dèsa Wangandawa wilayah Kecamatan Talang, sepi nganyut-nganyut. Kiwa tengené tanduran tebu. Nang kono, Rasso Rangga karo Darmo Jèmbrak lagi ngadang mangsa.
Lagi tengak-tenguk ngobrol nang gubug, ujug-ujug Abdul Muin liwat nganggo pit dames. Nang glogor lan boncengané, muwat beras tuton. Matané Rasso Rangga mencilak weruh Abdul Muin liwat.
“Kang, kaé mbang wètan ana mangsa” omongé Rasso Rangga maring bapa buahé, Darmo Jèmbrak.
“Sikat!”
Énak-énakan Abdul Muin nggenjot pit, dèwèké diandeg gonèng wong loro. Abdul Muin mudun.
“Ana apa Kang, ngandeg enyong?” omongé Abdul Muin.
“Aja kakèhen cangkem. Rika kepèngin urip apa kepèngin modar?” takoné Rasso Rangga.
“Pèngin urip”
“Rika nggawa apa?” takoné Darmo Jèmbrak.
“Beras”
“Rika kepèngin slamet kan?”
“Ya”
“Berasé tinggal nang kèné, sisan pité rika”
“Kiyé dudu berasé enyong lan kiyé dudu pité enyong! Enyong blèh bakalan mèkena barang kiyé maring raimu!”
Diomong ‘raimu’ gonèng Abdul Muin, wong loro atiné munjuk. Dugal sadugal-dugalé. Abdul Muin langsung dibacok ramé-ramé. Tapi ping pirang-pirang dibacok, ora kena. Sebab Abdul Muin manglih dadi pitung rupa.
Saking moponé, wong loro akhiré pada ngetepuk nang lemah. Gampang baé Abdul Muin males ukum. Darmo Jèmbrak karo Rasso Rangga diédek-édek, dilabrag kosih babak belur. Getih dladrahan, kècrèt nang lemah. Wong loro ora duwé daya. Tapi Abdul Muin ora gelem matèni, dong ora kepaksa nemen-nemen. Abdul Muin duwé cekelan, arané menungsa aja kosih duwé utang nyawa! Muga kuwé, Abdul Muin mung ngejor wong loro ngglètak nang lemah.
Rong dinané, ana kabar. Rasso Rangga karo Darmo Jèmbrak mati. Kabar matiné, sumebar maring endi-endi ora. Suwé-suwé, anak buahé Darmo Jèmbrak ngarti, yèn sing matèni ora liya Abdul Muin. Lan jawané, anak buahé Darmo Jèmbrak pan wales ukum. Ana selawé bencolèng, gemrudug nekani umahé. Gelisan cerita, anak buahé dikrekesi kabèh. Digawé ora duwé daya, ora berkutik.
Sajegé kuwé, bencolèng-bencolèng bekas anak buahé Darmo Jèmbrak lulut. Ora wani gawé ontran-ontran nang telung wilayah pantura. Akhiré, pada mlebu nang “Pasukan Bantèng Lorèng” pimpinan Abdul Muin.
Niaté Abdul Muin gawé “Pasukan Bantèng Lorèng” ora pan ganggu gawé maring masyarakat. Tapi tujuané kanggo wales ukum maring Landa sing markasé nang Pulosari, Brebes. Mulané siji-sijiné dalan, bèn Landa aja terus-terusan gawé oreg, dèwèké ngumpulna bencolèng-bencolèng kalawan warga masyarakat Tegal. Bapané Catim uga mèlu nggabung nang “Pasukan Bantèng Lorèng”.
Salah siji dina, Muad Wakijan, bapané Catim karo kanca batir olih tugas kon nyerang markas Landa. Kejaba kuwé kon ngibarna bendèra Mèrah Putih nang pucuké water lèdeng Pulosari.
Uput-uput “Pasukan Bantèng Lorèng” mangkat liwat dalané sepur. Ana wong limalas sing pada mèlu gerilya nuju ngulon maring Pulosari. Nang langit lintangé mralak baribasan kaya igané wong tuying. Kekencar warna abang remeng-remeng muncrat mbang wètan, tentu srengèngéné ana nang kana. Tapi remeng-remengé jagad, gawé bayangan manuk-manuk lawèt pating klebat nang nduwuré sawah nuju ngidul.
Rombo ngan gerilyawan trus mlaku nguncluk. Kiwa tengen dampar, sawah ngablag-ngablag. Jarak antarané Tegal maring Pulosari, kurang luwih limalas kilo meter. Tapi sing kaya kuwé ora dirasa, sebab kalah gonèng semangat para gerilyawan sing agé-agéya ngobrak-abrik markas Landa.
Anjog nang Kaligangsa, perbatasan Tegal – Brebes, rombongan nuju Dèsa Padasugih. Suwasana peteng dedet, sebab akèh witwitan gedé nang pinggir-pinggir dalan. Tapi masya Allah, barang anjog nang Kali Sigerèng, papagan karo pasukan Landa lagi patroli. “Pasukan Bantèng Lorèng” pating besasat. Wong-wong mlayu tapi sing kaya kuwé ndadèkna curigané pasukan Landa. Akhiré dipleter. Gerilyawan “Pasukan Bantèng Lorèng” mlencar. Ana sing mlayu ngalor, ngulon, lan uga ngètan.
Kira-kira ana wong sawelasan, Pasukan Landané uga pada baèné mlencar. Wong-wong Landa sing wis paham pèta wilayah kono, gampang meruhi playoné para gerilyawan, akhiré dikepung telung jurusan.
Waktu kuwé, Kali Sigerèng Pulosari lagi banjir-banjiré lan sènter-sènteré. Sedeng posisi kali ana nang mbang kidul. Para gerilyawan ora duwé cara liya maning, kejaba nekad pada nggebur maring kali. Sing ora bisa nglangi pada klelep, sedeng sing pada nglangi didrodoti nganggo setèn. Kampul-kampul wong-wong pada mati, lan kèli campur getih. Salah sijiné Muad Wakijan.
Saiki, embuh nang endi kubur Bapané Catim, Catim blèh ngarti babar blas. Mung untungé, ana Abah Kiai sing tinulung karo dèwèké. Catim dibimbing, gonèng Abah Kiai, diwarahi ngaji.
Coba, adong laka Abah Kiai, bisa-bisa Catim dadi lenggaong atawa mèlu-mèlu kanca batir dadi tukang kutil nang Pasar Soré Tegal. Lan Catim pernah mbayangna, adong ketangkep, bakal ndekem nang lawang ireng; pelandratan. Uh! Amit-amit.
Kemutan bab kuwé, muji syukuré Catim maring Gusti Allah laka padané lan matur kesuwuné kambèn Abah Kiai, uga gedé. Mung ning waktu kiyé, Catim radan getun. Masalahé, kosih boyoké mbetut, pancingé ditenggar nggejegur nang njero kali, sapisan baé, ora tau nyeblak watang sing diganduli iwak. Uh! Sebel.
Saiki sorot matané Catim mbralak nyawang maring Jènggèr. Iwak sembilang gedèné sakèmpol bayi, klubukan nang watang pancingé. Jènggèr lata-lata olih iwak samana gedèné. Radan iri Catim ndeleng jakwiré olih iwak terus-terusan. Ah, adong baé dèwèké sing olih, bakal bungah nemen atiné Abah Kiai kambèn Niti.
Manuk gagak mider gesit nang awang-awang. Bablas ngidul nuju pesawahan cedek Pabrik Texin. Manuk prenjak, pencolotan nang antarané pang wit-witan kersem. Kadang-kadang golèt panganan nang alang-alang pinggir kali. Notoli walang cilik-cilik.
“Tim, nyong pan jagin. Kowen pan jagin apa ora?” omongé Jènggèr ujug-ujug.
Ajakané Jènggèr ora dijawab Catim. Rasa kesel kalawan getuné ngglibed nang ati. Getun sing ora mupakat kayadèné waktu dèwèké trima kabar bapané mati dibrondong pèlor Walanda. Tapi waktu Abah Kiai nerangna adong bapané mati syahid lan bakal mlebu suwarga, atiné Catim bombong.
“Adong bapané enyong mègin urip tah, ndèyan baé ora kapiran kaya kiyé” batiné Catim.
Ya! Bener. Saben ésuk, ndèyan baé Catim ora perlu susah-susah ngasab nang Pasar Ésuk, dadi kuli songgol, atawa angkat junjung barang-barang bakulan. Mung sing samono, kanca batir sing duwé pengertèn, cuman Jènggèr kambèn Harun.
Sawetara kuwé simbah wadoné sing radan pikun, kangèlan temen dong dijak gendu-gendu rasa atawané tukar pikir, omongané mblandrang sakamyah-kamyah. Tibané, Catim kur ngelus dada. Mung saka simbahé, Catim olih gambaran pasuryan manèné, jaré ayu nemen. Mugané ora éram, waktu umuré dèwèké olih rong taun, manèné digawa minggat gonèng bajingan Pato, juragan bodin saka Slawi sing senengé tènggèng. Kuwé crita simbah wadoné, waktu saprana!
Embuh saiki manèné ana nang endi. Catim bener-bener belèh ngarti. Mung jaré juragan bolèd Pasar Ésuk, manèné ana nang Purwokerto. Moniné sih, senajan wis tuwa, mègin katon ayu.
Ah, mbuh temenlah...ayuné manèné sapira. Nang wayah kiyé, Catim ora patiya nggayuh. Ayuné wong wadon sing saiki lagi diincer, anané nang pasuryané Niti. Sedeng saka Abahé Niti, ora kurang-kurang Catim olih piwulang laka étungané.
Nang langit, manuk blekok runtungan mabur, nuju segara. Mung ujug-ujug baé, sagrombolan manuk kaé pada pating slebar, mental siji turut siji waktu mbak tralap ana motor mabur liwat saka wètan nuju pusat Kota Tegal.
Ora kesuwèn maning, Catim ninggal watang pancingané trus mlayu maring dèsané sewaktu gobogé krungu suwara mbak jlegur. Lan jlegar-jlegur suwara mesin tenun Pabrik Texin, mandeg dadakan. Ditambah suwara pating jlerit krungu saka kadohan. Kebul ireng menges, mumbul menduwur ngebeki awang-awang.
Anjog nang pusaté dèsa, Catim tibané mlongo. Blèh ngerti apa sing pan dilakoni. Uteké ora bisa mikir. Dèwèké dadi panik. Akhiré Catim ngadeg ngejejer nang ngingsor wit albasia. Sawetara matané kosong sebab bingung ndeleng tangga-teparoné pada pontang-panting mlayu, golèt slameté dèwék-dèwèk.
Ruwed nemen suasana waktu kuwé, ora lanang ora wadon, ora cilik ora tuwa, ora bujang ora prawan, pada gyayapan latan mlayu maring endi paran. Umah-umah gubug uga pada kobong.
Ujug-ujug Catim mlayu maning. Rasa wediné ilang-gandra, waktu ésem bapané mbayang nang matané. Catim mlayu maring mushola. Nang nduwur langit, motor maburé mider nuju ngalor. Ora mupakat bom mortir ditibakna. Suwarané kaya trilap nyamber-nyamber.
“Jassssaaaaaaakkkkkkk.....cepet metuuuuuu....” Jènggèr gemboran sakuwat tenaga ngundang Sargad, bapané sing mègin ubad-ubed nang njero umah.
Catim metu saka musholla. Dèwèké kèlingan adong simbah wadoné tèsih nang njero umah. Catim ketar-ketir. Gagiyan dèwèké gitir. Mung tembé pirang tindak, motor mabur mbak tralap nuju ngulon. Ora ketinggalan mortir ditibak-tibakna.
“Nglabrugggg..........tiiiaaarrraaaapppppp............”
Krungu gemborané Jènggèr, kabèh masyarakat dèsa pada nglabrug. Samana uga Catim.
“Bangsèt! Compong. Landa kapir! Asu édan.....”
“Kunyuk ndèyan....!!”
“Landa kentiiirrrr.......”
“Dobol!!”
“Kempluuuuu..........”
“Awas! Tak enteni muduné. Dobol....”
“Napih.....! Kowen nang endi....?!”
“Mannnéééé.......!!”
“Bapanéééé....nyong nang kèné......”
“Tulunngg! Sikilé nyong kepelèd lemari. Tulllluuunnnnggggg......”
Wong-wong pada oreg. Sing tuwa pada nggolèti bocah, sing bocah gemboran nggolèti wong tuwané. Jagadé kaya ditumplek. Diadul-adul ora karuwan tatané. Nang kana kèné, lemahé pada dongkah.
“Kobongan...kobongaaannn........”
Catim ora kalah bengak-bengok. Dèwèké weruh mbuleké kebul nang nduwur langit, ora liya umahé dèwèk sing mulad sebab kobongan. Catim ora bisa budi, embuh kepibén nasib embah wadoné.
Muga-mugaha mbah wadoné manjing nang suwarga, kayadèné bapané.
Awaké Catim krasa lemes dedes, waktu dikabari simbah wadoné wis ora nana. Ora kuwat manggul lelayu, Catim njagong ngeduprak, nglèmprak nang ngingsor wit jambu krukut. Matané mbrebes mili lan sangsaya suwé nangis-kebo. Tangisané nembus langit lapis pitu. Catim, bener-bener wis ora duwé sapa-sapa maning. Catim sebatang kara!
Saiki jlegar-jlegur suwarané mortir, nang endi paran. Saben masyarakat Tegal sing krungu, jantungé kaya pan copot. Mangkel, dugal kepati-pati maring Walanda sangsaya dadi kesumat.
Saluguné, rasa kesumat maring Landa wis radan ilang, waktu Indonesia ngumandangna kemerdèkaan tanggal 17 Agustus 1945. Tapi ora suwé Landané balik maring negarané, mèsih durung narima. Padahal wis 350 taun njajah Republik, maksa baé nggragas. Landané teka maning maring Republik. Contohné nang waktu kiyé, wilayah Tegal digempur. Dadi blèh éram, dugalé wong-wong Tegal sangsaya mbalung sungsum. Dasar Landa gebleg, kuduné ditlèspaki tai sakebo!
“Nitiiiii.....Niitttiiiiii......!!!”
Suwara Harun gita-gita nggolèti Niti. Sipat kuping, Niti mlayu maring umahé. Kudungé mbak byar mbuka, ngglambrèh nang gegeré lan rambut dawané rèmbyak-rèmbyak saking kebaté mlayu.
Catim grayapan arané Niti diundang-undang. Yoi....apa sing lagi diranapi Niti? Rasa gundah nangisi simbah wadoné sing ora nana, ujug-ujug ilang-gandra. Ajib.... éram! Jebulé sing arané demen kuwé bisa nglalèna sakabèhané. Ya ya, kuwé hèbaté wong sing lagi ketunggon kasmaran.
Sipatkuping, Catim mlayu maring umahé Abah Kiai.
“Kang Harun.....tulungi Abah. Abah mèsih nang njero umah!”
Niti mbanggèl-mbanggèl sajeroné kasikep Harun. Matané sing bening, kebek luh pating dlèwèr. Rasa sèwot, dugal lan cemburu ngumpul nang atiné Catim, ndeleng Niti lagi disikep. Mung ora suwé, atiné Catim ujug-ujug kagèt porporan. Nang adepan matané, umah Abah Kiai ambruk ketindihan wit klapa. Oh...Catim tutupan mata. Jantungé kaya dibedol.
Tangisané Niti sangsaya mingseg-mingseg. Kadangkala nggembor ngundang-ngundang Abahé. Paribasan, jeritané Niti ngalahna suwarané mortir.
Catim mègin mandeng menteleng maring umahé Abah Kiai. Pandengané kosong mlompong. Nang jero pikir, dèwèké kudu lila maning kèlangan pegangan uripé. Bayangan karismatik Abah Kiai sing nduwéni pikiran bijak, blèh bakalan klakon maning dirasakna gonèng dèwèké.
Jagad rasané sintru nggrentesi nang sakabèhané warga Surabayan. Nang endi-endi ora, umah-umah pada dongkah. Apa maning umah gribig, ambrol sakarang-karang ditibani mortiré Landa. Mbuleké kebul, ireng keduweng nang angkasa langit.
Sanalika serangan Landa lereb. Embuh siasat apa maning sing lagi direncanakna. Jelasé baé, waktu kiyé langit Tegal kaya angus silité kètèl. Ayang-ayang wit-witan sing mbayang sadawané lemah, manglih dadi nestapa ora mupakat. Wilayah Tegal ngendong lelayu. Blèh satitik korban nyawa lan banda pating besasat. Dukuh Pencolotan, Surabayan, Martoloyo, Sumurdalem, Dampyak, Kebogisan Kalimati, Mintaragen, Kepanjèn, Mangundipuran, Sentanan, Marpangat, Kalibuntu, Mangkukusuman, Karangdawa, Slèrok nganti sadawané pecinan, mosak-masik digempur asu édan Landa kapir.
Ambuné bubuk mesiu nyegrak ning paru-paru. Warga Pedukuhan Surabayan siji turut siji, molai nekani umahé Abah Kiai. Jènggèr dimik-dimik mriksa, nggolèti sosok Abah Kiai nang tumpukan saka umah lan usuk gendèng. Samana uga Catim, gorèk-gorèk, nyingkir-nyingkirna tumpukan bangunan. Dèwèké rumangsa duwé kuwajiban luwih gedé, sebab Abah Kiai kuwé ora bèda kaya bapak kandungé. Oh.... delengen kaé Niti, nang émpèr musholah. Rainé pucet kaya kèlangan getih sabaskom. Matané bendul, bayu matané ana nang pinggir-pinggiré. Dèwèké lempé-lempé laka daya nang pangkoné Yu Mar, taroké Jènggèr. Tapi matané Yu Mar, orabada merkabak lan satètès turut satètès banyu matané mili ndlèwèr nang pipi.
Sawetara kuwé, nang umahé Niti sing rata karo lemah, wong-wong tèsih ngurak-ngurak tumpukan blandar, gendèng, lemari, lan bongkahan tèmbok. Mbokan baé ana Abah Kiai sing ketindihan barang bangunan.
Orabada, nganti mumet digolèti, blèh ketemu wujudé Abah Kiai. Dumadaksara, sikilé Jènggèr nyenggol barang kemel-kemel. Agé-agé dèwèké ketongkrong kambèn tangané grayangan. Mbak nyes, tangané Jènggèr anget tapi uga ngasakna ayid. Jebulé Jènggèr ngemèk awaké Abah Kiai sing wis laka kempisé aliasé laka nyawané. Abah Kiai, bener-bener wis dadi mayid!
“Innalillahi wa inalillahi roji’un....”
Krungu Jènggèr nyebut kalimat lelayu, Harun, Catim lan liya-liyané ngrubung. Latan laka sing ngomandoni, wong-wong pada nirokna ucapané Jènggèr. Sauwisé kuwé, wong-wong nggotong mayidé Abah Kiai sing kepelèd antarané saka lan blandar umah.
Mayidé Abah Kiai digotong maring mushola. Mbeku sintru wong-wong mandeng maring mayidé Abah Kiai. Pilingané koprot getih. Yu Mar, sedèlat-sedèlat ngulapi kringet anyebé Niti sing dlèwèran nang pilingan. Alon-alon matané Niti melèk. Trus mandeng maring wong-wong sing ana nang sekitaré.
“Kepibén Abahé Niti Yu Mar?” lirih Niti nyuwara.
Sing ditakoni meneng getem. Rumangsa dadané pan jebol ganing kasunyatan sing diadepi. Lelayuné jagad sing dirasa, ngruwes ngremed ati sakabèhané warga kampung. Siji-sijiné panutan nang wilayahé, saiki dadi mayid.
“Yu Mar....”
Yu Mar apèn-apèn ora krungu.
“Yu Mar....!” Niti ngundang maning.
“Oh ya, pimèn Ti?” semauré Yu Mar.
“Abah, slamet?” takoné Niti.
“Kowen sing tabah, Ti. Pasrah baé maring Sing Kuasa. Abahé kowen wis ora nana....”
Mbak bet! Krungu omongan kaya kuwé, pikirané Niti limbung kaya layangan. Dèwèké krasa ana nang awang-awang apa nang mèga-mèga. Kaya-kayané turu tapikèn separo nglilir. Bener-bener ora nggenah!
Kambèn mbrebes mili, Yu Mar ngelus-elus rambuté Niti. Elusan sing dirasa Niti kayadèné elusan manèné sing ora pernah dirasakna maning, sajegé 6,5 taun kepungkur. Elusan manèné kuwé, banget nemen kaya lembuté glepungan. Bab kuwé, ndadèkna penggalih gegayuhané Niti sangsaya jero. Pasalé, waktu dèwèké nrima kabar patiné manèné, ora menangi dong dikubur.
Pancèn! Nang waktu samana, dèwèké nyadari. Jarak antarané tempat pondokan kambèn umahé, mbutuhna perjalanan sadina muput. Kejaba kuwé, Abahé nglarang, alesané ébèn Niti khataman Al Qur’an lan Kitab Kuning.
Jalaran Niti bocah patuh, tibané mung ngglolo. Dèwèké tembé nyadari sauwisé balik nang umah, Abahé nerangna; patiné manèné sebab takdir Allah sing bakal diranapi sapa baé.
Ya! Kabèhané krana takdir Allah, termasuké patiné Abah. Ya! Takdir jalaran sebab Abahé ora nana. Mung akibat bisané Abahé ora nana, Niti gurung bisa narima. Patiné Abah ora liya akibat kurugan barang-barang bangunan. Sedeng akibat kurugan, yakuwé lantaran amuk serangané tentara Walanda. Lan Niti bener-bener ngutuk saporèté maring Landa!
“Abah, Abah....Abah....” tangis lelayuné Niti dirasa mbetot perasaané sapa baé.
“Wis Ti.... éling.... éling....”
“Abbaaahhhhh........”
Suwara kuwé saporèté ditokna Niti kayadèné panahan sing dijeprètna sakuwat tenaga. Sawetara kuwé usaha Catim nandangi lelayuné Niti, kayadèné usahané Abah Kiai kon ngadohi prilakuné sing nyrèmpèt-nyrèmpèt dosa. Usaha Abah Kiai dirasa ana kasilé. Sebaliké, aja-aja uripé Catim kedangsrakan adong Abah Kiai ora nuntun maring kebajikan. Ndèyané baé, Catim dadi bègal anak buahé Menit sing ora peta klakuwané.
“Wis Ti, éling, nyebut. Wong pati kuwé, laka sing ngarti kapan tekané” Yu Mar bolak-balik mèin nasehat. Samana uga Catim, ora kurang-kurang. Mung prasaané Niti terus baé kegubed mendung lelaraning sukma.
“Astaghirullah al adzim....Abah....kaniaya nemen nasibé Niti”
Suwara rintihané Niti gawé mbrebes miliné wong sing nandangi. Suwarané pancèn lirih, tapi kuwasa nyuwèk lan nyèsèt-nyèsèt kulung ati.
“Uwis Ti, meneng. Sing wis laka aja ditangisi nemen-nemen. Diiklasna baé Ti. Bapané enyong, simbah wadoné enyong, uga dadi korban serangané Landa kapir. Tapi mbokyaha kowen sing tabah. Urip nang dunya kuwé akèh blai. Ora dina kiyé ora mengko, angkara murkané ngintim-ngintim terus. Nyecer lan ngincer salawasé. Yèn gurung kecandak, rasané gurung sudi gurung rena. Kapan waktuné, enyong kowen bakal gentènan nrima pati. Tapi nyong kowen kudu sabar,” omongé Catim lirih.
“Duh Gusti, Gusti Allah....dosané enyong apa? Sampé ngranapi kedadèn sing kaya kiyé?”
Suwasana balik maning sangsaya nggrentes. Rasa panik gonèng suwara-suwara ledakan mortir, rèntètan pèlor, lan sebangsané dadi ilang, ketundung tangis layung-layungé Niti.
Ora kuwat nampung nestapané Niti, mrèmbèt-mrèmbèt Catim mingser. Dèwèké trus semèndèh nang saka kentongan musholah, kaya ora bisa apa-apa maning. Matané Catim nyawang pyan musholla.
“Enyong pan mèlu sapa, Bah? Enyong wis ora duwé sapa-sapa....”
Pancèn bener! Niti wis ora duwé sapa-sapa. Tapi Niti tèsih bisa ngarep-arep tekané Kang Drajat, tunangané.
“Niti tah ésih duwé Kang Drajat” ujug-ujug Harun nyuwara.
“Tapi Kang Drajat wis suwé lunga. Embuh maring endi. Kang Drajat, Kang Drajat.....rika ana nang endi? Tulungi Niti Kang....”
Lamat-lamat, suwarané Niti nembus kupingé Catim. Tapi, atiné Catim rasané kaya diiris-iris. Bisané Niti njaluk tulung karo Kang Drajat? Sedeng lungané Kang Drajat embuh maring endi, langka jebabulé lan kabaré. Enyong kan ana, tur sanggup mènèhi tetulungan karo kowen? Gelem dadi tumpuhané kowen, lan enyong pan nyambut gawé sakuwat tenaga kanggo kesenengané kowen? Omongé Catim nang jero dada karo pikirané nggendong rasa cemburu.
Semromong temen prasaané Catim. Sung busung, Catim blèh trima arané Kang Drajat kasebut. Sebab welas asih Catim kur nggo Niti, senajan salawasè kiyé gurung wani ngomong demen, mègin kapendem nang njero ati.
Wayahé mèh sèndakala. Langit mbang kulon warnané abang semu-semu ireng. Ayang-ayang wit-witan nang lemah ilang.
“Kyèh, jakwir-jakwir....” suwarané Jènggèr nyuwèk sepi. “Mumpung durung maghrib, gagiyan bareng remojong ngubur uwong-uwong sing pada mati. Aja kesuwèn”
Uwong-uwong mbagi tugas. Sapa baé rikat ngurusi warga Surabayan sing dadi mayid. Mayid-mayid digotong nuju pejaratan. Ora suwé, mayid-mayid dikubur. Samana uga jasadé Abah Kiai, panutan nang warga Pedukuhan Surabayan, saiki nyatu karo bumi.
Sadawané wong-wong pada ngubur, ajib temen kembang-kembang kamboja gugur siji turut siji. Kayong ngarti ana dukalara sing oramupakat. Manuk kukukbeluk, uga suwarané kaprungu nggegirisi ngiringi mayid-mayid sing dipendem.
Ndeleng Abah Kiai dikubur, sakuwaté Niti nahan banyumata. Orabada, banyu matané nètès nang pipi. Catim temungkul lemes dedes. Geni sing mulad ngobong umahé, ndadekna banyumatané ora bisa dibendung maning. Atiné nyangga aniaya sing laka padané. Lemah sing dièdek, krasa anyeb sebab tètèsan banyumatané pating dlèwèr. Catim ngremed tangané dèwèk.
Saka ujung Pedukuhan Surabayan, Bekel Subur gèjlèg, mabag wong-wong sing tembé balik sing pejaratan.
“Bekelé teka, bekelé teka....” sambut wong-wong sing meruhi.
“Ya, ya.....saiki gagiyan pada ngumpul nang mushola. Nyong pan mèin pengumuman.” omongé Bekel Subur.
“Pengumunan apa Bekelé?”
“Wis manjing disit nang mushola”
Ora let suwé uwong-uwong manjing mushola. Sauwisé buka puasa saanané diterusaken shalat maghrib, wong pada njagong. Paling ngarep, Bekel Subur njagong, ngadepi wong kampung.
“Bekelé, saluguné kiyé ana apa. Apa ana perang maning?” Harun mbuka suwara.
“Jagad kaya-kaya pan diwalik. Niki dos pundi Bekelé?”
“Enggih Bekelé. Kula mrekitik! Urip awit jaman Jepang, kosih sapriki laka tentremé. Ati kula cop-copan rasané,”
Wong-wong pada rèang. Ora enom ora sing tuwa, ora wadon ora sing lanang, pada ngadu maring bekelé.
“Tenang sadulur, tenang. Nyong pan nerangna....”
Sanalika suwasana tenang. Lon-lon Bekel Subur ngunjal ambekan. Ora let suwé nerusna omongan:
“Kaya kiyé sedulur. Nyong olih tugas saka atasané enyong. Saiki, sedulur kabèh kudu pada ngungsi”
“Ngungsi?” ora wadon ora lanang pada takon.
“Ya!”
“Ngungsi maring endi bekelé?” Jènggèr coba takon.
“Daerah-daerah gunung. Sebab sewayah-wayah, tentara Landa yagyagan maring kampung-kampung, enyong sampèyan wis pada lunga!”
Ana pirang detik, laka wong sing wani takon. Ujug-ujug, Niti nyuwara:
“Bekelé! Mohon diterangna luwih gamblang. Alesané apa bisané bekelé ngongkon warga pada ngungsi?”
Krungu suwarané Niti, atiné Catim lega. Saoran-oran, goncangan jiwané Niti lon-lon lereb. Ah... ésemé Catim, ujug-ujug ngembang.
“Bener pitakoné kowen Nok.....” omongé Bekel Subur kambèn mandeng Niti. “Kaya kiyé sedulur. Miturut informasi saka atasané enyong, ora suwé maning Tegal bakal dibakar ganing Tentara Republik, utamané tempat-tempat sing penting....”
“Dibakar pibé bekelé?” omongé uwong-uwong.
“Kiyé arané siasat, siasat perang. Kota Tegal bakal dibledug, bèn angus dadi awu! Sebab adong ora kaya kuwé, Landa manjing metu kampung sakepènaké wudel”.
“Oooohhhh.......”
“Tapi bekelé....” Niti nyuwara maning.
“Ya Nok, pimèn?”
“ Niti wis awak abang. Abah karo manèné enyong wis pada laka. Tapi senajan enyong bocah wadon, enyong mantep pan mèlu berjuwang demi Tegal demi bangsa!”
“Bagus! Kowen bocah mulya”
“Enyong blèh sudi bangsané nyong dièdek-èdek gonèng Landa kapir!”
Wong sakandang bentang, laka sing ngira adong Niti duwé semangat mulad-mulad. Lan mulad-muladé semangat Niti, mbakar jiwa-jiwané uwong kampung. Kejaba kuwé pada éram maring dèwèké. Pasalé, Niti sing bisané mung ngaji, jebul duwé jiwa bèla negara sing gedé laka-padané. Sing kaya kuwé, ora dinyana gonèng Jènggèr, Catim, Harun, lan uwong-uwong kampung Surabayan, termasuké Bekel Subur.
“Bekel Subur!” Catim nyuwara mbelèk sepi.
“Iya pimèn?”
“Enyong uga pan bèla pati. Enyong blèh trima! Enyong mèlu berjuwang, bela negara!”
“Bekel Subur!” ujug-ujug jasak Sargad, mèlu nyuwara.
“Nggih. Pripun?”
“Senajan kula wis tuwa, kula ora wedi. Kula pan mèlu berjuwang!”
“Hidup jasaké Jènggèr!”
“Hidup...!”
“Merdèka....!”
“Merdèkkkaaaa....!!”
“Rawé-rawé rantas, malang-malang putung!”
“Landa compong kudu dicocol!”
“Asu kirik ka....”
“Kita ramé-ramé bèla Tanah Air,”
“Allahu Akbar, Allahu Akbar...!! Enyong ora bisa mbendung niaté sedulur-sedulur kabèh. Saiki ayo pada mangkat ngungsi, nggabung maring TNI Masyarakat, Laskar Rakyat atawa Hisbullah. Berjuwang kosih tètès getih tuntas tatas! Aja kosih, sampèyan dadi cecunguké Landa. Paham sedulur?”
“Paham bekelé. Paham....!”
Dendamé wong-wong Surabayan maring Landa laka padané. Waktu kiyé, semangat perjuwangané warga kaya urubé geni sing mulad-mulad. Paribasan, kaya ngobong jagad. Getihé pada umeb. Sumpahé kosih nggares nang ati, pitung turunan saking jelèhé maring Landa. Dina kiyé mati, sukiki uga mati. Bab kuwé sing dadi dasaré wong-wong Surabayan mèlu bèla negara.
“Wis, saiki pada siap-siap” omongé Bekel subur.
Akhiré uwong-uwong pada ngungsi. Bekakas rumahtangga digawa saanané. Mèdan pengungsian pegunungan sing kudu ngliwati alas gledegan, uga nyabrang pisan kali gedé, dadi alesan warga blèh gelem rèpot-rèpot nèntèng bekakas sing bakalé ngèpoti.
Sadurungé mangkat ngungsi, Niti nyempatna dedonga nang kubur Abahé dikancani Catim, Yu Mar lan kanca batir liyané. Atiné Niti dikuwat-kuwat, laka luh banyu mata sing nètes nang kuburé Abah. Sebaliké, banyu matané sing kasimpen nang dadané, manglih mawujud semangat mbulak-mbulak kaya banyu sing lagi umeb. Niti bener-bener wis sèwot mbangkana-kanané maring Landa.
Marem dedonga, Niti nggabung maring grombolan pengungsi. Lan kaya semut, wong-wong mlaku lèwat pinggir kali. Suwasané ramyang-ramyang, kesorot gebyaré padang wulan. Banyu sadawané Kali Prepil, kinclong-kinclong. Para pengungsi trus mlaku ngidul. Suwara-suwara serangga pada ngidung kiwa tengen kali sing banyuné kicir-kicir. Waktu kiyé, pancèn ketigané ngentak-ngentak. Ora lumrah.
Tekan nang panggonan pengungsian, Bekel Subur mèin werta. Jaré, liwat brita sing dirungu saka radio, pasukan Divisi Landa molai ngobrak-ngabrik wilayah-wilayah Republik. Pulo Jawa digempur ganing telung divisi. Sedeng Sumatera Barat, pasukan Landa ngerahna telung Brigade nggempur sakentrang-kentrang. Sakenané.
Sawetara kuwé, pejuwang-pejuwang TNI Resimèn 13, TNI Masyarakat, BPRI, Resimèn Pusponegoro, Laskar Rakyat, lan CPM sing ana nang Brebes, Slawi lan Kota Tegal, rikat ngatur siasat!
Kanggo ngadang-ngadangi mlebuné pasukan Landa, brug-brug sing ana nang Tanjung Brebes, Bumiayu, Prupuk, Talang, Sumurpanggang, lan Tegal bagian mbang wètan kayadèné Brug Ketiwon dirusaki kabèh. Wit-witan sadawané dalan ditebangi, diplagrang-plagrangna nang gili. Ora kèri kanggo ngrintangi mlebuné Landa maring pusat Kota Tegal, pabrik Texin kambèn Annim uga dirusak lan dibakar.
Tegal dadi segara geni!


*
Bagian Loro

NANG Dèsa Sumingkir, Kecamatan Kedungbantèng, srengèngèné mencorong. Kemresek godong jati garing, rogrog. Suwarané kaya blarak diobong. Kokok ayam alas, nggalik-nggalik kegawa angin.
Njagong nang gegeré jaran, ciplosé Kaptèn Vantje van Dèck lirak-lirik mandeng maring pojok-pojok dèsa. Paribasan, saben ana alang-alang kemresek ora bakal ucul saka sawangan matané.
Nang mburi dèwèké, Lètnan van Baco, lan Sersan Flour lengkap pasukané. Wong-wong Landa kuwé, lagi ngudag-udag wong wadon sing mlebu alas.
“Lètnan van Baco!” suwarané Kaptèn Vantje van Dèck nyuwèk sepi.
“Siap Kaptèn!” semauré Kaptèn van Baco.
“Ini daerah segera kamu kepung! En....itu nona harus kamu tangkap!”
“Siap Kaptèn!” jawab Lètnan van Baco lan balik mrèntah maring Sersan Flour.
“Itu nona jangan sampai lepas, mengerti Sersan Flour?!”
“Siap Lètnan!”
Sersan Flour ngatur pasukané. Ana pirang puluh pasukan dibagi, nyebar telung jurusan. Jaran sing ditumpaki ngringkik kaya bocah cilik ngrèngèk njaluk dolanan. Tali jaran didedet, jaran mlayu mubeng nuju ngètan. Sawetara Kaptèn Vantje van Dèck, mèsem tapi ésemé kecut mandeng maring puluhan prajurit sing dicekeli bedil. Padahal sing dioyok-oyok mung wong wadon ora nggawa gaman, tapi angèlé temenanan. Gotverdomme zegh.......! Kaptèn Vantje van Dèck, ndedet tali jarané sakuwat-kuwat, mbalik arah.
Saiki kari Lètnan van Baco menggèh-menggèh. Alon-alon jaran liwat nang galengan sawah. Saka kadohan matané mentelengi ambané sawah sing pada mletèk. Musim ketiga sing dawané orajamak, ndadèkna sawah-sawah pada puso. Waktu kiyé pancèn lagi musim paceklik.
Njongkot nang ngingsor wit jati, Sersan Flour weruh Kopral Conrad karo Kopral Parirèa bareng serdadu-serdadu setiyané ngawal, gitir nrobos alang-alang. Bareng weruh Sersan Flour, tangan Kopral Parirèa mèin isyarat adong wong wadon sing digolèti durung ketemu.
Untuné Sersan Flour pating kriut, tanda gemlotok!
“Tolol! Bodoh semua....!”
Embuh sapa sing tolol, sapa sing kemplu! Pasalé, wong wadon sing lagi dioyok-oyok, nyatané pada tololé pada kempluné. Tugas penyusupané dadi mata-mata, diweruhi pasukan Landa. Akibaté, dèwèké mobat-mabit yagyagan, kedangsrakan ngindari pasukan Landa.
Sajeroné pikir, adong kepaksané kecekel, dèwèké ora pan gela. Tègadé mantep, jiwa ragané dipasrahna nggo perjuwangan. Sung busung, jihad pati kanggo bangsané mantep nemen. Ora baèn-baèn.
Kartijah, aran wong wadon kuwé. Saiki tlusap-tlusup maring alang-alang sing duwuré sapengadegan. Ora dirasa getihé nètès saka tangané karo jempol sikilé. Kartijah lon-lon ndudut sikilé sing ndadak mblusuk, kejepit selagan mletèké lemah sawah. Agé-agé awaké nggèsèr maring tumpukan dami, bèn ora katon. Pating dlèwèr kringeté mili. Panasé srengèngé ora dirasa. Tenagané molai ditata bèn ora ngglambrèh. Pirang depa maning, dèwèké anjog nang dèsa. Saka kadohan Kartijah weruh ana umah sing diklilingi wit-witan gedé. Nang pikirané, umah kuwé bakal dinggo umpetan. Alon-alon dèwèké metu saka desepan alang-alang, trus bablas maring umah sing wargané pada ngungsi.
Waktu anjog nang ngarep umah, lawangé ora dikunci. Jendèlané uga ora dikancing. Kurungan manuk perkutut nggantung nang pojok umah. Cucuk manuké notoli krangka kurungan. Pakan jewawut lan beras ketan irengé, tatas. Ludes.
Alon-alon Kartijah mlebu, tolih umpetan nang kondong tengah. Diantarané lemari sandangan lan ranjang wesi, dèwèké ndesep. Ah....Kartijah mbuwang ambekan. Trus narik ambekané kenceng-kenceng lan dibuwang maning liwat cangkemé. Aman? Jebulé ora!
Saka rungseban alang-alang samping umah, matané Kopral Nur Juwèr meruhi gerakané awit dèwèké mlebu pekarangan. Waktu samana Kopral Nur Juwèr ora giri-giri nyekel. Dèwèké mikir, luwih apik nunggu kanca batir. Mugané barang dèwèké weruh Lètnan van Baco, Sersan Flour, Kopral Conrad, Kopral Parirèa lan kanca batir liyané, Kopral Nur Juwèr wadul maring Lètnan van Baco.
Diwaduli Kopral Nur Juwèr, Lètnan van Baco mantuk-mantuk trus ngomong:
“Kepung ini rumah!”
Krungu ana suwara, Kartijah sing lagi umpetan kagèt. Dèwèké sangsaya ndesep. Sawetara pasukan Landa pada pating plencar, ngubengi umah.
“Nona! Kowé orang segera ke luar! Ini rumah sudah kami kepung. Jangan coba-coba lagi untuk lari”
Dadakan, kringeté Kartijah krasa anyeb. Kringet metu saka pilingan, pipiné, lan uga nètès maring krah klambi. Ambekané diampet trus lon-lon ditokna. Saka sempité bolongan, matané Kartijah weruh moncong bedil.
“Duh Gusti Pengèran, lindungi awaké enyong. Adoh sing blai, bèn tutug perjuwangané enyong. Mbakti maring negara, ora baèn-baèn....” dongané Kartijah nang ati.
Sajeroné berjuwang, Kartijah kepènginé slamet, laka alangan apa-apa. Dèwèké ngemban tugas mulya kon dadi mata-mata. Nlusup maring daerah lawan bèn ngarti pèta pentol orané kekuwatané musuh.
“Sersan Flour....!” Lètnan van Baco nyuwara maning.
“Siap Lètnan” semauré Sersan Flour kambén tangané hormat lan awaké ngadeg jejeg.
“Perintahkan supaya semua pasukan berjaga-jaga. En..., itu nona jangan sampai lepas. Kaptèn inginkan itu nona hidup-hidup” pesené Lètnan van Baco.
“Siap Lètnan!”
Sauwisé Lètnan van Baco mrèntah, dèwèké latan metu. Detik-detik saterusé, Sersan Flour ngongkon Kopral Parirèa, Kopral Conrad lan Kopral Nur Juwèr mlebu umah. Tak tuk tak tuk suwara sepatu, krasa nggema nang ruwangan umah suwung. Gonèng pasukan Landa, sudut-sudut ruwangan diawasi. Mèja apa kursi ditendangi. Samana uga lemari-lemari dijejeki, dirubuh-rubuhna. Pokoké pating gropak suwarané.
Karuwan baé, Kartijah sing wis kepojok posisiné, pasrah maring apa sing bakal kedadèn. Lan apa sing dipikirna Kartijah, bener-bener kedadèn. Kartijah konangan!
Kaya kucing mandung weruh curut, Kopral Conrad nglarak Kartijah saka pelèdan lemari. Sedeng Kopral Parirèa lan Kopral Nur Juwèr, ngènjlèg mlakuné kepèngin weruh Kartijah kecekel. Agé-agé Sersan Flour ngabari Lètnan van Baco. Ora let suwé Lètnan van Baco, numul.
“Kopral! Ikat itu nona di kursi!!” prèntah Lètnan van Baco maring Kopral Conrad lan Kopral Nur Juwèr.
Kartijah dilarak, diglandang maring ruwangan tengah trus dibanda nang kursi. Sauwisé, para kopral jaga-jaga nang mburi lawang. Saiki, nang adepané Kartijah, anané Lètnan van Baco. Ruwangan balik maning sepi. Suwara tak tuk tak tuk sepatuné Lètnan van Baco, bolak-balik bol.
“Kowé orang mata-mata ya? Kowé orang sengaja disusupkan ke wilayah ini, ya?!”
Pitakonan-pitakonan kaya kuwé prulukan metu saka cangkemé Lètnan van Baco.
“Enyong ora ngarti apa-apa Tuan. Enyong salahé apa, bisané enyong dioyok-oyok?” omongé Kartijah. Sabeneré dèwèké kepèngin nampeki maring wong-wong Landa. Kuwé adong dèwèké sanggup. Mung apa dayané Kartijah? Wong wadon siji dioyok-oyok wong sakampung nggawa cocolan kaya kèwan kidang
“Hai nona! Kowé orang republik kan? Tentu bisa omong bahasa republik. Kowé orang mata-mata kan?” matané Lètnan van Baco mendelik.
“Nyong ora ngerti apa-apa Tuan....” semauré Kartijah.
“Gotverdomme zegh! Apa yang kowé katakan nona?”
“Sung! Nyong ora salah, bisané dicekel?”
Lètnan van Baco sangsaya bingung. Ora paham blas apa sing diomongna Kartijah. Rainé Lètnan van Baco dadi kenang kèder kaya mlaku nang petengan.
“Sersan Flour!” Lètnan van Baco ngundang Sersan Flour.
“Siap Lètnan!” Sersan Flour ngadep maring Lètnan van Baco.
“Ini nona bicara apa?”
“Siap Lètnan! Saya tidak mengerti, ini nona bicara apa.”
“Coba kamu panggil Kopral Nur Juwèr. Dia orang Jawa, tentu bisa omong Jawa. En.....kamu urus, ini nona Sersan.”
“Siap Lètnan!”
Lètnan van Baco metu. Sersan Flour ngundang Kopral Nur Juwèr.
“Kopral Nur Juwèr! Kowé kemari.... ”
Rikat Kopral Nur Juwèr ngadep maring Sersan Flour.
“Siap Sersan. Sersan Flour mengundang saya?”
“Ya! Kowé orang Jawa, tentu bisa omong sama itu nona. Tanyai ke mana anjing-anjing ekstrimis republik itu bersembunyi. En, suruh itu nona buka mulut!”
“Baik Sersan....”
Blèh kesuwèn maning, Sersan Flour blirit maring njaba kambèn anak buahé. Saiki kari Kopral Conrad, mbatiri Kopral Nur Juwèr sing lagi adep-adepan karo Kartijah. Rainé Kopral Nur Juwèr katon angas, matané mendelik. Sanalika suwasana nglangut, tapi nang njero dadané wong loro krasa tegang.
Nang njaba, srengèngèné sangsaya semromong kaya wangwang geni sing lagi mrengangah-mrengangahé. Sawetara nang salah siji sudut panggonan, rainé Lètnan van Baco njepaprut, ngampet hawa dugal.
Balik maning maring Kopral Nur Juwèr. Nang adepané Kartijah, dèwèké mlaku bolak-balik bol. Tak tuk tak tuk suwara sepatuné kaya obahé detak jantungé Kartijah sing dirasa cop-copan.
“Arané kowen sapa wong ayu?” takoné Kopral Nur Juwèr.
Kartijah meneng getem.
“Kowen arané sapa wong ayu?”
Kartijah tetep nggetem baé. Matané mandeng najis maring Kopral Nur Juwèr.
“Nyong takon karo kowen...” tangané Kopral Nur Juwèr ndengakna jangguté Kartijah.
“Kowen arané sapa?”
Kartijah tetep meneng ora nyuwara.
“Sapisan maning nyong takon karo kowen. Kowen kiyé sapa, hai?!”
Matané Kartijah mandeng angas.
“Dobol kowen! Ditakoni laka semauré. Kowen aja gawé dugalé enyong ya?!” suwarané Kopral Nur Juwèr sangsaya atas. Jempol sikilé Kartijah sing ndlèwèr getih, diédek. Krasa klenjengan, Kartijah njempling-njempling.
“Aduh....enyong ora ngarti apa-apa. Enyong lagi pan luruh godong jati, bisané enyong dicekel? Salahé enyong apa, cecunguk?”
“Wis. Adong kowen ora pèngin lara, walèh baé. Kowen arané sapa. Cepet jawab!”
“Enyong....enyong....arané Kar....Kartijah.”
Sedetik suwasana balik maning sepi.
Duh.....Mbok.....Mbok......apa kiyé sing arané musuh? Ganing bangsané enyong dèwèk? Trus pada-pada wong Tegalé, kejemé ngungkuli wong Landa. Apa ora kwalik Mbok? Batiné Kartijah sajero matané mandeng menteleng maring Kopral Nur Juwèr.
“Kartijah......saiki nyong pan takon. Pada maring endi batir-batiré kowen kabèh?” takoné Kopral Nur Juwèr.
“Nyong ora duwé batir”
“Aja goroh! Adong ora walèh, kowen tak labrag!”
Sapisan maning sikilé Kopral Nur Juwèr diangkat tolih kempolé Kartijah dinggo ancik-ancik. Sawetara Kopral Conrad mandeng karo gèdèg-gèdèg, sebab blèh paham apa sing lagi diomongna gonèng wong loro.
“Nyong ora goroh, dobol!” jawabé Kartijah nganggo omongan kasar.
Pancèn, ngadepi wong Jawa sing gelem dadi cecunguké Landa, ora perlu nganggo omongan alus. Dipatèni sisan, ora papa.
“Ora mungkin. Kowen musti goroh! Nyong ngerti kowen kiyé mata-mata!”
“Nyong ora ngarti. Sung!”
Duh Gusti Allah.....,moga-monga dosané enyong diampura. Enyong kepaksa goroh, ébèn kanca-kancané enyong pada slamet. Ébèn bisa nerusna perjuwangané enyong! Batiné Kartijah.
“Dadi kowen ora gelem walèh?”
Ditakoni kaya kuwé Kartijah tetep meneng.
“Kartijah, alesané kowen ora mlebu akal. Bisané kanca batiré kowen pada ngungsi, kowen dèwèk malah luruh godong jati? Kowen gorohé ngletek!” tangané Kopral Nur Juwèr nuding. Kaya-kayané, culagé sangsaya nyengkelek nang ati. Tangané gemeter, mèh baé nempilingi Kartijah.
“Ora! Enyong ora ngarti! Rika ora perlu ndedes-ndedes maring enyong!”
“Blèh percaya. Kowen pasti mata-mata!”
“Nyong blèh ngarti sing arané mata-mata!”
“Tapi bisané wong-wong Tegal ngarti Landa pan teka. Sapa sing mèi weruh, hèh?”
“Embuh!”
“Dong embuh, sapa sing ngarti, hai?”
“Ya embuh....”
“Dadi kowen ora gelem walèh? Ora gelem nodokna kanca batiré kowen?”
“Nyong ora paham. Nyong kon ngomong apa?”
“Ora percaya! Kowen pasti mung apèn-apèn!”
Gentongsauran sangsaya panas. Antarané Kopral Nur Juwer sing tetep ndedes-ndedes, sawetara Kartijah uga ora gelem walèh. Bab kiyé sing akhiré dadi suwasanané tambah panas baran.
Kopral Nur Juwèr alon-alon ngunjal ambekan. Rainé ndengak maring pyan. Tapi untuné pating kiut-kiut. Kartijah rainé temungkul. Lambèné ndredeg.
Mbok, kula nyuwun ngapura, mbokan dina kiyé wis dadi patiné Kartijah. Ah Mbok, jebulé sing arané musuh kuwé gudu wong Landa tok. Nang kèné, ana bangsané kula dèwèk, kejemé ngungkuli wong Landa. Ah, Mbok...Mbok....nyuwun pangapurané kula ingkang katah.....
Embuh wis ping pirang menitan, sepi liti mbrèngkos suwasana. Ujug-ujug ana firasat ala mbak-klèbat nang pikirané Kartijah. Tapi dèwèké trus dedonga. Kopral Conrad meneng getem, ora paham. Sedeng Kopral Nur Juwèr uga meneng. Pikirané nimbang-nimbang soal Kartijah, apa sing bakal dilakoni. Tapi dèwèké bener-bener sangsi.
Nang alam pikirané Kopral Nur Juwèr, adong Kartijah gudu mata-mata, tentuné wis mèlu ngungsi. Adong dicermati nemen-nemen, omongané Kartijah kuwé mung apèn-apèn blèh ngarti.
Olih dalan pikiran sing kaya kuwé, Kopral Nur Juwèr dumadaksara atiné bungah. Dèwèké mantep, pan golèt alem maring atasané. Mangkané Kopral Nur Juwèr duwé kesimpulan, siji-sijiné dalan, Kartijah kudu dipatèni. Sebab, adong Kartijah terus-terusan ora gelem walèh, kepercayaan atasan maring dèwèké bakal kurang. Toli dèwèké dikon ndedes maning nganti Kartijah gelem walèh.
“Ya....siji-sijiné dalan, Kartijah kudu dipatèni! Bar kuwé, pangkaté enyong bakal munggah! ” batiné Kopral Nur Juwèr.
Paribasan ana sètan alas, ujug-ujug baé pikirané Kopral Nur Juwèr digerakna. Mugané ora kesuwèn maning, bedil diarahna maring jantungé Kartijah. Tapi kaya ana sing mènèhi wisik maring Kartijah, dèwèké ndegègna dadané. Sawetara atiné trus dedonga nyebut asma Allah. Pirang detik saterusé, pèlor nembus maring dadané. Jerit Kartijah mlengking nembus maring langit. Manuk-manuk alas sing lagi ketingkring nang pang wit-witan, pating bleber. Godong albasia sing wis kuning warnané, rogrog pada tiba ngebeki jagad. Laka kembang, laka tangis, guluné Kartijah sèngklèh. Katon nggegirisi dadané Kartijah bolong. Getihé mantur maring sandangané.
Kopral Conrad tangané gemeter uga atiné cop-copan, weruh kedadèan sing ora mercayani. Dèwèké ora ngira adong Kopral Nur Juwèr bisa compong kaya kuwé. Kopral Conrad bener-bener belèh ngarti!
“Kopral! Apa yang kowé lakukan?” omongé Kopral Conrad.
“Maaf Conrad! Terpaksa Kartijah saya tembak!” jawabé Kopral Nur Juwèr. Tapi orakètang lambèné ndredeg. Oh.....ora mung lambèné, tapi sakujur awaké nrektek lan ngetokna kringet atis.
Awaké Kartijah sing wis dadi mayid, sèngklèh nang atak-ataké korsi. Sangsaya suwé katon mbeku sintru. Rambuté sing dawa, kangsrah maring pangkoné campur getih. Trus getih nètès-nètès ndlèwèr maring sikilé.
Grudugan; Lètnan van Baco, Sersan Flour, Kopral Parirèa lan liya-liyané manjing maring asal kedadèn. Agé-agé Kopral Conrad ngrebut bedilé Kopral Nur Juwèr sing mèsih diarahna nang jogrogé Kartijah. Tapi matané mandeng kosong, kaya ayam sing kena toun.
“Gotverdomme zegh! Gotverdomme zegh!! Ini tindakan yang sangat gegabah” sruwang Lètnan van Baco, culag saporèté.
Krungu dugalé Lètnan van Baco, Kopral Nur Juwèr ora wani adu mata. Sorot matané dialihna maring Kartijah sing wis laka-kempisé.
“Kopral Parirèa! Coba periksa itu nona”
“Siap Lètnan!”
Kambèn ngipatna rambuté Kartijah memburi, Kopral Parirèa ngangkat rainé Kartijah. Matané Kartijah merem, tapi ajib nemen lambèné tetep mèsem senajan warna rainé wis pucet kabèh.
“Nona ini sudah mati, Lètnan!” omongé Kopral Parirèa.
“Gotverdomme zegh! Kopral Parirèa, bawa Kopral Nur Juwèr menghadap Kaptèn. Lainnya ikut saya ke Dèsa Cenggini!”
Adegan seterusé, jaran mlayu sipatkuping ninggal plataran umah gèdé. Bledugé kebul, kaya kukusé knalpot motor pada mabur-mabur. Lètnan van Baco mlayokna jarané nrabas alang-alang, ngliwati galengan sawah. Nang mburiné serdadu-serdadu Landa ngetuti.
Balik maning maring suwasana sepi nang umah gedé mau, manuk prekutut nang njero kurungan klubukan, dadi saksi bisu, apa sing tembé kedadèn. Saiki, Manuk prekututé krasa ora duwé daya urip maning. Lan ujug-ujug awaké lemes, latan kejet-kejet. Musim ketiga sing laka pedoté, ndadèkna panasé bumi ora lumrah. Mbledugé lemah mambrah-mambrah, krasa nyiksa nemen.
Kèwan ula talimangsa, kejet-kejet kepèdek sikil jaran sing mlayuné kaya sètan. Lonjoran awaké, klenjengan sajeroné sorot mata manuk gagak nang pang wit randu kapuk. Krasa ngelih, manuk gagak sing wuluné ireng geteng, latana mabur mengingsor, notoli.
Semripit angin, nampeki godong-godong nggawa ambu getih. Getih dladrahan kawetu saka awaké Kartijah sing dipancal gonèng angkara murkané perang. Angkara blai sing saben-saben detik jejaluk tumbal.
Ndelèn, sapa maning sing bakal dadi digdayané Ibu Pertiwi? Sedeng kedigdaya sing ana nang jiwané Kartijah, saiki ilang gandra. Muluk maring awang-awang sing duwuré ora bisa dicawèl ganing sapa baé. Kartijah, salah sijiné wong wadon pejuwang, saiki wis balik maring asalé!



*


Nang Dèsa Sumingkir, Kaptèn Vantje van Dèck trus ngumpulna informasi saka Jayèng Laga. Sakabèhan pitakonan Kaptèn Vantje van Dèck dijawab. Masalahé, sing arané Jayèng Laga kuwé, pancèné pan manfaatna keadaan ruwed wilayah Tegal sing saiki lagi diranapi. Dèwèké ora pan nyia-nyiana kesempatan sing blèh bakalan menangi maning. Lan saiki kesempatan apiké teka, ya kudu direbut.
Dèsa sing tempaté ora adoh saka Kali Cacaban, suwasanané katon sepi liti. Warga dèsa pada kewèdèn, sajegé dèsané dileboni Tentara Landa. Luwih aman, wargané pada ndekem nang luwengan. Bab kuwé tau dipraktèna waktu jaman perang kemerdèkaan nglawan Landa atawa Jepang. Saka pengalaman sing uwis-uwis, wong-wong dèsa pada nitèni lan waspada sadurungé ana blai sing nggawé patiné sanak kaluwarga.
“Jadi menurut kowé orang, Bekel Subur itu yang mempimpin pengungsian orang-orang republik dari Tegal, juga banyak membantu pemberontak-pemberontak?” Kaptèn Vantje van Dèck nyuawra.
“Benar Tuan Kaptèn!” Jawabé Jayèng Laga.
“Oh....”
“Dia juga yang mengabarkan kalau pasukan tuan akan menyerang” Jayèng Laga nambah omongan.
“Bagaimana itu bisa terjadi? Sedang kowé orang berada di sini?”
“Begini Tuan Kaptèn, waktu Bekel Subur menyuruh orang-orang Tegal supaya ngungsi, saya ada di rumah mertuwa tuan”
“Oh...Good, good.....ternyata kowé orang bisa bekerjasama. Tapi kowé orang juga harus membolehkan, bahwa ini rumah sementara kami orang pakai buat markas. Juga untuk kerangkeng tahanan ekstrimis-ekstrimis”
“Boleh Tuan Kaptèn. Tapi....” Jayèng Laga ora nerusna omongané. Dèwèké kur mènèhi isyarat nggèsèk-nggèsèk jempolé klawan driji tengahé.
“Oh....tentu. Tentu Jayèng Jayèng. Kowé orang akan dapat duit banyak, tapi kalau ekstrimis-ektrimis republik sudah kami orang tangkap. Pokoknya, kowé orang terus bantu”
“Tentu....tentu saya bantu Tuan Meneer,”
“Good, good....kowé orang akan saya kasih uang banyak. En....”
Durung rampung Kaptèn Vantje van Dèck nutugna omongan, ujug-ujug Kopral Parirèa ngadep karo nggandèng Kopral Nur Juwèr.
“Ada apa Kopral?”
“Siap Kaptèn! Begini Kaptèn. Sebenarnya nona yang menyusup itu sudah berhasil kami tangkap. Tapi ketika Kopral Nur Juwèr mengintrograsi, tiba-tiba nona itu ditembak Kopral....”
“Sial, kowé orang!”
Karo ngomong kaya kuwé, Kaptèn Vantje van Dèck mendelik angas maring Kopral Nur Juwèr. Suwasanané dadi mrekitik. Rainé Kopral Nur Juwèr, manglih dadi pucet.
Weruh gelagat sing ora ngepènaki, agé-agé Jayeng Laga metu saka ruwangan. Sikilé Kaptèn van Dèck diangkat maring nduwur kursi penjalin. Trus gagang pèstolé digentakna nang mèja sakuwat-kuwat.
Kopral Parirèa agé-agé mundur trus mèpèt nang saka lawang. Mbuh apa sing bakal kedadèn. Sing jelas baé, dèwèké ora tèga ndeleng rainé Kopral Nur Juwèr sing pucet kaya mayid, lan awaké ndredeg kaya wong katisen.
“Saya perintahkan kepada kowé orang bukan untuk menembak itu nona! Saya inginkan itu nona hidup-hidup. Tapi mengapa kowé orang lancang, Kopral?!”
“Saya emosi Kaptèn. Saya merasa disepelekan sama nona itu. Nona itu diam terus, tidak mau bicara. Saya merasa disepelekan”
“Karena itu, kowé orang tembak itu nona?! Saya tidak pernah menyuruh untuk melawan seorang perempuan, Kopral?!”
Ujug-ujug Kaptèn Vantje van Dèck mlèngos sawangané. Kaptèn sing umuré sewidak taun kuwé, matané nrawang..... adoh nemen. Matané ngemu banyu, trus tangané nutupi rainé karo tlapak tangané. Kaya-kaya ana sing gawé atiné kisruh.
“Saya....saya....nga....nga....ku........salah Kaptèn!.”
Awaké Kaptèn Vantje van Dèck mbalik lan matané angas mandeng Kopral Nur Juwèr sing lagi ngèngsod.
“Bedebah kowé orang! Tolol! Sial! En.....ternyata kowé orang lebih kejam dari Bangsa Nederland. Kowé orang telah bunuh seorang perempuan, padahal kita orang tidak berperang dengan perempuan. Biadab...!!!”
“Anu....Kaptèn, anu...”
“Nur Juwèr!!!”
“Siap Kaptèn”
“Camkan baik-baik! Kalau kowé orang sampai mengulang kesalahan yang sama, kowé punya kepala akan saya hancurkan. Saya tidak bisa memaafkan untuk kedua kali. Mengerti, Kopral?!”
“Mengerti Kaptèn!”
“Sekarang kowé orang ke luar!”
“Siap Kaptèn”
Kaya kesiram banyu és, kringeté Kopral Nur Juwèr tos-tosan. Dèwèké agé-agé blirit saka adepané Kaptèn Vantje van Dèck. Samana uga Kopral Parirèa. Wong loro akhiré jejagongan nang padung samping umah Jayèng Laga.
Lamat-lamat, Kopral Parirèa krungu Kaptèn Vantje van Dèck lagi omong-omongan kambèn Jayèng Laga. Masalah sing digagas ora liya soal Bekel Subur. Grombolan serdadu jaga-jaga nang mburi umah. Bas-bus udud kaya sepur sing ora mandeg-mandeg ngetokna kukus.
Tembé jam lima soré, tapi kaya wis ngadepi wayah rep. Ujug-ujug anginé mobat-mabit. Ya! Sapa baé uwong, musti blèh nyangka, nang musim ketiga sing kemletak, kok ana udan deres saka langit. Apa alamé mèlu ngrasakna dugal, sebab ana Landa teka nang tlatah Tegal? Atawa mèlu nangis sebab ana kepatèn bocah perawan Kartijah? Blèh ngarti.
“Lihat! Ada yang datang” Kopral Parirèa gita-gita.
Saka kadohan, diantarané udan barat, ana sagrombolan pasukan Landa campur wong-wongé Jayèng Laga, lagi ngarak Bekel Subur. Tangan kambèn sikilé Bekel Subur dibanda. Mlakuné gentoyoran sebab ditarik Sersan Flour saka nduwur jaran. Klambiné kemproh lan warnané glopot. Lambèné pucet tur ndredeg. Sedeng rainé babak belur, sebagian lengené mantur getih sebab tusukan bayonèt.
Tekan nang plataran umah, Bekel Subur dilarak nggon tritisan. Lètnan van Baco, pimpinan grombolan pasukan Landa, ngadep Kaptèn Vantje van Dèck.
“Lapor Kaptèn! Kami berhasil menangkap Bekel Subur!”
“Good. Segera krangkèng itu ekstrimis!”
Ora suwé Bekel Subur diglandang maring kamar mburi sing digunakna dadi ruwangan tahanan. Waktu ngliwati ruwang tengah, matané Bekel Subur weruh Jayèng Laga lagi ngadeg nang lingir mèja. Bekel Subur dugal.
“Oh.....jebulé pengkhianaté kowen, Jayèng? Aja sambat kaniaya, kowen bakal nrima walesané kanca-kanca!” tangané Bekel Subur nuding rainé Jayèng Laga.
“Aja kakèhen ngomong, Subur! Saiki kowen ngrasakna walesané enyong!”
Bekel Subur ora nyangka, jebulé Jayèng Laga dadi pengkhianat, nodokna tempat pengungsiané. Mustiné, adong dèwèké mèsih dugal lantaran kalah nang kodrah bekel, mbok yacha aja nganti males kesumat nodokna tempat pengungsiané. Sing kaya kuwé, arané biadab. Asu kirik temenanan!
Bekel Subur mèsih baé mbanggel-mbanggel. Kaya-kayané kepèngin nampek maring cangkemé Jayèng Laga sing cocoté dobol.
“Bangsèt raimu! Asu kirik!!” gemboré Bekel Subur karo ngidoni rainé Jayèng Laga. Tapi Jayèng Laga mung lata-lata.
“Modar raimu Bekel Subur! Modaaarrr.....!!” semauré Jayèng Laga.
“Dobol! Tengiikkkk....!!”
Ndeleng kahanan sing kaya kuwé, Sersan Flour njongkong-njongkona Bekel Subur. Endasé Bekel Subur sing wis krasa kliyeng-kliyeng, dadi sangsaya lèab-lèob. Latan dijejek sisan gonèng Sersan Flour, kosih dèwèké jengkangkang nang lawang kamar tahanan.

*


Bagian Telu

WAYAH sèndakala nggiwar, lon-lon ninggal dina-dina sing semelèt. Saiki benginé teka. Nang mbang wètan, remeng-remeng katon wulané. Warna abangé ketutup mèga. Anginé semripit. Suwara jangkrik kambèn belalang sawah, gawé irama konser. Nang pang wit mahoni ujung Dèsa Balamoa, manuk kukukbeluk ketingkring. Matané medèni, menteleng plorang-plorong nggolèti mangsa.
Ya! Nang wayah sing kaya kuwé, ana bocah wadon Niti mlaku dèwèkan nggawa oncor. Hawané nggreges, tapi dèwèké trus mlaku nuju ngalor. Anjog nang wates Dèsa Kalijambé, dèwèké mbèlok nganan latan liwat Dèsa Pungawarèn. Pikiré Niti, metu mono tujuané bèn gelis anjog nang Dèsa Kertaharja. Kejaba kuwé, nggo ngindari mobil patroli tentara Landa.
Niti pancèné perlu ngati-ati. Dèwèké ora kepèngin ngulangi luput sing diranapi Kartijah, kanca saperjuwangané. Mugané kuwé, deles oncoré diciliki bèn mulad geniné katon riyem-riyem. Pendèké cukup nggo nerangi dlanggung.
Sajegé dèwèké nggabung nang perjuwangan pasukan rakyat Tegal, prasaan wediné ilang blas. Gung liwang-liwung sepi-litiné wayah bengi, wis nyatu maring jiwané. Malahan, manjat mudun tebing lan manjing metu alas gledegan, dadi siasaté perjuwangan kanca batir sajeroné ngadepi alam peperangan. Apa maning nang bengi kiyé, dèwèké ngemban tugas mèin kabar nggo Mbok Mirah, jelas dadi kewajiban sing utama. Senajan nyrèmpèt-nyrèmpèt blai.
Langkah sikilé Niti trus nuju ngalor. Ramyang-ramyang matané weruh kelap-kelip lampu ceplik saka umah gribig. Ora liya umahé Mbok Mirah sing dituju. Rengeng-rengeng ana suwara, kaprungu agor nang kupingé Niti ndadèkna atiné kaya disèsèt-sèsèt wilad. Jebulé suwarané Mbok Mirah sing lagi ngidung.

Ana kidung rumeksa ing wengi
teguh ayu luputa ing lara
luputa bilahi kabèh....


Suwara ngidungé Mbok Mirah, ngèmpèri bumi kegawa angin. Niti njanggleng nang ngingsor wit jati, nyipet oncoré. Bungkusan sing digawa tiba nang lemah. Dèwèké ora kuwat, krungu tembang sing lagi dikidungna Mbok Mirah. Sabisané dèwèké mbekep tangis nang jero dada. Tapi suwara kidungé Mbok Mirah ngrayap terus, gawé angresé ati.

Jin sètan datan purun
paneluhan tan ana wani
miwah panggawé ala
gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana
ngarah mring mami
guna duduk pan sirna....

“Ah....apa sing bakal kedadèn, nyong kudu nyampèkna kabar kiyé maring Mbok Mirah. Apa sing bakal kedadèn......” omongé Niti nang batin karo ngulap luh sing ujug-ujug nètès saka matané.
Saluguné atiné Mbok Mirah lagi susah. Mung perasaan kuwé ketutup gonèng pinteré Mbok Mirah nyimpen. Wis olih saminggu, sajegé Kartijah anak semata wayangé dadi prajurit nang Laskar Rakyat, ora balik. Saora-orané mèin kabar. Tapi, kosih saprèné laka britané.
Mbok Mirah trus ngidung. Tembé mandeg, waktu lawangé didodog-dodog kambèn Niti.
“Kula nuwun,” Niti ngucap salam.
“Sapa kuwé ya...?”
“Kula Mbok...”
“Kula sapa?”
“Kula, Niti. Rèncangé Kartijah....”
Mbol Mirah mbuka lawang. Endasé nglodod kambèn nyipitna matané. Latana ngongkon Niti manjing.
“Mangga nok. Cepet manjing”
“Nggih Mbok, matur nuwun”
Niti nglangkah mlebu trus jagong nang lincak. Suwara krèat-krèot plupuh dijagongi Niti. Mbok Mirah agè ngarti dong tamuné teka saka adoh, sebab krungu ambekané kayong megap-megap.
“Delengané kowen kesel ya nok? Saka ngendi sih?” takoné
“Sing Pakulaut Mboh. Tapi nginep rinyin teng rèncang nang Dèsa Pekiringan”
“Éh....ya adoh ya nok? Nginung dingin wis,” omongé Mbok Mirah kambèn nyawèl kendi sing nang mèja, latan banyuné dituwang nang centung trus diwèkena maring Niti. Ora suwé banyu diinung. Tenggorokané Niti krasa mbak nyes, logro.
“Bengi-bengi mèné dèwèkan, dongèné ana apa nok Niti?”
“Eee....niki Mbok. Kula niki kèngkènané Pak Komandan Kesatuan Komando Tegal sing dados pimpinané kula kalih Kartijah....” omongé Niti radan ndredeg.
“Ooo....dadi kowen kiyé prajurit kaya Kartijah?”
“Leres Mbok. Kula sing Laskar Rakyat, saperjuwangan karo Kartijah”
“Syukur...pantesan bengi-bengi kowen wani mèné dèwèkan. Bener nok, senajan kowen bocah wadon, kowen kudu mèlu bèla negara. Brejuwang nglawan Landa.”
“Nggih Mbok...”
Suwasana sanalika sepi. Suwara gèsèkan wit pring kaya suwarané udan kaprungu saka njero umah. Manuk-manuk bencè pating crowèt. Kèwan cecek wadon dioyok cecek lanang nang usuk umah. Cecek wadoné mlayu tapi trus dioyok gonèng cecek lanang. Suwé-suwé kecandak, gulu cecek wadoné dicokot. Sawetara buntut cecek lanangé uga trus ngglibed maring buntuté cecek wadon. Senajan buntut cecek wadoné mbanggèl-mbanggèl. Akhiré, antarané buntut kambèn buntut tumpang-tumpangan. Sauwisé kuwé, cecek wadoné latan mlayu. Cecek lanangé mung ngejor. Sing kaya kuwé, cara kèwan cecek kawin, ngendog, lan nganak.
“Kabaré si Kartijah pibèn nok?” Mbok Mirah nyuwèk sepi. Tapi sing ditakoni ora nyemaur. Malahan matané ngemu banyu. Mbok Mirah blèh weruh matané Niti, merkabak. Sebab matané Mbok Mirah wis lamur lan lampu umahé mung nganggo ceplik.
Mbok Mirah nyedeki Niti. Rambuté trus dielus-elus, ndadèkna Niti kemutan maring jenaté manèné. Sing kaya kuwé ufh! Gawé angres atiné Niti lan ora tegelé ngabari soal brita lelayuné Kartijah maring Mbok Mirah.
“Kabaré anaké enyong pibèn nok Niti?”
Niti ngunjal ambekan. Dikuwat-kuwatna perasaané. Sedelatan, matané uga mandeng maring rainé Mbok Mirah.
“Ngèten Mbok. Saduginé kula mriki, pancèné ajeng ngaturi kabar soal Kartijah...”
“Ana kabar apa nok?”
Ditegel-tegelna, Niti akhiré ngomong. “Sepisan kula nyuwun pangapurané Mbok. Kaping kalih, Mbok Mirah sampun gela. Soalipun....”
“Soalipun apa, nok?”
“Anu, anu....Mbok Mirah. Waktu Kartijah ditugasi dados mata-mata teng wilayah Kedungbantèng, piyambeké kecepeng Tentara Landa. Rencang-rencang saking Laskar Rakyat telat anggènipun nulungi. Dados saniki Kartijah sampun, sampun....”
“Sampun keprimèn nok Niki?” Mbok Mirah trus mleter pitakonan.
“Nyuwun ageng pangapurané Mbok. Yèn Kartijah niku saluguné, sampun.....sampun pe...pe..pejah. Malahan, Kartijah sampun dikubur teng Dèsa Semèdo.....”
Sanalika kuwé, Mbok Mirah ora rèaksi. Mung matané kosong nrawang, tapi embuh sing disawang apa. Jelasé baé, perasaané Niti mèlu ngrasakna apa sing dirasakna Mbok Mirah. Yakuwé prasaan kèlangan, nggrentes, lan gela.
Ora kuwat ngadepi suwasana sing kaya kuwé, ujug-ujug baé Niti nyikep Mbok Mirah kambèn nangis mingseg-mingseg. Dèné Mbok Mirah, lon-lon matané mili banyu trus ndlèwèr nang pipiné sing kisut.
Apa sing dirasa bengi kiyé gonèng Mbok Mirah karo Niti, kaya-kayané dijojrot perasaan klawu. Tangis layung-layung antarané Niti karo Mbok Mirah pecah. Dèn anggoné Niti nyikep Mbok Mirah sangsaya kenceng. Sung, dèwèké ora nyangka, Kartijah sing wis dianggep dadi mbakyuné, ndisiti lunga adoh maring Arsané Pengèran. Mung diantarané rasa gela kuwé, mègin baé Niti duwé rasa untung. Yakuwé sanalika jenaté Mbakyu Kartijah mèsin urip, ora kurang-kurang mèin pitutur.
Miturut Mbakyu Kartijah, sing arané wong urip kuwé bakal duwé aji adong sering gawé apik maring jalma menungsa. Lan pituturé kuwé nganti saiki tèsih dicekeli Niti.
Sikep-sikepan antarané wong loro, embuh suwèné pirang menit. Mung akhiré ucul dèwèk. Jagad gumirat rasané kaya-kaya dikokop sepi nggegirisi. Alon-alon, tangané Mbok Mirah ngelus-ngelus rambuté Niti.
“Duh Gusti.....anaké enyong semata wayang. Nyata temenan firasaté enyong. Ora pranti-prantiné enyong ngimpi. Nang umah kèné akèh wong pada kandegan pengantèné kowen. Duh Gusti....nyuwun ngapurané. Moga-moga Kartijah mlebu nang suwarga....” angluhé Mbok Mirah kambèn matané nrawang adoh.
Niti mègin nang pangkoné Mbok Mirah. Malah keturon. Ndèyan baé saking keselé campur nestapané urip sing ngintim-ngintim laka pedoté, dadi ora krasa keturon. Tembé tangi waktu ana angin nrabas mlebu umah lan dèwèké katisen.
“Sampun wayah napa, Mbok?” omongé Niti.
“Sedelat maning subuh, nok!”
“Nggih....kula badé nyuwun pamit, Mbok”
Mbok Mirah meneng. Niti menyat latana njukut bungkusan sing klalèn diwèkena maring Mbok Mirah. Ora suwé, bungkusan ditampa Mbok Mirah.
“Kula nyuwun pamit Mbok. Niki rasukané Kartijah. Kula badé pangkat saniki, soalé mpun dientosi rèncang-rèncang. Énten rembugan atur siasat kanggé nyerang Landa. Mbok....kula nyuwun idini pun” omongé Niti.
“Iya...iya. Kowen kabèh tak idini. Pesen karo komandané Kartijah, ya nok? Sangger enyong diprelokna, aja sungkan-sungkan nyambat. Enyong pèngin berjuwang”
“Nggih Mbok....kula pamit”
Anjog ngarep lawang Niti dianter. Angin tiris lan peteng dedet, ngindangi lungané Niti. Samana uga kidungé Mbok Mirah trus nggleser ngiringi langkahé Niti sing sangsaya ora katon, nembus maring asal peteng-dedeté Dèsa Kertaharja.

Ana kidung rumeksa ing wengi
teguh ayu luputa ing lara
luputa bilahi kabèh
jin sètan datan purun
paneluhan tan ana wani
miwah panggawé ala
gunaning wong luput
geni atemahan tira
maling adoh tan ana ngarah mring mami
guna duduk pan sirna.......


“Duh Gusti, anak wadoné enyong Kartijah. Sajegé enyong ngimpi kowen dadi pengantèn, enyong pitung dina pitung bengi ngidung. Bèn kowen sing lagi berjuwang slamet. Adoh sing blainé, adoh sing angkarané buta ijo. Tapi saiki, kowen wis lunga adoh.....mboké ikhlas, mboké ngerti apa sing lagi tak adepi. Duh Gusti....Gusti Ingkang Murbèng Dumadi. Urip, jodoh lan patiné menungsa, pancèn ana ning tangané Panjenengan. Sejatiné menungsa kuwé mung saderma nglakoni apa sing dadi kekarepané Gusti Pengeran. Dèn Kartijah kuwé wis nglakoni pepestèné urip. Saiki mung sandangané sing dadi bukti, sangger Kartijah kuwé tau urip neng alam dunya.....”
Kukuruyuk ayam jago kaprungu maring endi-endi ora. Kadangkala ditingkah jerit ayam alas. Nang njaba, langité katon terang warna abang, ganing semburaté wayah fajar. Sawetara kuwé Mbok Mirah mbuka bungkusan sing isiné sandangan kebayaké Kartijah. Dèwèké trus ngambungi kosih matané mbrebes mili.
Kebayak berkolin sing kebek cècèran getih garingé Kartijah, yakuwé kebayak berkolin kesayangan dèwèké, salah siji hadiah saka priyayi Pekalongan. Lan waktu saprana umuré Kartijah tembé limang taun.
Kebayak kesayangané Mbok Mirah kuwé, diwèkena maring Kartijah waktu dèwèké pamitan mèlu berjuwang. Mbok Mirah percaya, kebayak kuwé bakal nggawa nasib apik kaya dèwèké waktu jaman perawan tingting.
Pancèn, sewaktu Mbok Mirah dadi kemlandang sintrèn, urip penguripané top temenanan. Ora satitik wong-wong pada ngalem maring dèwèké. Salah siji bojoné Demang Warurejo, Kecamatan Warureja mènèhi kebayak berkolin kuwé. Lan sajegé kebayaké dienggo terus, rombongan sintrèn sing dikemlandangi dèwèké olih alem saka uwong uwong endi panggonan.
Kèlingan jaman kunamakuna, Mbok Mirah dadi nrawang adoh. Kèlingan maring jenaté Kartijah.
“Mbok....apa bener wong Landa kuwé wong jahat?” omongé Kartijah waktu saprana.
“Sing arané musuh ya jahat, nok”
“Dadi, Landa kuwé, musuhé wong-wong Jawa, Mbok?”
“Wis Kartijah....saiki wis bengi. Turu ya nok? Kowen cepeta gedé. Baktiné kowen karo negara dibutuhna, nok ayu...”
“Dong wis gedé, Kartijah pan dadi tentara wadon, Mbok...”
“Ya....”
Kemutan Kartijah jaman mèsih cilik, jiwané Mbok Mirah kayong kena aniaya. Dirasakna, dadané kaya dicocol. Brita patiné Kartijah, ibarat panganan nang tangan; ditampèl!
Manuk deruk mbekur kaprungu sadawané dina, kaya lagi nangisi nasibé Mbok Mirah sing laka watesé.
“Duh Gusti...kaprungu brita patiné Kartijah, dadané enyong ora kuwat nandang nasib sing kaya kiyé. Kartijah....Kartijah, saiki kowen nyusul bapané sing ninggal kowen awit bayi abang. Bapané kowen matiné sengsara nemen, nganti enyong dèwèk ora weruh pejaratané. Jarèné kanca-kanca, bapané kowen mati nang alas roban waktu digawa Landa mèlu kerja paksa. Duh Gusti....ora anak ora bojo matiné ganing Landa kabèh. Untung baé waktu kuwé, enyong bisa dadi kemlandang sintrèn, enyong bisa nggedékna kowen, ora kurang pangan. Duh Gusti...Gusti....moga-moga anak-bojoné enyong pada ditrima neng suwarga....”
Dinané sangsaya padang. Mbok Mirah molai krasa mopo. Matané bengep katon kuyu. Alon-alon dèwèké nggèlèng, diganjel bantal kebayak berkolin sing kebek getih garing. Mbok Mirah bener-bener ngantuk. Sandangan Kartijah dikekepi nang dadané. Tapi orabada, cangkemé ngidung lirih.


Kasmaran duh aningali
lampahing baita layar
katempuh prahara gedé
ngguling kerem ing samudra
dèné kang pada nunggang
kapinujon tuk pitulung
saking kapaling nahkoda.....



*


Bagian Papat

UMAHÉ Jayèng Laga disulap dadi markas pasukané Kaptèn Vantje van Dèck. Nang plataran ngarep, ana menara duwur dilengkapi soklè. Gunané nggo ngawasi, utamané maring musuh. Nang kono dijaga serdadu jumlahé loro nyangklong senjata. Mbang wètan markas, ana jaran pitu lagi dicangcang. Jaran-jaran kuwé, barang rampasan saka penduduk Dèsa Rancawiru, Kecamatan Pangkah.
Sepuluh serdadu Landa campur wong-wong Jawa jejagongan nang tritisan. Sèrsan Flour, Kopral Parirèa, Kopral Conrad lan Kopral Nur Juwèr nang ruwangan ngarep pada ngobrol, krungu lamat-lamat Kaptèn Vantje van Dèck nakoni Bekel Subur nang ruwangan tengah. Uga ana Jayèng Laga sing lagi mandeng ngina maring Bekel Subur. Kondisiné Subur lagi dibanda.
“Bekel Subur! Kowé orang akan saya bebaskan, kalau kowé orang mau menunjukkan ke mana tentara-tentara republik bersembunyi. Kami sangat dibikin repot oleh kowé orang-orang, sehingga penyerangan ke Jogja sampai tertunda karena ekstrimis-ektrimis Tegal membakar seluruh kota, juga merobohkan jembatan. Én kowé orang musti kasih tahu ke mana mereka. Jawab, Bekel Subur!!”
“Saya tidak tahu, Meneer...” semauré Bekel Subur.
“Kasih tahu, maka kowé orang saya bebaskan!”
Bèbas? Wah, bener-bener ora tinemu akal. Bangsa Landa sing kesohor liciké, blèh bakalan mbebasna para tahanan. Bekel Subuh paham nemen akal bulusé Landa. Akèh contoné, sing arané Landa kuwé pancèn licik. Gorohé ngletek. Contoné kaya waktu pahlawan Diponegoro, Landa apèn-apèn bala lan moniné pan brunding. Nyatané? Wuih! Pangeran Diponegoro kur diapus janji, ditangkep lan akhiré dibuwang. Sing kaya kuwé, nganti saprèné dadi penngèling-élingé Bekel Subur. Dadi Bekel Subur pan ditawani bèbas? Dobol ka, bèbas-bèbas entut burut? Bèbas waduk dilembag?
“Saya tidak tahu, Meneer” omongé Bekel Subur.
“Jangan bodoh. Kowé orang Tegal, pasti tahu!” sentak Kaptèn Vantje van Dèck.
“Tidak semua orang Tegal tahu, Meneer! Dan tidak semua orang Tegal mau mengabdi kepada bangsa Meneer seperti pengkhianat Jayèng Laga, rela membunuh bangsanya sendiri....”
Ngrasa disudutna, Jayèng Laga gemremet, tangané nggegem ngancam. Bekel Subur mesem culag, nyawang Jayèng Laga.
“Bedebah! Saya tidak peduli keterangan itu, Bekel Subur?! Yang penting kowé orang kasih tahu di mana tempat persembunyian orang-orang republik!”
“Rakyat Tegal dan para pejuang, tidak akan membiarkan mereka ditangkap. Mereka pasti akan mengobarkan perlawanan sampai titik darah penghabisan” semauré Bekel Subur nandes, ngemu nada ngècé.
“Jangan bodoh. Mereka adalah pemberontak yang menyebabkan divisi kami ke Jogja tertunda, tahu ?!”
Matané Kaptèn Vantje van Dèck mentelengi Bekel Subur. Rainé angas.
“Meneer, Jogja adalah bagian dari republik ini. Para pejuang pasti tidak akan tinggal diam kalau ada daerah manapun yang diusik bangsa asing” omongé Bekel Subur ora kalah sengité mandeng Kaptèn Vantje van Dèck.
“Gotverdomme zegh! Saya tidak mau tahu itu, Subur!!”
Dugalé Kaptèn Vantje van Dèck tambah sagulu. Kalah juweté, batuké Bekel Subur dikepruk nganggo gagang pèstol. Mbak crot! Getih abang branang muncrat saka batuké Bekel Subur. Pengpengan endasé dikepruk. Mung baé dèwèké apèn-apèn mènjep, nahan lara.
“Dia pasti tahu ke mana pemimpin-pemimpin perjuang bersembunyi, Tuan Kaptèn” ujug-ujug Jayèng Laga nyrandu.
Krungu omongan kaya kuwè, Bekel Subur culag saporèté maring Jayèng Laga.
“Biadab! Kowen aja sambat kaniaya Jayèng. Entèni baé walesané kanca batir!”
“Ora susah kakèhen cocot, Subur! Rasakna walesané enyong saiki!” omongé Jayèng Laga kambèn gemuyu ngècé.
Kaptèn Vantje van Dèck, blèh ngarti apa sing diomongna wong loro. Dèwèké ora mudeng maring basa tegalan.
“Jayèng Laga...!”
“Ya,.Tuan Kaptèn....” semauré Jayèng Laga.
“Kowé orang yakin kalau Bekel Subur tahu ke mana larinya pembrontak-pembrontak republik?”
“Berani sumpah Tuan Kaptèn. Bekel Subur pasti tahu semuanya. Baru saja dia mengancam bahwa pejuang-pejuang republik akan bunuh saya dan Tuan Kapten.....” omongé Jayèng Laga adu-adu.
“Jangan percaya, Meneer. Jojoh raimu, Jayèng! Kowen pancèn ora pantes dadi menungsa. Tegel-tegelé kowen adol bangsané dèwèk maring Landa. Asu tengik, raimu! Dobol....!!!”
“Enyong pancèn tengik, dobol Subur! Tapi raimu luwih badeg. Badeg ledreg! Apa kowen ora rumangsa waktu kodrah bekel, raimu nyrimpung? Raimu sekongkelan karo wong-wong nduwuran?! Kuwé sebabé enyong ora dilulusna. Enyong kelara-lara Subuuurrr......” semauré Jayeng Laga blèh kalah sengité.
“Dongé tah kowen ngaca Jayèng. Kepribèn kowen pan lulus, wong nyatané kowen bodo lido! Apa dadiné adong rayat dipimpin wong sing ora mambu bangku sekolahan, éh? Toli kowen ya wis dicap, kowen kuwé bekas lenggaong....”
“Enyong dadi lenggaong tah....ora neng daerah Tegal oh....”
“Tapi Jayèng. Kejahatané kowen sing ora bisa diampuni rayat, krana sokan ndemeni bojoné uwong. Angger ana wadon mlisning, matané kowen ijo. Kowen kenang-sepata! Pira baé, kowen ngrusak rumahtanggané uwong, éh?!”
“Raimu wadul karo wong nduwuran kaya kuwé? Mugané enyong ora dilulusna nang kodrah bekel? Raimu pancèn asu!!”
“Dasaré dudu kaya kuwé Jayèng. Dasaré.....”
“Ora percaya babar blas! Raimu rusuh ya rusuh. Badeg! Saiki aja takon dosa, dina kiyé raimu bakal dipatèni....” Jayèng Laga, motong omongané Bekel Subur.
“Luwih aji enyong mati, ketimbang dadi penjilat kaya kowen”
Gentong-sauran antara Jayèng Laga kambèn Bekel Subur, sangsaya ruket. Wong loro pada nduwak-nduwak, pada ngomong asu dobol, bangsèt lan ngomong sing blèh pakra. Kaptèn Vantjé van Dèck gobogé nganti budeg. Kalah sèwoté nggebrag mèja.
“Diam kalian!”
“Maaf Tuan Kaptèn. Dia membujuk saya agar mau bergabung dengannya untuk melawan Tuan...” semauré Jayèng Laga adu-adu. Bekel Subur matané dadi mendelik lan atiné culag pol-polan.
“Kunyuk alas! Lasdrag kowen nyocot Jayèng..... jangan percaya dia Meneer!” omongé Bekel Subur.
“Modar saiki kowen, Subur!”
“Curut!” semauré Bekel Subur.
“Tuan Kaptèn! Orang seperti Bekel Subur jangan dikasih ampun. Cambuk dengan rotan, biar bedebah ini mau bicara. Dia itu kaum pemberontak Tuan, perlu dikasih pelajaran” omongé Jayèng Laga mancing dugalé Kaptèn Vantje van Dèck. Dèn bener baé, omongané Jayèng Laga digugu temenan.
Ya! Kaé delengen, sorot matané Kaptèn Vantje van Dèck abang branang. Otot-otot guluné pada manteng. Dèwèké latan njukut kayu penjalin sing dawané samèter. Trus kambèn ngadeg mentang, jangguté Bekel Subur diangkat gonèng pucuké kayu. Jayèng Laga ngumbar ésem nonton Bekel Subur bakal diemplo-emplo gonèng Kaptèn Vantje van Dèck.
“Bekel Subur. Sekarang kowé orang tinggal pilih, mau buka mulut atau rotan ini yang bicara? Katakan di mana pemberontak itu?!” omongé Kaptèn Vantje van Dèck kambèn ngamang-ngamang kayu penjalin.
“Jangan paksa saya untuk buka mulut Meneer. Saya tidak tahu. Saya tidak tahu apa-apa” jawabé Bekel Subur.
“Bekel Subur.....”
“Iya Meneer......”
“Kalau kowé orang buka mulut, saya berjanji tidak akan mengganggu Kota Tegal lagi. En.....kowé orang akan segera saya bebaskan kalau para pemberontak itu sudah saya tangkap!”
“Saya tidak tahu, Meneer....”
“Jadi kowé orang lebih peduli pada pemberontak-pemberontak daripada nyawa kowé orang sendiri, Subur? Baik! Baik, Bekel Subur.....”
Kaptèn Vantje van Dèck culag. Matané sangsaya abang mèrèt. Akhiré kayu penjalin sing dicekel disabet-sabetna maring awaké Bekel Subur. Sambat kaniaya Bekel Subur ngrasakna sabetan. Getih mantur sing pilingané, kempongané, gegeré, lan liya-liyané.
“Kowé orang mau buka mulut apa ini rotan yang bicara Subur?”
“Saya tidak tahu!”
“Kalau kowé orang tidak tahu, siap yang tahu?”
Laka jawaban. Kaptèn Vantje van Dèck nyabeti saporèté. Malahan ora mung disabet-sabetni gèl, tapikèn Bekel Subur ditendang uga kosih kontal adoh saking kerasé. Jogan kebek cècèran getih. Bekel Subur dadi laka dayané. Jayèng Laga manggut-manggut karo mesem, atiné bungah!
“Kopral Conrad! Kopral Parirèa...!!” suwara Kaptèn Vanje van Dèck nggema.
Ora suwé wong loro ngadep maring Kaptèn Vantje van Dèck.
“Siap Kaptèn!”
“Bawa ini orang ke dalam kerangkeng!”
Kopral Conrad lan Kopral Parirèa nyerèt Bekel Subur sisan kursiné. Bekel Subur trus dilebokna nang tahanan. Kaptèn Vantje van Dèck lemes, lempè-lempè. Kringeté tos-tosan kaya kas macul.

*

Bagian Lima

AYANG-AYANG wulan ngambang nang tengah-tengah Kali Cacaban. Watu gedèné sakebo-kebo kinclong-kinclong kesorot cahyané wulan. Anginé, duh anginé, semriwing ngelus-ngelus wit-witan.
Waw! Sapa kaé yah? Ayang-ayang menungsa apa klèntabé sètan sing nlusup mlipir kali, sanjeroné sepi wingit? Éh, lah kaé bocahé! Jebulé Catim, Jènggèr lan Niti. Wong telu kaé, pada bludas-bludus nang alas pring wilayah Kedung Pulek, Dèsa Sumingkir, Kecamatan Kedungbantèng. Wong telu bablas nuju ngalor, nlusup maring Pedukuhan Rawa.
Ujug-ujug, Catim mèin isyarat maring jakwir loroné. Maksudé kon ndekem. Saka kadohan, wong telu nyawang umahé Jayèng Laga sing mawujud dadi markas Landa.
“Waspada....waspada.....”
“Hisssssss....meneng. Meneng......”
Jènggèr ngongkon Niti karo Catim supaya meneng. Dèwèké weruh ana klèntabé serdadu Landa lagi gèjlèg maring kebon. Tekan jèjèré wit gedé, mburi markas, dèwèké latan mbuka slèrètan clana. Trus cuuurrr, nguyuh. Catim pèngin ngakak, tapi cangkemé agé-agé dibekep. Sawetara, Niti mlèngos weruh barangé wong lanang sing kesorot cahya wulan.
Niti mbalang watu. Gyayapan, wong sing lagi nguyuh kaé nuju asal suwara. Pikiré, wohwohan pelem mateng, tiba. Agé-agé Niti atur siasat. Catim karo Jènggèr ditugasi kon mbekuk. Catim karo Jènggèr ngrayap nang rungseban kaya ula. Gelisan crita, guluné Landa sing lagi gusrek nggolèti wowohan tiba dikiting gonèng Jènggèr. Catim mbantu mbekep cangkemé. Serdadu kuwé trus disèrèt ngadohi markas.
“U...uugh....ughhh.......sa.....sapa, kiyé “
Jènggèr trus nyerèt. Akhiré serdadu Landané dibanda nang wit-witan.
“Enyong pan diapakna kiyé. Bisané enyong dibanda?”
“Raimu jebulé bisa ngomong Tegal, ya?” omongé Jènggèr
“Enyong pancèn wong Jawa”
“Raimu Jawa ngendi?”
“Enyong wong Tegal. Asli Dèsa Pecangakan”
“Oh...Pecangakan Adiwerna?” takoné Catim.
“Iya,”
“Bisané raimu mèlu Landa?”
“Enyong mèlu Landa, soalé dibayar,”
“Alesané apa, kowen mèlu Landa?” Catim ndedes.
“Enyong butuh mangan”
“Butuh mangan bisané dadi cecunguké Landa, musuhi bangsané dèwèk, hé?”
“Enyong kepaksa”
“Raimu mung alesan. Raimu ora duwé prasaan. Dasar asu, raimu ya asu!”
“Raimu arané sapa, bol?” Jènggèr takon.
Laka jawaban. Jènggèr nyunug wetengé.
“Raimu ditakoni meneng getem? Ora gelem semaur? Raimu pengin tak patèni apa pimèn, éh? Raimu arané sapa, bangsèt! Gagiyan ngomong”
“Eee...nyong, Nur Juwèr,”
“Nur Juwèr?” Jènggèr balik takon.
“Ya”
“Raimu ora goroh? Arané Nur Juwèr?” Niti nyuwara.
“Ya. Awit cilik arané enyong pancèn kuwé. Nyong ora goroh”
“Tapi raimu pada-pada wong Jawané, ka gelem-gelemé dadi antèk-antèké Landa? Kiyé arané, raimu bangsèt! Paham? Saiki nyong pan takon, kowen mestiné ngarti nang endi Bekel Subur ditahan?”
Nur Juwèr ora semaur. Bab kuwé sing ndadèkna Niti atiné kemropok. “Gagiyan walèh. Kowen wis bosen urip apa kepibèn?”
Niti ora mung ngomong gèl, tapi uga ngamang-ngamang nganggo blati. Nur Juwèr mrekitik, weruh blati mingis-mingis kesorot cahya wulan sing nrobos gegodongan. Gonèng Niti, blati latan ditèmpèlna nang tenggorokané Nur Juwèr.
“Cepet ngomong bangsèt!” suwara Niti diteken nang gulu.
“Iya, iya.....Bekel Subur ditahan neng kamar mburi”
“Raimu mustiné ngarti kyèh. Sapa sing mateni Kartijah?”
“Enyong blèh ngarti, sapa kuwé....” semauré Nur Juwèr. Tapi ketara nemen, adong cangkemé ndredeg. Kiyé sing ndadèna curigané Niti.
“Enyong ora ngandel. Raimu aja apèn-apèn ora paham. Sapa?”
“Embuh....” omongané Nur Juwèr sangsaya ndedeg. Bayangan rainé Kartijah ujug-ujug nggambar nang matané. Dadané Kartijah sing koprot getih, guluné sing sèngklèh, rambuté Kartijah sing dawa, lan sakabèhané sing ana nang Kartijah, ngawengi maring dèwèké. Ujug-ujug Nur Juwèr mèwèk.
“Enyong ora salah, enyong ora salah....enyong kepaksa. Enyong aja dipatèni, bojoné enyong ngko mèlu sapa? Temenan, enyong kepaksa! Enyong kepaksa, enyong....” omongé Nur Juwèr.
“Oh....dadi sing matèni Kartijah kowen?” takoné Catim karo mantuk-mantuk.
“Sung! Enyong kepaksa....”
Krungu jawaban Nur Juwèr, rainé Niti sangsaya abang mbranang. Sawangané pet-petan. Ujug-ujug, dèwèké kemutan maring uwong-uwong sing tau perek karo dèwèké. Gambaran rainé Abahé, jogrogé Mbok Mirah, suwarginé Kartijah, lan gambaran saklèntaban rainé komandan perjuwangané sing mèin tugas suci. Saterusé, Niti kaya kelebon sètan. Blati ditublesna maring ulu atiné Nur Juwèr. Bles...bles....bles!
Jeritan Nur Juwèr mèh baé nggentawang nang bengi nyenyet. Untung baé Jènggèr mbètong cangkemé, suwarané Nur Juwèr dadi ora kewetu.
“Ya Allah....ngapurané dosané kula.....” Niti istighfar. Tangané glopot getih uga sandangané.
“Kowen ora salah Ti. Bajingan kaya Nur Juwèr, pantesé olih ganjaran ala sing kaya kuwé” lipur Jènggèr.
“Iya Jèng, enyong ora sranta”
“Wis gagiyan. Saiki nulungi Bekel Subur”
Kanggo mastikna Nur Juwèr mati, Catim nggrayangi dadané. Ambekané pancèn wis pedot. Tapi getihé Nur Juwèr mantur terus kaya combèran lagi mangsa rendeng.
“Wis modar, Jèng....”
Mayidé Nur Juwèr diblesekna nang rungseban. Wong telu gagiyan nlusup nang samping umahé Jayèng Laga. Pas nang wit albasia, Jènggèr ngandeg Niti lan Cantim. Lamat-lamat, wong telu krungu lelagon rengeng-rengeng kegawa angin.

Yun ayun, ayun badan
badan siji gawèné dilarani
mèlu Landa dipun siksa
saben dina kerja paksa........

“Jèng, abané kaé suwarané Bekel Subur. Krungu?” omongé Niti.
Catim kambèn Jènggèr mastikna suwara kuwé mau. Kupingé dipasang temenan.

Urip sepisan terus sengsara
mulané pèngin merdèka
ayo ayo para muda
sujud syukur marang Kang Kuasa.....

“Iya....iya Ti. Enyong krungu. Kowen krungu?”
“Jelas nemen. Bekel Subur kayongé lagi puji-pujian!”
Ya! Kaé suwarané Bekel Subur. Saiki pas nemen waktuné nggo molai mbales kesumat, pikiré Niti. Wong telu trus srag-sreg atur siasat. Niti nyiapna lenga tanah nggo ngobong markas. Jènggèr ngetokna lemah pejaratan sing kabungkus mori putih. Lemah alus saka gelu wong mati kanyaran, dijukut Jènggèr waktu malem Jemuah Kliwon. Jènggèng duwé niat mratèkna ilmu sirep, bèn serdadu-serdadu Landa pada turu.
Mantep siasat, Jènggèr molai umis-umis. Matané merem, sauwisé kuwé lemah geluné dikepyurna nang plataran markas Landa, trus nang gendèng. Ora suwé, Landa-landa mau pada angob. Pasukan Landa akhiré pada turu kabèh, malah ana sing ngorok karo ileré ndlèwèr njijèni.
Dimik-dimik, Jènggèr karo Catim manjing umah. Wong loro sabisané ngindari soroté soklé penjagaan. Niti ora kalah gerakané, nang jaba dèwèké ngguyur bensin maring tèmbok-tèmbok markas.
Jènggèr kambèn Catim, weruh penjaga markas lagi pada turu. Catim kamitenggengen éram maring ilmu sirepé Jènggèr. Catim ora nyangka adong Jènggèr jebulé duwé kepinteran kaya kuwé. Ilmu sirep sing diplajari Jènggèr saka jasak Sargad asal Cirebon, jebulé bisa diandelna keampuhané.
Anjog nang njero, wong loro pada ngrajuk weruh Bekel Subur dicangcang nang kursi. Getih garing, pating tlètèk nang ngingor kursiné Bekel Subur. Awaké wuda klambi, pating njlèdor bekas ukuman cambuk.
Nganggo kunci colongan, lawang dibuka. Gelisan, Catim kalawan Jènggèr marani Bekel Subur.
“Sssstttt....Bekelé, bekelé.... Kiyé enyong, Catim karo Jènggèr,” omongé Catim. Lon-lon matané Bekel Subur melèk.
“Catim karo Jènggèr? Bisa anjog nang kèné, ya?”
“Sssstttt....aja seru-seru. Ngko wong-wong pada tangi” omongé Catim kambèn ngudari tali sing nggubed awaké Bekel Subur.
“Wis gagiyan Tim. Gelisan metu sing kèné” omongé Bekel Subur.
“Bener Tim. Waktuné kesusu entong. Tak bantu mapah Bekelé ya?” omongé Jènggèr.
“Ora susah Jèng, enyong mèsih sanggup nggèndong Bekelé”
“Iy wis. Sing ati-ati...”
“Ocèh! Merdèka....”
“Merdèka....”
Catim lunga sing njero markas, metu lawang iringan. Samana uga Jènggèr, cepet nemoni Niti.
“Pibèn Jèng?” takoné Niti.
“Bères”
“Bères, bères pibèn?”
“Bekelé karo Catim”
“Sip!”
“Pibèn Ti? Tèmbok markas wis disiram bensin?”
“Bèrès Jèng. Tapi ora kabèh. Mung iringan sisih kiwa tok. Nggawané tanggung, mung sajrigèn Jèng”
“Wis ora papa. Nggo ruwed-ruwed, bèn gègèr”
Saka njero markas, ujug-ujug ana suwara ribut-ribut. Suwarané kaprungu maring kupingé wong loro.
“Tahanan lepas, tahanan lepas.....!!”
Agé-agé Niti karo Jènggèr ngecrès korèk. Tèmbok markas diobong. Geni sadèlatan mrèmbèt menduwur. Wong-wong sing ana nang markas pada pating kedebugan. Kagèt weruh ana geni mulad-mulad.
“Kebakaran....kebakaran....”
“Kobongan...kobongan...”
Suwasana kisruh. Puluan serdadu Landa oreg pada mlayu nyangking émber, nggawa banyu. Geni sing mulad-mulad latané disiram. Ora sranta, tangané Jènggèr trus narik tangané Niti ngadohi markas. Wong loro mlayu ngidul, nang antarané wit-witan.
“Lapor Kaptèn! Tahanan lepas! Markas kebakaran”
“Gotverdomme zegh! Tolol, tolol! Suruh separo anak buahmu tangkap itu tahanan. En....suruh yang lain matikan itu api, Lètnan van Baco!”
“Siap Kaptèn!”
Lètnan van Baco gagiyan metu saka ruwangan Kaptèn Vantje van Dèck. Dèwèké latan gita-gita.
“Sersan Flour...!”
“Siap Lètnan....!!”
“Segera tangkap itu orang-orang ekstrimis. Suruh pasukan kuda kejar mereka. Jangan sampai lepas”
“Baik Lètnan”
“Lapor Lètnan. Kami menemukan Kopral Nur Juwèr tewas. Mayatnya ada di semak bawah pohon sawo!”
“Gotverdomme zegh....!! Orang-orang republik itu harus kamu tangkap, hidup atau mati”
“Siap Lètnan!”


*

Niti karo Jènggèr trus mlayu mangidul. Arah kidul sengaja dipilih, bèn Catim karo Bekel Subur aman saka kejaran pasukan Landa sing nggunakna jaran.
“Cepet Ti! Mlayu ngidul, terus...terus ngidul”
Orabada, Jènggèr tiba konseb lan gempulingan. Cangkemé mringis. Sedeng tangan loroné nyekeli jempol sikilé sing powal, kepaduk bogol wit nangka. Getihé kucuran.
“Gagiyan tangi Jèng” ajakané Niti.
Abot alot, Jènggèr menyat. Gèsar-gèsèr ngèngsod mèbèd wit jati gedé. Pasukan Landa latan ngejar karo nggawa sènter. Sangsaya perek sangsaya perek. Niti panik weruh jempol sikilé Jènggèr getihé nètès-nètès saka soroté sènteré Landa sing trus nyototi maring Jènggèr. Akhiré, sangking ora kuwaté, Jènggèr ngedèprok nang lemah ora bisa apa-apa.
“Itu mereka! Tembaaakkkkk....”
Pluru mlesat ngantem awaké Jènggèr. Niti weruh Jènggèr gempulingan saka soroté cahya wulan lan soroté sènter.
“Jèng......” suwarané Niti kebekep nang gulu. Dèwèké ora tegel ninggal Jènggèr. Niti marani lan nyedek maring Jènggèr.
“Tiii..... aja urusan enyong. Mana kowen mlayu”
“Paksa Jèng. Ayo mlayu bareng....”
“Enyong blèh kuwat Ti. Kowen baé, cepet mlayu...”
“Paksa Jèng, paksa....”
“Nyong blèh kuwat Ti. Tulung titip jasaké enyong ya? Sampèkna salamé enyong maring ....Mar...Yu Mar.....”
“Jèng, nyebut maring sing Nggawé Urip, Jèng....”
“Ya....Allah Gusti Pengèrané enyong....Mer....mer...de....kaaaa....”
Nang bengi sing dirasa sangsaya angas, anginé gemrudug ngobat-ngabitna godong-godong. Gerimis banyu mata nètès nang pipiné Niti. Bukti tangis lelayuné Niti maring perjuwangané Jènggèr, sing laka padané.
“Jèng.....Mer....de....kaaaa!!”
Katembung kuwé sing bisa dirungokna daning Jènggèr. Saterusé, jagadé sepi. Nggrentesi. Ora suwé serdadu-serdadu Landa, ngepung Niti.
“Tangkap itu Nona. Serahkan pada Kaptèn,”
Sajeroné duka lara, Niti nglepas patiné Jènggèr. Dèwèké pasrah waktu tangané dibanda terus dilarak Kopral Conrad. Gerimis banyu matané mili deres. Awaké Jènggèr sing ngglètak nang lemah, ora ucul saka sawangané Niti. Muga-mugaha jasadé Jènggèr, ditemukna kanca batir, omongé Niti nang ati.
Oh...sajegé kanca-kancané Niti pada ninggal, rasa nasionalismené Niti dadi sangsaya kandel. Saiki, laka maning sing dibèla kejaba tanah airé sing ditresnani.
Pasukan Landa trus nggawa Niti, nembus dalan-dalan sing kebek wit-witan. Rungsebé alang-alang, uga ditrabas. Lan benginé sangsaya dalu, koprot lelara!


*

Langit sintru. Jagadé kaya-kaya nggelar hawa jahat. Sepi nggilani tur pati angin pisan. Nang wuwungan, manuk gagak bengak-bengok nambah mrekitiké suwasana. Embuh sing endi parané, sagrombol manuk gagak gemrudug teka, uga pada bengak-bengok. Sangsaya suwé, dirasa sangsaya seru ngundang bala-balané. Ora étungan, manuk kuwé pada mènclok ngebeki wuwungan. Suwasana bengi sing pancèné wis peteng, katon ireng pisan kaya angus bokong wajan.
Bengok-bengoké éwonan manuk gagak, tambah gembladag atas. Paribasan kaya bledèg sing ngampar-ngampar nang wayah awan. Otomatis baé, wong-wong sing lagi turu kagèté dubilah belis. Pating pendirangan uwong-uwong metu maring njaba umah.
Nang njaba, wong-wong kampung weruh éwonan manuk gagak nang wuwungan, sangsaya dadi kèder. Sung busung, wong-wong ora mudeng, arep pan ana apa lan pan kepimèn.
Sajeroné uwong-uwong pada kenang kèder, éwonan manuk kuwé nyublek mengingsor, latané nyerbu notoli matané uwong-uwong. Oh, blèh mung notoli, tapikèn sakujur awaké dicakar-cakar nganti pating blarud. Dobal temen éwonan manuk gagak mangsa menungsa kaya pan sadèsa.
Ana satengah jam ndèyané, kedadèn kuwé ngèdap-ngèdapi. Benginé rasa-rasané kaya dikokop prahara. Nang endi-endi ora, getih ndladrah. Pating blangsak mayid-mayid pada ngglètak nang lemah.
Gurung marem, éwonan manuk gagak yagyagan ngas-ngasan nggolèti mangsa. Manuk-manuk gagak mider-mider nang nduwur umah. Mata kucilané kaya mata kucing mandung.
Saka pusat peteng dedet, ujug-ujug ana salah siji uwong lanang nongol. Jebulé Jènggèr. Dèwèké kamitenggengen weruh warga kampungé pada njengkangkang nang lemah wis dadi mayid. Wujudé laka sing peta. Sandangané rodal-radil, jan awaké pada blarud-blarud. Sedeng cungur lan matané pada gowang. Mambu getih nyegrak nang cunguré Jènggèr. Atiné Jènggèr mrekitik weruh bab kuwé, tapi jan ora ngerti apa sing tembé kedadèn.
“Ya Gusti....apa sing tembé kedadèn? Aniaya apa kiyé Gusti? Éwonan manungsa rodal-radil pating njengkangkang nang lemah kaya kas ana bencana alam”
Langka pedoté, Jènggèr takon maring awaké dèwèk. Tapi langka jawabé. Dèwèké ngrasa kaya pan linglung. Tapi ujug-ujug, dèwèké krungu ana suwara kemropok. Sangsaya diemat-emat, suwarané kaya gemuruhé angin lisus sing mobat-mabit. Buminé kaya diinteri.
“Oh....suwara apa kiyé? Gobogé enyong kaya-kaya pan pecah. Langit laksana disigar, lan jagadé kaya pan mbledos. Oh! Warna ireng sing mlesat gitir marani maring enyong apa ya?”
Jènggèr krasa ngadegé ora jejeg. Endasé kliyengan. Dèwèké gentoyoran kaya wong pandom. Saka patang penjuru angin, éwonan manuk gagak mau ngudag-ngudag. Ora ba ora bu, manuk-manuk gagak nyerang. Jènggèr ngindar. Tapi éwonan manuk kaé pada nyerbu lan notoli endasé, matané, nganti Jènggèr klojotan, lan ngosèk nang lemah kaya motor lagi banter-banteré mlayu, nabrak trotoar dalan.
Gonèng éwonan manuk gagak, awaké Jènggèr dicengkerem latan digawa mabur nuju ngalor. Bablas maring segara. Saterusé, awaké Jènggèr digeblogna nang watu cadas.
“Aaaaaaaa.......”
“Mar, Mar....nyebut, nyebut.....” tangan Mbok Mirah ngoyag-ngoyag awaké Yu Mar.
Krasa ana sing ngorog-ngorog awaké, Yu Mar gyayapan tangi. Kringet anyebé gemrojos nang awaké. Sawetara ambekané ngos-ngosan paribasané kaya digedag-gedag sètan.
“Ya Allah....pan ana apa ya?” Yu Mar ngomong dèwèk.
“Kowen ngimpi?”
“Iya Mbok. Durung pernah nyong ngimpi ngèdap-ngèdapi kaya kiyé”
“Kowon ngimpi apa sih Mar?”
“Nyong ngimpi wong-wong kampung dimangsa éwonan manuk gagak. Wong-wong pada mati kabèh. Termasuk Kang Jènggèr. Pan ana apa ya, Mbok?”
“Alaa....ngimpi kuwé kembangé wong turu”
“Tapi kiyé mrekikiti nemen Mbok Mirah” kringeté Yu Mar katon byuk-byuken.
“Wis lah Mar, aja dawa-dawa digagas. Mbokan kedadèn temenan. Turu maning baé wis”
“Nyong wedi nemen Mbok. Mbokata impèné dadi katemahan, Jènggèr sing lagi berjuwang nemu blai”
“Hiss.....aja ngomong kaya kuwé. Jejaluk baé maring Pengèran, bèn laka sambékala. Saiki kowen turu maning wis, tenagané nggo ngèsuk”
Mbok Mirah trus dedongan lèwat kidung.

Ana kidung rumeksa ing wengi
teguh ayu luputa ing lara
luputa bilahi kabèh
jin sètan datan purun
paneluhan tan ana wani
miwah panggawé ala
gunaning wong luput
geni atemahan tira
maling adoh tan ana ngarah mring mami
guna duduk pan sirna.......

Nyatané Yu Mar ora bisa turu. Nganti tekané jago kluruk, matané mèsih melèk mecicil. Mikiri impèné lan nasibé Jènggèr.


*


Impèné Yu Mar ora baèn-baèn. Jebulé dadi katemahan. Kabar patiné Jènggèr, ditampa liwat kanca. Limbung rasa jiwané Yu Mar nrima kabar kuwé. Ora ngira ora nyangka, impèn éwonan manuk gagak, bener dadi tetenger dèwèké pan ketiban cobaan gedé.
“Omongané enyong dadi katemahan kan Mbok? Impèné enyong, bener-bener gudu kembangé turu. Nyata temenan calon lakiné enyong mati ketèmbak. Pan gatolan
maring sapa maning uripé enyong, Mbok? Kayong kaniaya temen nasib awaké enyong....”
Yu Mar nangis ngglolo. Banyu matané ditokna saporèté. Mbok Mirah tibané nglegleg. Bener temen omongé Yu Mar. Impèné jebul-jebul dadi kasunyatan. Mbok Mirah dadi kemutan maring suwarginé Kartijah, anak wadon semata wayangé.
Waktu saprana, sadurungé Kartijah mati ketembak sajeroné berjuwang, uga tandané liwat ngimpi. Saiki diranapi gonèng Yu Mar, tandané ya liwat ngimpi.
Pan gatolan maring sapa maning uripè enyong Mbok? Kuwé pitakonané Yu Mar. Ya! Dong diurut-urut, Yu Mar saiki wis ora duwé sapa-sapa maning. Manèné, Bapané, Mbok kwaloné, lan liya-liyané pada kukud nemu pati kabèh. Saiki mung siji til-til Yu Mar urip dèwèkan.
Ah ya ya! Dariyah, manèné Yu Mar. Ora nana, waktu dèwèké mèsih bayi abang. Kira-kira umur Marniti aran asliné Yu Mar, mèsih patang wulan. Jaré wong pinter, Manèné mati jalaran digawé uwong. Critané kaya kiyé.
Waktu samana, Dariyah salah siji bakul buah nang Stamplat Bis Tegal. Dèwèké duwé pengasong arané Wastap. Uwongé sregep, jujur, lan dedeg pengadegé gedé duwur. Kebeneran baé, Dariyah durung duwé laki. Kena diomong, Dariyah prawan kasep.
Saluguné tah, akèh wong lanang sing pada niba-tangi maring dèwèké. Mung Dariyah sok pilih-pilih. Ora satitik wong lanang pada nglamar, ditolak. Alesané gurung nemu laki sing pas. Suwé-suwé, wong lanang sing pan marek dèwèké sungkan. Akhiré, Dariyah kelèr-kelèr. Dèwèké dadi prawan tuwa.
Saiki muncul Wastap lan kayong-kayongé dèwèké duwé sih. Mangkané blèh éram adong Dariyah sering ngajak Wastap ngancani kulak buah-buhan nang Bumijawa.
Sawetara Wastapé dèwèk uga ana radané. Mung dèwèké ngrumangsani, drajaté kur pedagang asongan. Saben dina mung dadi tukang adol buahé Dariyah, ndadèkna sih dèwèké maring Dariyah cukup dibekep nang ati. Kantek sih ora, mung blèh wani terus terang. Tapi sing arané jodoh, ora kaya kuwé. Ora mandeng apa wong kuwé bagus, tuwa, atawa mlarat. Majikan atawa buruh. Sing arané katresnan, jebulé ora ngukur drajat sing kaya kuwé. Sebab, gudu plajaran Matematika sing kebek rumus-rumus. Dikuncèn nana digedong ngana, sing arané jodoh tetep jodoh. Lan nyatané, iya kaya kuwé!
Embuh sing molai sapa sing miwiti sapa. Waktu Wastap nganter Dariyah balik dodol wayah sèndakala, nang tengah dalan sepi wong loro pada sikep-sikepan latan ambung-ambungan. Jaman samana, Dariyah ngrasakna sikepané Wastap anget nemen. Kecupané Wastap dirasakna ndadèkna dèwèké ora bisa klalèn. Adong pan turu, kebayang-bayang baé maring rainé Wastap lan agé-agéha tekané wayah ésuk. Dariyah keyungyun laka padané. Kepènginé kesanding lan ngulang maning peristiwa nang tengah dalan sepi kaé.
Gelisan cerita, akhiré wong loro sepakat mbina rumahtangga. Tapi apalah lacur, jebulé Wastap wis duwé bojo. Bojoné asli wong Indramayu, pegawèané nyenengna wong lanang aliasé tlembuk, arané Uun. Kenalé maring Uun, waktu Wastap kerja nang daèrah Losarang mèlu proyek bangunan. Saben malem Ahad kas gajian, Wastap sabah maring tempat-tempat tlembukan. Nang salah siji tempat, dèwèké mbanclèng maring Uun. Hubungan telung wulan, akhiré kawin lebé.
Saluguné Wastap ngawini Uun, mung ilon-ilon kanca batir. Maksudé nggo taktik, bèn olih panggonan gratis, mangan ora kurang paribasan kari ngeplok lan soal rabi tinggal jal-jel ora bayar. Pendeké serba gratis tis tis! Mugané kuwé, sauwisé proyèké bubar, Wastap mèrad ninggal Uun.
Tapi ora disangka-sangka, Uun jebulé tetep nglari Wastap maring endi paran. Akhiré ketemu. Wastap dijak balik maring Indramayu, tapi orang gelem.
“Nang Indramayu kita pan apa? Proyèk lagi sepi. Kita nganggur, pan mangan apa?” alesané Wastap.
“Kula sing kerja. Sira nggarap sawah” omongé Uun.
“Kita nggarap sawah konon Un?”
“Iya”
“Un, sing bener bae Sira. Seumur-umur kita beli sok macul.”
“Bobad ah ! Paribasa baé, sira ora gelem ning Indramayu tah?”
“Kita pan ning Tegal”
Uun gagal ngajak Wastap maring Indramayu. Akhiré dèwèké balik dèwèkan. Tapi sing arané trasi, dibungkus kayangapa rapeté, tetep baé mambu. Suwé-suwé Uun ngarti, jebulé Wastap bebojoan karo Dariyah. Sontak, Uun balik maning maring Tegal ngonjogi bojo enomé Wastap. Perang bakyak antarané Dariyah karo Uun ora bisa diindari. Tapi Wastapé malah njarag, ora gelem megat Dariyah. Wastap tetep ndekemi Dariyah nganti nganaki, yakuwé Marniti sing kasebut Yu Mar.
Uun kepalang atiné panas baran, dendamé pitung turunan. Lan embuh sebabé kepibèn, sauwisé Dariyah nganak Marniti, dèwèké dadi sering ngrasakna wetengé kelara-lara kaya disilèt-silèt. Saben bengi lan sawayah-wayah klenjengan. Macem-macem jamu uga wis diinung. Tapi maksa baé ora mempan, penyakité ora umum batir. Dariyah kaya diganjar. Mangan saplokan mutah. Sawetara adong ngising, metuné getih. Dariyah akhiré digawa maring wong pinter. Jebulé, penyakité gudu sebab usus buntu tapikèn jalaran digawé uwong. Lan pancèné ana beneré, waktu Dariyah pan mati, mutah getih sarantam campur pecahan beling, paku uga dom bundel.
Embuh apa kuwé sebab diteluh Uun apa kepibèn. Sing jelas baé, sajegé Dariyah mati, pengangen-angené Wastap kaya wong linglung. Paribasan kaya layangan tugel, dèwèké pladangan blèh karuwan. Saben bengi nglayab, nyikung, lan nlembuk nang lokalisasi Barasid, Tegalsari. Suwé-suwé, akrab karo germo Gonyèl. Kumpul kebo nganti teka patiné jalaran kena spilis.
Gonyèl, termasuké gudu germo sing duwé watek ala. Nyatané, Marniti dipèk anak. Pentolé maning, Gonyèl ari ngopèni Marniti ora digawa nang tempat tlembukan, tapi dititipna saduluré nang Pedukuhan Surabayan. Kebeneran baé saduluré Gonyèl randa ora duwé anak. Arané, Bi Niah. Saminggu sapisan, Gonyèl niliki lan mènèhi biaya sakabèhan uripé Bi Niah sisan.
Mung samana adohé, uripé Marniti tansah ketiban apes maning. Umur pabelas taun, dèwèké kepatèn Gonyèl, mané kuwaloné. Ora let suwé, Bi Niah uga mati. Uripé Marniti dadi sebatang kara, blèh duwé sapa-sapa nganti dadi prawan tuwa.
Temu-temu, Marniti ketiban rasa tresna saka Jènggèr. Ora liya, salah siji bujang kasèp tangga sapedukuhan nang Surabayan. Wong loro akhiré gèrèlan lan duwé rencana kawin ning wulan aji. Tapi kesusu ana orèg, Landané teka manjing maning maring wilayah Tegal, nggempuri umah-umah penduduk. Rencana dadi pengantèn nang wulan aji, burak rantak sebab umah-umah nang Pedukuhan Surabayan pada ambrol.
Saiki apalah lacur, Jènggèr sing diimpèn-impèn bakal dadi bojoné, wis ora nana, mati ditèmbak Walanda. Oh...saiki sapa maning wong sing pan nggo gatolan ganing dèwèké?
Sadina muput Yu Mar gawèné nangiskebo. Sadèlat-sadèlat dèwèké semaput. Mbok Mirah ora baèn-baèn nandangi. Maksa baé, dina-dina sing dilèwati Yu Mar digubed pedut kelara-lara. Tapi sing arané Mbok Mirah ora pedot pikir. Bèn jiwané Yu Mar ora pyang-pyangan, njaluk tulung maring wong pinter. Gonèng wong pinter, Mbok Mirah olih resèp.
Jaré, bèn jiwané Yu Mar bisa tenang kaya mauné, kudu nginung banyu putih bekas peresan caweté Jènggèr. Mbok Mirah nglakoni omongané wong pinter mau. Lan ajib temen yah? Barang Yu Mar dicekoki banyu peresan caweté Jènggèr, babar blas ora kemutan maning karo Jènggèr!


*


Sajeroné markas Landa, keadaané tegang. Kaptèn Vantje van Dèck bolak-balik bol nang adepané Jayèng Laga. Matané abang mèrèt, cangkemé ngromèd.
“Kowé orang bertanggungjawab atas seluruh peristiwa ini Jayèng Laga!”
“Saya tidak tahu apa-apa Tuan Kaptèn. Peristiwa ini terjadi karena kita terlalu lengah” semauré Jayang Laga, gawé alesan.
“Saya tidak perduli alasan kowé orang, Jayèng Laga! Peristiwa ini adalah satu peringatan dan ancaman bagi kowé orang. Kowé orang akan saya gantung kalau ekstrimis-ekstrimis republik tidak menghentikan kekacauan ini. En....dalam beberapa Minggu ini, saya hanya berkutat di desa kowé orang tanpa kowé orang bisa menunjukkan di mana para pembrontak berada! Kowé orang bertanggungjawab atas kekacauan ini!!”
Durung rampung culagé Kaptèn Vantje van Dèck ngromèd, Sersan Flour nranyak mlebu karo tangané nyengkerem tangané Niti.
“Kaptèn, saya berhasil menangkap seorang Nona. Nona ini yang membakar markas kita. Seorang lainnya mati tertembak!”
“Hmmmm....masukkan itu Nona dalam tahanan. En....,semuanya jaga-jaga, jangan sampai lepas lagi, mengerti?”
“Tapi Kaptèn....”
“Apa?”
“Menurut laporan Kopral Parirèa, Bekel Subur dan satu temannya lolos dari pengejaran!” “Tolol!! Pertempuran ini harus diakhiri. Semua ekstrimis republik harus ditumpas!!”
Siji baé laka sing wani mandeng maring rainé Kaptèn Vantje van Dèck. Samana uga Jayèng Laga. Kaptèn Vantje van Dèck bener-bener culag, krungu Bekel Subur lolos saka kunjara. Untuné Kaptèn Vantje van Dèck, pating kriut-kriut. Tanda dugal sagulu.

*


Bagian Enam

PIKIRAN Kaptèn Vantje van Dèck kaya dikepruk palu godam. Mumeté por-poran. Bolak-balik bol, dèwèké mlaku antarané lawang kalawan jendèla. Nang adepané, njongkot bocah perawan Niti meneng getem. Mung kadang-kadang matané mandeng lan cangkemé mbesengut maring Kaptèn Vantje van Dèck.
Kaptèn Vantje van Dèck durung pernah ngranapi ana tahanan sing kaya Niti. Senajan tèsih enom, tapi wateké wangkot tur angas. Ora gampang disogok kaya pejuwang liyané.
“Kowé orang harus menghentikan pertumpahan darah ini, Nona Niti?” omongé van Dèck sauwisé meneng getem.
“Kalau pasukan Tuan van Dèck tidak enyah dari daerah ini, tidak akan mungkin para pejuwang Tegal, Slawi dan Brebes menghentikan pertempuran“ semauré Niti ora kalah sengité.
Kaptèn Vantje van Dèck ora ngira adong Niti bisa ngomong kaya kuwé. Dèwèké dadi ngrasakna anèh ngadepi dèwèké.
“Sejak semula nona, kami orang tidak memusuhi pejuwang-pejuwang Tegal. Tapi...end ektrimis-ektrimis itu buat konfrontasi, membumi hanguskan Kota Tegal. Sehingga orang-orang kami terhalang ke Yogya. Camkan itu nona manis?”
“Camkan pula Tuan van Dèck. Siapapun yang mengganggu republik ini, kewajiban kami untuk mempertahankannya!”
Kaptèn Vantje van Dèck katon mikir temenan. Niti mlèngos, matané nrawang ndeleng pucuké godong klapa saka jendèla pelandratan. Dèwèké pasrah bongkokan, apa sing bakal diranapi nang dina kiyé, masa bodo.
“Ooo....cantik sekali kata-kata kowé orang Nona Niti. Saya tidak mengira kalau nona cukup reaksioner. En.,apakah nona seorang nasionalis?”
“Ya! Saya memang seorang nasionalis. Dan di mana ada sebuah negara yang terancam kedaulatannya, pasti akan lahir nasionalis-nasionalis sejati, Tuan van Dèck!”.
“Good...good! Cantik, cantik sekali kata-kata kowé orang. Tapi tahukah nona, bahwa Nederland sekarang sudah mengambil alih lagi negeri ini. Dan Indonesia tak pernah ada!”
“Indonesia tetap ada, dan nasionalis juga tetap ada! Bagaimana rasa nasionalis tuan saat negara tuan dijajah Jerman? Apakah nasionalis bangsa tuan hilang sama sekali?” timpal Niti.
Ilang?! Ah....bener-bener gemblung apa sing diomongna Niti, pikir Kaptèn Vantje van Dèck. Sanalika matané menteleng maring Niti. Tapi aih....ajib! Ciplosé Kaptèn Vantje van Dèck ora kuwat pandeng-pandengan. Sorot matané Niti, suwé-suwé dirasa sangsaya duwé pangaribawa. Oh...Kaptèn Vantje van Dèck, ujug-ujug metu sing ruwangan tahanan, nuju maring mèja kerjané. Dèwèké meneng. Saklètaban, pikirané nrawang maring negeri asalé. Dumadaksara, dèwèké kemutan kambèn Florra, anak wadoné!
Ah....ya! Sorot mata lan lambèné Niti, laka sing dibuwang karo anak wadoné. Mirip nemen. Lagi apa Florra nang kana? Wis telung wulan dèwèké ora kirim layang. Kaptèn Vantje van Dèck dadi ngrasa dilèndoti kangen mbangkana gedèné, nunjem nang ati. Ah....apa Nona Niti ngerti, sing lagi dirasa nang dadané Kaptèn Vantje van Dèck?
Lamunané Kaptèn Vantje van Dèck buyar, waktu ana wong loro manjing maring tempat kerjané.
“Lapor...!”
“Ada apa, Sersan Flour?”
“Ini orang mau minta izin pentas sintrèn di sini Kaptèn” omongé Sersan Flour karo tangané nuding maring Samber Kalong.
Kaptèn Vantje van Dèck nyawang Samber Kalong.
“Betul Tuan. Saya ini Samber Kalong, ketua rombongan sintrèn dari Dèsa Kertaharja Kramat.....” omongé Samber Kalong.
“Mmmmm....”
“Kami mohon izin pentas sintrèn di kampung sini, Tuan. Kami sudah biasa melakukan ngamèn keliling Tuan Kaptèn...”
“Sersan Flour! Antar ini orang ke Lètnan van Baco. Mintakan izin padanya. En....jangan ganggu lagi saya....”
Sersan Flour agè-agé ngajak Samber Kalong nuju ruwangan Lètnan van Baco. Anjog nang ruwangan tengah, Samber Kalong matané plèrak-plèrok maring sudut-sudut ruwangan. Salanika pandangané nuju maring kamar kunjara.
“Kowé orang tunggu di sini Samber Kalong....” omongé Sersan Flour.
Samber Kalong nuruti prèntah. Jangguté mantuk. Ora suwé, Sersan Flour ngundang dèwèké. Samber Kalong marani Sersan Flour lan bareng ngadep maring Lètnan van Baco.
“Ini orangnya Lètnan....” omongé Sersan Flour.
“Mm....kowé orang ketua rombongan sintrèn, ya?” takoné Lètnan van Baco.
“Betul Tuan. Nama saya Samber Kalong. Kami mohon izin pentas di kampung sini Tuan...”
“Mmm.....boleh. Tapi kowé orang, harus tertib. Kalau nanti kowé orang punya rombongan bikin keributan, kowé orang akan saya tembak. Mengerti kowé orang!” omongé Lètnan van Baco.
“Mengerti Tuan...”
“Saya tidak mau terjadi lagi peristiwa seperti ketika di Dèsa Gumayun Dukuhwaru tempo lalu!”
“Kami akan menjaga ketertiban, Tuan” omongé Samber Kalong.
“Bagus! En....kowé orang tentu tahu. Kowé orang seniman, pasti tahu betul kalau kesenian itu mempunyai nilai adhi luhung yang membuat orang jahat menjadi bijak. Kowé mengerti Samber Kalong?”
“Cukup mengerti Tuan. Cukup mengerti!”
“Mooi....mooi....saya izinkan kowé punya rombongan pentas di sini!”
“Terima kasih Tuan” omongé Samber Kalong karo mbungkuk, hormat.
Agé-agé Samber Kalong metu saka markas Landa. Tekan njaba, dèwèké dipapag Obot kambèn Jayus. Matané Samber Kalong plorang-plorong nggolèti Mbok Mirah, kemlandang sintrèn.
“Mbok Mirah endi Bot?” takoné Samber Kalong maring Obot.
“Pibèn? Olih pèntas nang kèné Tim?” Obot balik takon maring Catim sing nyamar dadi Samber Kalong.
“Nyong takon durung dijawab, malah balik takon. Wis, kowen kabèh idepé bèrès....”
“Bèrès apa belèh....?”
“Pokoké bèrès! Mbok Mirah saiki nang endi?”
Obot kambèn Jayus nuju maring Mbok Mirah sing lagi nunggu nang wit sawo kambèn Yu Mar.
“Bèrès Tim? Kayong suwé nemen sih. Boyoké nyong nganti mbetut” omongé Mbok Mirah.
“Nyong ditakoni werna-werna mBok”
“Ditakoni apa baé?”
“Pokoké werna-werna. Malah enyong diancam ana apa ka....”
“Diancam kepibèn Tim?”
“Jaré Landané sing nakoni enyong, kaya kiyé mBok; Kalau nanti kowé olang punya rombongan bikin keributan, kowé olang akan saya tembak!” jelas Catim nirukna logat omongané Lètnan van Baco sing ora bisa ngomong aksara ‘R’.
“Kaya kuwé? Kowé olang.....?” mBok Mirah niru-niru omongan Landa.
Kanca-kanca sing krungu critané Catim, gemuyu. Mbok Mirah malah kepentut-pentut ngguyuné. Cuman Yu Mar mung kepaksa mesem. Gluwèhané Catim ora mempan nggo dèwèké gemuyu lata-lata.
Lan pancèn, sajegé Jènggèr ora nana, atiné Yu Mar mègin baé kegubed lara tangis. Malem pengantèn sing diarep-arep taunan, berantakan sakarang-karang akibat Jènggèr ditembak Landa.
“Kabaré Niti pibèn?” takoné Yu Mar ujug-ujug baé.
Catim nglinguk lan nyawang Yu Mar.
“Alhamdulillah....Niti ésih urip, ditahan nang kamar bekas kamré Bekel Subur...”
“Kahanané pibèn Tim?” takoné mBok Mirah.
“Enyong ora weruh jelas. Enyong mung krungu suwarané tok waktu ditakoni ganing pimpinan Landa”
“Ya wis. Saiki pada siap-siap. Tata-tata nggo ndapuk ngko bengi”
Lan dinané gurung patiya rep, persiapan pentas sintrèn mèh baé rampung. Mbok Mirah krasa lega. Sedeng Catim terus nglipur Yu Mar. Masalahé, dèwèké bakal didapuk dadi sintrèn, kudu digawé bombong senajan atiné dadal duwèl sebab kèlangan Jènggèr. Tapi rencana sing wis digagas, kudu bener-bener netes. Termasuké instruksi saka Komandan Kesatuan Komando Tegal, aja kosih mblèro.


*

Lon-lon srengèngèné doyong mangulon. Cahyané lereb, kegubed alas jati. Separoné ketutup gunung gamping. Semruputé bayu, mbenturi wit-witan jati. Jlerit lengking suwara ayam alas, nggalik-nggalik kaprungu kang kadohan. Tanda wayahé mèh ambang petang, ngekepi alam pedèsaan Pakulaut, Margasari.
Nang wayah sing kaya kuwé, Komandan Kesatuan Komando Tegal, mimpin rapat darurat nang barak pengungsian.
“Sedulur-sedulur seperjuwangan, waktu kiyé rombongan sintrèn sing dipimpin Catim wis anjog nang Dèsa Sumingkir. Mangga sedulur, kito sedanten pada rembukan mecahna plekara sing lagi diadepi. Cacak, Bekel Subur sing tau dilandrat nang kana, crita. Sabeneré kahanané kayangapa?”
“Siap Pak Komandan,” Bekel Subur ngunjal ambekan. “Niki kula crita singkaté baé, nggih?”
“Nggih....” semauré uwong-uwong.
“Kaya kiyé sedulur. Jebulé, sing arané markas Landa niku tempaté nang Pedukuhan Rawa, perbatasan antarané Dèsa Sumingkir kalawan Dèsa Dukuhjati Wètan”
“Tepaté?” takoné Komandan.
“Tepaté, manggon nang umahé Jayèng Laga Pak Komandan...”
“Jayèng Laga niku sinten?”
“Jayèng Laga niku, gemiyèn pernah nyalon bekel kalih kula teng Dèsa Panggung. Kiyambèké ora lulus, dados ora melu kodrah. Lajeng isin, dèwèké tros wangsul maring dèsa asalé, Dèsa Sumingkir ngantos sapriki...”
“Dadi Jayèng Laga niku gudu asli tiang Panggung?”
“Leres! Lan kula paham, Jayèng Laga niku pentolané lenggaong!”
“Lenggaong?”
“Nggih. Jayèng Laga niku bekas gento gledegan!”
“Bencolèng?”
“Leres!”
Krungu omongané Bekel Subur, Komandané mantuk-mantuk. Bekel Subur uga crita, bisané tempat pengungsian sing ana nang Dèsa Cenggini digempur pasukan Landa, ora liya jalaran wadulané Jayèng Laga.
“Oo....dadi Jayèng Laga kuwé antèk-antèké Landa?”
“Leres! Malah waktu kula disiksa, dèwèké sorak-sorak. Kayong gemremet nemen ka kula...”
“Ya ya ya...saiki jelas sedulur-sedulur! Jayèng Laga kuwé kudu dipites. Tiang kados niku, ora perlu diwelas asihi.
“Leres Pak Komandan!”
“Bangsèt ka....”
“Pites baé wis....kesuwèn temen. Urip ya gawé-rusia!”
“Nah, sedulur-sedulur, jalaran posisi umahé Jayèng Laga nang ujung dèsa, kuduné nganggo taktik ‘Capit Urang’. Ngko, pasukan gabungan Laskar Rakyat kalawan TNI Masyarakat, nyerang saka Dukuh Rawa Wètan.....”
“Tapi Pak Komandan, adong musuhé males nyerbu, pibèn Pak?” Gacon nugel omongan Pak Komandan.
“Gerakan lawan bakal digebah saka Pedukuhan Kendal gonèng gabungan pasukan Hisbullah lan TNI Resimen Telulas!” bawabé Pak Komandan.
“Adong pasukan republik kewalahan ngadepi pasukan Landa, pripun Pak Komandan?” takoné Kamal.
“Sampèyan kabèh kudu mundur maring Dukuh Rawa Wètan, mlebu maring alas jati”
“Kanggo nglindungi kula sedanten, dos pundi?” Dito sing njagongé nang mburi, urun ngomong.
“Sebagian pasukan gabungan, siap ngobrak-abrik nganggo basoka!”
“Lajeng kanggé nylametna rombongan sintrèn, niku pripun?” takoné Bekel Subur sing kelingan maring Catim. Mahklum, Bekel Subur tèsih kèlingan maring Catim sebab dèwèké ngrasa duwé utang nyawa waktu disiksa nang markas Landa.
“Kanggo nylametana rombongan sintrèn, kabèhané wis diatur gonèng Catim. Tapi sing perlu diwaspadai, taktik ‘Capit Urang’ dimolai sauwisé ana aban-aban tembakan pistol saka enyong. Samèné baé wis....Merdèka....!!”
“Merdèkaaaa....!!!”
Lan sakabèhané siap maju perang. Manggul gaman!

*


Nang ruwang pelandratan, Kaptèn Vantje van Dèck laka bèngoré mbujuk Niti. Sang Kaptèn sing wis taunan manggon nang Tanah Air, rainé monglah-manglih. Kadang brubah sangar. Tapi kadang uga katon besem, kaya wong sing lagi kenang kèder.
“Sudah dua minggu ini Nona Niti terus bungkam, tanpa mau bicara di mana pasukan republik berada....”
“Jangan paksa saya untuk buka mulut Tuan Kapten. Saya tidak mau berkhianat pada bangsa sendiri. Tembak saja, kalau Tuan menghendaki nyawa saya!”
Niti ngunjal ambekan. Sanalika pengangen-angené nglayab adoh, nrosol kisi-kisi jendèla, nabrak pucuk-pucuk klapa lan bablas ngranggèh ilusi masa pengantèn. Ah ya! Saumpamané Tegal ora dibledug gonèng pasukan Landa, ndèyan baé masa pengantènané karo Kang Drajat bakal diunduh. Sayang, kabèh gegayuhan sing diimpi-impi dèwèké, sirna kayadèné banyu kali sing kesedot panasé srengèngé.
Ya! Wis sawulan setengah, Niti nglakoni urip dadi gerilyawan bareng kanca-kanca, manjing metu alas. Munggah mudun gunung, uga dilakoni. Tapi samana beraté, dèwèké mèsih tetep duwé rasa bangga. Sebab sing arané urip kuwé, kudu duwé arti. Senajan totohané nyawa kayadèné Kartijah.
Ana siji maning sing bener-bener disyukuri gonèng Niti. Yakuwé, adong dèwèké kèlingan maring kanca-batiré sing pada éman, semangat perjuwangané Niti dadi sangsaya mulad-mulad paribasané urubé geni sing lagi ngobong blarak.
Sing ndadèkna pikirané Niti dilèndoti rasa bingung, siji. Yakuwé soal welas asihé Catim maring dèwèké. Tambahan maning, dèwèké krungu saka Jènggèr, meneng-meneng Catim sih karo dèwèké. Oh....Niti serba ora kepènak campur kèdèr. Mèné-mèné, Catim kuwé sapa. Cètèmé dèwèk sing sering tetulung lan gawé bebungah.
Niti kèder, pikirané bebel. Tapi sabebel-bebelé pikirané, Niti tetep ngitung welas asihé Catim. Dèwèké belèh bakalan gawé lelara. Niti dudu uwong sing kaya kuwé. Mung waktuné baé sing gurung tepat nggo wales jasané Catim. Jelasé baé, nang waktu siki dèwèké lagi ngadepi masalah kambèn Kaptèn Vantje van Dèck. Bab sing ora pèré-pèré. Tapi cukup pelik.
“Sekarang silakan Tuan bunuh saya. Saya siap, karena saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Ibu saya mati waktu zaman Jepang. Ayah saya juga mati saat pasukan Tuan menggempur daerah ini. Dan...., perkawinan saya yang sudah direncanakan berantakan. Entah di mana calon suami saya. Dia hilang karena perang” Niti negasna omongan.
“Maafkan saya nona! Saya tidak bermaksud mencerai-beraikan semua itu. Saya berperang karena perintah. Saya hanya menjalankan tugas ketentaraan saya! Dan saya tidak pernah mengejar karier.....” semauré Kaptèn Vantje van Dèck.
“Itu artinya sama dengan saya Tuan. Saya berperang juga karena kesadaran akan tanah air. Saya melihat negeri ini ingin bebas dari penjajahan bangsa lain. Kesadaran inilah yang menggerakkan saya untuk angkat senjata!”
“Semua punya alasan yang berbeda-beda. Tapi sekarang kowé orang musti bicara, Nona Niti! Jangan bungkam!!” Kaptèn Vantje van Dèck ngotot. Ciplosé mendelik.
Kiyé bab anèh sing dirasa Niti. Selawasé dèwèké didedes, gurung pernah Kaptèn Vantje van Dèck ngomong atas-atas. Mung Niti ngrumangsani, perang antarané harga diri kalawan tugas ketentaraané, dadi beban sing ora gampang nang atiné Kaptèn Vantje van Dèck. Samana uga dèwèké, blèh bisa khianat. Paribasané, dèwèké lila mati ketimbang kon nuduhna tempat pengungsiané para pejuwang kanca batiré.
“Tembak saja saya sekarang ini juga Tuan!!” omongé Niti ora kalah atas.
“Gotverdomme zegh!”
Dèrrr...!!! Sanalika awaké sang kaptèn ngungkuri Niti. Omongané Niti dirasa nampeki pikirané. Kanggo Kaptèn Vantje van Dèck, matèni Niti pada baé matèni maring anaké dèwèk. Sebab antarané Florra kambèn Niti, duwé kemiripan nang kecerdasané lan uga kokoh anggoné nyekel prinsip.
Kejaba kuwé, prasaan kangené maring anaké dadi lereb lan adem, angger nyawang rainé Niti. Ah! Ora mungkin dèwèké tegel nèmbak Niti. Ora mungkin!
Kalah-kalahé dèwèké kur bisa gregeten, lan bener-bener ora duwé daya ngadepi Niti. Akhiré lawang pelandratan dadi sasaran. Didupak sakuwat-kuwat trus dèwèké metu.


*

Wayah bengi lon-lon ngrayap, mbrangkang maring pusat-pusat sepi. Nang plataran ngarep markas Landa, njegogrog panggung sintrèn. Rèntèngan oncor kiwa tengen panggung, murub kabèh. Samana uga nang arèna penontoné. Bengi kiyé, rombongan sintrèn Kertaharja pimpinan Samber Kalong, pancèn lagi nganakna pèntas. Tapi kiyé, pèntas istimèwa kanggo pasukan Landa nang Dukuh Rawa Wètan, Dèsa Sumingkir.
Ning nong ning gung! Suwara gamelané ditabuh. Suwé-suwé tambah seru, nggentawang ngèmpèri jagad ngiringi para pesindèn nembang Kukus Gunung, tanda pentas dimolai.

Kukus Gunung kukusé wong adang ketan
Kukus Gunung kukusé wong adang ketan
Kebul-kebul ngenteni sing nonton kumpul

Tembang Kukus Gunung disambung lagu-lagu Wangsalan Tegalan. Antarané pesindèn kambèn penabuh gamelané pada gasak-gasakan. Para pesindèné miwiti nggasaki para penabuh gamelan.

Tebu-tebu wulung
ditandur pinggir dlurung

Ésuk bingung soré bingung
ketemu bakalan wurung


Ora gelem kalah, para penabuh gamelané males nganggo tembung tembang wangsalan.

Tuku piring cilik-cilik
turu miring molak-malik

Klambi paris kancing ukon
ngaku laris laka sing takon


Gamelan trus moni. Geguyonan laka mandegé. Sangsaya suwé tambah gayeng. Para penari sintrèné uga pada jejogèdan. Emoh kalah digasaki, para pesindèn balik nggasaki maning.

Tuku pingan bolong tengahé
pan balik adoh umahé

Klambi ireng kancing ukon
njagong bareng durung kelakon


Wadan-wadanan mangkina ndadi. Nang langit lintangé mralak. Kunang-kunang sing pating sliwer, katon indah sajeroné bengi padang wulan. Kaya kelap-kelipé éwonan lampu sing disawang saka kadohan.
Gamelan trus ngiringi, para pesindèné gentènan nggasaki para penabuh gamelan.

Suruh ireng tiba ning belik
ésih seneng dikongkon balik

Élon ana lintahé
pan kelon ana bocahé


Wong-wong sing nang pèntas pada gemuyu. Utamané kanggo wong sing kena sindir gonèng sair wangsalah “Suruh ireng tiba ning belik, ésih seneng dikongkon balik”. Kang Bolèd, si penabuh kenong cekikikan. Krasa nemen sair kuwé ngantem maring awaké dèwèké. Masalahé, dèwèké pernah ngranapi waktu lagi gayeng-gayengé temon karo Waryem, gèrèlé, ujug-ujug dikon balik gonèng Mboké Waryem. Samana uga Man Cagut si penabuh gamelan, ora bèda.
Waktu samana, critané Man Cagut pan kelon karo Tinah, randa tangga teparoné sing pada baé demené. Mung apes, gara-garané anaké Tinah rèwèl sadawané bengi, akhiré batal ora sida seneng-seneng. Sawengi kuwé, Man Cagut tibané mecucu baé. Kalah mumeté, dèwèké maring kolam dolanan sabun nganggo ngilangna rasa bengel nang endasé. Kèmutan kuwé, Man Cagut kegugon akhiré pèsam-pèsem kesindir sair “Élon ana lintahé, pan kelon ana bohaé”.
Krasa nang njaba kahanané ramé, gemrudug serdadu Landa pada metu. Uwong-uwong kuwé temata njagong. Sawetara, para pesindèné ora kalah males maning. Mung saiki, ora nganggo sair kasmaran, tapiné diganti nganggo sair liya.

Bir temu lawak
lambé njebir kaya luwak


Gonèng para penabuh gamelané, wadanan kuwé diwales pada baé compongé.

Ésèk-ésèk godong jati
cungur pèsèk disinggati

Gamelan trus moni. Gasak-gasakan trus dilanjut. Ora baèn-baèn para pesindèné, nggasaki saporèté.

Anjang-anjang paré pait
katok panjang ora duwé duwit

Kayong langka pendoté tetembangan Wangsalan Tegalan ngumandang. Saka njero markas, Kaptèn Vantje van Dèck kalawan Lètnan van Baco metu. Para penggedé Landa kuwé, latan njagong nang ngarep pisan. Weruh rombongan Kaptèn Vantje van Dèck wis temata, kemlandang sintrèn Mbok Mirah mèin aba-aba.
“Hai, para pesindèn, para penari sintrèn, lan para penabuh gamelan, sintrèné pan molai....”
Kaya geni kesiram banyu, sanalika suwasanané sepi. Tapi ora suwé, lamat-lamat gamelan moni maning. Mbok Mirah mrèntah Lumih kon mbakar tepes klapa. Tepes klapa diobong trus didokon nang anglo, ditambahi areng cilik-cilik. Lumih uga ndamuni wangwa nganggo semprong sing digawé saka lonjoran wit pring ukuran patang puluh centi mèter. Wangwa geni semangkina mrengangah. Saterusé, bubuk kemenyan diuwur-uwurna. Pating kemratak suwarané, nambah kebul menyan sangsaya mbulek. Ambuné ngebeki panggung lan sumebar maring endi-endi panggonan.
Sawetara kuwé,Yu Mar sing didapuk dadi sintrèn, njagong ngedèprok nang klasa. Nang pangkoné, satumpuk sandangan sapengadegan. Sedeng nang adepané ana gincu, slèndang, tapih, klambi paris, benting, kemben, parem, alis mata, kacamata ireng, anting-anting, gelang, kalung, lan ora kèri kurungan ayam sing dikemuli kain mori. Kembang telon werna pitu, banyu putih, lan tambang sing nggo mbanda sintrèn, uga ana.
Gamelan sangsaya seru moniné. Gacon maju njukut tambang. Dèwèké trus marek maring Yu Mar. Tangan loroné Yu Mar dicekel, digatukna nang mburi awaké latan dirut-rut nganggo tambang. Yu Mar dibanda kenceng nemen.
Sadurungé Yu Mar dilebokna nang kurungan, Mbok Mirah nyebul endasé kambèn maca mantera. Sauwisé, sintrèn dilebokna nang kurungan sisan sandangané lan seperangkat keperluan liyané.
Nang panggung pentas, bodor Madi jejogèdan lucu. Bokongé dijengat-jengitna lan cangkemé pèjap-pènjep, ndadèkna penonton ger-geran. Apa maning waktu Madi jejogèdan ngubengi panggung, Gacon mlorodna clana koloré, penontoné tambah kepingkel-pingkel.
Ana setengah jam, bodor Madi jejogèdan. Saiki gentènan para penari sintrèn gèngsot. Bokongé digèal-gèol ngimbangi irama blampak kendang. Suwara ‘cès’ utawané ‘ah’ saka cangkemé sing nabuh kendang, nambah suwasana rachat.
Lagi rachat-rachaté, Gendari maju nang tengah-tengah panggung. Gendari, si penari kesenian Jantoek, gatel. Dèwèké ora kur nari biasa, tapi gèol bokongé kosih pan kangsrah nang alas panggung. Kadang-kadang, Gendari uga maèn compong- compongan alias édan-édanan.
Ya! Kaé delengen, Gendari jan songkrah nemen umbar jogèdané. Dèwèké ora mung marem gaya kangsrah, tapikèn nganggo jogèd kayang kedingan. Sedeng clanané nglapet, dawané kur sanduwuré dengkul. Ah, ah! Bab kuwé sing ndadèkna penontoné pada ceguken ngeleg idu, weruh ‘barangé’ Gendari sing muntuk-muntuk mecucu kaya wudun semat.
Pergelaran sintrèn bengi kiyé, pancèn rada ora kaya biasané. Sebab dioplos kambèn jogèd Jantoek, yakuwé gèol érotis sing ngemu unsur birahi. Lan jagoné gèngsot sing kaya kuwé, siji-sijiné kur Gendari.
Ana setengah jam, penonton sintrèn digawé kliyeng-kliyeng ganing ulahé. Tapi penontoné uga bener-bener ngrasa puas. Gendari amit mundur, njagong maning seirama suwara gamelan sing awitané rancak ngandut birahi, saiki lon-lonan ngiringi penari-penari sintrèn ndapuk nari.
“Mbok Mirah....” Yu Mar ujug-ujug nyuwara saka njero kurungan.
“Iya Mar. Pibèn?”
“Nyong njaluk tembang Prawan Tingting.....”
“Éh iya Mar....” jawabé Mbok Mirah kambèn gemboran maning.
“Éh....para sedulur, para pesindèn, sintrèné njaluk tembang Prawan Tingting...”
Ora suwé, para pesindèné pada nembang:

Prawan tingting lagi ndapuk sintrèn
paman bibi aja ganggu gawé
seminggaha sing adoh, aja nang kèné


Kaya biasané, tembang Prawan Tingting uga dibolak-balik. Lumih ngubengi panggung nggawa anglo kebek dupa. Ambu kemenyan sumebar maring pojok-pojok Dukuh Rawa Wètan Dèsa Sumingkir, lan bablas nembus langit lapis pitu. Laka omongan pating pecotot, kabèh penonton sirep, kesedot hawa tabet.
Mbok Mirah umis-umis. Laka pedoté cangkemé jejaluk maring Sing Kuasa agé-yacha damyang Widadariné manjing maring ragané Yu Mar, bèn cepet ndadi kesurupan.
Sapisan maning, Lumih nambah bubuk kemenyan nang anglo. Jagad Sumingkir sangsaya dirasa tambah wingit. Ujug-ujug, kurungan sintrèné oyag. Mbok Mirah ngrasakna damyang Widadariné mudun saka khayangan.
Saka njero kurungan, Yu Mar nyuwara.
“Mbok Mirah...”
“Iya Mar. Pibèn?”
“Kurungané oyag dèwèk”
“Kowen meneng baé. Kuwé tanda Widadariné pan teka.”
“Oh...iya wis. Enyong njaluk tembang Sola Si Solandana....”
“Éh iya Mar. Tembang Sola Si Solandana?”
“Iya Mbok!”
Agé-agé Mbok Mirah mrèntah maring tukang gending lan pesindèné.
“Éh....para pesindèn, para tukang gending, sintrèné njaluk tembang Sola Si Solandana...”
Gending alih irama ngegirisi. Panggung pèntas krasa nemen dikridongi hawa mrekitik, sajeroné wengi sing lon-lon yagyagan maring jagad sing peteng nggriyeng. Para pesindèn nembang Sola Si Solandana:

Sola Si Solandana
menyata ngundang Widadari
ala Widadari daning sukma
Widadari temuruna
runtung-runtung sesanga
nggo ngranjing awak sira

Blodor Madi lan penari sintrèné pada njoged laka mandegé. Tapi matané merem. Sebab pada kesurupan kabèh. Samana uga tukang gendingé. Mung senajan kesurupan, batiné tetep awas lan waspada.
Tembang Sola Si Solandana diulang trus-trusan. Kurungan sintrèn sangsaya kebat oyagé dirasa gonèng Yu Mar.
“Ayo, ayo! Temuruna, temuruna Dèwi Rantamsari. Damyang sing njaga prawan sunti! Temuruna neng kèné, mentas saka gemuruhé segara Tegal, bablas ngidul ana prawan sing lagi diincer buta ijo. Temuruna, temuruna Dèwi Rantamsari. Hayoh, hayoh! Damyang Rantamsari temuruna, ngrasuk dadi kekuwatan, dadi ulung-ulung.....” suwara Mbok Mirah ngèdap-ngédapi. Jagad Sumingkir ngandut pangariwibawa, krasa nemen mrinding nang gitok.
“Mbok Mirah....”
“Iya Mar”
“Nyong njaluk tembang Turun-turun Sintrèn”
“Turun-turun Sintrèn, Mar?”
“Iya. Gagiyan Mbok. Nyong krasa Widadariné pan nganjing nang awaké enyong,”
Nang njero kurungan, sakujur awaké Yu Mar gemeter. Dèwèké ngrasakna ana damyang mawujud wadon ayu nyikep awaké, kenceng nemen. Kosih dèwèké pan blèh bisa ambekan.
“Hai, para pesindèn, para penabuh gending sintrèné njaluk Turun-turun Sintrèn” Mbok Mirah gemboran maning. Rikat para tukang gendingé ngrobah irama. Disusul para pesindèné nembang Turun-turun Sintrèn.

Turun-turun sintrèn
sintréné widadari
nemu kembang yona-yani,
nemu kembang yona-yani
kembangé si Jaya Indra
Kamijaya kami ranté
rantem-rantem kang dadi
aja sira gondra-gandré
aja sira gondra-gandré
mèrang-mèrang sumah gawé


“Sersan Flour, panggilkan seorang dari rombongan sintrèn. Saya perlu tahu banyak permainan sintrèn ini,” prèntah Kaptèn Vantje van Dèck.
“Siap Kaptèn”
Sersan Flour agé blirit. Suwasana singit, ngrantebi maring uwong-uwong sing pada nonton. Kabèhané kaya dileboni lan ngrasakna hawa pangariwibawa ritual sintrèn. Ora suwé, Sersan Flour nongol nggawa salah siji rombongan sintrèn, ngadep maring Kaptèn Tantje van Dèck.
“Ini orangnya Kaptèn” omongé Sersan Flour.
“Oh ya. Duduk” semauré Kaptèn Vantje van Dèck maring uwong sing digawa Sersan Flour.
“Terimakasih Meneer.....”
“Siapa nama kowé?” takoné Sang Kaptèn.
“Saya Obot Tuan Meneer...”
“Saya ingin kowé orang bicara soal kesenian sintrèn, Obot...”
“Baik Tuan Meneer”
Sabisané Obot cerita soal sintrèn. Sangertiné, sintrèn kuwé salah siji lambang wong wadon prawan sing ora duwé daya. Sebab kuwé njaluk lindungan kambèn Bidadari, bèn keperawanané ora didodos ganing uwong lanang sing niaté pan ngrusak kesucian.
Obot nerangna maning. Pemeran sintrèn, kudu bocah wadon prawan tingting tur ora kena sing lagi kenang mèn. Kejaba kuwé, syarat dadi sintrèn, Bapané lan Mbokèné kudu mèsih urip. Salah siji mati, pantangan. Ora kena lan blèh bakalan dadi. Sebab ditekani gonèng arwah wong tuwané.
Uga ana syarat maning. Sadurungé sintrèn dilebokna nang kurungan, ora kena paès. Sandangan sing dinggo uga saperluné. Urusan dandan, urusané kemlandang. Yakuwé dong dèwèké wis nyambat Widadari Rantamsari, sintrèné bakal didandani lan manglih dadi wong wadon ayu laka padané, sauwisé kurungan dibuka.
“Jadi, nanti sintrèn akan nampak cantik dan berpakaian rapi?” takoné Sang Kaptèn.
“Betul Tuan Meneer! Setelah kurungan dibuka, dia akan cantik sekali....” semauré Obot.
“Siapa yang merias dia dalam tempat sesempit itu, Obot?”
“Dewi Rantamsari Tuan Meneer...”
“Dewi Rantamsari? Siapa itu?”
“Bidadari dari khayangan...”
“En.... yang melepas tali ikatan sintrèn itu siapa?”
“Dewi Rantamsari juga Tuan Meneer....”
“Oh.. fantastis! Aneh, aneh sekali”
Pancèn anèh, pancèn fantastis! Akèh wong percaya, makhluk halus sing maèsi sintrèn, ora liya Dèwi Rantamsari sing mbaureksa nang segara lor, khususé tlatah laut Tegal.
Kocap kacarita, Dèwi Rantamsari kuwé salah siji wong wadon sing setiya atuhu maring lanangé, tapi kajogan sebab dilelara. Saking ora kuwaté nanggung prahara batiné, dèwèké nglalupacé ngrampungna uripé njebur nang segara.
Mitos tragis Dèwi Rantamsari kuwé, daning masyarakat pesisir Tegal dipercaya siji-sijiné damyang dèwi sing ngrasuk maring jasad sintrèn. Mung sèjèn maning keyakinan sing dianut nang tlatah pesisir Pekalongan. Siji-sijiné dèwi sing disambat kemlandang kon nangani sintrèn, ora liya sukmané Dèwi Lanjar.
Semana uga kepercayaan nang tlatah pesisir Pemalang. Dèwi sing ndadèkna sintrèn ayu moblong-moblong kaya Widadari, ora liya Dèwi Ratnasari. Dèwi sing ayuné polpolan laka padané kuwé, konon kabaré nduwé riwayat sing ora bèda karo nasibé Dèwi Rantamsari lan Dèwi Lanjar. Mung telu-teluné, dipercaya dadi pelindungé prawan tingting sing didapuk dadi sintrèn.
“Tragis!” komentaré sang kaptèn sauwisé krungu penjelasané Obot.
“Memang tragis Tuan Meneer. Karena itu, ruh ketiga Dèwi tersebut dipercaya melindungi sintrèn....”
“Kenapa?”
“Karena pelaku sintrèn adalah wanita perawan yang kemungkinan terancam kesuciannya...”
“Oo....menarik! Menarik sekali...”
Kaptèn Vantje van Dèck dumadaksara kèmutan maring anaké, Florra. Apa anaké uga dilindungi gonèng ruh leluhuré saka ancaman wong-wong lanang sing pan nyilakani? Ah....Kaptèn Vantje van Dèck ngunjal ambekan.
“Obot....”
“Ya Tuan Meneer”
“Apa betul, kesenian sintrèn juga bisa mendatangkan hujan?”
“Betul sekali Tuan Meneer”
“Kowé orang bisa omong soal itu, Obot?”
“Bisa Tuan Meneer”
Obot trus cerita ngalar-ngalar. Mituruté Obot, sing arané pergelaran sintrén ora kur nggo sarana hiburan. Bisa uga dadi saranané kaum petani kanggo nekakna udan yèn wayah ketigané ngablag-ablag.
“Oh...mengagumkan. Mengagumkan kowé orang punya kesenian, Obot” omongé Kaptèn Vantje van Dèck sauwisé krungu penjelasan saka Obot.
Nang panggung kebulé kemenyan mbulek-mbulek campur kebul rokok. Mbok Mirah bengok-bengok maning.
“Hai para sindèn para penabuh gending lan nayaga, sintrèné njaluk tembang Sepati-pati...”
Ora suwé tembang Sepati-pati, ngumandang:

Lima sayu sira dandan
sepati-pati gelem dandan
ning durung serawa anyar
ana lima sayu.


Tembang Sepati-pati diulang-ulang. Ora let suwé, sintrèné njaluk tembang maning.
“Mbok Mirah...”
“Iya Mar. Pibèn?”
“Widadariné njaluk tembang Wari Sintrèn. Cepetan Mbok...”
“Ya!”
Mbok Mirah gemboran maning:
“Hai para pesindèn lan tukang gending, sintrèné njaluk tembang Wari Sintrèn!”
Suwara gamelan manglih dadi irama tembang Wari Sintrèn lan para pesindèné bareng-bareng nembang:

Wari Sintrèn terepna sandang nira iki
wari Sintèn dunung ala dunung
si dunung si bahu kiwa, Pangeran ira lara tangis


Kaya biasané, tembang diulang-ulang. Ana seprapat jam, Yu Mar nyuwara maning.
“Mbok Mirah...”
“Iya Mar. Pibèn?”
“Sadèlat maning nyong dadi sintrèn. Widadariné njaluk tembang Urèn-urèn Sintrèn!”
Balik maning Mbok Mirah gemboran, mrèntah pesindèné kon nembang Urèn-urèn Sintrèn.

Sintrèn urèn si urèn kawor kencana
kencana gombala inten
inten apa inten sukma
widadari temuruna nglindung maring sing dadi
sing dadi jemajang putri
ana panji ngirim putri......


“Mbok Mirah...” Yu Mar nyuwara.
“Iya Mar. Kowen wis dadi?”
“Iya Mbok. Kurungané cepet dibuka....”
Gonèng Mbok Mirah lan rèwang liyané, kurungan dibuka. Sanalika wong-wong Landa matané mblalak, weruh Yu Mar manglih wujud dandanané. Rambuté dirembyak, sandangané kelap-kelip kebek roncé-roncé ndadèkna pengadegé katon anggun. Yu Mar uga nganggo kaca mata ireng, ih...ora pan ngira adong Yu Mar ayuné kaya widadari. Oranguwati!
“Fantastis! Sungguh fantastis!” Kaptèn Vantje van Dèck kepentut-pentut ora digawé-gawé. Akhiré tangané keprok, uga batir-batiré. Gamelané ditabuh tambah seru. Sintrèn molai njogèd, antarané tembang Turun-turun Sintrèn sing diulang-ulang.
Penari sintrèné samana uga pada nari. Ora ketinggalan bodor Madi, ngrangsek maring sintrèn. Ayuné sintrèn, pancèn laka padané. Blèh éram dong akèh wong lanang pada kepilut, pèngin njogèd bareng lan ngambung. Mulané kuwé, agé-agé Mbok Mirah ngadang-ngadangi, aja kosih sintrèné kesènggol daning wong lanang sebab bakal klenger lan kudu dianjingna nang kurungan maning.
Sintrèn laka keselé njogèd. Jalukan tembangé werna-werna. Sing nabuh gamelan nganti lèklok. Ana limang tembang diglontor, tenaga sintrèné mègin rosa baé. Mung ora let suwé, sintrèné kliyeng-kliyeng trus mbak ketepuk tiba, semaput. Agé-agé rèwang kemlandangé njukut kurungan nggo ngurungi sintrèn.
Rikat, Lumih ndamoni wangwang nang anglo nganggo semprong lonjoran wit pring. Latana bubuk kemenyan diuwur-uwurna maning. Kemratak suwara kemenyan keobong. Kebulé mbulek, ambu kemenyan semebar. Mbok Mirah umis-umis maca mantra. Tembang Turun-turun Sintrèn trusan ngumandang. Lagu kuwé sengaja ditembangna maning bèn Widadariné ngrasuk maring ragané sintrèn.

Turun-turun sintrèn
sintréné widadari
nemu kembang yona-yani,
nemu kembang yona-yani
kembangé si Jaya Indra
Kamijaya kami ranté
rantem-rantem kang dadi
aja sira gondra-gandré
aja sira gondra-gandré
mèrang-mèrang sumah gawé

Anèh! Wis bolak-balik lagu Turun-turun Sintrèn digawakna, Yu Mar ora ndadi. Dèwèké meneng baé nang njero kurungan. Mbok Mirah bingung latan dèwèké marek maring kurungan.
“Mar, pibèn? Ganing kowen meneng baé. Njaluk tembang apa sih?” omongé Mbok Mirah.
“Nyong ora pan njaluk tembang Mbok,”
“Sih Widadariné kepèngin apa? Menyané kurang akèh?”
“Widadariné ora mrèntah njaluk tembang”
“Lha, njaluké apa?”
“Tari Jantoeké kon maèn maning”
“Sing bener Mar. Aja gluwèhan”
“Temenan Mbok. Widadariné ngongkon kaya kuwé...”
“Édan ah! Widadari compong. Tumbèn temen, ana Widadari njaluk tari Jantoek. Gebleg!” Mbok Mirah ngaprus-ngaprus. Tapi orabada, gita-gita gemboran.
“Hai, para penari sintrèn! Sampèyan pada lirèn, njagong tuli. Sintrèné njaluk tari Jantoek. Ngigel maning!”
Para penabuh gamelan pada éram, uga pesindèné. Kiyé jalukan sing ora baèn-baèn. Tapi kepibèn maning, penjaluké sintrèn tetep dituruti. Akhiré, gamelan ditabuh rancak. Gendari, menyat maju maring glanggang. Lan ora tanggung-tanggung, Gendari langsung goyang bokong. Goyangé jan kaya uwong sing lagi ngayaki beras nganggo tampah. Malahan, Gendariné gawé gerakan sing luwih kendel, ndadèkna penontoné pokus mandeng menteleng nang ngingsor wudel. Lan pancèné Gendari kepènginané pokus goyang nang ngingsor wudel. Kaptèn Vantje van Dèck matané ora kedep, ndeleng goyangan mauté Gendari. Kosih endasé kliyeng-kliyeng, sebab syahwaté munjuk.
“Obot...”
“Ya Tuan Meneer” semauré Obot.
“Itu tari apa? Kok bisa blak-blakan seperti itu. Mengagumkan....”
“Itu tari Jantoek”
“Jantoek? Kowé orang faham tari Jantoek?”
“Sedikit-sedikit, Tuan Meneer....”
“Coba, kowé orang cerita soal Jantoek ya?”
“Baik Tuan Meneer!”

Ora suwé Obot ngecèbrès. Miturut Obot, kira-kira taun sawidak, Jantoek dadi salah siji tari sing paling ngetop nang wilayah Tegal. Jaman samana, tari Jantoek nggabungé nang kesenian ‘Kècrèt’. Saben bengi, kesenian kuwé digelar nang Alun-alun Tegal. Munculé kesenian Kècrèt ndadèkna Alun-aluné kaya pasar malem. Penontoné del-delan ngubengi tempat pentas sing bentuké bunder kluwer, nang ngingsor wit ringin kurung.
Sadurungé Kècrèt maèn kalawan tari Jantoeké ditapuki, gamelan ditabuh atas-atas. Maksudé, nggo ngundang penonton. Alat-alat gamelan kayadèné; kendang, gong, saron, peking, lan demung, bab utama kanggoné kesenian Kècrèt.
Kanggo penerangan, nggunakna oncor. Duwuré oncor sapengadègan wong dèwasa. Bagian mburi, oncor ditutupi sèng. Bagian sing peteng, kanggo njagong nayagané, sindèn, lan maju metuné pemaèn. Wong-wong kuwé njagongé lèmprakan nang suket. Sedeng sing paling padang, kanggo tempat maèné kesenian Kècrèt.
Kesenian Kècrèt, ora bèda kaya ketoprak. Cerita sing dipèntasna, molai sejarah, babad, nganti legènda. Waktu maèn, laka sutradara. Pemaèn dijor klowor ngatur laku awaké dèwèk. Sing arané kostum, lan tata riasé, uga apa anané. Pokoké macem, lan pas kambèn perané.
Pemaèn Kècrèt, ora paham sing arané bloking atawa aturan-aturan sing malahan gawé nyrimbedi kemajuan seni. Penalaran seniman Kècrèt, seni kuwé kudu jujur. Jujur maring penontoné, lan jujur kambèn keseniané. Dong ora jujur, moniné munafik. Tontonan Kècrèt, biasané ditapuki jam wolu bengi kosih jam enol-enol. Kadang nganti jam siji.
Penari Jantoek molai beraksi, dong bocah-bocah cilik wis pada balik lan wayahé wis dalu. Masalahé, sing arané tari Jantoek khusus tontonan nggo wong tuwa-tuwa lan akèhé wong lanang.
Bisa ditebak, adong ana wong wadon ndiker nonton kosih bubar, ora liya maning tlembuk sing sijuluki ‘selawé rubuh’. Maksudé, tlembuk bodol sing bisa diembat nang gerbongan atawa nang kebon melati sing ana mbang lor stasiun sepur. Slèmèké cukup nganggo koran utawané klasa. Samana uga sauwisé nglakoni ‘campur’, nggunakna buntel nggo kosod bejuh.
Nganti saiki, tlembuk-tlembuk ‘selawé rubuh’ nang tlatah Tegal kuwé, mèsih ana. Mangkalé nang lapangan PJKA utawané mbang lor stasiun. Langanané, para tong jèpak utawané para glandangan.
Balik maning soal Jantoek. Dong penari Jantoeké wis nang glanggang pèntas, penontoné sol-solan pada ngereg maju. Sing nang mburi, agé-agé nggunakna padung nggo ancik-ancik bèn marem, ndeleng Jantoeké goyang hot.
Kayadèné biduan dangdut, penari Jantoek uga sar-ser. Artiné gelem dikeloni lan ngeloni sauwisé bubaran pèntas. Kanggo wong wadon sing dadi penari Jantoek, bab gabrud laka masalah. Lan pancèné diarep-arep. Dosa? Laka kamusé. Penari Jantoek butuhé mangan wareg, nyandang, lan udud ngingsor nduwur! Ces...
“Kira-kira begitu, sejarah singkat tari Jantoek dan pelakunya Tuan Meneer” Obot nutup cerita soal Jantoek.
“Sungguh mengagumkan! Tapi apa betul, kowé orang bilang penari Jantoek bisa diundang en....temani saya semalam Obot?”
“Oh....bisa sekali. Tuan Meneer mau pakai?”
“Oh....soal itu nanti dulu Obot. Saya masih ingin faham akhir kesenian sintrèn. Saya sabar menunggu penari Jantoek itu usai pentas”
“Mm...maaf Tuan Meneer. Saya mau undur diri,”
“Oh ya. Kowé orang mau ke mana?”
“Mau omong sama penari Jantoek buat Tuan Meneer....” semauré Obot.
“Oh....good, good. Kowé orang bisa bekerjasama Obot” omongé Kaptèn Vantje van Dèck kambèn gemuyu. Samana uga Obot.
“ Saya undur diri Tuan Meneer....”
Obot pamit, latan nggabung nang rombongan sintrèn. Dèwèké njagong njèjèri Jayus si tukang kendang.
“Kowen ditakoni apa baé karo Landané Bot?” takoné Jayus.
“Macem-macem Yus”
“Apa baé sih?”
“Soal kagumé maring kesenian sintrèn, Jantoek nganti kemecer maring Gendari”
“Pengin nanyak?”
“Kaya kuwé lah, ngarti dèwèk...”
Goyang Jantoek mèsih ramé-ramèné. Bokongé Gendari trus nggèol. Benginé sangsaya bengi. Tapi penontoné tetep betah. Pada kemecer maring goyang saruné Gendari. Napsu syahwaté Kaptèn Vantje van Dèck dadi tambah munjuk. Tapi dibekep sakuwat-kuwat. Dèwèké mèsih kepèngin nonton sintrèné kosih bubar.
Kanggo dèwèké, tontonan kesenian rakyat kiyé, bener-bener ajaib. Ora nana nang negara asalé. Bab kiyé sing ndadèkna dèwèké ora mingser saka panggonané. Nang mburi panggung, Catim atur siasat. Wayahé wis cukup kanggo nlusup maring markas, mbèbasna Niti.
“Mèd, Ommèb...”
“Ya Tim. Apa?”
“Dong tembang Tali Jaran Ucul wis ngumandang, nyong pan nlusup maring markas. Nyong pan mbebasna Niti” omongé Catim.
“Toli?”
“Dong kowen weruh geni mulad-mulad mbang kulon, artiné nyong wis ngobong markas”
“Trus?”
“Gagiyan rombongan sintrèné kon siap-siap mlayu. Lan tugasé kowen kambèn Kopral Draup, uga Harun, nglindungi keslametané rombongan”
“Mlayuné maring endi, Tim?”
“Bablas ngètan, mlebu alas jati. Paham Mèb?”
“Paham. Kanca-kanca sing Pakulaut tekané jam pira?”
“Kowen ora susah ngurusi bab kuwé. Pokoké dong wis teka, jasak Sargad mèin kode maring kowen. Kabèh wis diatur. Sing ati-ati nglindungi rombongan. Wis, saiki kowen siap-siap...”
“Ocèh Tim. Merdèka!”
“Merdèka!”
Catim agé baé mlesat. Metu liwat mburi panggung, ilang nang petengan. Ommèb misiki maring jakwir-jakwir, uga maring Mbok Mirah.
“Pesené Catim kaya kuwé, Mèb?” omongé Mbok Mirah.
“Iya Mbok”
“Bèrès wis”
“Aja klalèn. Yu Mar, penari sintrèné lan liyané dimèin ngarti”
“Aja watir. Gendari ya ngko tak mèin ngarti. Pokoké bèrès”
“Oh ya Mbok....”
“Apa maning Mèb?”
“Tari Jantoeké kon wisan oh,”
“Ya...”
Gendari, mèsih goyang Jantoek. Ana saprapat jam, Gendari latan wisan jogèd. Dèwèké trus njagong. Ambekané ngos-ngosan, kringeté byuk-byuken.
“Ndari....”
“Ya Mbok. Pimèn?”
“Kowen siap-siap. Sedèlat maning ana serangan. Kanca-kanca sing Pakulaut pan pada anjog. Catim lagi nlusup maring markas”
“Ya Mbok”
Gendari ngèngsod maring mburi trus kekes-kekes. Sawetara, Mbok Mirah uga ngomong pada baé maring Yu Mar.
“Ya wis oh Mbok, gagiyan. Widadariné wis ngranjing maring awaké enyong. Nyong njaluk tembang Prawan Tingting ”
“Ora langsung Tali Jaran Ucul sisan?”
“Widadariné sing ngongkon. Bar kuwé tembé Tali Jaran Ucul,”
“Éh....para pesindèn, para tukang gending, sintrèné njaluk tembang Prawan Tingting...” Mbok Mirah gemboran.

Prawan tingting lagi ndapuk sintrèn
paman bibi aja ganggu gawé
seminggaha sing adoh, aja nang kèné


Dumpak tinting dumpak tingting, gamelan ditabuh. Tolih kaya biasané, tembang Prawan Tingting ditembangna. Bodor Madi njogèt, penari sintrèné ngancani sintrèné njogèd. Panggung tambah ramé. Lumih ora mandeg-mandeg mbakar kemenyan. Tapi ujug-ujug sintrèné manjat kurungan. Nang nduwur kurungan sintrèn njogèd. Wong-wong Landa pada keprok. Gèdèg-gèdèg ndeleng sintrèné macha-macha. Tabuhan gamelan sangsaya compong-compongan ngindangi ulah sintrèn sing uga compong.
“Nyong njalauk tembang Tali Jaran Ucul...” sintrèné gemboran.
Mbok Mirah cepet-cepet mrèntah maring para pesindèn karo tukang gendingé kon ngumandangna Tali Jaran Ucul.

Layangan nangsang nang wit-witan
jaran kèpang mlayuné lenceng
taliné ucul, wongé njengkangkang

Raksasa ngamuké kaya sètan
gayané petèntang-petèngtèng
kadiran duwé wenang, mentang-mentang


Tembang Tali Jaran Ucul, ngèdap-ngédapi. Mbok Mirah bengok-bengok sangsaya atas:
“Sedumuk batuk senyari bumi, dilawani pecahé dada, wutahing ludira. Rawé-rawé rantas, malang-malang putung. Getihé sing nagih, nyawané nggo nyaur.....!”
Suwara gamelan tambah seru. Sintrèné ngigel saporèté. Kebul kukus kemenyan, mbulek-mbulek. Suwasanané sangsaya sangar. Penabuh kendangé, Mbok Mirahé lan liya-liyané pada ngadeg mèlu njogèd. Sawetara sing nabuh gamelan, posisi sikilé ancang-ancang kayadèné posisi uwong sing pan mèlu balapan mlayu.

*


Suwara sangsaya nggiwar-nggiwar kegawa angin. Wulané ceplok ndadari gèsèr mangulon nglangkahi wit-witan. Krembak-krembik Catim mlebu markas Landa. Mbak klèntab, ciplosé Catim weruh serdadu Landa nuju WC. Langkahé Catim balik nuju ngètan. Maksudé liwat mburi markas. Jebulé ana penjagané. Kepaksané, umpetan nang lawang. Lamat-lamat, kupingé krungu suwara.
“Kowen ngaku baé Niti. Aja gawé susah awaké dèwèk”
“Ora sudi! Rika kuwé ora idep isin Jayèng Laga. Rika dibayar pira karo Landa?” suarané Niti kambèn Jayèng Laga jelas ketangkep nang kupingé Catim.
“Saiki kowen bisa ora bisa, kudu ngomong Ti. Nang endi bala-balané kowen pada umpetan?” omongé Jayèng Laga.
“Enyong ora pan walèh”
“Kowen kudu walèh!”
“Ora bakal!”
“Pokoké kowen kudu walèh!”
“Ora ya ora! Titik”
“Kowen aja gawé nyong dugal. Aja nambah perkara!”
“Sampé kiamat kurang sadina, nyong blèh pan ngaku”
“Dong kaya kuwé, kowen bakal ames!”
“Nyong ora wedi. Nyong wis siap. Mati baé tak lakoni. Luwih mulya ketimbang dadi pengkhianat!”
“Oh....njaluké kowen kaya kuwé? Ocèh!”
Rainé Jayèng Laga abang mbranang. Dèwèké trus marek maring Niti. Jangguté Niti dijawil.
“Dobol rika! Aja kurang ajar Jayèng Laga!”
Diomong dobol, Jayèng Laga kur mesem. Malahan klakuwané tambah ngèdan. Tangané Niti ditarik, awaké pan disikep. Niti mbanggel-mbanggel lan sikilé njejek. Sanalika, cengkremané Jayèng Laga ucul. Dèwèké mlayu maring pojok, ngadohi Jayèng Laga.
Matané Jayèng Laga sangsaya abang mlonang. Atiné panas baran, ambekané ngos-ngosan. Lon-lon dèwèké marek maring Niti kambèn tangané njepapak kaya kèwan Banyak ngoyok-ngoyok bocah cilik.
“Hayuh! Kowen pan maring endi maning? Kowen pan njaluk tulung maring sapa? Nang kèné laka kanca batir. Kowen pasrah, bakal slamet!”
“Blèh sudi dobol!”
Jayèng Laga tambah bringas. Niti waspada. Dèwèké nggèsèr posisi. Jayèng Laga trus ngoyok. Niti mlayu.
“Aja sembrana maring wong wadon bangsèt! Tuluuung.....”
“Kowen pan njaluk tulung sapa? Lawangé wis tak kunci. Gemboran sampé telaké jobad, laka uwong sing pan krungu. Ayoh bocah ayu, nyong wis ora kuwat. Wis puluhan taun, nyong durung mambu wong wadon maning! Ayoh Niti, ayoh.....”
Ugf! Tangané Jayèng Laga nyawèl roké Niti. Godog-godogan, roké Niti kosih bedah. Mung kaya sètan alas, Jayèng Laga akhiré sempet nugrup. Kena! Niti upaya mbanggèl-mbanggèl, tapi ora duwé daya.
Ah ya! Saiki, perasaané Niti wedi por-poran. Awit mula dèwèké ketangkep Landa, prasaan wediné ora patiya nemen dirasa. Tapi saiki ngadepi Jayèng Laga, wedi mbangkana-kana. Gudu wedi jalaran diancam, tapi apa sing dibayangna aja-aja dadi katemahan, yakuwé diperkosa. Ih!
Sakuwat tenaga, Niti mbrontak. Ndadekna dèwèké kepental maring tembok. Tapi Jayèng Laga trus ngoyok. Nang jaba, atiné Catim mrempeng, krungu ribut-ribut nang njero pelandratan.
Sangkin ora kuwat nahan sèwot, Catim gitir nuju kamar lan mancal lawang pelandratané Niti. Kancing lawang tugel, trus mbuka ngablag-ablag. Catim weruh Jayèng Laga lagi ngoyok-oyok Niti, rikat dèwèké nubruk. Guluné Jayèng Laga dikiting sakuwat-kuwat nganggo tangan kiwa. Ilaté Jayèng Laga mèlèd-mèlèd, matané mendelik.
Durung sempet Jayèng Laga nandangi, wetengé ditubles nganggo blati. Sanalika awaké Jayèng Laga njimprak bareng getihé sing mantur. Trus mlorod mengingsor. Tangané Catim agèa ngelosna. Suwara mbak degug awaké Jayèng Laga tiba nang jogan karo getihé dladrahan.
Niti blèh nyangka Catim pan teka. Dèwèké kamitenggengen. Tapi ujug-ujug Niti nyikep kenceng maring awaké Catim. Luh banyu matané mili nang pipi. Niti nangis kamiseseken.
Catim ora nyangka Niti pan nyikep, dadi ngrasa nemen ana barang empuk sing metek nang dada Catim. Tapi Catim ora nganggep sikepané Niti kuwé, sikepan birahi. Catim cuman ngrasa, Niti kuwé lagi kamigilan. Tembé ucul saka acamané Jayèng Laga.
“Tim....” omongé Niti karo kamisesegen.
“Ya Ti...”
“Apa dadiné dong kowen ora teka?”
“Ah...sing penting kowen slamet. Saiki gagiyan metu sing kèné...”
Niti mandeng maring Catim. Catim cepet narik tangané Niti, trus mlayu metu saka njero markas Landa. Tekan njaba, Catim njukut bènsin sing mau didokon nang wit pring. Trus tèmbok-tèmbok markas diguyuri toli disumed nganggo pentol korèk.
Sauwisé ngobong markas, wong loro mlayu maring alas jati. Rada adoh, wong loro njagong nang watu, pinggiran Kali Cacaban.
“Makasih Tim. Kowen wis nylametna nyawané enyong. Enyong dutang nyawa karo kowen...”
“Aja ngomong kaya kuwé Ti. Kiyé wis dadi kewjibané enyong. Enyong tau janji karo Abah, sampé kapan nyong pan nglindungi kowen.....”
“Kowen bener-bener sahabat sing setiya. Langka maning wong sing duwé welas asih kaya kowen. Jènggèr wis laka, Kang Drajat embuh maring endi. Abah karo Manèné enyong uga wis ora nana. Saiki, kari kowen, sahabat sing bisa dipercaya”
Atiné Catim paribasan kaya diwisuhi embun. Gudu embun sembarang embun, tapi embun katresnan sing mili saka atiné Niti paling jero. Wong loro pada sawang-sawangan. Wong loro uga pada mesem. Nang nduwur, lintangé mralak. Catim ngrasa ana bab anèh sing ujug-ujug tukul saka njero atiné. Samana uga sing dirasa gonèng Niti. Embuh, prasaan apa kuwé!
Angin pinggir Kali Cacaban, atis ora panas uga ora. Pating bleber lawèt-lawèt alas nang sela-sela wit-witan sing godongé pada garing lan brondol. Wulan bunder ngambang nang kali. Niti karo Catim pandeng-pandengan. Rainé Niti disawang Catim katon ayu kena cahyané wulan, sawetara rainé Catim katon bagus sajeroné sawangané Niti. Lamat-lamaté gamelan sintrèn kaprungu gonèng wong loro.
“Ti....” Catim nyuwèk sepi.
“Iya Mas.....”
Catim ngrajuk. Durung pernah Niti ngundang dèwèké nganggo sebutan ‘Mas’. Tapi wengi kiyé, Catim bener-bener atiné krasa anèh. Ana bocah wadon sing diimpèn-impèn salawasé urip, nang tengah alas pinggir kali pisan, ngundang maring dèwèké ‘Mas’. Ih! Catim kaya-kaya olih karunia sing Pengèran, ora baèn-baèn uga ora dinyana-nyana.
“Wis taunan, nyong mendem ati kambèn kowen. Wajibé wong lanang, ngutarakna isi atiné. Saiki tak jaluk, iklasé kowen dadi sigaran nyawané enyong nganti kaki nini-nini” omongé Catim.
Krungu omongan kaya kuwé, Niti tibané meneng. Pengangen-angenané limbung, diiringi tembang-tembang asmara. Lon-lon luh banyu matané Niti ndlèwèr. Gudu tangisé wong wedi mati, tapi tangis seneng sing laka padané.
“Kowen nrima omongané enyong Ti?”
Niti nyawang maring rainé Catim. Trus mantuk.
“Ya....”
Nang langit, wulané mblesek maring mèga-mèga krungu wong loro madu kasih.
*

Geni sing mulad-mulad ngobong markas, sangsaya kemratak suwarané. Sadèlat maning tontonan sintrèné, wisan. Tapi Lumih sengaja kon terus mbakar kemenyan. Panggung pèntas dadi kebek kebul menyan. Oncor penerangan uga katon kiyep-kiyep. Tapi langit mbang kulon, malah sangsaya padang. Warna abangé katon jelas. Matané Ommèb sing ngonangi suwasana mbang kulon, agé-agé misiki Mbok Mirah.
“Mbok...”
“Ya Mèb....” semauré Mbok Mirah.
“Delengen kaé kahanan mbang kulon. Langité katon abang mbranan, kaya-kayané Catim wis kasil ngobong markas”
“Iya Mèb. Langité tambah padang jibrang” Matané Mbok Mirah ora kedèp mandeng ngulon.
“Sampèyan siap-siap”
“Ya, ya...”
Ommèb trus mèin weruh maring kanca rombongan sintrèn. Mbok Mirah gemboran.

Kembang kapas diwadahi gelas
Paman bibi sing pada awas
Wayahé jam rolas

Wong-wong paham basa isyaraté Mbok Mirah. Siap-siap wong-wong pada mlayu. Siji turut siji, wong-wong nlintis maring mburi. Ujug-ujug, krungu ana suwara wong gemboran:
“Kebakaran....”
“Kaptèn...Kaptèn! Markas kebakaran....”
“Lihatlah Kaptèn, api berkobar di sebelah barat!”
Wong-wong pada gemboran. Kaptèn Vantje van Dèck kagèt ora ketulungan. Samana uga wong-wong Landa sing pada nonton, gyayapan pada tangi ndeleng geni mulad-mulad nang sisih kulon. Pating blangsat wong-wong Landa akhiré pada gedebugan. Nang nduwur pèntas Yu Mar cepet-cepet dilarak Gacon.
“Gotverdomme zegh! Ini bener-bener keterlaluan. Para ekstrimis harus ditumpas! ” Kaptèn Vantje van Dèck uring-uringan. Pèstol ditèmbakna maring nduwur. Kahanan ruwed.
“Pada mlayu ngètan kabèh....” omongé Ommèb.
“Trus ngètan mlebu alas....” Mbok Mirah nyuwara.
Rikat rombongan sintrèn manjing alas jati. Tapi ora nduga ora dinyana, ujug-ujug Yu Mar mbalik arah maring arèna pèntas karo cangkemé gemboran.
“Kang.....Kang Jènggèèrrr! Kang Jèèèèngggggèèèèèr......”
Karuwan baé wong-wong digawé panik. Agé-agé, Kopral Draup ngoyok. Pengalaman perang waktu taun 1945, ndadèkna Kopral Draup gampang ngatasi masalah. Gulu mburiné Yu Mar ditengkel nganti semaput. Yu Mar dibopong nuju alas jati.
Tekan nang njero alas, Yu Mar disadarna gonèng jasak Sargad. Mbok Mirah takon:
“Bisané kowen mlayu ngulon, Mar?”
“Enyong weruh jenaté Kang Jènggèr mlayu, manggul cocolan Mbok....” omongé Yu Mar kambèn mingseg-mingseg.
“Kuwé gudu Jènggèr. Jènggèr wis ora nana. Kowen kudu ikhlas, bèn arwahé Jènggèr ayem nang alam kelanggengan Mar....”
“Jiwané enyong kaya dibelèk-belèk Mbok. Nyong keyungyun. Kang Jènggèr, rasa-rasané mègin urip. Ana nang atiné enyong, ana nang matané enyong, uga nggatol baé nang pengangen-angené enyong...”
“Nyong ngarti Mar. Wong kepatèn kuwé, nggrentesé laka padané. Kayadèné waktu nyong kepatèn Kartijah, bocah wadon semata wayangé enyong, kepimèn rasané? Dunya katoné peteng dedet, ati krasa njelu. Waduké lara, paribasan kaya nyong lagi dolanan simbar klungsu, ujug-ujug ana bocah wadon nyrowok sing mburi. Tapi kepibèn maning, pan nggetuni selawasé urip? Wis susah aja digawé susah. Tawakal lan ihklas, kuwé obat paling manjur...” omongé Mbok Mirah.
Yu Mar ora njawab sakecap-kecapa. Mung tetep baé kamisesegen. Saben dina, dèwèké ngrasa kèlangan maring Jènggèr.
Kemelasen, Mbok Mirah ngelus-ngelus rambuté Yu Mar. Tapi orabada matané dèwèk uga mèlu merkabak. Saclerengan, kemutan suwarginé Kartijah. Ah, ah ah....!!
Ujug-ujug, krungu dar dèr dor tèmbakan. Suwarané kaya rèntèngan mercon waktu dina bada. Ya! Kaé, tanda pasukan gabungan saka Kesatuan Komando Tegal lagi pada nggempur maring wong-wong Landa.
Lan pancèné bener, saka telung jurusan pasukan gabungan republik ngobrak-abrik prajurit-prajurit Landa sakarang-karang. Olih serangan dadakan, prajurit-prajurit Landa pada kewalahan; Kopral Conrad, Kopral Parirèa, Sersan Flour lan puluhan serdadu-sedadu Landa liyané, njengkangkang dadi mayid. Tapi ora kalah renané, pihak republiké uga pada dadi korban, mati.
Rong dina sauwisé bledugan kuwé, pasukan Landa wales ukum. Walesané ora baèn-baèn. Markas Republik nang Pakulaut digempur saporèté. Lerebé serangan, wong-wong Pakulaut, Margasari dikumpulna gonèng Kaptèn Vantje van Dèck nang plataran Pasar Margasari pada kon baris. Siji turut siji, wong-wong sing dicurigai, diangkuti trek nuju Pekalongan pan dijeblosna nang penjara termasuké Bekel Subur, Pak Komandan, Harun lan jasak Sargad.
Sawetara kuwé, Catim Cs kambèn Pasukan Komando Tegal trus nglakoni gerilya. Laka kapoké laka pedoté.....



Pragat


Tegal 24/10/07 – 09/1/2008

NOVEL tegalanku yang pertama ini menjadi cerita bersambung pada tabloid Suaka. Dan menjadi bacaan menarik oleh masyarakat Tegal, Brebs, Slawi, dan daerah sekitanya, karena bercerita tentang peperangan yang penuh dengan pergolakan. Di cerbung ini orang bisa melihat bagaimana masyarakat Tegal telah turut andil dalam kemerdekaan RI.