Senin, 28 September 2009

ALBUMFOTO KELUARGA

Laras sedang panyungan di depan rumah neneknya, Salamah, di Dukuh Sabrang, Desa Pangkah, Kecamatan Pangkah, Kabupaten Tegal. Bersama ibu dan aku bertandang ke rumah nenek waktu hari lebaran tahun 2009. (Foto :Lanang Setiawan)

Laras (berkacamata hitam) dan para ponakanku di rumah Kalibuntu, Kelurahan Panggung,Kota Tegal waktu hari lebaran pertama tahun 2009.

Laras dan Vira
Vira dan Laras
Laras berziarah di makam kakaknya, Ken Narendra Mediasah Muhammad saat hari lebaran 2009, di pemakaman Pasir Luhur, Kelurahan Slerok, Kecamatan Tegal timur, Kota Tegal,Jawa Tengah, Indonesia (Foto :Lanang Setiawan)

Laras sedang panyungan di depan rumah neneknya, Salamah, di Dukuh Sabrang, Desa Pangkah, Kecamatan Pangkah, Kabupaten Tegal. Bersama ibu dan aku bertandang ke rumah nenek waktu hari lebaran tahun 2009. (Foto :Lanang Setiawan)

Foto Keluargaku

Ken Ayu Laras Queena (berkacamata hitam) dan ponakan-ponakanku di hari lebaran.

Reza (anak nomor dua Lintang Sandi Alam) dan Laras. Mereka saling lirik. Manis sekali dan akrab.
Ken Rezar Setiawan,anak pembarepku.

Laras sedang panyungan di depan rumah neneknya, Salamah, di dukuh Sabrang, Desa Pangkah, Kecamatan Pangkah, Kabupaten Tegal. Bersama ibu dan aku bertandang ke rumah nenek waktu hari lebaran. (Foto :Lanang Setiawan)

Foto-Foto Keluarga Kalibuntu

Ken Ayu Laras Queena di tengah-tengah antara ponakanku, Lintang Sandi Alam dan istrinya. Membelakangi kamera Vira, saat bersilahturami di rumahku pada hari lebaran (Foto: Lanang Setiawan)
Laras (berkacamata) dengan saudar-saudaranya (ponakanku) berkumpul saat hari lebaran pertamadi Kampung Kalibuntu, Kelurahan Panggung, Kecamatan Tegal Timur, kota Tegal, tempat kelahiranku (Foto :Lanang Setiawan)
Ken Ayu Laras Queena dan Vira (anak pembarep dari Lintang Sandi Alam -ponakanku) memperlihatkan buah maja, saat hari lebaran di rumahku (Foto : Lanang Setiawan)

Selasa, 22 September 2009

Baca Sajak 4 Bahasa Lokal Untuk Mendiang Rendra

Baca Sajak 4 Bahasa 40 Hari Wafatnya Rendra Puncak Acara Kesenian Spektakuler

MALAM pembacaan terjemahan puisi karya Rendra, Selasa (15/9) lalu menjadi puncak acara spektakuler diantara pagelaran kesenian yang pernah diadakan. Pada malam “Mengenang Kematian Rendra” dan “40 Hari Wafatnya Rendra” yang digelar Dewan Kesenian Kota Tegal sebelumnya, tak lebih dari sekadar aksi pentas tanpa memiliki getaran apa-apa karena dilakukan hanya bertumpu pada teks-teks bahasa aslinya, seperti pembacaan puisi pada umumnya yang sama sekali tidak melahirkan geliat kebudayaan baru. Lain sekali pada malam 40 kematian Rendra yang digeber oleh komunitas Asah Manah bekerjasama dengan Sanggar Putik 99 Slawi, dan Komite Seni – Sastra Dewan Kesenian, Kabupaten Tegal, justru melahirkan aura pembaharuan. Tidak tanggung-tanggung, pagelaran malam itu mengusung 4 bahasa. Bahasa Tegal, Banyumas, Solo, dan Aceh. Demikian penyair Banyumas, Ekadila Kurniawan mengatakan hal itu seusai membacakan sajak Rendra “Sajak Wong-wong sing pada Kecot” dalam terjemahan Banyumasan dari sajak asli berjudul “Sajak Orang-orang Lapar”. Acara tersebut digeber di pelataran parkir Gedoeng Rakyat Balai Kesenian Kabupaten Tegal dalam rangka “Pengètan Patangpuluh Dina Tilar Donyané WS. Rendra”.


Keterangan Foto : Dinda Kharisma, Lanang Setiawan, dan Ekadila Kurniawan saat meramaikan acara mengenang 40 hari kematian Rendra


Menurut Ekadila, pagelaran tersebut benar-benar diluar jangkauan pikirannya karena dikemas sangat langka dan baru pertama kali di nusantara. “Ini benar-benar acara spesifik dan berbobot. Baru kali saya menemui pagelaran cukup unik, karena hanya dengan bilangan satu malam sajak Rendra diterjemahkan dalam 4 bahasa,” tuturnya. Eka mengaku antusias mengikuti acara tersebut, berkaitan dengan materi yang diangkat itu memiliki tantang. Masing-masing penyair diwajibkan menterjemahkan sajak Rendra dalam bahasa lokal. Ia sendiri harus bersusah payah menterjemahkan sajak Rendra dalam Bahasa Banyumasan. Bagi Eka, menterjemahkan dan membawakan sajak tersebut tidaklah mudah. Ia musti berlatihan secara mendalam untuk bisa fasih menggunakan bahasa ibu-nya. “Rasanya beda sekali ketika saya membacakan sajak alsinya. Saya sendiri waktu menterjemahkan sajak itu ke dalam Bahasa Banyumasan membutuhkan waktu satu minggu lebih,” kata Eka. Hal yang sama dirasakan juga oleh penyair Solo, Sosiawan Leak. Meski dia sudah berpengalaman melakukan lawatan budaya dengan pembacaan puisi, namun ketika menghadapi sajak terjemahan, ia mengaku harus berlatih beberapa hari. “Membaca dan menterjemahkan sajak Rendra dalam bahasa lokal Solo, ternyata tidak gampang. Saya kesulitan mencari padanan kata agar tidak menggusur makna dari sajak aslinya,” kata Leak. Ketika Leak membacakan sajak “Donga Nom-noman Rangkasbitung ing Rotterdam” dari sajak asli berjudul “Doa Pemuda Rangkasbitung di Rotterdam”, ia tampak kikuk pada awal pembacaan. Leak mengaku tak biasa membawakan sajak Rendra dalam teks-teks bahasa ibu-nya. “Pada tanggal 13 September lalu saya baca sajak Rendra di Kota Tegal dalam teks aslinya, malam ini saya dihadapkan pada teks terjemahan Bahasa Solo, saya merasakan ada nuasa lain yang asing. Tapi pagelaran di Slawi malam ini sangat menarik dan kreatif sekali,” akunya. Penyair Abu Ma’mur, Mi’raj Andhika, Dinda Kharisma, Yaskur Parondina, dan Linda Manise yang baru pertama kali membaca sajak terjemahan Tegalan, juga mengaku kerepotan. “Jebulé tak gampang baca sajak dalam bahasa lokal, ya?” ujar Linda Manise yang malam itu membawakan sajak terjemahan Diah Setyawati berjudul “Sajak Mané” dari sajak asli berjudul “Sajak Ibu”. Sementara itu ‘Si Pelukis Setan’, Indraning yang membacakan sajak “Kangen” terjemahan Solo-nan, menjadi pengalaman pertama yang mengasyikan. “Seumur-umur saya baru malam ini baca sajak, apalagi pakai Bahasa Solo luar biasa sulit.,” katanya. Ia mengaku, kendati merasa sulit namun asyik juga baca sajak terjemahan. Menurutnya, seperti ada pengalaman yang asing ketika ia melantunkan bait-bait puisi itu. Begitu juga ketika dia mendengarkan sajak-sajak Rendra yang diterjemahkan dalam Bahasa Tegalan, Aceh, dan Banyumasan. “Bener-bener penuh greget yang tak bisa diperoleh dari sajak-sajak yang menggunakan bahasa nasional. Saya merasakan pagelaran ini menjadi acara tiada dua dari acara-acara serupa,” tandasnya. Membaca sajak terjemahan dari bahasa ibu-nya, diakui oleh para penyair yang malam itu tampil, memiliki satu keindahan khusus meski mereka mengaku agak kikuk. Meski demikian, acara yang mengundang banyak pengunjung itu berlangsung cukup gayeng. Selama pagelaran, para penonton tak satupun beranjak dari tempat mereka duduk lesehan. Mereka antusias mengikuti jalannya acara. Bahkan ketika penyair dan penulis buku Hamidin Krazan membawakan sajak “Seonggok Jagung di Kamar”, penonton turut berdendang ketika dia membangkitkan suasana pentas dengan tembang dolanan. Bahasa ‘ngapak-ngapak’ Banyumasan yang dia pakai, mampu menciptakan suasana penuh greget dan sorak. Tak kalah menarik juga ketika muncul penyair Mi’roj Adhika membawakan sajak “Rick sing Coronna” dalam terjemahan Tegalan, aplaus penonton berkepanjangan karena Bahasa Tegalan yang dia bawakan cukup medok dan sangat memikat “Saya bangga dengan Bahasa Tegalan, mas Lanang sangat pas menterjemahkan sajak Rendra Rick Dari Coronna itu. Saya jadi ingin membawakan lagi pada even lain,” kata Mi’roj yang kondang ‘Si Burung Wambie’ itu usai pembacaan. Tak mau kalah penyair Abu Ma’mur. Dengan membawakan sajak “Wong Wadon sing Kesisih” dari sajak Rendra berjudul “Perempuan yang Terusir”, Ma’mur tampil menghentak dengan logat Tegalannya yang menggigit. Ia menguasai pembacaan dengan penghayatan penuh, kadang-kadang juga seperti lolongan srigala di malam buta seakan-akan merasakan kepedihan penderitaan kaum wanita yang nasibnya disingkirkan oleh kesewenangan. Sebagai pembaca puisi, Ma’mur tampil amat utuh memberikan nuasa Tegalan yang memiliki kekuatan pukau. Ia mengaku, Bahasa Tegalan sebagai bahasa sastra membawa gairah kebudayaan di jagat khazanah sastra nasional. “Baca sajak dengan bahasa nasional, orang awam pun bisa. Tidak perlu hafalan, langsung bisa. Tapi baca sajak dengan bahasa lokal, sungguh penuh tantangan!” katanya. Pada puncak acara, tampil novelis ‘Pengendara Badai’ Lanang Setiawan. Dengan melantunan lagu tegalan “Tragedi Jatilawang” ciptaannya, ia ‘menghipnotis’ penonton untuk tetap terpaku. Aransemen musik orkestra yang dikemas oleh violis Bintoro Tanpo Aran, menjadikan lagu itu semakin berkelas. Apalagi ketika Bupati Tegal Agus Riyanto tampil membacakan Catatan Putu Wijaya tentang konsisten Rendra sebagai tokoh pembahru, acara tersebut melipat-gandakan makna pagelaran. Dan ketika kemudian Agus didesak penonton untuk menyanyikan satu tembang dari album miliknya, para penonton turut berdendang bersama. Usai penampilan bupati, sederetan musikalisasi puisi oleh grup musik Asah Manah, melengkapi malam itu seperti dipenuhi sihir pukau, karena kelompok ini tampil prima dengan garapan musik tak sekadar muncul, tidak seperti kelompok musik yang mengaku sebagai kelompok musik sastra. Grup pimpinan Diah Setyawati itu membawakan sajak-sajak Diah Setyawati dan Nganti Wani Wiji Thukul, dinyanyikan oleh Bintoro dan Dinda Kharisma. Menurut ketua penyelenggara, Diah Setyawati, puisi-puisi terjemahan yang dibacakan malam itu ada 25 buah. Selain diterjemahkan oleh Lanang Setiawan, Diah Setyawati, Sosiawan Leak, Hamidin Krazan, Ekadila Kurniawan, Indraning, Abu Ma’mur, dan lain sebagainya. ”Ini luar biasa, puisi Rendra disulap dalam berbagai bahasa lokal menjadi semakin akrab dengan kita. Enak, lugas dan menyenangkan,” ujar Diah. Ditambahkan, kegiatan ini dimaksudkan untuk menyemarakkan geliat berkesenian dengan berpijak pada spirit Rendra dan spirit Tegal. “Diharapkan kegiatan ini tidak sebatas seremonial mengenang almarhum melainkan untuk menambah daya dalam berkarya seni apapapun bentuknya. Ppengangkatan bahasa ibu sebagai media penerjemahan sajak-sajak Rendra, antara lain agar penyair lebih intens dalam olah bahasa,” tandas Diah. Selain mereka, panitia juga mengundang penyair Haryono Sukiran (Purbalingga), Lukman Suyanto (Brebes), Cak Kacung (Padepokan Bengkel Teater Rendra), Bukhori (Pemalang), dan secara khusus panitia mengundang Cik Firmansyah dari Aceh yang malam itu membawakan sajak Rendra dalam kemasan budaya Aceh. Dia tampil dengan diiringi seruling dan tari etnis yang dibawakan Wahyu Boled Cs (*)

Jumat, 11 September 2009

SASTRA TEGALAN SEBAGAI 'ANJING PENJAGA'


Sastra Tegalan sebagai ‘Anjing Penjaga’

Oleh Lanang Setiawan

Sastra tegalan kian booming di ranah sasterawan Tegal. Pencitraan dan penguatan jatidiri ini tampak kentara ketika beberapa waktu lalu digelar acara “Malam Mengenang Rendra” dibeberapa tempat di Kota Tegal. Tidak sedikit para penyair menyuarakan sajak-sajak Rendra dalam diterjemahan bahasa Tegal.

Sastra tegalan sebagai ikon Tegal yang makin diusung mereka agar lebih agresif, aktif, dan moncer di wilayahnya, tak bisa dipungkirin mulai melangkah dan menggebrakadalah ketika mereka melakukan pembacaan antologi “Roa, Kumpulan Sajak Penyair Indonesia Terjemahan Tegalan” di Taman Budaya Surakarta tahun 1994 silam. Gerakan pembrontakan ini kemudian disusul lewat undangan lawatan pembacaan puisi tegalan ke Indramayu, “Jèd-jèdan (adu) Maca Puisi Tegalan” antara Walikota Tegal Adi Winarso, Bupati Tegal Agus Riyanto, Ketua DPRD Tegal Ghautsun, plus dua anggota dewan, para birokrat, dan para seniman di Gedung Kesenian Tegal, diteruskan gerakan Bupati Tegal dan para seniman mendobak pembacaan “Tembangan Banyak” ketika kami diundang ke “Wapres”, di Bulungan, Jakarta. Belakangan kami tidak tanggung-tanggung merayakan “Hari Sastra Tegalan” yang kami peringati tiap tanggal 26 Nopember dengan melakukan pembacaan puisi tegalan di Semarang dan TBS. Sejak itu, sastra tegalan pun makin menjadi booming.

Gerakan kebudayaan yang kami dikibarkan itu, oleh sebagian kalangan dinamai sebagai gerakan pembrontakan memperjuangakan bahasa ibu yang selama ini bahasa Tegal kerap diidentikan sebagai bahasa pinggiran, norak, udik atau kampungan, dan tak bertatakarma, ternyata mampu menjadi hulu ledak di ranah kasusastraan nasional. Sekaligus menjadi sebuah breaking news yang memaksa para sasterawan untuk menyimak gerakan kami.

Tak dipungkiri, dengan lahirnya terjemahan puisi “Nyanyian Angsa” karya WS. Rendra yang diobrak-abrik ke dalam bahasa Tegal menjadi “Tembangan Banyak”, suasana keanehan terasa menghentak dan memancing luapan gelombang pro dan kontra di kalangan para sasterawan. Toh, kami tetap melakukan kebinalan bersastra ria demi kepedulian kami mendudukan kebesaran bahasa lokal. Kami sepakat ingin menunjukkan bahwa bahasa kami lebih demokratis dan membumi sebagai alat penyampai sastra, sakaligus menjadi ‘pembangkang’ dari dominasi bahasa ‘wetanan’. Kami sadar, berabad silam kami menjadi daerah ‘jajahan‘ atas domonasi bahasa wetan sejak jaman nenek moyang. Kami ingin mandiri dengan produk kebudayaannya sendiri sekali pun kebudayaan kami dinilai urakan, namun itu lebih baik ketimbang harus menjadi parasit berbilang abad.

Kami tak rela kalau karya sastra Jawa harus diarahkan menjadi seragam menggunakan bahasa ‘wetanan’. Kami tak rela kalau puisi Jawa itu parameternya berkiblat pada Solo, itu artinya karya sastra Jawa tidak beranjak dari estetika lama. Kami ingin menentukan teks-teks baru yang lebih berkarakter dan membebaskan diri dari gaya dan estetika para pendahulu.

Sebagai anak muda kami harus berani tampil. Kita ambil contoh, keberhasilan Soekarno membangun Indonesia disebabkan karena dia memulai kepemimpiannya dalam usia yang masih sangat muda. Bukan orang yang sudah sunset generation. Ibaratnya, yang muncul tengah hari seperti matahari yang sedang garang-garangnya, begitu juga kami. Kami mau muncul pada saat matahari sedang terik meluap-luap. Kalau mendekati ashar, mendekati magrib, itu sama artinya mendekati hampir gelap dan tidur. Kami betul-betul dilanda birahi dalam proses kesumat pencarian obsesi gebrakan ini. Kami serius sekali memikirkan hal ini agar bahasa ibu kami bener-benar menjadi ikon di kota kami.

Dalam pikiran kami, perkembangan kebudayaan itu tidak harus menyempit. Memberikan pemahaman habitat dan citra seni ini harus bergeser. Begitu juga dalam pagelaran baca puisi. Dulu, yang namanya baca puisi hanya menggunakan teks-teks sastra berbahasa nasional, tanpa melirik perkembangan kesusastraan yang sedang terjadi. Oleh karenanya, wacana pemikiran semacam itu perlu didobrak, karena akan mempersempit gerak dan pekembangan kebudayaan secara global.

Sastra tegalan harus lahir dan menjadi hulu ledak, tentu dibutuhkan perjuangan tanpa kenal lelah, lesu, dan anget-anget tai ayam. Tapi kenapa harus sastra tegalan yang musti dilahirkan dan eksis?

Kami kira, memahami dinamika kebudayaan itu tak cukup senantiasa berkutat pada pemahaman yang sempit. Lebih lagi untuk sastra tegalan yang sedang kami bangun, sebagai sebuah produk kebudayaan diharapkan agar tidak statis beku atau tidak mengenal perkembangan. Memahami kebudayaan dengan cara demikian, hanya akan membuat kita kalap dan ribut besar, seolah ada entitas yang bisa dirampok dari kebudayaan itu. Ranah kebudayaan bernama tegalan harus dibuka lebar-lebar, mblusuk-mblukus ke segala lini dan mrembes pada tataran status apa saja.

Bagi kami, memperjuangkan gerakan tegalan itu harus jumbuh pada pengamalan UUD 45, ini yang pertama. Yang kedua, kami ingin memberi pemahaman bahwa sesungguhnya soal kebahasaan itu tidak ada yang lebih “tinggi” atau “adiluhung”. Dengan demikian, yang namanya sekat-sekat kebudayaan jadi mencair: tak ada bedanya antara yang “serius” dan “pop”, antara yang dianggap “tinggi” dan “rendah”, antara yang “gedongan” dan “jalanan” (Kompas, halaman 12, Minggu 30 Agustus 2009).

Bahasa tegalan sebagai bahasa lisan yang kerap dipandang nyinyir dan dianggap sebagai buah karsa kaum marjinal, sangat berkeinginan menjadi bahasa sastra yang berkelas dan punya daya sengat.

Kedua, gerakan ‘pembrontakan’ kebudayaan kami ini dimaksudkan agar bahasa tegalan kami menjadi ‘anjing penjaga’ dari kepunahan bahasa lokal sebaimana yang dimaui oleh UUD 1945. Tahukah saudara?

Dalam terminologi politik kebangsaan, kata bahasa terkait dengan pasal 36 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa bahasa negara ialah Bahasa Indonesia. Sedangkan mengenai bahasa daerah disebutkan dalam pasal 32 (ayat 2) bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya Nasional. Dalam penjelasan pasal 36 UUD 1945 juga disebutkan bahwa ‘di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik, --misalnya Bahasa Jawa, Sunda, Madura dan seterusnya sebagainya. Bahasa-bahasa itu dihormati dan dipelihara juga oleh negara. Bahasa-bahasa itupun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup. Dan sebagai warisan budaya, bahasa lokal itu telah diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 36 dan UU Otonomi Daerah 2004 ps. 22 huruf m jelas-jelas seluruh komponen masyarakat lokal hendaknya memelihara dan melestarikan warisan sosial budaya. Salah satu warisan tersebut adalah bernama Bahasa Tegal. Jadi, apa yang kami lakukan bukannya sesuatu yang nganeh-nganehi atau ngawur. Tapi berpijak pada UUD 45 maupun UU Otonomi Daerah.

Pelajaran Penting

Sebagai sebuah gerakan memperjuangkan bahasa lokal, terus terang saja kami ingin sekali memberikan pelajaran penting tentang nuansa demokrasi kepada siapapun agar mereka bisa menghapus sikap rasialisme terhadap perbedaan bahasa. Karena apapun alasannya, yang namanya bahasa itu memiliki kekuatan sendiri-sendiri, tidak ada yang lebih “unggul”, “mapan”, atau ”terendahkan”. Soal kebasaan itu berkedudukan sama rendah dan mulia. Pemahaman inilah yang memaksa kami untuk tetap memperjuangkan bahasa tegalan, biarpun para sastrawan pada puyeng, terperangah, dan klenjengan layaknya tersengat kalajengking dengan antupnya yang garang. Atmosfer polemik biar terjadi diantara kritikus, pengamat seni, pemerhati sastra, budayawan, paus sastra atau wader sastra, saling beradu argumentasi dalam kegaduhan pro dan kotra. Sedang kami akan selalu terobsesi untuk menebar virus tegalan sebagai bentuk kreativitas dalam pemberontakan berkesenian.

Kredo kami; siapa pun orangnya akan kami goda untuk terlibat dalam sastra tegalan. Dan semakin kami disepelekan, kami akan menindas dengan karya sastra tegalan. Kami ingin berkeliaran ke mana-mana dengan kemungkinan-kemungkinan yang tak bisa ditebak dan dipasung. Kami ingin menembus ruang dan waktu, mengalir, merembes ke seluruh wilayah dan status sosial hingga terbit fajar baru (*).



MI' ROJ PENYAIR 'SI BURUNG WAMBIE'


Mi’roj Adhika AS, Penyair ‘Si Burung Wambie'

Garis keturunan dia tergolong agamis. Bapaknya, H. Abd Shomad adalah kiai terpandang di wilayah Pekiringan, Kecamatan Talang. Juga ibunya, Nyai Sarisah, ustadjah. Sementara 9 saudara kandungnya berprofesi sebagai ustad. Namun jalur hidup dia justru berbelok menapaki dunia syair. Moch. Mi’roj Adhika AS, demikian nama lelaki kelahiran 14 Januari Desa Pekiringan, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal itu, malah lebih kerasan memilih menjadi seorang penyair.

Baginya, antara profesi ustad dan penyair sama saja. Keduanya memiliki kesamaan menyampaikan kebenaran. “Antar penyair dan ustad itu, perbedaannya sangat tiois, cuma sekulit ari. Keduanya sama-sama menyampaikan kebenaran,” tutur Mi’roj yang kesohor dengan julukan ‘Si Burung Wambie’ karena ketika dia membacakan sederet puisi, suara dia mirip melengking burung Wambie, mengkristal dan mampu menembus keriuhan. Demikian pula kibasan tangannya seolah kepakan sayap Wambie.

Mi’roj -demikian biasa disapa, adalah putra ke 7 dari 11 bersaudara pasangan KH. Abd. Shomad dan Nyai Sarisah. Mi’roj mengaku menekuni dunia kepenyairan sejak kelas satu MTs Negeri Slawi. Sajak-sajak sufinya yang dia tulis sarat dengan tema sosial, banyak dimuat di berbagai media massa nasional maupun lokal.

Tidak sedikit pula sajaknya terangkum di beberapa antologi seperti Antologi Puisi Indonesia (API) penerbit Angkasa Bandung tahun 1997, Jentera Terkasa tahun 1998 terbitan Taman Budaya Surakarta, Potret Negeri Londok Kasmaran, 1998, Juadah Pasar 1998 terbitan media Tegal Tegal dan Dewan Kesenian Tegal, 1998, Potret Reformasi Dalam Ruh Puisi Tegalan 1998, Sajak Cinta Bulan Tembaga 1999, Manusia Angin 2000, Tusukkan-tusukkan Ilalang 1999, Puisi Cinta terbitan Teater KITA, 2002 dan masih banyak lagi.

Bagi Mi’roj, menulis puisi adalah panggilan nurani. Ia merasa dengan berpuisi dirinya telah berbuat kebajikan. “Aku seperti berkhalwat dan terbang jauh ke alam ilahiyah dengan sajak-sajak yang suci yang benar-benar keluar dari rohani,” katanya mantap.

Meski dia punya kegilaan menulis puisi, namun tidak serta-merta dia menumpahkan bait-bait puisinya dengan sembarangan. Karena menurutnya, proses penciptaan puisi dibutuhkan suasana sublim yang tepat. Baginya, satu puisi bisa ditempuh berbulan-bulan lamanya seperti pada sajak berjudul Renungan Sukma; //……/rembulan tertegun/di atas/batu nisan//Sambil/menghitung-hitung/tasbih/memuji-Nya//.

Menurut dia, puisi di atas dicipta dengan proses sangat sublimasi. Dalam bahasa penyair, proses tersebut diperjuangan dengan ‘berdarah-darah’. “Saya menulis puisi itu setelah berkhalwat selama 40 jumat di makam Pangeran Purbaya Syeh Abd Ghofar di Kalisoka,” katanya.

Mi’roj tidak hanya menulis puisi. Di wilayah Slawi dan Tegal, dia tergolong sebagai pembaca puisi yang sudah bilang tahun dan diperhitungkan. Prestasi yang diukirnya pernah menjadi pembaca puisi terbaik di PC NU Kabupaten Tegal, pemenang juara Lomba Cipta Puisi Cinta di Pekalongan, dan beberapa kejuaraan lainnya.

Sebagai pembaca puisi, dia kerap diundang dalam berbagai pertemuan penyair se-Indonesia, termasuk membacakan sejumlah karyanya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta 1997. Tahun 1998 diundang diskusi dalam acara temu Penyair Angkatan Reformasi, di Solo. Ditahun yang sama dia membacakan puisinya saat peluncuran antologi puisi Jentera Terkasa di Taman Budaya Surakarta. Pada tahun 2008 diundang dalam acara Pesta Penyair Nasional, di Kediri.

Sampai sekarang, Mi’roj masih bergabung dengan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) sejak dari tahun 1997. Lelaki yang masih betah membujang ini bersama begawan dan penyair Apito Lahire menggerakan sastra di wilayah Kabupaten Tegal lewat Komunitas Sastra Tegal (KST) dan melalui Teater Pawon. Kehidupan kepenyairannya sengaja dipertahankan karena dia memandang bahwa dunia puisi perlu diperjuangkan, agar jagat sastra di wilayah Kabupaten tetap hidup dan subur.

“Kehidupan sastra, terutama dunia puisi harus tetap eksis agar ada keseimbangan ditengah-tengah kerihuhan jaman yang ukurannya senantiasa dengan takaran kebendaan,” katanya.

Baginya, dunia penyair adalah dunia kemerdekaan berpikir. Demikian pula dalam bertauhid, syaratnya adalah berfikir dengan merdeka. Tak mengherankan kalau dia selalu berpikir dan bersikap merdeka. Ini terbukti ketika banyak saudaranya menjadi ustad, dia malah memilih hidup sebagai seorang penyair.

Selain sebagai penyair, Mi’roj adalah seorang pengajar di SMA NU 01 Wahid Hasyim Talang, dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Shalahuddi Jakarta kampus Pekalongan. Juga sebagai Ketua Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia) NU Kabupaten Tegal, Pengurus Percasi Kabupaten Tegal, Pengurus Forum Guru Swasta Kabupaten Tegal divisi seni budaya, dan Sekretaris Yaysan Shofa Plus Kabupaten Tegal. Banyaknya organisasi yang dia masuki, karena ingin menunjukkan bahwa hidupnya itu harus bermanfaat bagi dimasyarakat kendati sekecil apapun. “Sekali berarti, sesudah itu mati,” tandas Mi’roj meminjam kata-kata penyair Chairil Anwar.

Dalam waktu dekat, Mi’roj akan mendeklamasikan puisi-puisi religiusnya di Kendal, Semarang, Kudus, Pati, Indramayu, dan Jakarta atas biaya sendiri (*)

BIODATA:

Nama : Moh. Mi’roj Adhika AS

Tempat/tgl lahir : Tegal, 14 Januari/27 Rajab

Ayah : KH. Abd. Shomad

Ibu : Nyai Sarisah

Pekerjaan : Pendidik

Alamat : Jl. Beji Pekiringan Rt 08/02 No 38

Kecamatan Talang Kabupaten Tegal

Organisasi : PC (Pengurus Cabang) IPNU Kabupaten Tegal 1992-2006

PC Ansor Kabupaten Tegal 2006-2009

Ketua Lesbumi Kabupaten TEgal

Ketua Komunitas Sastra Tegal di Slawi

Pengurus Percasi Kabupaten Tegal

Pengurus Forum Guru Swasta Kabupaten Tegal divisi Seni Budaya

Sekretaris Yayasan Shofa Plus Kabupaten Tegal

Prestasi : Pembaca puisi terbaik di PC NU Kabupaten Tegal

Juara Lomba Cipta Puisi Cinta di Pekalongan

Antologi : Tergabung di Antologi Puisi Indonesia (API) tahun 1997

Jentera Terkasa, tahun 1998

Potret Negeri Londok Kasmaran, 1998

Juadah Pasar, Tegal1998

Potret Reformasi Dalam Ruh Puisi Tegalan, 1998

Sajak Cinta Bulan Tembaga, 1999

Manusia Angin, 2000

Tusukkan-tusukkan Ilalang, 1999

Puisi Cinta, 2002


Minggu, 06 September 2009

Mengenang Jenate Rendra 40 Hari

40 Dina Jenate WS. Renda Hadirkan
Penyair 4 Kota Bawakan
Sajak Terjemahandan dan Lagu Tegalan

Komunitas ‘Asah Manah’ pimpinan penyair Diah Setyawati bakal usung beberapa penyair dari 4 kota dalam pagelaran “Patangpuluh Dina Jenate WS. Rendra” dalam kemasan pembacaan puisi dan gelar musik tembang-tembang tegalan. Penyair 4 kota itu terdiri dari daerah Tegal, Banyumas, Indramayu, dan Solo. Mereka adalah Apas Kafasi, Linda Manise, Apito Lahire, Moh. Mi’roj Adhika, Abu Ma’mur, Diah Setyawati, Tambari Gustam, dan lain sebagainya (Tegal). Dari Indramayu, para penyair siap hadir diantarnya Nurochman Sudibyo, Acep Syahril, Supali Kasim, dan Hadi Utomo bakal membacakan sajak Rendra terjemahan Indramayu. Dari Banyumas, yaitu Ekadila Kurniawan, dan Hamidin Krazan. Sementara dari Solo penyair Sosiawan Leak, si pelukis ‘setan’ Indraning, dan besar kemungkinan di akan tampil Ki Dalang Slamet Gundono beserta komunitas wayang suketnya. Para penyair dari 4 kota itu nantinya wajib membawakan sajak Rendra dalam terjemahan bahasa daerahnya masing-masing. Hal ini menurut Ketua Penyelenggara, Diah Setyawati, dimaksudkan agar bahasa lokal tetap hidup dan menjadi kekuatan, bukan bahasa yang senantiasa dipinggirkan. “Bahasa lokal itu mustinya menjadi bahasa yang menguatkan bahasa nasional, bukan malah dipinggirkan atau dijauhi oleh para sastrawan,” katanya. Menurut Diah, untuk membangun perkembangan kebudayaan itu tidak harus terpatok pada khasanah sastra nasional saja. Jika hal itu terjadi, perkembangan sastra akan menyempit. “Memahami kebudayaan dengan cara demikian, hanya akan membuat kita kalap dan ribut besar, seolah ada entitas yang bisa dirampok dari kebudayaan itu. Ranah kebudayaan dengan bahasa lokal harus dibuka lebar-lebar, mblusuk-mblukus ke segala lini dan merembes pada tataran status apa saja. Seperti juga dalam pagelaran baca puisi yang sedang kami gagas ini, harus menggelobal di mana usur bahasa bukan lagi menjadi permasalahan yang menggelisahkan para pelakunya,” tandasnya. Konsep itulah yang diharapkani Diah, tak lain agar ranah sastra nasional semakin beraneka ragam, tidak hanya dijejali penggunakaan bahasa nasional, namun sastra lokal pun layak dicatat dan mendapat tempat. Dia mencontohkan, dulu, yang namanya baca puisi hanya menggunakan teks-teks sastra berbahasa nasional, tanpa melirik perkembangan kesusastraan yang sedang terjadi. Oleh karenanya, wacana pemikiran semacam itu perlu didobrak, Hl itu demi kemajuan sastra yang tidak membeda-bedakan bahasa. Karena kedudukan bahasa dalam kebudayaan itu sama. Tidak ada yang lebih “tinggi” atau “adiluhung”. Oleh karenanya, sekat-sekat kebudayaan harus mencair: tak ada bedanya antara yang “serius” dan “pop”, antara yang dianggap “tinggi” dan “rendah”, antara yang “gedongan” dan “jalanan”. Acara malam mengenang “Patangpuluh Dina Jenate WS. Rendra” yang rencananya digelar, Selasa 15 September 2009 mendatang itu, selain mengusung para penyair, dimeriahkan juga penampilan Dinda dan Bintoro. Mereka akam membawakan tembang tegalan ‘Tragedi Jatilawang’ ciptaan Lanang Setiawan yang sudah diaransemen ulang oleh Bintoro dengan irama orkestra berkolaborasi dengan musik-musik etnis. Acara bertempat di Gedung Rakyat Balai Kesenian Kabupaten Tegal, pukul 20. 00 Wib (*)

KETERANGAN FOTO: Penyair Diah Setyawati berfose dibelakang lukisan salah satu karyanya (Foto : Lanang Setiawan)

Kamis, 13 Agustus 2009

EKO TUNAS PUJI PENAMPILAN TAMBARI GUSTAM


Eko Tunas:i
Tambari Memukau Penonton dengan

’Dadiya Siji Tlembuk-tlembuk Kota Jakarta’

JANJI
seniman pentolan Tegal H. Tambari Gustam mengguncang malam Mengenang Rendra, menjadi kenyataan bukan umbrusé tok (gede kosong -red). Dengan membacakan sajak ‘Dadiya Siji Tlembuk-tlembuk Kota Jakarta’, ia tampil memukau disaksikan para seniman dari berbagai kota, Rabu (12/8) malam di pelataran Gedung PKK Jalan Setiabudi, Kota Tegal. Bahkan budayawan Eko Tunas pun merasakan penampilan Tambari Gustam menjadi bintang selama berlangsungnya acara tersebut.
“Haji Tambari Gustam tampil memukau dengan pelacur-pelacur Kota Jakarta, dalam iringan musik dan konfigurasi cewek-cewek sexy. Puisi tegalan yang dibawakan dia sekaligus sebagai tanda acara Rendra yang lebih spesifik hanya di Tegal,” puji sastrawan Eko Tunas ketika mengomentari penampilan Tambari dalam pembacaan puisi ‘Dadiya Siji Tlembuk-tlembuk Kota Jakarta’ terjemahan dari sajak ‘Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta’ karya WS. Rendra.
Tambari tampil dengan mengusung cewek-cewek ABG sexy yang berperan sebagai ‘tlembuk-tlembuk Kota Jakarta’. Dengan baju yang sexy dan mengundang, serta liukan tarian diiringi kelompok Musik Wayang Sastra Balo-balo pimpinan Tambari Gustam, pementasan malam itu menjadi sebuah puncak aksi diantara para seniman Tegal, Brebes, Slawi dan dari luar Kota Tegal. Sungguh daya pukau, kejutan, dan gelegar sastra tegalan yang dibawakan dia menandai adanya kebesaran puisi Tegalan yang saat ini telah menjadi booming.
“Saya sampai merinding dan tergeriap menyaksikan sajak ‘Dadiya Siji Tlembuk-tlembuk Kota Jakarta’ yang dibawakan Tambari plus cewek-cewek sexy dan musik yang disuguhkan, serta kostum bagus, gerak tampilan teatral, vokal terjaga dalam puisi panjang. Hingga di akhir pementasan para pengunjung pun ikut berjoget bersama Tambari dan cewek-cewek sexy,” papar Eko Tunas yang bola matanya tak bekedip.
Rabu (12/8) malam Tambari Gustam memang tampil habis-habisan dengan seluruh daya ledakan ekspresi keseniman yang dia miliki, penuh gemuruh mengejutkan. Agaknya dia menyiapkan betul dan penuh kesungguhan dalam mempersiapkan pementasan itu.
Pukau kebesaran sajak-sajak tegalan yang saat ini telah menjadi ikon Kota Tegal itu, pertama kali meledak dan menggemparkan saat novelis ‘Pengendara Badai’ Lanang Setiawan mengusung sajak-sajak terjemahan karya WS. Rendra ke dalam bahasa Tegal itu terjadi di tahun 1994 bersama para seniman Tegal di Taman Budaya Surakarta. Sejak lawatan sastra tegalan itu, booming sajak tegalan mengundang kegemparan dan pada akhirnya banyak undangan yang dating bertubi-tubi. Diantaranya undangan ke Indramayu, komunitas ‘Wapres’, Bulungan Jakarta, sampai kemudian Walikota dan Bupati Tegal; Adi Winarso dan Agus Riyanto tampil dalam acara ‘Jed-jedad Maca Puisi Tegalan’ beberapa tahun silam.
Tak mengherankan pula, sejak meledaknya puisi-puisi tegalan, para seniman Tegal pun menetapkan ‘Hari Sastra Tegalan’ jatuh pada tanggal 26 Nopember. Setahun lalu, ‘Hari Sastra Tegalan’ itu dirayakan secara besar-besaran oleh para seniman Tegal di Taman Budaya Raden Saleh, Semaran, Taman Budaya Surakarta, dan di Rumah Dinas Wakil Walikota Dr. Maufur.
Tidak mengherankan ketika malam Mengenang Rendra, penampilan H. Tambari Gustam yang saat ini banyak disebut sebagai Juragan Wangsalan itu, sangat menawan dan menjadi bintang dari seluruh penampil sepanjang tiga hari acara tersebut digelar oleh Dewan Kesenian. Hal ini, menurut penyair pentolan Dwi Ery Santoso lantaran sajak yang dibuat dalam bahasa tegalan demikian akrab dengan bahasa ibunya. “Puisi yang ditulis dalam bahasa ibu, menjadi daya pukau dan sangat dekat dengan masyarakatnya. Tidak mustahil jika Tambari Gustam menjadi pusat perhatian,” ucap Dwi Ery Santoso.
Hal yang sama ketika di ‘Rumpres (rumah apresiasi) Muaratua’ H. Tambari Gustam digelar acara yang sama, sajak ‘Rick Sing Corona’, ‘Tembangan Banyak’ terjemahan Lanang Setiawan dari sajak Rendra berjudul ‘Rick Dari Corona’, dan ‘Nyanyian Angsa’ membuat kehebohan dan kejutan penuh pukau (*)

Senin, 10 Agustus 2009

KESAKSIAN DWI ERY TENTANG RENDRA


Mengenang Rendra
Kesaksian Penyair Pentolan
Dwi Ery Tentang Rendra

KESAKSIAN bagi orang yang sudah wafat menjadi momen penting sebagai sebuah catatan bahwa dia pernah hidup. Lebih lagi bagi orang sebesar Rendra yang selama hidupnya begitu konsen terhadap perkembangan sastra, budaya dan teater, tentu tak bisa dibiarkan berlalu ketika dia telah berpulang. Maka, untuk mengenang ketokohan Rendra, peristiwa kebudayaan perlu digeber meski sebelum itu di Rumpres Muaratua H. Tambari Gustam, Jumat (7/8) lalu diselenggarakan acara ‘Malam Tahlin dan Baca Puisi Tegalan’, dan Teater Qi juga menggelar acara yang sama, sehari setelah itu. Kini pada malam ke empat kematian WS. Rendra, para seniman Tegal kembali mengusung acara yang mesti dinilai latah, tapi tetap digelar acara serupa. Namun latah tidak latah, acara tersebut laik diselenggarakan mengingat ‘Si Burung Merak’ itu merupakan figur pembaru dalam dunia kesenian. Pada malam ini, Selasa (11/8) salah satu pentolan penyair tegalan Dwi Ery Santoso siap menggedor 3 buah puisi karyanya dalam dua bahasa; tegalan dan nasional. Tiga buah puisi yang akan digeber berjudul Lengang, Sepotong Jalan (bahasa nasional), dan satu puisinya yang ditulis dalam bahasa tegalan berjudul Rumah Sakit. Tiga puisi itu akan dibacakannya di depan gedung kesenian, pukul 20.00 wib.
Menurut dia, proses penciptaan 3 sajak itu didasari dari rasa priatin mendalam atas berita kematian Rendra yang terkabarakan lewat sebuah pesan singkat dari sahabat dari Jakarta. Ketika mendapat sms itu, ia merasa seluruh tulang-belulangnya serasa tercerabuti dan membuat sekujur tubuhnya lemas seperti ada yang hilang. Dari situlah maka lahirlah sepotong sajak Lengang. “Seperti ada yang hilang ketika saya mendapat sms tentang kematian seorang Rendra,” katanya.
Pada proses penciptaan puisi Sepotong Jalan, ia mengisahkah tentang kesaksian atas kepasrahan Rendra ketika memulai bersujud kepada sang khaliq atas kebesaran Agama Islam yang dia anut hingga namanya pun rela diganti menjadi Wahyu Soeleman Rendra. “Keperpindahan Rendra dari pemeluk Khatolik taat menjadi penganut Agama Islam, menjadi sebuah kecerdasan rokhani menuju ke Khaliq yang sebenarnya, karena baginya Agama Islam itulah agama yang diridhoi Allah,” tandas Ery.
Pada sajak Rumah Sakit, Ery dengan tegas mengisahkan tentang pandangan Rendra terhadap perkara sakit atau tidak sakit, bukanlah milik Rendra melainkan semua itu milik Allah semata. Nilai kepasrahan total yang dimiliki Rendra adalah sebuah kesaksian Ery saat menilai Rendra terhadap Allah yang dia yakini sebagai Tuhan Seru Sekalian alam. “Bagi Rendra, sakit tidak sakit adalah milik Allah. Aku tidak sakit. Hanya organ-organ tubuhku yang telah tua, maka ketuaan adalah rahmat” tandas Ery mengutip omongan Rendra saat ajal akan menjemput.
Dalam acara ‘Mengenang Rendra’ malam ini, ia bakal tampil dengan kekuatan vokal dan teaterikan. Semua itu bakal menjadi pijakan Ery saat membawakan 3 puisinya itu. Ia siap memberikan sajian lain dari biasanya. Pada malam yang sama, acara mengenang Rendra juga digelar di komplek Radio CBS Klonengan, menampilkan para penyair, pejabat, Bupati Tegal Agus Riyanto, dan sejumlah wartawan (LS)



Minggu, 09 Agustus 2009

TAMBARI GUSTAM dan SEABREK AKTIVITAS

Tambari Gustam dan Seabrek Aktivitasnya

KIPRAH H. Tambari Gustam sebagai penggerak budaya, melesat tidak cuma di dunia puisi, teater, lawak, tulis menulis, dan pemain film, tapi juga menjadi sosok penyampai kritik ternama yang berpengaruh saat dia memimpin demo, mendobrak kezaliman. Figur yang bisa kemana-mana dan ada dimana-mana ini, sering menjadi Tambari Gustam sebagai tempat mengadu dan tumpuhan dari seabrek strata sosial dan sekelompok orang yang berkepentingan.
Sebagai penulis puisi, ia banyak melahirkan sajak protes yang kerap kali dikemas dengan bait-bait pantun atau wangsalan tegalan. Muatan sosial dan nilai kesalehan menjadi pijakan saat dia menulis puisi. Sajak dia terangkum pada banyak antologi dan tersebar di media lokal. Ia mengaku menulis puisi karena dorongan hati nurani yang tidak rela melihat situasi yang karut-marut. “Jiwa saya sering termotivasi untuk menulis puisi protes saat melihat ketimpangan sosial yang menganga, dan kesewenang-wenangan,” katanya.
Tambari yang lahir di Tegal pada tanggal 18 Oktober 1964 itu memang memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Sebagai aktor lawak, ia pernah mengisi acara guyonan yang dikemas dalam ‘Obralan Santai (Obras)’ bersama Ki Slamet Gundono dan Agus Salim di radio RCA Tegal dari tahun 1995-1997. Acara tersebut menjadi acara unggulan karena memiliki daya sengat yang membuat para pendengar terpingkal-pingkal dengan rentetan wangsalan Tegalan yang melucu meluncur dari mulut mereka, saat acara itu mengudara.
Wangsalan-wangsalan Tegalan yang kerap diudarakan itu, oleh Tambari sempat dibukukan dalam kumpulan berjudul Pantun Warteg. Dalam buku tersebut, seorang Remy Silado bahkan berkenan memberi pengantar dan dia sangat berkesan dengan upaya Tambari mengumpulkan pantun-pantun yang bermuatan lokal jenius. Secara khusus, Remy Silado menulis bahwa kumpulan pantun Tegalan itu menjadi buku yang sangat penting sebagai kekayaan Tegal dan perlu dimiliki. Ia pun membukukan kumpulan tulisan anehdotnya berjudul Guyon Gustam dalam Wacana Politik Lokal. Dan dua karyanya yang mendapat penghargaan dari Kepala Pusat Perbukuan Indonesia berjudul Kami Cinta Indonesia dan Selamatkan Pantai Kita.
Sebagai pemain teater dan film, juga tak diragukan. Ia pernah main dibayak lakon teater. Di Teater RSPD tampil di lakon Qasidah Berzanji dan Ki Gede Sebayu sebagai pangeran Benowo versi ketoprak dengan sutradara Yono Daryono. Juga main teater bersama Teater Mbeling pimpinan Remy Silado dalam lakon Gita Cinta Anak SMA, main drama Selendang Sutra, sebagai aktor sekaligus sutradara, dan main sandiwara radio Sangkuriang Kesiangan. Sementara di Teater Massa Hisbuma main di lakon Patung Kekasih karya Emha Ainun Nadjib sutradara Dwi Ery Santoso, termasuk menjadi pemain dilakon Sebayu Gugat dan Pengadilan Sastra Chairil Anwar karya Eko Tunas.
Kegilaannya pada pembacaan puisi membawa Tambari tak segan melakukan lawatan budaya ke kantong-kantong budaya bersama Dwi Ery Santoso, diiringi kelompok Musik Wayang Sastra Balo-balo yang dia pimpin. Baca sajak spektakuler berbahasa Tegalan pada acara ‘Jèd-jèdan Maca Puisi Tegalan’ di Gedung Kesenian Tegal dan di ‘Wapres’ Bulungan, Jakarta, dia lakukan dengan membawakan puisi terjemahan karya WS. Rendra berjudul Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta yang dipremak habis-habisan menjadi Dadiya Siji Tlembuk-tlembuk Kota Jakarta. Ia melakukan pembacaan sajak terjemahan itu bersama Bupati Tegal Agus Riyanto dan para pentolan seniman Tegal lainnya. Begitu juga dia berkali-kali melakukan pentas drama bebahasa tegalan di Taman Mini Indonesia indah dengan menggelar lakon Mantu Poci, Lupit Slenteng Badanan, Sumadi Semedi, dan Matoloyo Matopuro. Sementara itu, sebagai pemain film ia pernah main di film Laut Aku Kembali, Ikan Sisa-sisa (produksi Bagian Humas dan Protokol Pemkot Tegal), dan Sinar Lembayung produksi film negara sebagai aktor.
“Di film garapan Limbad, saya pun didapuk sebagai tokoh Pangeran Benowo dalam film berjudul Mentari di Tlatah Tegal,” katanya.
Ada yang bilang, Tambari adalah figur yang tak pernah lelah beraktivitas di berbagai bidang. Semua bidang dimasuki, karena dia mampu bermain dengan kesungguhan yang dimiliki. Jarang sekali orang bisa berperan seperti dia dengan seabrek kegiatan. Sekali waktu dia masuk di wilayah kesenian, pada lain kesempatan dia bergerak menjadi tokoh pendemo. Tapi menurut dia, semua itu dijalani bukan dengan atas dasar dendam atau pun nafsu, melainkan rasa ingin melihat negara ini berjalan dengan tatanan yang harmonis, bukan dibangun dengan kebusukan atau kesewenang-wenangan para pemegang kekuasaan.
“Niatan saya terjun sebagai pendemo, bukan didasari rasa dendam, dengki, atau semacamnya. Saya ingin para penguasa dimanapun berpihak pada rakyat, aja dumeh menjadi penguasa berlaku tanpa batas,” tandasnya.
Tak hanya dalam dunia kesenian, teater, film, dan sebagai tokoh pergerakan, dia pun ternyata suntuk juga di dunia jurnalistik. Ia mendirikan koran mingguan hingga sekarang masih eksis, dan pernah menjadi pengurus PWI Karesidenan Pekalongan termasuk dipercaya sebagai pengurus Dewan Kesenia Kota Tegal, juga ditunjuk sebagai Dewan Pembina Paguyuban Sosial Warga Tionghoa Tegal. Pada tahun 2001 bersama Agustian Nurwanda menggagas keberadaan “Bahari Taksi” di Kota Tegal. Mendirikan LSM Cordova dan MAKs (Masyarakat Anti Korupsi), dan rela pelataran rumahnya dijadikan acara kliwonan ‘Mimbar Budaya Muaratua’ sebagai ajang pementasan, seperti yang terjadi pada acara malam Tahlil dan Baca Puisi Tegalan mengenang almarhum penyair WS. Rendra pada Jumat (7/8) pukul 20.30 Wib di Jalan Brawijaya No 46 Muarareja, Kecamatan Tegalsari, kediamannya (LS)


BIODATA
Nama : H. Tambari Gustam
Tempat/Tgl Lahir : Tegal, 18 Oktober 1964
Alamat : Jalan Brawijaya No 46 Muarareja, Kota Tegal


Karya :
Komik Tegalan; Jeritan Sing Laut
Kumpulan Pantun Warteg
Kami Cinta Indonesia
Selamatkan Pantai kita
Guyon Gustam Dalam Wacana Politik Lokal
Misteri Kalisoka
Potret Reformasi Dalam Puisi Tegalan (antologi puisi)
Ngranggeh Katuranggan (kumpulan puisi Tegalan)

Film:
Laut Aku Kembali (produksi Humas Tegal)
Sinar Lembayung (produksi Nasional)
Mentari di Tlatah Tegal (produksi Limbad)
Ikan Sisa-sisa (produksi Humas Tegal)

Jabatan :
Dewan Pembina Paguyuban Sosial Warga Tionghoa Tegal.
Ketua Badan Pengawas KUD Karya Mina
Pengawas KSU Segara Biru
Penasehat Koperasi Bahari Taksi

Organisasi:
Pengurus PWI Karesidenan Pekalongan tahun 2005-2009
Pengurus Dewan Kesenia Kota Tegal (due periode tahun 2003 – 2009)
Ketua Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia)
Mendirikan LSM Cordova dan MAKs (Masyarakat Anti Korupsi)
Turut Mendirikan Kiret (Komite Refomasi Tegal) tahun 1998
Turut Mendirikan LSM Amardaya tahun 1999
Ikut Mendirikan LSM Pencinta Merah Putih Indonesia (PMPI)
Penasehat LSM Laskar Merah Putih
Forum Buruh Bersatu

Motto :
Hidup itu seperti melempar bola ke tembok, semakin keras lemparannya semakin keras pula pantulannya. Semakin saya berbuat jahat pada orang, kejahatan itu akan menimpa saya lagi. Sebaliknya semakin kita berbuat baik pada orang, kebaikan itu akan kembali kepada kita sebanyak mungkin.

MALAM TAHLIL dan BACA SAJAK TEGALAN MENGENANG WS RENDRA

Aktor Monolog Abidin Abror


Mengenang Rendra
Abidin Abror Bawakan ‘Tembangan Banyak’

LAMA tak nongol digegap gempita panggung kesenian, monologer Abidin Abror, masih menyisakan daya pukau pada acara malam ‘Tahlil dan Baca Puisi Tegalan’ mengenang almarhum penyair WS. Rendra yang digelar di “Rumpres Muaratua” H. Tambari Gustam, Jalan Brawijaya No 46 Muarareja, Kecamatan Tegalsari, Jumat (7/8) pukul 20.30 Wib kemarin.
“Aku memimpikan acara semacam ini, karena WS Rendra sang maestro tidak hanya sebagai penyair, teaterawan, tapi dia adalah juga figur yang memukau yang diakui dunia. Acara mengenang almarhum Rendra menjadi momen penting, dan aku mau tampil karena acara ini,” ucap Abidin sebelum tampil.
Pada malam itu dia tampil dengan membawakan sajak Nyanyian Angsa karya Rendra yang telah dialih bahasakan tegalan menjadi Tembangan Banyak. Dengan mengenakan baju lengan panjang warna biru dan berkaca mata, Abidin menyalakan bait-bait sajak itu://Jam telu awan/srengèngèné trus ngobong/semromong kaya pati angin/Maria Zaitun mlaku/minggring-minggring kemlopok/nang dalan garing ring//ujug-ujug mbeneri dèwèké nyabrang/keplèsèt tai asu/ora nganti tiba mung getihé metu/sing borok plakangané/lan ndlèwèr maring sikilé…//.
Saat membacakan sajak tersebut, Abidin sanggup menghadirkan aura tataran sosial dan politik lewat sosok Maria Zaitun sebagai pelacur tua berpenyakitan, lewat letupan vokalnya yang kadang meledak, melemah, tapi tiba-tiba kembali syahdu menghujam. Abidin piawai mengolah gejolak tokoh Maria Zaitun, suasana pencemoohan sajak Tembangan Banyak yang ditujukan bagi kaum politisi dan agamawan yang biasa berpidato dan berkhotbah tetapi tidak bisa menyelesaikan masalah, divisualisasikan lewat penghayatannya yang dalam. Tak mengherankan sepanjang pembacaan itu, penonton yang banyak dihadiri wartawan dari media cetak dan elektronik, merasakan sesuatu nilai sosial, relijius, dan sekaligus sayatan luka Maria Zaitun yang dibangun dengan pengalaman pentasnya selama ini. Sungguh, malam kali pertama Abidin tampil kembali dalam acara tersebut, sanggup menyumbangkan ruh puisi terjemahan tegalan atas sajak-sajak Rendra dengan menawan (LS)




DUET – Dengan gayanya yang teaterikal aktor teater Slamet Ambari berduet bareng Vera Sandrayani membacakan sajak ‘Rick Sing Corona’, di acara malam ‘Tahlil dan Baca Puisi Tegalan’ mengenang almarhum Rendra di “Rumpres Muaratua” H. Tambari Gustam, Jumat (7/8) malam kemarin (Foto: Lanang Setiawan)


Malam Tahlil dan Baca Puisi Tegalan
untuk (Alm) WS. Rendra

BERTEPATAN malam tahlil hari pertama kematian penyair WS. Rendra di Padepokan Bengkel Teater Rendra, di Kota Tegal, Jumat (7/8) pukul 20.30 Wib berlangsung acara ‘Tahlil dan Baca Puisi Tegalan’ bertempat di ‘Rumpres (rumah apresiasi) Muaratua’ H. Tambari Gustam, jalan Brawijaya No 46 Muarareja, Kecamatan Tegalsari.
Sebelum pembacaan puisi digeber, para seniman, wartawan dan puluhan warga Muarareja memenuhi halaman ‘Rumpres Muaratua’ untuk melakukan tahlil, dipimpin oleh ustadz H. Tarjani.
Dalam sambutan Tambari mengatakan, acara tersebut diselenggarakan untuk mengenang dan mendo’akan sang maestro ‘Si Burung Merak’ Rendra yang selama hidupnya banyak berjasa bagi kebesaran kesusastraan, teater, dan kebudayaan nasional pada umumnya. “Rendra adalah pahlawan yang tak pernah menyimpang dari hati nurani. Sajak-sajak Rendra berperan sangat penting atas lahirnya sastra tegalan yang ditandai dengan munculnya sajak Tembangan Banyak yang cukup popular dari sajak aslinya berjudul Nyanyian Angsa karya Rendra,” terang Tambari.
Dari kedekatan emosional semacam itu, para seniman Tegal dan masyarakat sekitar menggelar ‘Tahlil dan Baca Puisi Tegalan’. Tidak tanggung-tanggung seniman pentolan Tambari Gustam menghadirkan juga kelompok Musik Wayang Sastra Balo-balo (MWSB) sebagai pengiring.
Tampil sebagai pembuka acara kelompok MWSB dengan mengusung puji-pujian tegalan yang mampu memberikan nuansa trasendental hingga meresap dan menggedor-gedor ulu hati. Kelompok tersebut selanjutnya memberikan juga sentuhan-sentuhan sakral saat mengiringi Tambari Gustam lewat pembacaan sajak terjemahan Dadiya Siji Tembuk-tlembuk Kota Jakarta dari sajak karya WS. Rendra berjudul Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta.
Selanjutnya pembacaan sajak Rick Sing Corona dibawakan aktor teater Slamet Ambari dan wartawan Vera Sandrayani. Duet tersebut mampu menghadirkan situasi asmara menggila antara Rick dan Betsy, dan karut-marutnya suasana sajak yang dibangun sedemikian rupa dengan derapan dentam musik balo-balo. Puncaknya adalah penampilan monologer Abidin Abror membawakan sajak Nyanyian Angsa karya Rendra yang telah dipremak habis-habisan dalam bahasa Tegal menjadi Tembangan Banyak. ‘Malam Tahlil dan Baca Puisi’ mengenang almahum Rendra itu, sungguh menjadi fragmen religi yang mendalam bagi semua pengunjung (LS)


Seniman Tegal Kenang WS. Rendra

NAMA Rendra bagi kalangan seniman Kota Tegal tak asing lagi. Pada tahun 1950-an ia pernah bolak-balik ke Tegal melihat kiprah komunitas Ikatan Seniman Muda Tegal pimpinan Woerjanto saat aktor teater Sudjai S menyutradarai dan main dalam satu lakon. Kala itu WS. Rendra mengagumi betul seniman-seniman Tunas terutama kesemsem pada dedengkot teater Sudjai S saat dia main dalam lakon Malam Jahanam karya Motinggo Busye di Gedoeng Tawang Samudra tahun 1960 bersama Parto Tegal.
Dari ketertarikan itu, langsung saja Rendra menawarkan pada mereka untuk bergabung di Bengkel Teater Yogyakarta. Parto Tegal akhirnya suntuk di teater pimpinan Rendra sedang Sudjai S menolak dengan alas an untuk menjaga kelangsung dunia perteateran di Kota Tegal (baca: novel Pengendara Badai).
Keakraban Rendra dengan para seniman teater di Kota Tegal, menyebakan dia menjuluki Kota Tegal sebagai ‘kota yang tak pernah tidur’, dalam artian Tegal sebagai ‘kota teater’. Hingga beberapa tahun lalu, Rendra kembali menyempatkan diri ke Tegal dalam rangka baca puisi dan melakukan acara diskusi. Termasuk datang di Kabupaten Tegal untuk even pembacaan puisi pada HUT Kemerdekaan, di Pendapa Ki Gede Sebayu Kabupaten Tegal.
Tak heran kalau kemudian secara emosional kalangan seniman Tegal serentak menggelar pbegitu mendengar kematian ‘Si Burung Merak’ pada (6/8) kemarin, Teater Qi menyelenggareristiwa budaya akan acara ‘Doa dan Mengenang WS. Rendra’ di halaman gedung kesenian, Sabtu (8/8) pukul 20.00 Wib.
Menurut Rudi Iteng selaku ketua penyelenggara menuturkan, maksud dan tujuan digelar acara tersebut yakni untuk merefleksikan karya-karya Rendra sebagai spirit dan kontemplasi agar karya Rendra tetap hidup. “Bagaimanapun, Rendra itu tokoh pembaharu yang namanya tidak hanya dicat pada tingkat nasional tapi dunia,” kata Rudi.
Pada malam itu, acara dibuka dengan diskusi bersama menampilkan Nurhidayat Poso dan Yono Daryono dengan melempar satu makalah berjudul Jejak Rendra pada Sastra Tegal, Nana Ernest memilih tema bahasan Rendra, Spirit dan Motivator Kawula Muda dalam Berkarya.
Acara memakin menarik ketika para seniman Tegal melanjutkannya dengan pembacaan puisi karya-karya Rendra. Mereka yang tampil pada pembacaan itu diantaranya Bramanthi S. Riyadi, HM. Enthieh Mudakir, Nana Ernets, Albadruasykin, Apas Khafasi, Linda, Atho, Titis Hening, dan teaterikal puisi oleh Teater Qi. Penampilan mereka rata-rata menarik dan suntuk mendalami karya-karya Rendra sang maestro penyair itu. Sebelumnya, Jumat (7/8) pukul 20.30 Wib berlangsung juga acara ‘Tahlil dan Baca Puisi Tegalan’ bertempat di ‘Rumpres (rumah apresiasi) Muaratua’ H. Tambari Gustam, jalan Brawijaya No 46 Muarareja, Kecamatan Tegalsari (LS )





Kamis, 06 Agustus 2009

KARENA SAJAK WS. RENDRA, LANANG BIKIN NOVEL PENGENDARA BADAI


Karena Sajak WS. Rendra
Novel Pengendara Badai Lahir

Majikan umah tlembukan
ngomong kambèn dèwèké:
"Wis rong minggu kowen mung
bisané ngatang-ngatang
tur larané tambah ndadi
ora ngasilna pisan
kiyé nggawé mlarat tok
ngentong-ngentongna beras bibit
aku ora sanggup/saiki raimu lunga, mèrad kana"....


Itu sajak WS. Rendra yang cukup popular. Tapi oleh Lanang Setiawan sajak yang aslinya berjudul Nyanyian Angsa, dipremak habis-habisan menjadi Tembangan Banyak dalam Bahasa Tegalan. Sajak terjemahan itu pertama kali diterbitkan di media local ‘Kontak’ tahun1994.Dalam perkembangan selanjutnya, sajak tersebut kemudian diusung ke berbagai kantong-kantong budaya seperti Taman Budaya Surakarta, Indramayu, sampai kemudian Bupati Tegal Agus Riyanto membawakan puisi tersebut di Gedung Kesenian Tegal dan diundang ke ‘Wapres’ Bulungan Jakarta.Dengan dasyatnya sajak Rendra dan lawatan seniman-seniman Tegal menggeber puisi-puisi terjemahan itu, sebuah novel yang ditulis Lanang Setiawan segera hadir ditengah-tengah masyarakat. Novel yang rencananya terbit pada bulan Agustus ini berjudul Pengendara Badai. Novel ini berkisah tentang heroik lawatan para seniman Tegal dengan membawakan sajak-sajak terjemahan salah satu diantaranya sajak Tembangan Banyak yang sempat menghetak dan cukup menghebohkan dalam kazanah kesusastraan nasional.
Menurut penulis novel Pengendara Badai, Lanang Setiawan, ia mengaku lahirnya novel tersebut salah satunya dipicu oleh sajak Rendra yang diterjemahakan dalam bahasa Tegalan itu. Ia menilai bahwa sajak Nyanyian Angsa yang diterjemahkan itu memiliki nuasa kesamaan dengan kondisi di daerah Tegal. Karena sajak itu bercerita tentang seorang pelacur yang di Tegalan banyak terdapat lokalisasi.
“Terus terang saja, ilmah yang menguatkan saya menulis novel Pengendara Badai karena sajak yang ditulis WS. Rendra yang saya terjemahkan dalam bahasa Tegal,” katanya.
Dalam novel tersebut, juga dikisahkan tentang eksistensi para seniman Tegal di era tahun 50-an. Betapa gegap gempitanya para teaterawan Tegal masa itu, menggerakan kehidupan kesenian di Kota Tegal. Sampai Rendra pun kerap mampir ke Tegal dan menjuluki Tegal sebagai ‘kota yang tak pernah mati’. Ada juga kisah-kisah pilu, heroik, sekaligus sendu dalam percintaan yang dialami oleh penulisnya, bisa dinikmati dalam novel tersebut. Oleh sang penulisnya, rencananya novel Pengendara Badai bakal terbit pada bulan Agustus ini. Tunggu saja (EK)

Sabtu, 01 Agustus 2009

YOLLA Pamela, SENENG BANGET MAIN FILM


Yolla dan H. Tambari Gustam saat main di Film Ikan Sisa-sisa, Sabtu (01/8) lalu di Tempat Pelelangan Ikan Jongor, Kota Tegal (Foto : Lanang Setiawan)

Yolla Pamela, Seneng Banget Main Film

BARU pertama kali main film, gadis manis karyawan Bagian Humas dan Protokol Pemkot Tegal ini, seperti layaknya bintang film yang sudah biasa terjun di dunia akting. Di hadapan kamera, ia tak canggung. Pembawaannya tenang, dialog tokoh yang diperankan meluncur wajar tanpa halangan berarti, meski harus berhadapan dengan lawan main yang berpengalaman. Kira-kira seperti itu kesan mendalam ketika, Sabtu (01/8) siang lalu menyaksikan dia memerankan tokoh Yanti dalam pembuatan film Ikan Sisa-sisa.
Yolla Pamela, demikian nama gadis itu, mengaku main film karena diajak Yono Daryono untuk melakukan uji casting. Dari uji tersebut, dia kemudian dinyatakan figur paling pas sebagai tokoh Yanti. Ia sendiri, sebetulnya tidak punya skill dalam urusan akting.
“Sejak kecil hobi saya menyanyi. Dulu saya paling sering nyanyi pas kuliah di Jakarta, dan waktu kerja di Pekalongan. Sebenarnya kalau ikut produksi film sih udah pernah beberapa kali untuk tugas-tugas kampus, tapi jadi pemain film baru pertama kali,” ujar jebolan D3 UI Jurusan Penyiaran Departemen Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di sela-sela syuting, di TPI Jongor, Kota Tegal, Sabtu (01/8) siang kemarin.
Gadis asli kelahiran Tegal itu mengaku, waktu di Jakarta betapa suntuknya menggembleng diri lewat event festival demi festival paduan suara. Begitu pun saat di Pekalongan kerap berlaga di gelar festival atau parade band, dan bahkan ngeband regular di kafe amatlah sering.
“Di Tegal juga punya band, tapi nggak terlalu diseriusi karena personelnya kerja semua di luar kota, jadi kumpul kalau ada waktu aja terus cuma festival. Kalau untuk solo, saya paling sukanya ikut lomba nyanyi atau karaoke, tapi sayangnya akhir-akhir ini di Tegal jarang ada event lomba lagi,” katanya panjang lebar.
Sebagai penyanyi solo, Yolla pernah ikut Rita Idol mendapat juara 3 dan favorit, trus kebanyakan menyabet juara pada paduan suara. Tapi main di film? Awalnya sempat kawatir karena takut jelek banget aktingnya.
“Pertamanya kaku tapi waktu pra produksi kan di situ ada proses reading, ditambah sang astrada Marjo telaten ngajari, dan pas mulai produksi ternyata sutradaranya baik, ngga marah-marah. Pak Yono juga kasih saran dan kritik, didukung pemain-pemain yang sudah pengalaman memotivasi supaya akting saya nggak terlalu njomplang. Mereka baik-baik dan rendah hati, malah seringnya mereka ngajak latihan duluan,” katanya.
Masih mau main film? Ditanya soal itu, gadis kelahiran 4 Oktober 1985 itu dengan tegas menjawab:
“Main film seneng banget. Tapi masalahnya harus banyak belajar kayanya, kalau pengin main lagi” (LS)






MAUFUR TILIK PEMBUATAN FILM IKAN SISA SISA

MENINJAU - Mantan Wakil Walikota Tegal Dr. Maufur (tengah) saat meninjau langsung pembuatan film Ikan Sisa-sisa bersama H. Tambari Gustam (paling kiri), penulis naskah Yono Daryono, dan dua tamunya dari Bandung, Sabtu (01/8) siang di TPI Jongor (Foto : Lanang Setiawan)


Mantan Wakil Walikota Tegal
Tilik Syuting ‘Ikan Sisa-sisa’

PEMBUATAN film Ikan Sisa-sisa tidak saja menyedot daya tarik masyarakat umum, mantan Wakil Walikota Tegal Dr. Maufur pun menyempatkan diri untuk tilik syuting di lokasi TPI Jongor, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal, Sabtu (01/8). Kedatangan mantan Wakil Walikota Tegal yang tiba-tiba itu sungguh diluar dugaan, dan membuat para seniman dan pekerja film seperti Yono Daryono, H. Tambari Gustam, Moch. Azizi, Slamet Ambari, Bramanti S Riyadi, Damayanthi, dan pedangdut Atika Tegal tergopoh-gopoh menyambut kehadiran dia.
Dalam kunjungan itu, Maufur tidak datang sorang diri melainkan bersama rombongan dari Bandung. Ia mengaku datang ke lokasi syuting itu karena ingin melihat proses pembuatan film tersebut dari dekat, sekaligus berkeinginan bersilaturahmi dengan para seniman Tegal. “Kami dari terminal langsung ke lokasi syuting, karena kebetulan lagi menjemput tamu dari Bandung. Saya ingin silaturahmi sama kawan-kawan seniman sambil melihat proses pembuatan film,” kata Maufur.
Ia menilai, proses pembuatan film dengan upaya mengangkat potensi lokal seperti yang dilakukan Humas cukup bagus. Hanya, menurutnya, hal itu perlu peningkatan pendistribusian hasilnya. “Selama ini pendistribusiannya masih terbatas di acara syukuran 17-an dan perwakilan pelajar,” katanya.
Mestinya, katanya lebih lanjut, bisa dilakukan lebih luas dan seyogyanya potensi lokal itu diupayakan diangkat sampai ke tingkat nasional. Maksudnya, Pemkot Tegal ada upaya membuat film yang bisa diangkat ke TV atau ke layar lebar. Dengan demikian, gaung potensi lokal bisa menasional.
Ia juga sepakat dan sepaham dengan apa yang diomongkan sastrawan Eko Tunas, bahwa novel Pengendara Badai karya Lanang Setiawan merupakan tema kelokalan yang layak diangkat ke dalam layar lebar atau TV. Karena disana banyak mengetengahkan kegigihan para seniman Tegal dengan mengangkat budaya Tegalan. “Kalau novel tersebut diangkat ke dunia film, orang akan tahu potensi para seniman Tegal,” katanya.
Sekadar diketahui, hari kedua pembuatan film Ikan sisa-sisa, mengambil beberapa scene adegan pemeran Bik Rohilah (Damayanthi), Dul Jalil (H. Tambari Gustam), Yanti (Yolla), Bu Imroh (Atika Tegal), dan beberapa pemain pendukung lainnya. Syuting dimulai dari pukul 08.00 s/d malam hari. Pada hari yang sama, hadir pula Walikota dan Wakil Walikota Tegal, H. Ikmal Jaya dan H. Habib Ali meninjau pembuatan film tersebut bersama para pejabat Pemkot Tegal.
Menurut sang penulisnya, Yono Daryono, film Ikan Sisa-sia mengisahkan seorang ibu bernama Bik Rohilah (45) memiliki dua anak cerdas yakni Yanti (18) dan Unggul (15). Sepeninggal Katono suaminya, akibat diterjang badai, praktis Bik Rohilah banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup dua anaknya. Mereka tinggal di perkampungan nelayan di pesisir Tegal. Dia yang berpendidikan rendah hanya bisa bekerja di tempat Pak Duljalil (55) sebagai buruh pengolah ikan yang mengurusi pembuatan ikan asin. Karena kekreatifan dan keuletannya itu, mendorong dirinya untuk kreatif dengan membuat ikan-ikan sisa yang tidak diolah di tempat kerjanya agar tidak terbuang percuma. Ia mengumpulkan ikan-ikan itu untuk dibuat makanan ringan seperti kerupuk dan lainnya. Bersama kedua anaknya, dia merangkai kerang laut atau membuat jala ikan mini untuk dijadikan hiasan. Kesemuanya dia titip jual-kan di warung Bik Kodrah.
Sebagai ibu, Bik Rohilah sering merasa sedih karena ketika anaknya Yanti terancam tidak bisa masuk kuliah karena harus membayar uang sumbangan pembangunan yang cukup besar. Keinginan yang besar agar bisa menyekolahkan Yanti sering jadi omongan para tetangga, mereka menganggap dia tidak berkaca diri. Tapi dengan tekad besar dia menambah porsi kerja. Dibantu oleh dua anaknya, ia mengumpulkan ikan sisa tak hanya dari tempatnya bekerja, tapi diambil dari tempat lain. Produksi kerupuk ia naikkan dan dipasarkan kemana-mana. Tapi akibat kerja kerasnya ia jatuh sakit. Dalam kesusahannya itu, datanglah Pak Duljalil bermaksud membantu, namun secara terang-terangan ia mengajukan syarat untuk menikahi Yanti. Bik Rohilah menolak secara sopan. Yanti yang prihatin akan keadaan itu mengatakan untuk tidak usah kuliah. Namun Bik Rohilah menolak dengan bermacam alasan. Dalam kegalauannya itu, ia pun sempat tergoda untuk kembali meminjam uang dari Ibu Imroh, rentenir yang beberapa kali menawari pinjaman dalam jumlah besar. Namun bila teringat beratnya mengembalikan utang yang berbunga-bunga, ia mengurungkan niat itu. Lalu bagaimana kelanjutan kisah Bik Rohilah yang berkeinginan menyekolahkan Yanti sampai keperguruan tinggi? Putusan terakhir dan satu-satunya jalan terbaik, adalah dengan usaha mandiri. Itulah potongan kisah Ikan Sasa-sisa (*)




Selasa, 28 Juli 2009

Foto LAMA Selebritis Tegal

Lia telihat dari layar kaca diapit dua MC pada malam Audisi KDI 5 tahun 2006 lalu

Para selebritis lokal usai melakukan syuting video clip lagu Tegalan 'Adol Tresna' karyaku di rel kereta api salah satu wilayah Kecamatan MArgasari, Kabupaten Tegal. Foto diambil jelang rembang petang Foto: Lanang Setiawan


Spanduk Dukungan Audisi KDI 5 sebelum dibentangkan di tepi jalan Foto: Lanang Setiawan

Senin, 27 Juli 2009

ANEHDOTEGALAN

Badak
KAPÈR bener-bener klabakan ngadepi anak mbototé sing tembé klas loro SD. Salah siji dina waktu dèwèké lèha-lèha nang rusbang tengah, anak mbontoté ngumbel baé.
“Bah, maèn tebak-tebakan yuh?”
“Tebak-tebakan apa Tong?” semauré Abah Kapèr.

”Ayoh Bah, apa bèdané badak kambèn Abah?”
”Apa ya?”
“Seng Bah? Abah ora ngarti jawabé?”
“Ya…dong badak jelasé kèwan, dong Abah kuwé menungsa”

”Abah salah”
“Bisané salah Tong?” takoné Abah Kapèr.
“Ya..iya lah. Abah payah ah, bodo….”
“Sih apa, jawabé Tong?”
“Adong badak, endasé ana culané tapi dong Abah, culané ana endasé. . .” (Lanang Setiawan)


Agé-agé Nglilir
RANI PÈSÈK pikirané bener-bener mumet. Sauwisé putus gèrèlan karo tukang sulap Ramdon, dèwèké pet-petan. Padalèn ngebeté maring Ramdon paribasan kosih kepentut-pentut. Mung kepibèn maning, wong jodoh kuwé wenangé Pengèran. Dadi bisa ora bisa kudu dijalani. Urip kuwé saluguné mung dadi tumpukan nasib kelara-lara. Njarem lan nunjemé ora bisa ditebak. Bab kuwé sing saiki dirasakna Rani Pèsèk sajeroné ngadepi u rip.
“Kang Dasmad, enyong ditulungi. Please Kang! Rasané, saiki nyong linglung. Nyong wis ora duwé sapa-sapa. Saiki nyong dèwèkan. Please Kang nyong ditulungi!” tangisé Rani Pèsèk sms maring Kang Dasmad alias KD.
Maca sms Rani Pèsèk, KD ora paham apa sing dikarepi. Tapi tetep mbales sms-é Rani.
“Nyong kudu nulungi apa Ran? Apa sing lagi diranapi kowen, wong ayu?”
“Atiné enyong lagi kesuduk biting sujèn. Nyong wis pisahan karo Ramdon,”
Atiné KD sangsaya nggrentes maca sms Rani Pèsèk. Dèwèké priyatin krungu Rani pisahan kambèn Ramdon. Wong lanang sing diarep-arep dadi bojoné malah nugel tresna. Tapi pancèné KD wis pernah ngandani, mbok Rani aja demenan karo Ramdon, tapi Rani njarag, ora nggugu omongané. Saiki tibané kelara-lara.
Durung sempet KD mbales sms, Rani kirim sms maning.
“Umuré enyong wis tuwa, jalan 31 taun. Saiki sapa sing gelem dadi bojoné enyong, Kang?”
Endasé KD kaya digebugi alu, ditibani lumpang sing aboté puluhan kilo. Tapi ora bada, KD mbales sms Rani.
“Kowen gelem dibojon loro daning Kapèr, Ran?”
“Sikah! Sènggané nyong ngimpi karo Kapèr baé, agé-agé nglilir. Suka nganggur!” (Lanang Setiawan)


Nunggu Giliran

KIYÉ critané Kapèr wadul maring Jayèng. Waktu samana jaman enomé Kapèr duwé tarok, tapi taroké sèrong kambèn KD alias Kang Dasmad sing pancèn uwongé ganteng.”Waktu nyong balik nyambut gawé, Dasmad nang kebon umahé enyong. Nyong pan nguyuh latan krungu ana kresek-kresek. Enyong nginggeng saka bolongan papan. Éh, nagèna apa ya? Jebulé ya Yèng, taroké enyong lagi ambung-ambungan kambèn Dasmad!” omongé Kapèr karo ngelus dada. Jayèng nglegleg krungu critané Kapèr. ”Wah, tèga nemen ya Dasmad? Maring jakwir dèwèk kolu. Tolih tindakané ènté pibèn Pèr? Ciplosé énté weruh tarok lagi dikaya kuwé kambèn Dasmat?” takoné Jayèng.”Ya….kepaksané nyong nunggu giliran!” (Lanang Setiawan)

Bojo Loro
KAPÈR gawé gara-gara kambèn bojoné. Critané, dèwèké pèngin mbojo loro. Latan dèwèké ngomong blaka.
“Jo... nyong pèngin mbojo loro olih belèh?” omongé Kapèr maring bojoné waktu nang kondong.
“Oh Kang Kapèr....adong kuwé bisa gawé sampèyan seneng, nyong ora papa, Kang”
“Sampèyan bener lila? Ora keberaten nyong mbojo loro?”
“Ora Kang! Enyong mung njaluk syarat telu” omongé bojoné Kapèr.
“Apa kuwé?” njagoné Kapèr sangsaya cedek maring bojoné.
“Pertama,...sampèyan kudu sayang lan demen maring enyong, tetap bimbing lan nglindungi...”
“Oh…aja watir! Kang Kapèr tetep nglindungi lan sayang!”
“Sing keloro... sampèyan kudu adil, aja andeb sebelah...”
“Okèm! Tak sanggupi kabèh...” Kapèr bèrag.
“Sing ketelu?” takoné Kapèr
“Sing ketelu, langkahi dingin mayidé enyong!!” (Lanang Setiawan)


Bayanganmu
CRITA Kapèr jaman mèsih mbrahol-mbraholé, senengé maring lokasi Peleman. Waktu kuwé Kapèr lagi pan énak-énakan kambèn pacar gelapé nang kondong. Wong lanang wadon wis pada ucul-ucul, ujug-ujug wadoné mencolot saka peturon. Kapèr kagèt ora kira-kira.
“Ana apa, bisané kowen mencolot?”
“Kaèh rongokna Kang, nang njaba ana lagu nyemek-nyemek nemen. Lagu Elvi Sukaesih, lagu kesenengané enyong!” jawab pacar gelapé Kapèr.
Kepaksané kupingé Kapèr ngrongokna lagu saka tipé rèkoder.

Bayanganmu selalu menggoda
membuatku tiada bedaya
membuatku sedih oh oh…


Kapèr waduké kaku, saguluné ndeleng pacar gelapé ngigel nang adepané. Manuké Kapèr sing mauné akas, dadi tiarap maning. Dasar tlembuk compong, yèrak! Pan dipangan malah ngigel-ngigel. Kapèr akhiré metu saka kondong, nyangga endas mumet peng-pengan (Lanang Setiawan)

Ora Hèbat
KANG Dasmad alias KD jawané dadi Direktur PT. Radio “Laras Queena” sing tembé dibangun nang Kota Tegal. Nang radioné dèwèk, KD gawé program brita. Arané “Info Sakletik”, reporteré Kapèr. Samana uga Jayèng dadi reporter nang Radio Emblak Embluk.
Salah siji dina Jayèng nelpon Kapèr.
“Pèr, antène radioné yanu ambruk!”
“Ana korbané ora Yèng?” takoné Kapèr.
“Laka!”
“Ya ora layak digawè brita. Ora hèbat!”
Salah siji dinané maning, Jayèng olih telpon saka Kapèr.
“Yèng, nyong ora bisa siaran”
“Sih kenangapa?” semauré Jayèng.
“Antène radioné enyong ambruk!”
“Ana korbané ora Pèr?”
“Aa…”
“Ya ora layak digawè brita Pèr. Ora hèbat!” (Lanang Setiawan)

Blantik
DASMAD, Kapèr, lan Jayèng lagi nang kafé Embak Embluk, ujug-ujug ana wong wadon ayu saporèté. Anggonané hot nemen, roké mini, pupuné putih mulus kaya iwak tongkol. Wong telu ngiler deleng wong wadon sing liwat nang ngarepé.
“Nyong wani sajuta, Mad!” omongé Kapèr.
“Yanu rong juta wani jahat Pèr!” omongé Jayèng ora gelem kalah.
“Nyong telung juta bé wani, bol!” Dasmad nyekak-stèr maring jakwir-jakwir.
Telung menit sauwisé, mbak slonong ana wong lanang gedé duwur brengosan marani maring mèjané Dasmad Cs.
“Sampèyan kabèh pada ngomong apa, hèh?” takoné.
Wong telu krasa dadané runtag kabèh.
“Ora ngomong apa-apa, Kang” semauré Dasmad Cs.
“Sampèyan aja pada mukir! Aku krungu dèwèk, ana sing ngomong sajuta, rong juta, lan telung juta. Karepé apa?” omongé wong lanang sing gèdé duwur kuwé.
Wong telu tambah panik, siji baé laka sing wani nyuwara.
“Gagiyan ngomong! Sapa sing wani limang juta, tak lepas saiki!”
Dasmad Cs saiki tembé ngerti, jebulé wong sing marani kuwé, ora liya tukang blantik wadonan! (Lanang Setiawan)

Cup-cupan
MALEM bada ji, nang umahé Dasmad pan qorban wedus. Jayèng, Um Wapèk, Glèmboh, Um Brindil, lan Kapèr pada kumpul, lèk-lèkan.
“Nyong sikilé…” omongé Um Wapèk sing wis ngecupi.
“Cup! Nyong endasé, Mad” omongé Um Wapèk.
“Nyong atiné kambèn empeduné nggo jamu sisan” jaré Um Brindil.
“Yanu terpèdoné plus dagingé” omongé Jayèng.
“Nyong kebagian apa Yèng? Wong wis dicupi kabèh?” omongé Kapèr.
“Énté ora susah kakèhen rèka. Énté wuluné karo tlepongè, bol!” (Lanang Setiawan )


Qurban
GLÈMBOH lagi lèyèh-lèyèh nang kursi males. Ujug-ujug ana sms mlebu maring hapèné. Koran sing lagi diwaca didalah nang mèja. Tangan tengené ngrogoh sak, njukut hapé. Hapé dibuka, ana sms saka anak wadoné sing lagi sekolah nang Lanjutan Atas.
“Bah, ngèsuk bayar qurban 20 éwu” isi sms anak wadoné.
Glèmboh ngunjal ambekan. Latan njawab sms anak wadoné.
“Sing duwé inisiatip qurban kuwé sapa Nok?”
“Wali kelasé, Pak Guru Jayèng Bah. Moniné, mumpung ana bada ji” jawab anak wadoné Glèmboh
“Bada ji wingi, wis qurban...” Glèmboh mbales sms anak wadoné.
“Iya Bah. Jaré Pak Jayèng, sataun sapisan. Miki nyong wis ditagih Bah” rèngèk anak wadoné.
Abah Glèmboh ngelus dada. Latan mbales sms anaké.
“Ngomong ya Nok? Wong qurban kok urunan sih? Sing nganakna qurban, jarèné Pak Jayèng. Ilokén saben taun wali muridé didadèkna qurban terus-terusan? Guru-guruné kapan didadèkna qurban?” (Lanang Setiawan)

Kado Pengantèn
KIYÉ critané Kapèr waktu tembé baé bebojoan. Wong lanang wadon lagi mbukani kado nang kondong pengantèn.
“Kang, delengen . . . kiyé ana kiriman kado saka Jayèng, Pot Kembang, artiné Kang?” takoné bojoné Kapèr.
“Artiné, kowen dadi Pot-é lan enyong Kembangé” jawabé Kapèr.
“Saiki delengen Kang, ana kiriman kado saka Glèmboh ujudé Asbak, artiné apa Kang?”
“Artiné, kowen dadi Asbaké lan enyong Rokoké” semauré Kapèr.
“Lha kiyé ana sing mèin Figura saka Um Wapèk, artiné apa Kang?”
“Artiné, kowen kuwé Figurané lan enyong Tukang Fotoné!” jawabé Kapèr.
Kado selanjuté dibuka maning gonèng bojoné Kapèr.
“Kang, mèné gèn. Delengen, apik nemen kyèh! Kang Dasmad mèin kado Sarung, artiné apa Kang?”
“Ah, kuwé artiné, kowen Sarungé lan enyong Selangé!” jawabé Kapèr (Lanang Setiawan)


Tangan

KAPÈR dadi dokter. Salah siji dina ditekani Kakèk-kakèk pan priksa penyakit.
”Kaya kiyé dok, tangan kiwané enyong kayong mati separo ora bisa digerakna,” omongé si Kakèk.
”Kuwé ta, jalaran si mBah umuré wis uzur” jawab Dokter Kapèr.
Karo mbentak si kakèk culag alias sèwot maring dokter.

”Dokter!”
“Iya Mbah, pripun?” semauré Dokter Kapèr.
“Dokter aja mbodoni…”
“Mbodoni pibèn mBah?” takoné Kapèr.
“Buktiné, tangan kiwané enyong sing umuré pada karo tangan tengen, bisa tak gerak-gerakna. Dokter mègin enom aja mbodoni, aja nrocok maring wong tuwa oh…?!”
Dokter Kapèr ora bisa nyuwara, rainé mengkered (Lanang Setiawan)

Suwara Anèh-anèh
GLÈMBOH teka nang dukun Kapèr. Jaré tangga-tangga, Glèmboh klebon makhluk alus. Kuduné, digawa maring dukun bèn roh alusé lunga saka awaké.
Barang anjog nang umah dukun Kapèr, dèwèké langsung dikon mlebu kondong remeng-remeng. Mung ana klasa lan sajèné, uga menyané sing dibakar. Gonèng dukun Kapèr, dèwèké dikongkon njagong nang klasa.
“Saiki matané kowen merem, lan tangané sedakep, konsentrasi. Matané kowen aja wani-wani dibuka dong nyong ora kongkon. Paham?” penjaluké dukun Kapèr.

”Okèm Mbah”
Sepi seketika.
“Kang...” dukun Kapèr nyuwara.

”Yaul Mbah…”
”Apa kowen pernah ngalami hal sing anèh-anèh?” takoné dukun Kapèr.
”Maksud Mbah?”
”Ya, misalé kowen krungu suwara tapi langka jongkoté”
”Pernah, Mbah”
”Kapan tur nang endi?” takoné dukun Kapèr.
”Saiki, nang umahé Simbah.....” (Lanang Setiawan)

Ngisi Mangsi
CRITANÉ Kapèr wis patang wulan kursus computer nang tempaté Kang Dasmad alias KD. Gagahan nemen kanca-kancané KD saiki pada genau kursus computer. Jaré Kapèr moniné jaman modèren kudu bisa computer bèn ora ketinggalan. Mulané ora éram adong Kapèr genaunan kursus.
Salah siji dina Kapèr dolan nang Jayèng sing lagi pan ngeprin surat, tapi mangsiné entong, dèwèké kèder cara ngisin mangsi nang katrité. Kebeneran Kapèr anjog nang umahé, ngiras-ngirus dikongkon.
“Éh, kebeneran nemen énté anjog nang umahé Yanu Pèr” omongé Jayèng waktu Kapèr teka nang umahé.
“Ana apa sih?”
“Yèki Pèr, Yanu pan ngeprin surat tapi mangsiné entong, Yanu blèh paham ngisiné. Énté sing mèlu kursus computer nang Dasmad tulung diisikna” Jayèng ngongkon maring Kapèr.
“Sori berat Yèng, nyong blèh bisa,” jawabé Kapèr.
“Énté kan kursus komputer, ilokèn blèh bisa? Énté aja yahanu, dijaluki tulung jakwir kayong kangèlan. Tak kèprèt lha uwis…”
“Sung Yèng! Nyong angkat tangan. Soalé nang tempat kursus laka pelajaran ngisi mangsi!” jawabé Kapèr (Lanang Setiawan)


Kwitansi

CRITANÉ Dasmad dadi dokter ahli bedah plastik. Dèwèké tembé baé ngilangna kriput sing ana nang guluné pasièn wadon, uga nyiliki cangkemé sing dowèr lan ndandani cunguré sing mblesek menjero dadi mancung.
”Saiki apa maning sing perlu tak bantu, bu?” takoné Dokter Dasmad.
”Nyong njaluk supaya matané nyong luwih mencilak” omongé si pasièn.
”Oh . . .kuwé tah cèrèm, ora perlu dioperasi. Mengko pembantuné enyong kon nyerahna kwitansi sing kudu sampèyan bayar” omongé Dokter Dasmad.
Barang pembantuné Dasmad nyodorna kwitansi, jumlahé ora kira-kira kosih 12 juta, matané si pasièn mencilak kaya barongan (Lanang Setiawan)

Rèka-rèka
BOJONÉ Kapèr pancèn rèka-rèka. Sakalé dayiké wakaré, njaluké penampilané yahèr. Kapèr dadi digawé atiné medekel. Tèol njawab pitakoné bojoné, Kapèr tuku kaca pengilon sing ora tanggung-tanggung gedèné sadedeg pengadeg. Tapi maning-maning usahané ora gawé puas, bojoné Kapèr tetep ngaca, nliti sakujur awakè.
Salah siji dina, bojoné Kapèr ngrasa adong jemblukan sing ana nang dadané tetep cilik. Lan dèwèké kepèngin nggedekna.

”Diusap nang sela-selané nganggo tisu toilèt sadina ping loro utawané ping telu, ndeyané bisa gedé, Jo,” sarané Kapèr sing wadè ndeleng bojoné sangsaya gonjal-ganjel. Bojoné Kapèr krungu omongan sing kaya kuwé ngrasa hèran, tapi ya tetep dicoba uga.Pirang dina sauwisé, dèwèké takon maring Kapèr.
“Kang, dongé éfèk usapan tisu kuwé apa bener bisa nggedèkna apa belih? Kosih saprèné ka laka probahan apa-apa?” takoné bojoné Kapèr.

”Ya kira-kira butuh setaun utawané rong taun,” semauré Kapèr.
”Sampèyan ora goroh? Yakin?”
”Lha bokongé kowen sing gedèné satampah, waktu kaé butuh pirang tauh?”
“Sikah!” (Lanang Setiawan)

Golèt Emas
RANI Pèsèk mlaku ngènjèg nang dalan gedé. Nujuné ngalor jurusan Pasar Ésuk Tangan tengené Rani ngempit dompèt, penganggoné kaos lengen dawa lan clanané levis. Rani Pèsèk senajan cunguré njeblos menjero, tapi adong wis gelem dandan, ora kalah karo biduan dangdut sing paèsané mènor. Pèndèké, Rani Pèsèk kuwé okèm banget.
Lagi énak-énak mlaku, ana suwara sing ngundang arané. Kepaksané Rani Pèsèk nglinguk maring asal suwara. Jèbulé Bojoné Kapèr.
“Hai, Ran, lunga dèwèkan pan maring endi?”
“Pan maring Pondok Yu” semauré Rani Pèsèk sakepènaké.
“Pondok Martoloyo?” omongé Bojoné Kapèr.
“Mm…mm….”
“Nyong mèlu ya?” bojoné Kapèr motong omongan.
“Aja ah. Nyong pèngin dèwèkan baé Yu. Ora butuh batir”
“Enyong mèlu…” bojoné Kapèr maksa.
“Aja Yu! Nyong pan golèt emas….”
“Apa? Kowen pan golèt emas? Bareng baé oh, kebeneran pada”
“Emoh ah, ngko dong ketemu malah rebutan” jawabé Rani.
“Rebutan pibèn?”
“Masalahé, emasé mung siji. Mas Dasmad!” (Lanang Setiawan )

Singa-singa
JAYÈNG critané dadi guru SD nang kampungé. Dèwèké diserahi mulang Klas I tapi dadi guru gambar. Mahlum, Jayèng kuwé pancèné duwé pinteran nggambar awit cilik mula. Ora éram dong SD kono butuh guru gambar, Jayèng akhirè dadi Guru Tidak Tetap alias GTT.
Dina pertama dèwèké ngajar, ana pengalaman sing gawé waduké nyengkelak tapi ora bada atiné kaku. Kedadiané kaya kiyé. Waktu samana, murid-murid dikonkon pada nggambar.
“Anak-anak, dina kiyé nyacak latihan nggambar. Ngko sing gambaré apik dipajang nang majalah dinding, ngarep sekolah. Ayo, saiki pada nggambar kabèh” omongé Pak Guru Jayèng.
“Pak Guru!” salah siji murid ngacung.
“Iya Tong, pibèn?” semauré Pak Guru Jayèng.
“Nggambaré, gambar apa?”
Pak Guru Jayèng gurung njawab, ana murid lima nyusul pada takon.
“Iya Pak Guru! Nggambaré apa?”
“Singa-singa…!” jawabé.
Bocah sakelas akhiré pada nggambar. Setengah jam selanjuté, waduké Jayèng kaku. Sebab sing digambar murid-murid dudu gambar anèka rupa. Kejaba kabèh murid pada nggambar kèwan Singa! (Lanang Setiawan)


Keturon

WAKTU dina Minggu bengi Kapèr nonton pertandingan bal-balan nang layar tivi. Mung lantaran kesel, dèwèké keturon nang rusbang. Édané, turuné Kapèr ora kira-kira nganti srengèngèné mletèk, njengongos nang mega. Ndeleng Kapèr kudu mangkat kerja, bojoné nggugah. ”Kang, Kang, tangi Kang! Saiki wis pitu telung puluh”Kagèt ora ketulungan, Kapèr kedangsrakan mencelat saka rusbang.
”Pitu telung puluh, sing menang reguné sapa, Jo?” omongé Kapèr.
“Kang, Kang…maksudé, saiki wis jam pitu luwih telung puluh! Gudu soal bal-balan. Gagiyan saiki mangkat kerja” jawab bojoné Kapèr (Lanang Setiawan)


Dèwi Tèmpé
ARAN asliné okèm banget, Dèwi Indriani. Mègin menos-menos, umuré telung puluh punjul. Bocahé ireng manis kaya duwet. Adong ngecèbrès, laka pedoté paribasan cangkemé ora ucul. Wateké apik, kondangé kasebut Dèwi Tèmpé. Kiyé ana sejarahé.
Waktu samana, critané Jayèng pan nyunati anaké nanggapé orjen tunggal khusus lagu-lagu Tegalan karyané Begawan Tegal. Jayèng kepèngin émsiné Dèwi Indriani. Jayèng kenal dèwèké waktu Dèwi ngèmsi nang umahé Um Blèmboh.
“Tulung ya Wi, idep-idep apa kowen ngèmsi nang acara sunatan anaké enyong” omongé Jayèng waktu nekani Dèwi.
“Bèrès Kang karo jakwir dèwèk. Pokoké dong langka udur, nyong blèh nolak!” jawabé Dèwi.
Ringkas crita, Dèwi ngèmsi nang acara sunatan anaké Jayèng. Balik ngèmsi, ala kadaré Dèwi diolih-olihi bungkusan. Ésuké, waktu dèwèké pan maring pasar papagan KD nang tengah dalan.
“Édan ah! Barang ngèmsi nang Jayèng, langsung pan mborong-mborong. Kandel amplopé oh ya? Bèrèr nemen lah…” omongé KD alias Kang Dasmad.
“Bèrès apané. Dasar Jayèng, mèin job ngèmsi ka bayaré lonjoran tèmpé mentah!”
“Ilokèn bayar tèmpé mentah?”
“Sung Mad. Lonjoran tèmpé!”
“Aha! Adong kaya kuwé, arané kowen kudu diganti!”
“Ganti apa Mad?”
“Dèwi Tèmpé! Kik kik kik…” (Lanang Setiawan)


Gègèr
WAYAH soré nang Taman Lilin, ngarep Gedung DPRD Kota Tegal, Jayèng, Dasmad kambèn Kapèr jejagongan nang baturé air mancur. Wong telu lagi gayeng-gayengé ndospok ngalor ngidul, ujug-ujug mambu bacin kaya entut mbulek, glutekan nang tempat. Jayèng kambèn Dasmad gègèr. Rèflèk wong loro pada tutupan cungur, ora kuwat gonèng mambuné sing bring-brengan kaya batang wirog butak.
“Raimu ndobol Pèr? Bangsèt énté, ndobol ka nang kèné. Mèrad oh, mana sing adoh!” omongé Jayèng sengak.
“Kowen sembrana! Bisa kowen nuduh enyong ngentut? Dasmad ndèyan oh…” semauré Kapèr.
“Sikah! Kowen biasa kiyé, adong ndobol ora ndeleng panggonan. Ndobol mbok nyingkir oh. Mambuné bacin lekèk, ketongkrong nang kèné baé. Raimu ngaku baé gèl. Ngaku, kowen ndobol oh ya?” KD nyecer pitakonan.
“Bisané pada nuduhé enyong sih?” omongé Kapèr.
“La iya laa...nang kèné kur anané enyong, Jayèng trus kowen, sapa maning?”
“Kowen ngarti dong nyong sing ngentur, atas dasar apa Mad?” takoné Kapèr.
“Ya iya yaa…soalé ambuné entut kambèn raimu ora bèda, bol! Otomatis, adong gudu kowen sapa maning?”
“Brèngsèk kowen Mad! Rainé enyong dipadakna karo entut. Kirik teles kowen Mad!” Kapèr culag.
“La iya laa...masa iya dèh ?!” (Lanang Setiawan)

Pipis
BOJONÉ Kapèr kambèn bojoné Jayèng, jawané lagi bèrag tuwa. Wong loro pada seneng-seneng inung-inungan nang kafé, kosih pada mendem, teller. Baliké tengah wengi, kebelet pipis. Bojoné Jayèng ngajak pipis nang kuburan sing diliwati wong loro. Sauwisé pipis, bojoné Jayèng cèwok nganggo caweté trus dibuwang. Sawetara bojoné Kapèr, cewoké nganggo pita gedé sing dijukut saka gubedané rangkaian kembang sing ana nang tenger.
Wong loro akhiré balik. Ésuké, Jayèng ketemu Kapèr. Wong loro pada ngangluh perihal bojoné.
“Pèr, bisa blèh bisa, yanu kambèn énté kudu bisa menging maring bojo. Aja pisan-pisan maning pada seneng-seneng umbar bèrag tuwa! Coba dibayangna Pèr, mau bengi bojoné yanu balik-balik ora nganggo cawet!” omongé Jayèng.
“Kuwé gurung apa-apa Yèng!” omongé Kapèr.
“Gurung apa-apa pibèn maksudé énté Pèr?” takoné Jayèng.
“bojoné enyong mau bengi balik umah malah nang bokongé ana kartu ucapané. Nang kana ana tulisan 'Saka Jakwir-jakwir asrama Prajurit. Kenangan sing indah karo kowen ora bisa ilang'…!!” (Lanang Setiawan)

Tikèt Karcis
DASAR wong dèsa klutuk, sing arané Jayèng kuwé pancèn wayad. Salah siji wayah bengi, Jayèng jawané pan nonton film nang bioskop Dèwa, Tegal. Kiyé cerita pengalamané Jayèng waktu pertama kaliné nonton film.
Gelisan crita, Jayèng anjog nang bioskop, dèwèké runtung nang lokèt tuku tikèt karcis. Rong menit saterusé, dèwèké tuku karcis maning. Malahan ora mung tuku sapisan atawa né pingdo, tapi bolak-balik tuku karcis terus-terusan. Si tukang dodol karcis kosih bingung. Ngiras-ngirus dèwèké takon maring Jayèng.
“Dongènèn sampèyan bolak-balik tuku karcis, sing pan nonton ana wong pira, Kang?”
“Siji Kang” jawabé Jayèng.
“Ya, tukuné dongèn siji baé, cukup”
“Ya’ul. Yanu ngarti, tapi petugas jaga pintuné, maning-maning nyuwèk karcisé yanu. Dobol ka!” (Lanang Setiawan)

Imajinasi

TEMBÉ pirang minggu Kapèr nyambut gawé nang perusahaan Periklanan, dèwèké undang Bosé nang kantor.
“Apa-apaan dongé kiyé, Pèr?” omongé Si Bos maring Kapèr waktu dèwèké ngadep nang ruwangané.

”Pibèn sih Bos?” semauré Kapèr balik takon.
“Waktu kowen nglamar pegawèan, kowen moniné duwé pengalaman kerja limang taun. Saiki jebulé kowen ora bisa kerja! Kowen babar blas ora duwé pengalaman apa-apa. Pibèn, tanggungjawabé kowen, hai?” brondong pitakonané Si Bos.

”Iya! Bos, bener. Tapi Si Bos kudu inget. Iklan sing dipasang nang koran, Si Bos moniné blèh pan golèt wong sing wis duwé pengalaman. Sing dibutuhna wong sing duwé imajinasi. Kan kaya kuwé, belèh? (Lanang Setiawan)

Sega Toktokan
SUWATU Kapèr tembé maring Jakarta, dèwèké mlebu nang warung. Sang pelayan warung agé-agé nyodorna menu panganan. Kapèr mentelengi menu panganan sing ana nang adepané, ana Nasi Rames, Nasi Goreng, Nasi Kuning, lan Nasi Doang.
Sauwisé mikir, Kapèr akhiré pesen Nasi Doang. Masalahé dèwèké durung tau ngrasakna sing arané Nasi Doang, mumpung lagi nang Jakarta, kesempatan. Pèndèké bèn waktu balik maring Tegal bisa pamèr kambèn kanca batir.
Suwé Kapèr ngentèni pesenané teka. Latan pelayané teka gawa pesenané. Tapi suwé sangsaya suwé dèwèké nunggu lawuhé ora teka-teka, akhiré Kapèr ngundang maring pelayané latan takon.
“Lawuhé endi Bang? Ganing sega tok-tokan!”
“Abang kan pesené Nasi Doang? Ya, sing metu sega toktokan oh!” (Lanang Setiawan)

Bu Wèndi
KAPÈR dadi tukang kridit teka nang umahé Bu Wèndi, ditemoni gonèng anaké.
“Maaf Um, Mané tembé baé lunga maring Pasar Ésuk. Baliké ngko awan” omongé anaké Bu Wèndi
Kapèr sing wis luyuten dadi tukang kridit, mastikna adong anaké Bu Wèndi gorohé ngletek. Sebab dèwèké tembé baé weruh sikilé Bu Wèndi nganggo sandal jepit mondar-mandir nang nginggor seprèi lan gordèn sing lagi dilèr nang kawat pèmèhan samping umah.
Kesal tur sèwot, Kapèr titip pesen maring anaké Bu Wèndi.
“Tong, tulung ya? Diomongna maring Manèné kowen?”
“Nggih Um, pripun?”
“Dong lunga maring Pasar Ésuk, sikilé aja nganti ketinggalan nang ngingsor pèmèhan, mbokan dicakar kucing!” (Lanang Setiawan)

Pèmpes!
DASMAD karo Jayèng lan Kapèr duwé kesan yahud maring biduan Rani Pèsèk. Wong telu kagum maring penampilané waktu manggung nang Alun-alun Tegal. Jaré Jayèng karo Kapèr, kelebihané Rani Pèsèk ora nang suarané tapi nang mbapuké, dudu nang suarané kaya penilèané Dasmad.
“Suarané Rani Pèsèk, jaré yanu umum batir, Mad” omongé Jayèng nilai penampilané Rani Pèsèk.
“Jaré enyong, tetep suarané Rani Pèsèk pancèn jos. Liyané ramé pasar” semauré KD, sebutan topé Kang Dasmad.
“Kowen payah Mad…” Kapèr nrandu, motong omongan.
“Payah pibèn Pèr?” takoné KD.
“Matané kowen wis blabur ndèyan. Kowen ora duwé éstètika seorang lelaki tulèn!”
“His! Raimu olih bahasa apik kaya kuwé ngutip saka sapa, Pèr? Mbegaya temen énté, éh?! Kaya bocah pendidikan baé Raimu. Tapi ya, bener uga omongané énté Pèr. Matané Dasmad pancèn blabur! Ndeleng Rani kur suarané doang ha ha ha….padahal justru mbapuké Rani Pèsèk sing gawé daya tariké wong lanang!” nrocosé Jayèng.
“Satus kanggo kowen Yèng!”
“Goblog kabèh! Kowen, kowen kué ngarti apa soal Rani? Sing katon mbapuk nang titik-titiké Rani kuwé apa sih?” takoné KD maring wong loro.
“Lha sih apa?” wong loro takon bebarengan.
“Pèmpes bol!” (Lanang Setiawan)

Akal Bulus
DASMAD paling jago dong ngerjani maring wong wadon. Contoné maring Rani Pèsèk. Salah siji dina, dèwèké ora tahan ndeleng Rani Pèsèk sing bengi kuwé katon ayu temen.
“Ran, bengi kiyé kowen katon ayu, nyong gemes maring kowen. Pipiné kowen tak jiwit, setitik ya? Ngko tak bayar satus éwu pèrak wis” omongé Dasmad.
Rani Pèsèk mrengut. Mung akhiré dipikir-pikir duwit satus éwu lumayan gedé. Setitik dijiwit ora papalah, batin Rani. Akhiré, Rani Pèsèk nrima tawaran Dasmad.
“Tapi aja nang kèné Kang,”
“Sing nang endi?”
“Umpetan nang wit kèrsem, ya?” omongé Rani Pèsèk.
Tekan nang wit kesem, pipiné Rani Pèsèk dielus-elus gonèng Dasmad, tapi Dasmad ora gagiyan njiwit, malah diendé-endé kosih Rani kikuk.
“Pibèn sih Kang, gagiyan oh dijiwitt!” desak Rani Pèsèk.
“Sori Ran, nyatané nyong ora bisa” jawabé Dasmad kambèm ngelus-ngelus terus pipiné Rani Pèsèk.
“Pimèn sih?”
“Sori Ran, nyong lagi ora gableg duwit!”
“Sikah!” Rani kèprèh-kèprèhan. Kang Dasmad dipleter (Lanang Setiawan)

Prasaané Kowen
SALAH siji dina Rani Pèsèk numpak Taksi Kuning jurusan Slawi. Taksi disupiri Kapèr, ujug-ujug nang tengah dalan Rani Pèsèk kepèngin bèol. Kebeneran dèwèké njagong nang ngarep jèjèré Kapèr, maring Kapèr latan ngomong.
“Pèr, tulung mandeg dingin. Nyong kebelet bèol!”
“Ah…kuwé mung prasaané kowen baé, Ran!” semauré Kapèr.
Rani Pèsèk meneng kambèn nahan rasa kebelet bèol sing ora bisa ditahan maning.
“Tulung mandeg tuli Pèr, rasané nyong wis keblètèngen” omongé Rani Pèsèk. Tapi supir Kapèr ora nggubris. Akhiré Rani Pèsèk pasrah. Suwé-suwé cunguré Kapèr ngisep ambu bacin ora karuwan.
“Hé Ran! Kowen bèol?” takoné Kapèr.

”Ah.. .kuwé mung prasaané kowen baé Pèr!” (Lanang Setiawan)


Trunyak Truyuk
TEMBÉ numpak motor mabur, Kapèr trunyak-trunyuk. Nang toilèt, tangané pètat-petèt tombol. Tombol-tombol sing ana nang jèjèré wadah tisu, ana tulisan WW, WA, PP, tolih ATR. Awité Kapèr mètèt tombol WW, latan nyemprot banyu anget nang bokongé.
“Ih.. jebulé tombol WW (Warm Water) kiyé banyu anget sing nggo cèwok. Pantes wong wadon kènaken,” batiné Kapèr. Trus dèwèké mètèt tombol WA, nyemprot hawa anget (Warm Air).
“Oh, mugané wong wadon betah nang njero toilèt soalé pelayanané istimèwa”

Kapèr trunyak-trunyuk maning mètèt tombol PP. Ujug-ujug bantalan bedak (Powder Puff) metu saka samping mbedaki bokongé. Kapèr gumun, akhiré mètèt tombol ATR, ujug-ujug dèwèké ora sadar, jebul-jebul ana nang rumah sakit. Tangané diinfus. Dèwèké kèder latan takon maring perawaté sing lagi tugas. Gonèng perawaté Kapèr olih penjelasan.
“Ya..wong sampèyan numpak motor mabur mlebu nang toilèté wong wadon tolih tangané sampèyané musti trunyak-trunyuk mètèt tombol ATR oh ya?”
“Bener, Yu. ATR kuwé artiné apa sih?” takoné Kapèr.
“Artiné Automatic Tampon Removal atawa Pelepas Pembalut Otomatis. Nah, gitu tangané sampèran mètèt tombol kuwé, burungé sampèyan dadi ketarik gonèng alat kuwé!” omongé perawat kambèn cekikikan (Lanang Setiawan)

Job Merem Melik
KD alias Kang Dasmad lagi jèngkèl kambèn Rani Pèsèk. Wis saminggu luwih dèwèké ora gelem sms-an. Bab kiyé dadèkna Dèsi Poso, sahabaté Rani Pèsèk priyatin.
“Kang, dongé ana masalah apa karo Rani Pèsèk, nyong krungu sampèyan karo Rani Pèsèk lagi ora sambung-rapet. Mbokan nyong bisa mecahna persoalan, crita oh” ujug-ujug Dèsi Poso sms maring KD.
“Laka masalah apa-apa ka….” KD mbales sms.
“Aja goroh. Nyong olih wadulan saka Rani. Ngomong baé gèn, masalahé pibèn?”
“Masalahé udan”
“Udan pibèn Kang?” takoné Dèsi Poso.
“Saminggu kepungkur nyong dikon nganter maring Adiwerna. Jaré ana kancané mbuka warung saté. Nyong boncèngan karo Rani, kakangé karo yarigé gawa motor dèwèk boncèngan. Baliké udan, nyong ditlantarnya dèwèkan. Sedeng Rani karo yarig lan kakangé pan numpak Taksi. Motoré dèwèk dititipna maring sing duwé warung. Enyong dianggep apa? Dilawani bengi-bengi nganter, kok digebah. Mangkané udan bengi, banyuné nampeki rainé enyong! Apa nyong ora olih sèwot? Sing nggo éram, cah telu ora rumangsa salah ora njaluk ngapura. Bocah apa dongé, jaré, nyong dianggep sedulur, ganing klakuwané kaya ora duwé éstetika? Biduan pancèné kaya kuwé, Dès?”
“Sing nyong ngarti, jaré ana job”
“Job apa Dès? Job ka bengi-bengi”
“Job bubuk!”
“Bubuk merem melik?! Kik kik kik…” (Lanang Setiawan)

Ora Étungan
NANG njero sepur wayah bengi, Dasmad, Kapèr, wong Amrik uga wong Prancis njagong nang lèstoran. Lagi gayeng-gayengé ngobrol, wong Amrik nyuled rokok sing regané larang, ngecrèsé nganggo zippo. Tembé pirang sedotan, rokok karo korèké dibuang. Wong Jepang karo Dasmad uga Kapèr kagèt.
“Tenang, nang Amerika ora kurang, akèh nemen” omongé wong Amrik.
Wong Prancis ora gelem kalah, njukut minyak wangi. Tembé pirang semprotan, minyak wangi dibuwang maring njaba sepur.
“Tenang, nang Prancis ora kurang,” omongé.
Ndeleng wong bulé pada mbergaya kabèh, Dasmad nyedeki Kapèr, latan ngongkon ngadeg. Kapèr manut maring printahé Dasmad. Pirang menit selanjuté, ana suwara gemboran saka njaba jendèla. Wong-wong bulé kagat lan gemboran, kèprh-kèprèhan.
“Kok sampèyan kejem temen sih? Maring kancan dèwèk ora duwé melas malah dibuwang??” omongé wong-wong bulé.
“Tenang! Aja kagèt lan pada gègèr. Nang negarané enyong, wong kaya Kapèr jumlahé jutaan, ora étungan!” jawabé Dasmad (Lanang Setiawan )

Coh Coh Coh
JAYÈNG critané dadi OKB alias wong paling sugih kayaran. Embuh, dunyané olih kekayaan sing endi, kanca-kanca KD Cs blèh pada paham. Jelas baé, Jayèng saiki sèjèn maring maring kanca batir, luwih-luwih maring Kapèr jan wadèné por-poran. Pèndèké, maring Kapèr ora gelem campur. Sombongé nyundul langit. Jahat.
Dikayakuwèkna gonèng Jayèng, Kapèr culag. Dèwèké ngintim-ngintim, kapan tlenggongé, Kapèr pan males ukum. Salah siji bengi, Kapèr duwé niat ndodos hartané Jayèng pan dikuras, bèn nangis kebo.
Awit soré Kapèr siap-siap golèt linggis, prekul lan benda keras liyané. Saiki benginé teka, dèwèké gitir maring umahé Jayèng. Tapi kagèt ora ketulungan waktu Kapèr tekan nang ngarep umahé, lawang wesiné duwur nemen. Tolih sing ndadèkna eneké nang atiné Kapèr, nang kono ana tulisan kaya kiyé: ‘Adong Nang Umah Kiyé Ana Barang Sing Ilang, Ora Liya Maning, Kapèr!!”.
“Kunyuk Jayèng! Ngina saporèté maring enyong. Tak kutuk kowen Yèng, dunyané dilayak maning gonèng Pengèran! Cuih…coh..coh …coh!! Nyong ora kèré mbadok dunyané raimu, Yèng?!” grutuné Kapèr karo kecoh idu tur agé-agé ninggal umahé Jayèng (Lanang Setiawan )

Nyong Demen Kowen
KANG Dasmad alias KD ngagul. Akhir-akhir kiyé, jaré jakwir-jakwir, bahasa apa baé nang KD, laka sing angel. Pokoké cèrèm!
Salah siji wayah bengi, kaya biasané Kapèr karo KD jejagongan nang gardu ronda. Kapèr sing penasaran, akhiré ngetès maring kepinterané KD.
“Ndelèn Mad. Kowen ngagulé nguasai bahasa pirang-pirang. Saiki tak tès enyong, Bahasa Inggrisé Nyong Demen Kowen kuwé apa?” takoné Kapèr.

”Cèrèm! Kuwé tah sakuku ireng. Jawabané: I Love You, bol”
”Adong bahasa Cinané, apa Mad?”
”Wo Ai Ni” jawabé KD.
”Bahasa Jermané?” takoné Kapèr tambah nafsu.
”Ich Li Bedih…”
”Hèbat! Kowen bener-bener hèbat, ora salah kowen kuwé ahli bahasa. Saiki Bahasa Koreané apa, Mad?”
”Sun Dong Yang, su!” jawabè KD kambèn cangkemè muncis-muncis (Lanang Setiawan)

Dompèt
DASARÉ Rani Pèsèk wong wadon ngas-ngasan, senajan wis duwé pacar megin baé nggaèt Dasmad didadèna pacar simpenan. Salah siji dina pacaré Rani Pèsèk lunga maring luar kota, Dasmad ngapèli langsung mesraan nang kondong. Tapi lagi asyiké wong loro éhé-éhé, ana wong dodog-dodog lawang. Barang dibuka jebulé pacaré Rani. Dasmad umpetan nang longan kondong, pacaré Rani kaya biasané langsung nggèred Rani manjing kondong.
“Kiyé rambuté sapa dik?” tangan pacaré Rani ngelus rambut dawané Rani.
“Dèkèné Kang Mas, sayang…”
“Cungur sing pèsèk kiyé dèkèné sapa, dik ?”.
“Dèkèné Kang Mas, sayang…”
“Kiyé lambèné sapa, dik?”
“Dèkèné Kang Mas, sayang…”
“Kiyébibiré sapa, dik?”
“Dèkèné Kang Mas, sayang… "
Ujug-ujug mata demenané Rani weruh dompèt nang cedeké bantal.
“Lha kiyé dompèté sapa, dik ?”
Durung sempet Rani njawab, saka longan kondong Dasmad nggembor
“His! Kuwé dompèté enyong, bol!!!” (Lanang Setiawan )

Tukang Roti
BOJON É Kapèr jaluk tulung maring lakiné kon ndandani komporé sing rusak. Tapi dasaré Kapèr malesé dubilah belis, jejalukané bojoné ora digubris.
“Pancèné rainé enyon kaya tukang las, Jo?!” omongé Kapèr.
Liyan dina bojoné jaluk tulung maning. Saiki sing rusak mèja tamuné, tapi dijawab nyangkak.
“Pancèné rainé enyong kaya tukang kayu?!”
Saminggu brikuté, bekakas umah sing pada rusak bèrès kabèh, gawé Kapèr éram por-poran, sebab dèwèké ora rumangsa ndandani.
“Sing ndandani barang-barang umah kiyé, wongé sapa Jo?” takoné Kapèr.
“Bujang sebelah, Kang. Mung dèwèké jaluk imbalan”
“Imbalan apa?”
“Nyong kon nggawèkna roti utawa ‘turu’ sewengi dur” jawab bojoné Kapèr santé.
“Latan kowen nggawèkna roti?” Kapèr penasaran.
“Pancèné rainé enyong kaya tukang roti, Kang?!” (Lanang Setiawan )

Sauto
UM Kumplang critané nodong sauto. Tapi tembé dipangan pirang sèndok, dèwèké kapiselek nganti saka cangkemé metu utah-utahan, matané pet-petan lan jebul-jebul dèwèké njengkakang nang rumah sakit.
“Kang Dasmad endi Bu?” takoné Um Kumplang maring bojoné sing nunggoni.
“Dasmad sapa?” bojoné balik takon.
“Jakwir kita bu, bocah Kalibuntu kaé kon mèné”
“Sampèyan sadar ora sih Kang? Kiyé nang Surabaya. Ngundang Dasmad kon maring Surabaya pan nggo apa? Sampèyan aja nggayuh baé maring Tegal.” omong bojoné.
“Nyong duwé salah gedé karo Dasmad. Saiki tembé kepikir, nyong manjing rumah sakit jalaran kapiselek sauto, Bu!” omongé Um Kumplang.
“Apa hubungané sauto karo Dasmad?”
“Hubungané ana, Bu”
Um Kumplang latan crita, waktu samana dèwèké pan purna tugas saka jabatan penting nang Tegal, Dasmad mujar jaluk sauto. Ora dimèin malah cocoté Kumplang dlawèran omong-omong maring hadirin acara Jèd-jèdan Maca Puisi Tegalan sajeroné Perpisahan.
“Dasmad ora salah, Bu. Nyong kliru nafsirna panjaluké Dasmad. Saluguné, Dasmad njaluk sauto ora pan dipangan dèwèk, tapi pan dibagi-bagi maring pengunjung baca puisi Tegalan. Nyong salah Bu, tulung saiki hapèné Dasmad dihubungi. Nyong pèngin pan njaluk ngapura, lan khusnul khotimah!” omongé Um Kumplang karo mbrebes mili.
Ora suwé, bojoné kontak hapèné Dasmad. Tapi puluwan dikontak, laka jawabané.
“Pibèn Bu?”
“Hapé yang anda tuju tidak bisa dihubungi, Kang!”
“Sih nyong kon nggubungi sapa?”
“Ya embuh, ya…” (Lanang Setiawan)

Prasaané Kowen
SALAH siji dina Rani Pèsèk numpak Taksi Kuning jurusan Slawi. Taksi disupiri Kapèr, ujug-ujug nang tengah dalan Rani Pèsèk kepèngin bèol. Kebeneran dèwèké njagong nang ngarep jèjèré Kapèr, maring Kapèr latan ngomong.
“Pèr, tulung mandeg dingin. Nyong kebelet bèol!”
“Ah…kuwé mung prasaané kowen baé, Ran!” semauré Kapèr.
Rani Pèsèk meneng kambèn nahan rasa kebelet bèol sing ora bisa ditahan maning.
“Tulung mandeg tuli Pèr, rasané nyong wis keblètèngen” omongé Rani Pèsèk. Tapi supir Kapèr ora nggubris. Akhiré Rani Pèsèk pasrah. Suwé-suwé cunguré Kapèr ngisep ambu bacin ora karuwan.
“Hé Ran! Kowen bèol?” takoné Kapèr.”Ah.. .kuwé mung prasaané kowen baé Pèr!” (Lanang Setiawan)


Jaluk Nomer Hapé
KAPÉR dadi guru pelajaran IPS nang SMA. Salah siji dina, dèwèké takon maring murid-muridé apa kerjané Manèné sadiné. Jawabané macem-macem, ana sing njawab dadi dokter, insinyur, bankir, ibu rumah tangga, lan liya-liyané. Pak Guru Kapèr latan takon maring Tono sing meneng baé awit pelajaran dimolai.
“Tono, awit mau kowen meneng baé, kerjané Manèné kowen apa, sih?” Radan aras-arasen lan isin dèwèké jawab.
“WTS pak…”Pak Guru Kapèr kagèt ora ketulungan. Tono akhiré kon ngadep maring Kepala Sekolah Dasmad. Sauwié ngadep, Tono ditakoni Guru Kapèr pibèn hasil obrolané kambèn Kepala Sekolah Dasmad. ”Apa kowen ngomong sajujuré apa sing diomongna kowen waktu nang kelas?” ”Ya pak” jawabé Tono.”Tanggapan Pak Kepala Sekolah, pibèn?” takoné Kapèr serius.”Jaré Kepala Sekolah, kabèh jenis gawèan penting kanggo kesuburan ekonomi negara. Malahan Bapak Dasmad mèin enyong permèn coklat latan jaluk nomor hapé Manèné enyong . . .” (Lanang Setiawan)


Gunting
KAPÈR mbuka warung klontong ketekan bocah prawan. Kapèr kaya ketiban pulung, jam sanga bengi pisan ketekan wong ayu. Yahèn, asoy!
“Pan tuku apa Nok?” omongé Kapèr.
“Adol ciu Kang?”
Kapèr ngrajug, kagèt ora baèn-baèn. Durung pernah dèwèké ketekan bocah wadon tapi pan tuku ciu. Toblèg, toblèg! Ampun dèwa!

”Nang kèné ora adol ciu, Nok” omongé Kapèr.
Ésuk dinané prawané teka maning, dijawab Kapèr ora sedia. Tapi let dinané maning, prawané tetep ndableg teka maring warungé Kapèr.
“Pan tuku ciu? Nang kèné ora adol! Kowen aja gawé sètan. Nyong wis ngomong, barang haram kayak kuwé laka nang warungé enyong! Dong pisan maning teka takon ciu, kupingé kowen tak gunting! Paham?!” Kapèr kalah sèwot. Cah prawan kuwé gitir ninggal warung. Tapi dasar bocah gebleg, ésuké teka maning. Kapèr pasang rai angas.
“Pan apa kowen teka mèné? Tuku ciu?”
“Ora! Ana gunting?” takoné njarag.”Laka gunting!” semauré Kapèr.”Dong kaya kuwé, ana ciu Kang?” (Lanang Setiawan)

Ora Ngarti
NANG gardu ronda, rainé Kapèr ora kaya biasané. Ulaté katon besem, mbesengut baé, ndadèkna KD alias Kang Dasmad wadé.
“Tak deleng-deleng, awit mau rainé kowen ditekuk baé, ana apa Pèr? Urip ka, ora tau begèr. Hèpi oh, hèpi….aja mikir sing ora-ora. Dong ora nyandak nggayuh impian, aja dipaksa, kowen bakal jontas. Santé baé ngadepi urip, aja ngotot!” omongé KD.
“Kon blèh ngotot pibèn Mad? Coba dibayangna, bojoné enyong ngedrèl njaluk duwit terus. Minggu sing wis lèwat njaluk 200 éwu. Sadurungé njaluk 125 éwu, bengi kiyé njaluk 150 éwu. Apa ndasé nyong ora mumet? Kowen ngarti oh, saiki nyong ora duwé gajih, nyong wis ditendang, dijejek gonèng pimpinan anyar ora dadi mandor maning. Salawasé urip nyong tembé olih gajian, barang ana pimpinan anyar, ora dianyomi malah dijejek” angluhé Kapèr.
“Iya ya? Édan ah bojoné kowen”
“Sih ndarani Mad, bojoné enyong tah blèh ngarti maring kahanan sing lagi werit…”
“Iya ya…, tapi omong-omong Pèr, duwit sing dijaluk bojoné kowen dongé nggo apa sih?” takoné KD.
“Embuh! Nyong blèh ngarti”
“Bisané kowen ora ngarti, Pèr?”
“Ya iya ya, soalé nyong ora tau mèin duwit!” (Lanang Setiawan )

Medit
BOJONÉ Kapèr waduké lara, ora kuwat duwé laki kaya Kapèr, medité dubilah belis. Urip bojoné dijatah pas-pasan. Salah siji dina bojoné Kapèr njaluk duwit tambahan blanja..
“Tulung duwit blanja ditambah rongpuluh éwu baé Kang. Bèn bocah-bocah bisa mangan dèndèng” jaluk bojoné Kapèr.
Kapèr jukut selembar rongpuluh éwun saka saké kambèn diajungna nang kaca pengilon.
“Delengen ya, duwit sing nang kaca pengilon kaé, Jo. Sing nang kaca pengilon nggo kowen, sing nang tangan kiyé dèkèné enyong,” omongé Kapèr karo nglebokna duwit rongpuluh éwu nang saké dèwèk.
Ésuk sorèné, waktu Kapèr manjing umah, matané weruh panganan saté, gulé, sop, ayam gorèng, lan liya-liyané nang mèja.
“Panganan nang mèja akèh temen, Jo? Kowen olih duwit saka sapa?” takoné Kapèr.
Agé-agé bojoné Kapèr nggawa dèwèké maring kaca pengilon.
“Delengen ya, awak kiyé sing ana nang kaca pengilon kaé dèkèké sampèyan. Nah, sing kiyé, dèkèné bakul dèndèng!” omongé bojoné Kapèr kambèn ngangkat roké (Lanang Setiawan)

Compong
CRITANÉ Jayèng dadi polisi lagi tugas nang prapatan Kejambon. Saka elor, mbak slonong ana wong lanang numpak motor ora nganggo hèlm. Prit…prit…prit… Polisi Jayèng nabuh sumpritan. Barang dicedeki jebulé Kapèr, jakwiré dèwèk.
“Kira-kira oh Pèr, aja kadiran jakwir dadi polisi, numpak motor ora nganggo aturan” takoné Polisi Jayèng.
“Ora nganggo nganggo aturan pibèn, Yèng?” Kapèr balik takon.
“Kuwé sih, énté nggawa motor ora nganggo hèlm. Apa kuwé sing arané nganggo aturan?”
“Waduh! Matané kowen ora ndeleng enyong nganggo hèlm?”
“Compong ya, énté?! Sing dionggo énté dudu hèlm, bol! Kuwé émbèr”
“Pancèné pimèn sih? Khan ana pepatah…”
“Pepatah apa maning?” takoné Jayèng.
“Laka rotan, akar ora masalah. Dadi ya, dong laka hèlm, émber blèh papa oh…” (Lanang Setiawan)

S.1

NANG salah siji pabrik sabun, Kapèr dipercaya dadi staf bagian personalia. Tugasé mriksa berkas-berkas lamaran sing pada mlebu. Salah sijiné berkas lamarané Glèmboh. Lan kebeneran baé Glèmboh lagi ngadep nang kantoré Kapèr.
“Lamarané enyong pibèn Pèr?” omongé Blèmboh.”Berkas lamaran kowen wis tak tampa, Mbloh…”
“Oh ya. Kayongé ana tanda-tanda ketrima enyong kerja nang kèné belih, Pèr?”
“Pabrik kèné mbutuhnané tenaga kerja sing lulusané S1, Mbloh…” omongé Kapèr.”Alhamdulillah….brarti enyong ketrima ya Pèr?” omongé Glèmboh bèrag.
“Ketrima pibèn? Kowen kuwé ijasahé apa sih Mbloh?”
“SMA Pèr!”
“Lha kuwé, Mbloh? Kowen ora ketrima!””Lha, kepibèn sih? SMA kan S-é siji, brarti enyong wis menuhi rsyarat kerja nang kèné oh…ora ketrima rijèk?”
“Dasar koprok! Wis mana kowen metu saja ruwangan kiyé. Tak sangoni limang éwu pèrak nggo tuku udud! Gagiyan balik! (Lanang Setiawan)

Ta Uu…
WAYAHÉ wis jam setengah telu bengi, udan baraté santer nemen waktu hapèné Dokter Dasmad moni kenceng. Barang dideleng, jebulé Um Wapèk.”Tulung kowen teka maring uamhé enyong, Mad. Gagiyan!” omongé Um Wapèk nang hapé.
“Ana apa sih? Udané barat kanginan”
“Bojoné enyong perlu dipriksa, Mad. Wetengé ngulèt-ngulèt baé, kayongé pan lairan” semauré Um Wapèk.”Bengi kiyé nyong turu mung rong jam, Pèk. Mobilé enyong mogok kejebak banjir. Nyong kudu mlaku patang kilo mèter. Tapi aja watir, nyong tak ganti pakèan dingin lan nulungi bojoné kowen. Mung baé kiyé, Pèk…”
“Pibèn?”
“Bengi-bengi langka angkutan, bisa ora bisa kowenkudu njemput enyong” ”Apa Mad?! Enyong kon njemput kowen wayah undan barat tur bledègé ngampar ngampar? Ora melas temen kowen maring enyong, Mad?” omongé Um Wapèk kaya pan nangis.
“Kowen uga sing kira-kira oh! Wayah bengi undané barat tur bledègé ngampar ngampar, enyong kon mlaku tengak-tenguk maring umahé kowen? Nehi maharad dunya dipatil lèlé ya? Ta uu…!” (Lanang Setiawan )

Bakul Jamu
TAMBAH tuwa, Rani Pèsèk ora payu laki lan job nyanyiné bangkrut. Kalah kèder, akhiré Rani Pésék dadi bakul jamu gendong. Dèwèké duwé kebiasaan sing ora bisa ditinggalna yakuwé, dong trima duwit saka pelanggané didalah nang jero kutang. Wayah soré dèwèké maring pasar, blanja barang dagangan. Waktu bayar, ujug-ujug pedagané ora gelem nrima duwité Rani Pèsèk.”Maaf mbak, duwité palsu!” alesané.”Wah masak nyong nipu? Kuwé duwit asli, hasil dodolan jamu mau ésuk!” omongé Rani Pèsèk.”Ora percaya dipriksa dèwèk mbak. Duwité laka gambaré!”Radan éram, Rani Pèsèk terusan ndeleng maring njero kutang, tembé ngomong:
“É…pantesan, duwité laka gambaré, sebab uwongé lagi nyusu…!!” nLanang Setiawan

Gawat
PIHAK Rumah Sakit Jiwa critané ngundang grup musik rock kanggo nglipur wong-wong sing kena gangguan compong alias édan. Waktu dina pagelarané teka, tontonan yahèr digebèr. Wong-wong sing kena gangguan compong dikumpulna lan grup musik rocké kon maèn nang nduwur panggung, lengkap kambèn aksesorisné, tur gayané awut-awudan, petakilan kaya kèwan munyuk ngedek nang krikil wangwa sing panasé oranguwati.Kapèr salah siji pasien compong maring jakwiré ngomong:
“Dong nyong kowen kesuwèn nang rumah sakit kiyé, kayong blai ya, Jon?”
“Bisané?” sing diundang Kapèr nganggo sebutan Jon, balik takon.
“Iya! Nyong kowen bakal ora bèda kaya wong-wong sing ana nang nduwur panggung. Gawat…!!nLanang Setiawan

Cerdas
ANAKÉ Kapèr sing mbontot waktu digawa nang lokasi kemah nudis, ngrajuk ndeleng wong-wong sing pada ora katokan. Maring anak mbontoté, Kapèr njelasna.
“Tong, gedé ciliké ‘barang’ kuwé bisa dititèni saka cerdasé. Biasané wong sing cerdas, barangé gedé ketimbang wong sing bodo. Paham, Tong?”
“Paham Bah!” semauré anak bontoté Kapèr.
Pirang dinané, sauwisé Kapèr nang umah, kèlangan bojo. Dèwèké akhiré takon maring anak mbontoté.
“Dongèné Manèné kowen lunga maring endi, Tong?”
“Limang menit sing klèwat, Mané ngobrol karo Um Jayèng sing bodoh, Bah., Tapi suwé-suwé malah sangsaya cerdas!” wadulé anak mbontoté Kapèr nLanang Setiawan

Manfaat Gedé

KD kepanjangan aran Kang Dasmad, critané dadi dokter. KD salah siji dokter paling jempolan nang Kota Tegal. Waktu buka praktek soré, ketekan Kapèr.
“Nyong bener-bener ngakoni kowen kuwé pancèn dokter paling top lan jempolan nang Kota Tegal, Mad” omongé Kapèr waktu ngadep nang ruwang praktèk Dokter KD.
“Buktiné apa Pèr?” takoné Dokter KD.
“Nyong olih manfaat gedé saka hasil kerjané kowen, Mad” Dokter KD kagèr. Dèwèké trus mandeng rainé Kapèr.
“Saèmuté enyong, kowen durung kecatet dadi pasièné enyong Pèr”
“Pancèn durung Mad. Sing dadi pasièné kowen mertua wadoné enyong!” omongé Kapèr.
“Maksudé?” takoné Dokter KD sing durung genah arah omongané Kapèr.
“Maksudé, metuwa wadoné enyong, mau ésuk wis tawi alias ora nana!” nLanang Setiawan

Tarif

BAR insya, ana garokan nang lokalisasi Gang Sempit. Wèwi, salah siji gejun nang kono ketangkep gonèng Polisi Kapèr. ”Aduuuhhh Pak, nyong pan digawa maring endi?” omongé Wèwi.
”Kowen aja rèang. Pokoké mèlu enyong” omongé Polisi Kapèr.
“Iya pak. Tapi nyong pan digawa maring endi?”
“Maring markas”

”Oh…terserah Pak. Pan dijak maring endi baé laka masalah. Asal…”
“Asal apa?” takoné Polisi Kapèr.
“Asal anu Pak…”
“Anu pimèn?”
“Tarifé aja dikurangi, ajeg kaya biasané’ Pak!” omongé Wèwi.
“Sikah!” nLanang Setiawan

Tèmpé
MOLAK-MALIKÉ barang pada mundak kabèh, ndadèkna wong sing pan tuku pada padu, ngèyèl kambèn sing dodol. Sing pan tuku njaluké murah, sedeng sing pan adol njaluké mundak. Bab kiyé diranapi gonèng Kapèr kambèn Bakul Tèmpé.
“Salonjor regan tèmpé saiki pira, Kang?” omongé Kapèr maring bakul tèmpé sing ider.
“Pada munggah kabèh. Salonjor dadi 20 éwu pèrak” jawabé Si Bakul Tèmpé.
Krungu omongané Bakul Tèmpé, Kapèr njimprak. Kagèt laka padané.
“Jajaté tèmpé kosih 20 éwu? Ora mungkin, Kang. Sampèyan ngundakna regan sing kira-kira gèn. Édan apa? Awité kur Rp 5 éwu saiki 20 éwu?! Aja yahanu ah…”
“Yahanu pibèn. Wong regané samono…”
“Padalèn, regan tèmpé nang Koran mung 7 éwu pèrak!” omongé Kapèr.
“Ya mana oh…rika mangan tèmpèné sing ana nang Koran!!” nLanang Setiawan

Compong
CRITANÉ Jayèng dadi polisi lagi tugas nang prapatan Kejambon. Saka elor, mbak slonong ana wong lanang numpak motor ora nganggo hèlm. Prit…prit…prit… Polisi Jayèng nabuh sumpritan. Barang dicedeki jebulé Kapèr, jakwiré dèwèk.
“Kira-kira oh Pèr, aja kadiran jakwir dadi polisi, numpak motor ora nganggo aturan” takoné Polisi Jayèng.
“Ora nganggo nganggo aturan pibèn, Yèng?” Kapèr balik takon.
“Kuwé sih, énté nggawa motor ora nganggo hèlm. Apa kuwé sing arané nganggo aturan?”
“Waduh! Matané kowen ora ndeleng enyong nganggo hèlm?”
“Compong ya, énté?! Sing dionggo énté dudu hèlm, bol! Kuwé émbèr”
“Pancèné pimèn sih? Khan ana pepatah…”
“Pepatah apa maning?” takoné Jayèng.
“Laka rotan, akar ora masalah. Dadi ya, dong laka hèlm, émber blèh papa oh…” nLanang Setiawan

Muter-muter
URIPE Kapèr kaya ditakdirna dadi wong susah. Padalèn uripé wis banting tulang, maksa baé uripé durung brubah. Saben dina tak-takan golèti pangan. Seumpama dina kiyé olih rejeki, mbèsukiki embuh nasibé ora nentu.
“Urip kaya laka majuné ya Mad? Pisan kalah pan oyag satitik, ana baé wong sing nundung. Urip saumur-umur tembé pan ambekan, kayong ora olih. Jaman saiki, sing njugrugé atas, menang! Pibèn ya?” omongé Kapèr gendu-gendu rasa karo Dasmad liwat sms.
“Dadi wong mlarat bakal kepèdek, ditindas, ditlèspaki tapi ora bisa nglawan, Pèr” jawabé Dasmad.
“Sangsaya mana, urip sangsaya ambrol. Jaré uwong, jagad kuwé muter tapi kanggo enyong malah muter-muter”
“Muter-muter pimèn Pèr?”
“Muter-muter golèt pangan. Mumet!”
“Kaya kiyé baé Pèr. Kowen tak mèin saran”
“Saran apa Mad?”
“Bèn aja muter-muter maning, kotorané kowen dipangan maning baé! Kak kak kak..”
“Sikah!” (Lanang Setiawan)

Bujang Tingting
ANAK wadoné Kapèr sing paling gedé pan mbara maring Jakarta. Sadurungé mangkat, Manèné weling.
“Nok, dong kowen maring Jakarta tolih olih jodoh, Mané pesen golètana jodoh sing apik. Pertama, golèta pasangan sing setia. Keloro, pasangané kowen kudu bisa nglola duwit. Sing terakhir, calon lakiné kowen kudu bujang tingting”
Kuwé pesené Manèné. Sauwisé kuwé anak wadoné Kapèr mangkat maring Jakarta. Pirang wulané dèwèké balik trus wadul maring Manèné.
“Né, nyong wis ketemu jodoh sing dadi syaraté Mané”
“Oya, pibèn Nok?” takoné Manèné pèngin ngarti.
“Waktu nyong mlaku-mlaku karo calon lakiné enyong, dèwèké nggandèng terus karo tangané ngelus-ngelus rambuté enyong. Kuwé sing arané setia ya Né?” omongé. Manèné mantuk tanda setuju.
“Tolih ya Né, krana kebengèn trus udan, nyong dijak nginep. Calon lakiné enyong ngomong; ‘nginepé nang hotèl sing murah baé ya?’ Enyong mantuk, setuju Nè“
“Tolih?” Manèné nyecer pitakonan.
“Dèwèké ngomong maning, jaré, bèn aja buwang-buwang duwit, nginipé sekamar baé. Brarti calon lakiné enyong tergolongé wong sing hemat ya Né?”
Manèné mantuk tapi nang atiné ngemu was sumelang.
“Akhiré ya Né....enyong ngarti adong calon lakiné enyong mèsih bujang tingting. Soalé ya Né, anuné dèwèké mèsih dibungkus plastik!” (Lanang Setiawan)

Copèt
KAPÈR lagi petèntang-petèntèng nang kota sing awud-awudan, terkenal copeté. Ora kenanan wong dedalah duwit sembarangan. Duwit nang kutang atawa nang cawet, bisa ujug-ujug amblas. Embuh kepibèn carané, pokoké copèt nang kèné jahat-jahat.
Krungu crita kaya kuwé, Kapèr penasaran. Dèwèké nyoba teka nang daèrah kono. Apa bener daèrah kono, copèté hèbat-hèbat?
Nang terminal bis critané, Kapèr pamèr dedalah dompèt nang sak clana levis, nglodog kaya nantang maring para copèt. Saka terminal latan Kapèr manjing pasar, uga mlebu mall. Balik klendangan maring penginepan, dompèt tetep utuh. Sadina rong tina nganti saminggu, Kapèr ngubengi kota ya saperak baé laka duwit sing kalong. Kapèr dadi penasaran, akhiré manjing warung.
“Kang, sori Kang. Nyong pan takon” omongé Kapèr maring salah siji uwong sing lagi mèdang.
“Takon apa Kang?”
“Jaré uwong, daèrah kèné copèté pada hèbat-hèbat, bener Kang?”
“Ora salah, Kang. Sapa-sapa sing nggawa duwit pasti kecopètan. Khata didalah nang kutang atawa cawet, bisa bablas ilang!” jawabé.
“Nyong blèh percaya! Buktiné, saminggu nyong kluyuran nang kèné, dompèté enyong mèsih utuh. Sapèrak baé laka duwit sing kalong” omongé Kapèr.
“Lha? Apa sampèyan krasa? Waktu para copèt kèné mbalakna dompèté sampèyan nang sak clana? Sapa sing gelem duwit palsuné sampèyan? Sapa?!” (Lanang Setiawan)

Mati Kutu
KAPÈR dadi Dokter Jiwa. Sedeng Glèmboh critané dadi pasièné, lapor maring Kapèr.
“Selamat pagi, Dok. Dina kiyé nyong dadi Komandan” omongé Glèmboh.
“Okèm, nyong bakal dadi anak buahé kowen” semauré Dokter Kapèr.
Sadinané, Glèmboh lapor maning.
“Selamat pagi, Dok. Dina kiyé nyong dadi Guru” omongé Glèmboh semangat.
“Dong kaya kuwé, nyong dadi muridé kowen” semauré Kapèr kambèn pèsam-pèsem.
Latan dina Jemuah, maning-maning Glèmboh lapor.
“Selamat pagi, Dok. Dina kiyé nyong dadi Psikolog” omongé Glèmboh.
Dokter Kapèr meneng getem, mati kutu (Lanang Setiawan)

Tukmis
JAYÈNG dadi Boss sing tukmis, ora kenanan weruh wong wadon sing batuké klimis. Waktu samana, ngongkon Kapèr anak buahé nggolèti tarok. Gelisan crita, Kapèr lapor maring Boss Jayèng.
“Kyèh Boss, nyong wis olih tarok. Jalug, ayu por-poran!” omongé Kapèr karo menyodorna tangané bèn diambung Boss Jayèng.
“Wahhh . . sing kiyé tah nyong wis tau . . pasti si Rani Pèsèk. Golèt maning ah” omongé Jayèng.
Kapèr golèt tarok maning. Sauwisé olih, dèwèké lapor.
“Sing kiyé pibèn Boss?” kaya biasané Kapèr nyodorna tangané.
“Wadaw . . saka ambuné, nyong ngarti. Kiyé Dèwi Tèmpé, golèt liyané maning”
Lantaran kesel, Kapèr golèt maring endi-endi ora. Tapi ora nemu-nemu. Mung Kapèr ora kalah akal. Gelisan crita dèwèké balik lapor maring Jayèng.
“Adong sing kiyé pibèn Boss?”
“Wahhh sip, bagus nemen! Nyong durung pernah ngrasakna sing kiyé. Tak ingus-ingus ambuné, kayané bocahé mègin prawan. Wis Pèr, aja kesuwèn bocahé digawa maring enyong!” omongé Boss Jayèng sauwisé ngambung jrijiné Kapèr.
“Waduh Boss…”
“Waduh pibèn?”
“Anu . . Boss sing miki kuwé . . . hmm . . ambu silité enyong .. .” (Lanang Setiawan)

Gendil
WAYAH bengi sing hawané atis nemen, Kang Dasmad sing pancèn wongé bagus, kena lara tenggorokané. Telak rasané perih nggo ngeleg panganan. Wis macem-macem jamu diinung, maksa baé ora mari. Akhiré bengi kuwé dèwèké mluncur maring dokter kebeneran baé bojoné ayu tapi genit.
Anjog nang ngarep lawang, Dasmad dodog-dodog. Krungu ana suwara lawang didodog-dodog, bojoné dokteré langsung mbuka lawang.
“Buuu Dokteeerrrrr, Pak Dokteré anaaaaa?” omongé Dasmad radan serak sebab lagi tenggorokané lagi lara.
Bojoné Dokteré mesem, gendil tur mènjèng, latan misiki ora kalah aloné.
“PacDokteré lakaaaaa, ayoh gagiyan mlebuuuu!!!" kambèn narik tangan Dasmad (Lanang Setiawan)

Dukun

CRITANÉ Kapèr dadi dukun. Kena dikandakna, kanyaran. Dadi wajar dong dèwèké ngangluh maring dukun kawakan Dasmad. ”Payah Mad…” omongé Kapèr waktu teka maring Dasmad.
“Payah apa? Durung njagong, durung mèdang, teka-teka wis gemboran. Payah apa, Pèr?”
“Kiyé Mad. Saben-saben nyong teka maring pertemuan jakwir. Ana baé wong wadon sing njaluk tulung kambèn enyong. Ora apa sih, mung masalahé ngempra!” omongé Kapèr karo mucu-mucu.
“Ngempra pimèn?” takoné Dasmad.
“Njaluké gratisan kabèh, tapi nyong ora duwé cara nolaké, Mad?”

”Ora perlu ditolak Pèr. Laka masalah…”
”Siman! Wong enyong meguru karo kowen bè bayaré atusan éwu, ilokèn pan nggo gratisan terusan?”
“Kowen ora ngarti sih. Nganggo taktik oh. Apa maning sing njaluk gratisan wong wadon. Mungguhé enyong malah kebeneran. Selama kiyé nyong wis bisa mecahna persoalan kuwé, Pèr”
Krungu omongan Dasmad kaya kuwé, Kapèr sangsaya sumangat.
“Cara mecahnané pibèn Mad? Nyong njaluk carané oh…”
“Gampang!”
“Gampang pibèn?”
“Kongkon wuda!” (Lanang Setiawan)

Kuwé Masalahé
KIYÉ kedadian nyata. Tapi aja ngomong-ngomong kambèn Kapèr ya? Mbokan sèwot. Critané, Kapèr demen karo Dèwi Tèmpé, mung jalaran ditolak, Kapèr dadi compong alias kentir. Kapèr akhiré dikirim maring rumah sakit jiwa. Ana rong wulan dèwèké diobati gonèng Dokter Dasmad, satitik-turut satidik compongé dadi mending.
“Pèr, kiyé obat nggo kowen. Sakité kowen bisa dikandakna wis mending. Mung kowen kudu rajin nguntal obat sadina ping telu” omongé Dokter Dasmad.
“Lho, nginung obat ka sadina ping telu sih, Dok? Sapisan baé pibèn?” omongé Kapèr.
“Kiyé kanggo kesèhatané kowen, Pèr. Tapi omong-omong, pancèné adong nginung obat sadina ping telu kenangapa?” takoné Dokter Dasmad.
“Kuwé masalahé, Dok”
“Masalahé pimèn?” takoné Dokter Dasmad.
“Nyong dong mangan sadina mung sapisan…” (Lanang Setiawan)

Banpol
KD kepanjangan Kang Dasmad kambèn Kapèr lagi énak-énak ngangkut sayur-sayuran ngaggo mobil Pick Up. KD dadi supiré sedeng Kapèr dadi kernèté. Nang pertelon Pasar Langon, Slèrok, Kota Tegal, mobil diandeg Petugas Banpol sebab muatané melep-melep.
“Stop!”
KD mudun uga Kapèr. Tapi ujug-ujug Kapèr mlayu mlencing ndadèkna KD bingung. Latan nggembor.
“Pèr, Kapèèèrrrrr…!! Pan maring endi?!”
Kapèr tetep mlayu bablas ngidul numuju Dèsa Kademangaran. Ora ba lan bu, KD akhiré ngudag Kapèr. Nang pikirané KD, mbokatan ana apa-apa kambèn Kapèr. Ora let suwé KD ngudag, Kapèr akhiré kecandak. Waktu kuwé, Kapèr keselen lan ndempès nang ngingsor gedang, ambekané ngos-ngosan.
“Aduh…kowen dongé kenangapa? Wong pan ditakoni petugas, kowen ka malah mlayu mlencing? Maksudé kowen pibèn, Pèr?” takoné KD.
“Nyong runtag. Wedi nemen Mad,” semauré Kapèr.
“Wedi pibèn?”
“Petugas Banpolé ndelengna enyong baé, Mad!”
“Ah, pijara. Enyong sing nyupir mobil, ilokèn mandengé maring kowen?”

”Sung Mad! Mata Petugasé mentelengi enyong terus!”
“Ah, ndèyané mata Petugas Banpolé, kèdeng Pèr…!!” (Lanang Setiawan)

Tutup Mata

ANA kanda ana cerita. Rani Pèsèk dadi perawat kanyaran. Prawakané Rani Pèsèk, bisa diomong montok uga lènjèh. Salah siji dina ketekan pasièn Kapèr. Tapi saben-saben Kapèr dipriksa gonèng Perawat Rani Pèsèk, tarikan jantungé trus ningkat.
”Dokter Dasmad, nyong bingung kyèh” omongé.
“Bingung kenangapa?” semauré Dokter Dasmad.
“Kiyé, saben-saben nyong mengukur pasièn kiyéi, denyut jantungé langsung manjat. Apakah perlu tak mènèhi obat penenang?”

”Ora perlu! Mèin baé tutup mata…!!” nLanang Setiawan

Um Brindil
UM Brindil kepentok kasus, kepaksa kudu mèin keterangan pers maring wartawan. Sebab dèwèké dadi Jaksa.
“Apa sampèyan kabèh wis ngarti apa sing pan tak omongna enyong?” omongé Um Brindil nang adepané para wartawan.
“Wiiissss!” serentak wartawan njawab semangat.
“Adong kaya kuwé, nggo apa nyong ngomong?” omongé Jaksa Brindil kalem karo ngloyor lunga.
Dina keloro, dèwèké kudu mèin keterangan pers maning.
“Ngerti ora, apa sing bakal tak omongna enyong maring sampèyan kabèh?”
Blajar saka pengalaman, para wartawan akhiré njawab serentak.
“Oraaaa…!!”
Krana laka sing pada ngarti, Jaksa Brindil ngloyor lunga. Dina kaping telu, para wartawan mau nyegat maning. Lan kaya biasané para wartawan pada takon.
“Komentar Bapak tentang kasus Bapak?”
“Wis pada ngarti apa sing bakal tak omongna enyong belih?”
Blajar saka pengalaman, para wartawan kompak menjawab.
“Wiisssss…..”
“Duruuuunnngggg…”
Jaksa Brindil meneng, latan ngomong.
“Dong kaya kuwé, sapa-sapa sing durung ngarti, tulung dimèin ngarti sapa-sapa sing wis ngarti!” (Lanang Setiawan)

Mapasoga
LAGI énak-énaké Dasmad - Jayèng ngobrol nang gardu ronda, Um Wapèk sing wis suwé ora tau katon, teka. Tapi ulaté kuciwa campur sèwot. Embuh lagi kumat apa, Dasmad - Jayèng blèh paham. Jelasé baé, ambekané Um Wapèk ngos-ngosan.
“Énté suwé ora katon, pisan kalah teka ambekané mambu tai. Kedebugan, ana masalah apa, Pèk?” takoné Jayèng.
“Kapèr endi?” omongé Um Wapèk.
“Hari gini énté nggolèti Kapèr? Kak kak kak…percuma, Pèk! Énté bati kesel, balik baé wis mana!”
“His, ngko dingin Yèng. Kon balik pibèn? Takoni genahé Um Wapèk nggolèti Kapèr, apa?” omongé Dasmad.
“Kuwé Mad, duwit dagangan nggo kulakan, disilih 300 éwu moniné nggo bayar piknik walad. Jarèné, pan disaur sadina rong dina. Jebulé…..”
Durung rampung Um Wapèk ngomong, Jayèng gemuyu lata-lata.
“Bisané kowen gemuyu Yèng?”
“Ya iya ya…, duwit dong wis kecekel tlotok Kapèr ora bakal balik. Bocah kaé mlebuné mahkluk Mapasoga…..”
“Maksudé?”
“Mangan Pagi, Soré Kaga...” jawabé Jayèng karo gemuyu.
“Ya bener! Kapèr kuwé, ibaraté; Gedang Klutuk Mateng nang Wiwité…”
“Maksudé, Mad?”
“Glutak-glutuk Laka Duwité…” (Lanang Setiawan)


Refil Sabungkus
CRITANÉ Dasmad dadi Panembahan. Saben dina ditekani uwong sing njaluk restu. Salah siji wengi bar isya, dèwèké ketekan Um Wapèk karo rombongan. Jalaran kosiné ora cukup, akhiré digelarna karpèt.
“Mbah Panembahan, tekané enyong mrèné sebab tanggal 9 Mèi pan ana Pemilihan Ketua Paguyupan Yahèr nang kampungé enyong. Nyong njaluk sembur bèn bisa dadi ketua maning,” omongé Um Wapèk mbuka omongan.
“Ocèh. Tolih kiyé, rombongan sapa?” takoné Panembahan Dasmad karo tangané nuding maring rombongan.
“Niki, pendukung-pendukungé enyong Mbah,”
“Oh…dadi tekané kowen njaluk disembur?”
“Dudu njaluk disembur, Mbah Panembahan. Tapi njaluk restu!”
“Kowen saiki nggawa apa?”
“Rokok rèfil!”
“Oh bagus. Kowen idepé bèrès oh ya?”
“Nggih Mbah”
“Wis saiki kowen pada balik kabèh. Embah pan udud rèfil!”
Rokok rèfil diulungna maring Panembahan Dasmad. Um Wapèk Cs amit mundur Latan gelisan crita, barang dina pemilihan, nyatané Um Wapèk gagal dadi ketua. Dèwèké akhiré ngonjogi Panembahan Dasmad.
“Suksès oh ya?” omongé sang Panembahan.
“Suksès apané Mbah? Enyong gagal!” karo mèwèk.
“Lha kowen, rèfil sabungkus ilokèn njaluk jabatan? Énak temen kowen, wis mana mèrad aja katon mata!!” (Lanang Setiawan)


Kèder
KAPÈR bingung, sajegé dijejek saka pimpinan anyar, kerjané dadi kuli maning. Dirasa kayong ateb ngadepi urip. Kayong ala temen pimpinan anyaré, kadiran duwé kuasa, kadiran gajihé melep-melep ditunjang maning bojoné nyambut gawé, maèn jejek ora malah gawé makmur, tapiné kayong puas ladas adong anak buahé srag-sragan golèt pangan. Kuwé pikirané Kapèr maring kepalané sing anyar sing ora ngèmuti, Kapèr kuwé mèlu mbangun perusahaan krupuk awit molai pan didegna. Saiki, Kapèr bener-bener kedangdapan.
“Mad, tulungi enyong Mad. Nyong butuh biologi, nggo urunan bocah sekolah pan piknik” omongé Kapèr maring Kang Dasmad, liwat pesan singkaté.
“Oh…”
“Iya Mad, tulung ya?”
“Yaaa…,tanggal enom kèder, tanggal tuwa tambah gemeter, dina Senèn ider dina Selasa ya tetep muter. Saiki mangan iwak wader, sèsuk nginung éputer, terus kepibèn, Pèr?” omongé Dasmad liwit sms nggo Kapèr.
“Saiki nyong butuh biologi! Sung!”
“Ya wis, mèiné dong wis tanggal tuwa baé, sebab ora pantes wong saiki tanggal enom!” (Lanang Setiawan)

Gaya Ulu
UM Wapèk teka-teka nemoni Kang Dasmad alias KD, mucu-mucu. Dengarèn temen Kayong ora pranti-pratiné Um Wapèk duwé adat sing kaya kuwé, ndadèkna KD gumun.
“Kowen teka maring nggoné enyong bisané mucu-mucu, dongé ana apa, Pèk?” takoné KD.
“Njajis enyong Mad,”
“Najis maring sapa?”
“Jayèng!”
“Masalahé apa? Bisané kowen sèwot?” takoné KD.
“Gaya ulu. Pangkaté tembé mangan nang lèstoran Cina baé, nyong liwat ora diaru-aru. Sikilé tèngkrèng pisan. Wadé temen nyong ndeleng Jayèng. Gagahan sapira, ya?”
“Alaaa….tembé kaya kuwé. Delengen Kapè, ora nyambut gawé baé mangané nang warung. Tolih gaya ulu pisan, kaya bos!” omongé KD.
“Gaya ulu pimèn, kaya bos apané, Mad?”
“Mangané Kapèr sih lawuhé mirong. Tapi gaya uluné ya ora kalah karo Jayèng…”
“Maksudé?”
“Lha kuwé. Ora kalah karo Jayèng, sikilé Kapèr, mangan karo sikilé ketèngkrèng!” (Lanang Setiawan)

Kirim Pulsa
KAPÈR bingung. Pan ngebèl maring sedulur pulsané tipis, kari 900 pèrak. Pan Sms kayong ora pantes. Sing dihubungi wong tuwa. Kiyé masalah waledan bagi waris kaluwargané bojo sing ana nang Bumijawa.
Kapèr endasé mumet. Akhiré pikir sangsaya pikir, nemu dalan.
“Mad, tulung nyong dikirimi pulsa!” omongé Kapèr maring Dasmad liwat Sms.
“Nggo apa sih?” Dasmad mbales Sms.
“Pan nggubungi seduluré bojo. Pulsané enyong tipis, ora nyandak. Ngko tak ganti, kiyé penting soal waledan”
“Njaluk dikirimi pira?” takoné Dasmad.
“Selawé baé!”
“Ya wis. Tak kirim, tunggu ya?” jawabé Dasmad.
Ora suwé hapèné Kapèr moni. Mlebu Sms saka Dasmad. Nang layar hapèné Kapèr ana tulisan. Isiné kaya kiyé:

“Tak kirim pulsa 25 éwu”.
Kapèr ngecèk saldo, jumlahé kur 603 pèrak. Kapèr kagèt, akhiré Sms maring Dasmad.
“Bisané pulsané enyong tetep ajeg, Mad? Dongèné tambah 25 éwu, kok tetep 603 pèrak. Rijèk?”
“Lha…nyong kan wis kirim Sms maring kowen; Tak kirim pulsa 25 éwu. Bener oh ya?” Sms Dasmad.
“Ah dobol! Kowen kirim pulsa kur Sms? Tengik énté, pulsané enyong akhiré ludes!” Kapèr mucu-mucu (Lanang Setiawan)

Kapok
CRITANÉ Kapèr kambèn Dasmad dadi polisi. Salah siji dina Dasmad karo Kapèr nangkap wong wadon penjahat sing ayu por-poran. Wong wadong kuwé, ora liya bocah nakal, kas matèni pelanggané.
“Pèr, glèdah kamaré!!” printahé Dasmad maring Kapèr, anak buahé.
“Siap pak!! Tapi, olih oh ya, nyong nyicipi dingin?” omongé Kapèr.
“Los mana. Tapi awas, aja kesuwèn..”
“Bèrès Bos!”
Polisi Kapèr akhiré mlebu sakamar kambèn wong wadon kuwé. Pirang menit selanjuté, Komandan Dasmad krungu ana suwara krackkk, seru nemen.
“Ana apa, Pèr?” takoné Dasmad.
“Aduuhhh.... Ndan! Nyong kapok, ora pan maning-maning!” Kapèr metu saka kondong. Komandan Dasmad mlebu kondong. Dèwèké kagèt saporèté waktu weruh kahanan sabeneré.
“Pantesan Kapèr kapok! Wong nang ‘rahasiané’ dipasangi jebakan curut…” (Lanang Setiawan)

Ceramah
ABAH Kapèr critané lagi nyeramahi anak mbontoté sing mèsih kelas 1 SMP.

”Waktu George Washington saumuran kowen, puluhan kilo mèter dèwèké mlaku maring sekolah” omongé Abah Kapèr.
”Bener Bah! Waktu George Washington saumur Abah, dèwèké wis dadi presiden!!" semauré anaké Kapèr (Lanang Setiawan)

Dèwi Sèksi
KAPÈR critané dadi tukang servis TV. Tapi rada-radané duwé ati karo Dèwi Sèksi sing njaluk tulung kon teka nang umahé. Gayap ora kira-kira Kapèr maring umahé Dèwi Sèksi.
“Kang Kapèr, bisa bantu enyong?” omongé Dèwi Sèksi.

”Kaya kiyé Kang, sehubungan lakiné enyong duwé kelemahan fisk . . . hmmm . . . nyong mikir-mikir kudu njaluk tulunga maring Kang Kapèr, sebab kayané Kang Kapèr cukup rosa tenagané,”
“Wahh…dong soal kuwé tah…aja watir! Enyong siap mbantu pan pirang ronde? Tenagané enyong tikel pitu! Jos temen lah….” Kapèr bangga.

”Wah enyong senang nemen! Wis saiki aja kesuwèn, sampèyan langsung mlebu kondong” omongé Dèwi Sèksi.
”Oh…bèrès!” Critané wis nang kondong Dèwi Sèksi ngomong:
“Hmmmmmm . . .Kang, mendingan klambiné dibuka sisan. Masalahé dong angkat junjung lemari sing nang pojok kaé, klambiné bisa kotor kena lebu kambèn sawang!” (Lanang Setiawan)

Rijèk Ya?
KAPÈR bener-bener wong sing uripé kuciwa, akhiré mblandrang ngembara. Kerjané ora liya manjing metu alas, jawané pan golèt keadilan. Critané sauwisé lèklok mayeng-mayeng, Kapèr ndèprok nang wit ringin kambèn lèyèh-lèyèn turon.

”Wah kiyé bener-bener Pengeran ora adil! Ilokèn uwit sagedé-gedé, uwohé saupil? Sedeng uwit semangkas sing cilik, uwohé gedé?” omongé Kapèr nang jero ati.Waktu dèwèké pan ngliyep, ketiban who wit ringin pas nang cunguré. Kagèt ora ketulungan Kapèr ngomong.
“Wah sory ya, Tuhan? Panjenengan pancèn adil! Coba dong, woh-wohan wit ringin gedèné sakebo, rijek ya? Kik kik kik…” (Lanang Setiawan)

Kirim Pulsa
KAPÈR bingung. Pan ngebèl maring sedulur pulsané tipis, kari 900 pèrak. Pan Sms ora pantes. Sing dihubungi wong tuwa. Kiyé masalah waledan bagi waris kaluwargané bojo sing ana nang Bumijawa. Kapèr dadi endasé mumet. Akhiré Sms maring Dasmad.
“Mad, tulung nyong dikirimi pulsa!” isi Sms-é Kapèr.
“Nggo apa sih?” Dasmad mbales Sms.
“Pan nggubungi seduluré bojo. Pulsané enyong tipis, ora nyandak. Kiyé penting soal waledan”
“Njaluk dikirimi pira?” takoné Dasmad.
“Selawé baé!”
“Tak kirim ya? Tunggu” jawabé Dasmad.
Ora suwé Sms saka Dasmad mlebu. Nang layar hapèné Kapèr metu tulisan: “Tak kirim pulsa 25 éwu”. Kapèr ngecèk saldo, jumlahé kur 603 pèrak. Kapèr kagèt, akhiré Sms maring Dasmad.
“Bisané pulsané enyong tetep ajeg, Mad? Rijèk?”
“Lha…nyong kan wis kirim Sms; Tak kirim pulsa 25 éwu. Bener oh ya?” Sms Dasmad.
“Ah dobol! Kowen kirim pulsa kur Sms? Tengik énté, pulsané enyong dadi ludes!” Kapèr mucu-mucu (Lanang Setiawan )

Tangis Pengantèn
KIYÉ pengalamané Kapèr waktu dadi pengantèn. Critané awit pengantèn wadoné njagong nang kursi pelaminan, nangis baé. Bab kuwé sing ndadèkna omongan uwong-uwong adong bojoné Kapèr gelem mbojo karo Kapèr jalaran dipaksa gonéng wong tuwa.
Ndeleng bab kaya kuwé, Kapèr dadi jèngkèl akhiré takon maring bojoné.
“Sing mau kowen nangis baé, sebabé apa sih? Apa kowen kecewa olih laki enyong?”
“Nyong ora kecèwa, Kang!”
“Sih kenangapa?”
“Kiyé Kang, wuduné enyong dong njagong terus laraaaa…nemen!!” (Lanang Setiawan)

Nènèk-nènèk
CRITANÉ Kapèr dadi rampok, bener-bener lagi along. Masalahé dewèké kas ngrampok nang umah mèwah sing dihuni gonèng prawan kinyis-kinyis karo nènèk-nènèk.
“Ya… énté okèm banget oh Pèr?” omongé Jayèng ngomentari kerjané Kapèr sing lagi along, waktu jagongan nang gardu ronda. Jayèng uga critané dadi rampok.
“Ya, kaya kuwé lah. Pokoké yahèrrrr…”
“Énté brasil nggawa apa baé, Pèr?” Jayèng penasaran.

”Nyong nggawa balik barang-barang élektronik, plenisan perhiasan, sagepok cut, lan tentuné . . .prawan sing mèsih kinyis-kinyis, Yèng”
”Lah nènèk-nènèké pibèn Pèr?” takoné Jayèng.
”Nggo kowen gelem?”
“Sikah…!!!” (Lanang Setiawan)

Laka Wong Maning?

SALAH siji dina, anak mbontoté Kapèr sing mèsih TK takon maring Kapèr.
“Bah, waktu Abah sekolah nang TK kelas endol cilik, Presidèn kita sapa?”

”Soeharto,” jawabé abah Kapèr.
”Waktu Abah SD, sapa?”
“Soeharto,” semauré abah Kapèr.
“Tolih waktu abah sekolah nang SMP, presidén kita sapa, Bah?”
“Soeharto.”
“Nah, waktu Abah sekolah nang SMA, presidèné sapa?”
“Ya…, Soeharto!”
“Ah, Abah payah dah! Apa laka wong maning, Bah?” (Lanang Setiawan)

Kontès
NEGARA Indonesia nganakna kontès gegé-gedènan susu sadunya. Critané bojoné Kapèr mèlu nang kontès kuwé.
“Para hadirin sekalian, peserta pertama saka negara India!” omongé dewan juri.
Peserta saka India tampil. Penonton pada keprok ndeleng ‘pelem’ sing gandul-gandul gedèné kaya wong nangka.
“Saiki peserta keloro saka Brasil!” omongé dewan juri.
Peserta saka Brasil tampil Penonton pada keprok ndeleng ‘pelem’ sing gandul-gandul gedé kaya woh semangka.
“Saiki peserta saka Indonesia! Bojoné Kapèr…!” omongé juri.
Penonton pada keprok ndeleng ‘pelem’ sing gandul-gandul gedé kaya jeruk Bali.
Penonton sorak huuu…, tapi juri gagiyan ngomong.
“Sori sedulur-sedulur, sing katon kuwé tembé pentilé! Durung katon kabèh.”
Barang ditokna kabèh, jebulé ‘pelemé’ bojoné Kapèr, gedèné sabaskom. Penonton ngrajug (Lanang Setiawan)


Cawet
CRITANÉ Jayèng dadi tukang pemasaran nang pabrik cawet, pèngin ngarti rata-rata cawet diduwèni gonèng wong lanang. Dina pertama Jayèng molai survei maring Um Wapèk, Glèmboh kambèn Kapèr.
“Yanu pan takon caweté énté pira?” katkoné Jayèng maring Um Wapèk.
“Mung loro Yèng” jawabé.
“Pibèn carané énté nganggo cawet saben dinané?”
“Siji tak enggo, lan sijiné tak kumbah” jawabé Um Wapèk. Jayèng akhiré takon maring Glèmboh. “Énté duwé cawet pira?”
“Pitu!”
“Pibèn carané énté nganggo cawet?”
“Saben-saben cawet tak mèin nomor. Nomor 1 kanggo dina Senin, 2kanggo dina Selasa, lan saterusé” jawabé Glèmboh.
Saiki Jayèng takon maring Kapèr.
“Énté duwé cawet pira?”
“Caweté enyong ana 12!” jawabé Kapèr.
“Raimu caweté salosin dèwèk, pibèn carané énté nganggo cawet?”
“Carané tak mèin nomor 1 kosih 12. Sing nomor 1 tak enggo waktu bulan Januari, nomor 2 kanggo bulan Fèbruari, lan seterusé kosih nomor 12 kanggo bulan Dèsèmber, bol!” (Lanang Setiawan)

Lali Jiwo
DASMAD, Jayèng karo Kapèr lagi pada puyeng. Bocah-bocah pada lulus sekolah lanjutan atas, pancèné seneng. Tapi nang njero seneng, ana susah.
“Anaké enyong njaluk sekolah maning nang perguruan tinggi,” omongé Dasmad.
“Pada. Anaké yanu njaluk kursus bahasa Cina,” Jayèng ora gelem kalah.
“Anaké enyong njaluk kaya anaké Dasmad. Mumet nemen, golèt duwit nang endi ya?” omongé Kapèr.
“Lha kuwé Pèr. Wis lulus, nagèna pan njambut gawé, malah kon mikir maning,” omongé Jayèng karo cekelan batuk.
“Dadi wong tuwa pancèn rekasa. Tapi pibèn cara ngatasi ya?” omongé Dasmad.
“Pasang nomer baé, mbokan olih nggo nyekolakna bocah. Okèm?” Kapèr mèin ide.
“Apik! Dengarèn pikirané raimu jitu, Pèr?” nyangkemé Jayèng.
“Miki, nyong kas maca samsi. Moniné kaya kiyé; pelem Lali Jiwo saka Probolinggo regané sakilo 8 éwu isine 6 iji, kodené Uwoh. Maksudé apa ya?” omongé Dasmad.
“Kuwé maksudé Wong Édan, Mad” jawabé Jayèng.
“Tapi nyong duwé impèn,”
“Impèn apa Pèr?” takoné Jayèng.
“Wong ngombé alkohol 60 presèn, kocapè wong saiki ngombé Tuak utawa Susu Macan, kodené Arak. Maksudé apa Yèng?”
“Raimu lagi tènggèng, endasé benjud ketanggor pal lèneng, bol!” omongé Jayèng (Lanang Setiawan)

Payah
GLÈMBOH jawané dadi guru nang sekolahan SD. Kaya biasané adong pan balik, murid-muridé ditès étung-étungan.
“Adi…,” omongé Glèmboh maring murid sing arané Adi.
“Iya Pak Guru…,” semauré Adi.
“Lima ping lima, ana pira?”
“Cèrèm Pak Guru”
“Iya! Pira?”
“Selawé…,” jawabé Adi.
“Bagus, kowen pancèn bocah pinter. Saiki jajal Iwan, enem ping enem ana pira?” takoné Glèmboh maring Iwan.
“Telung puluh enem, Pak Guru….”
“Bagus, kowen pancèn bocah pinter. Saiki, anaké Kapèr, papat ping papat, ana pira?” takoné Glèmboh.
“Ah Pak Guru, payah!” semauré anaké Kapèr.
“Payah pibèn?” Pak Guru Glèmboh balik takon.
“Biasa! Dong giliran sing susah-susah, musti enyong sing nggo keblokan. Payah Pak Guru, payah!” (Lanang Setiawan)

Tanah Abang
PENGALAMAN Kapèr waktu tembé maring Ibukota Jakarta, macemé ya bingung. Dèwèké coba takon maring uwong Batak sing lèwat nang adepané.
“Maaf Bang, nyong wong anyar nang Jakarta, tembé teka saka Jawa. Apa bener, kiyé Tanah Abang?”
“Tanah Abang?” si Batak kayong kèder.
“Iya! Bener oh ya? Kiyé tanah Abang?" t akoné Kapèr.
”Bah! Kiyé dudu tanah abang!”
“Jaré tanah abang?” Kapèr ngèyèl.
“Dudu! Kiyé dudu tanah Bèta, sumpah! Bèta tembé teka saka Mèdan.Bèta, ora ngarti kiyé tanahé sapa!” (Lanang Setiawan)

Sawah
JAYÈNG iseng-iseng takon maring Kapèr, sing saiki uplekané nang sawahé mertua.
“Pèr, coba jawab, nang di tengah-tengah Sawah ana apané?”
“Ana pariné” semauré Kapèr.
“Salah . . . wis hayo ana apané?”
“Ana lemah, uga banyuné . . . ,” jawabé Kapèr.
“Énté tetap salah, Pèr”
“Ah…kowen sok ngarti. Enyong saben dina nang sawah, bol. Kowen ngarti apa?”
“Wah…makané dong sekolah sing pinter. Énté blèh paham? Nang tengah sawah ya, ana huruf W oh…!!” (Lanang Setiawan )

Argo

KAPÈR dadi supir taksi. Salah siji dina, Jayèng jajal numpak taksiné Kapèr. Tapi dasar lagi apes, taksi sing lagi disupiri Kapèr tabrakan kambèn mobil. Lawang taksi mbuka ngablag-ngablag ndadèkna awaké Jayèng mencelat kabur, metu saka njero taksi. Mbakedebug awaké Jayèng tiba ngatang-ngatang, kedangsrakan nang aspal gili. Dèwèké ngrasa lara por-poran. Ajib temen, Kapèr ora lècèt acan-acan. Dèwèké mlaku nyedekit Jayèng sing lagi nglumpruk nang aspal gili.
“Apa sing bisa nyong bantu, Yèng?” takoné Kapèr.
“Patèni Argo taksiné énté, bol!” (Lanang Setiawan)

Drakula Kapèr
CRITANÉ Dasmad dadi raja Drakula. Penduduké ya drakula, diantarané Glèmboh, Jayèng, Wapèk, uga Kapèr. Diantarané drakula-drakula kuwé, Drakula Kapèr sing durung tau nyedot getih menungsa. Dèwèké akhiré diundang Raja Drakula Dasmad.
“Hèi, kowen Drakula Kapèr, nyong durung tau weruh kowen nyedot getih menungsa. Saiki kowen kudu blajar nyedot getih menungsa!” omongé.
“Okèm Sang Raja Drakula! Nyong pan nyedot getihé menungsa!”
“Laksanakan….”
Drakula Kapèr mlayang sajeroné bengi sing sintru, gogoh mangsa. Akhiré dèwèké kasil ngisap getihé menungsa, latan agé-agé lapor maring Raja Drakula.
“Lapor Raja! Nyong wis kasil nyedot getihé menungsa. Tapi rasa getihé aseem...?!” wadulé Drakula Kapèr.
“Ilokèn? Dongé sing disedot kowen sapa?”
“Tarok!”
“Sangertiné enyong, getih menungsa rasané pada baé, ora lanang ora wadon, ora cakep ora jelèk,” omongé Raja Drakula Dasmad.
“Sung Raja! Getihé asem...,” Drakula Kapèr ngotot.
“Nyong blèh percaya! Pasti ana sing blèh bener! Tarok sing digragot kowen, mayaté mèsih ana?”
“Mèsih njengkakang nang dalan, raja!”
“Okèm, tak tilikané.”
Akhiré Raja Drakula Dasmad kambèn Drakula Kapèr mabur. Ora suwé anjog nang tempaté. Raja Drakula bener-bener kagèt, waktu ndeleng bekas tatu sing ana nang korbané. Langsung dèwèké nggepak endasé Kapèr.
“Kemplu! Goblokkkk!! Nyedot getih menungsa kuwé, nang gulu bol! Dudu nang kèlèk…?!” (Lanang Setiawan)

Rahasia Suksès
GLÈMBOH dadi pengusaha suksès critané diwawancarai wartawan Kapèr.
“Rahasia apa sing ndadèkna Anda suksès?” takoné Kapèr maring Glèmboh waktu ngadep nang ruwang kantoré Glèmboh.
“Mung sasoal, bung,” jawabé Glèmboh sing waktu wawancara diiliri tarok menos-menos nang jèjèré.
“Oh ya? Apa kuwé?”
“Golèt putusan paling jitu!” semuré Glèmboh kambèn nada bangga.
“Waw! Okèm banget. Tapi, pibèn carané bung bisa mutusna paling jitu?” takoné Kapèr.
“Saka pengalaman sing tak ranapi taunan, bung.”
“Hmmm, ya, ya . . .(karo mantuk-mantuk). Trus pengalaman-pengalaman kayangapa sing ndadèkna Anda jitu mutusna?” kejar Kapèr.
“Telung kata.”
“Apa kuwé?”
“Keputusan paling ngablu!” (Lanang Setiawan)

Cawet
DASMAD kambèn Glèmboh coba-coba dodolan cawet nang Tanah Abang. Tapi olih pirang-piran dina, dagangané sepi.
“Jaré jakwir enyong sing nang Jakarta, dodolan cawet sepi jarèné dudu masalah lagi krismon, mung jalaran penyebabé 9 saka 10 cèwèk Jakarta ora seneng nganggo cawet Mbloh?” omongé Dasmad.
“Ah, kowen adong gawé issu kebangeten. Faktané apa?”
“Ayo kita buktina, Mbloh.”
Ora suwé Glèmboh nggelar dagangané trus wong loro lunga maring pasar, tawa-tawa.
“Bu, cawet, bu?” omongé Glèmboh.
“Ora ah, liya dina baé....”
“Mbak, cawet?”
“Ora lah yaauw!”
“Nèng, cawet Nèng?”
“Enggak dèh.....”
“Cawet, Tante?”
“Enggak, winginanèn uwis!”
“Non, butuh cawet, Non?”
“Ora perlu yaaa….”
“Nah, kowen ngandel ohya? Survey membuktikan!! Cèwèk Jakarta ora butuh cawet” omongé Dasmad (Lanang Setiawan)

Bos Glèmboh
GLÈMBOH dadi bos nang pabrik sepatu. Salah siji dina pegawé mogok kerja kabèh. Dèmo mogok dipimpin gonèng Kapèr. Masalahé siji; pegawé pada nuntut undak-undakan gaji.
Ngadepi para pegawé pada dèmo, gelem ora gelem, akhiré Glèmboh kambil Kapèr ngadakna musyawarah damai. Akhiré para pegawé pada lereb, setuju mogok kerja.
Sadina sauwisé dèmo, Bos Glèmboh pasang pengumuman. Isiné kaya kiyé:
“Tuntutan dipenuhi. Para karyawan bisa nyambut gawé kaya biasané. Mung ana catetan, mulai saiki, para karyawan mung diwajibna nggawé sepatu sebelah tengen gèl. Sisané digawé sauwisé undak-undakan gaji direalisasi. Matur nuwun! Ttd; Bos Glèmboh”
Maca pengumuman kuwé, Kapèr waduké lara.
“Dasar Glèmboh, bos kikir én medit…!!” (Lanang Setiawan)

Madu Arab
ANAKÉ Um Wapèk dkongkon adol madu Arab sabotol regané 15 éwu. Ubang-ubeng akhiré tekan nang umahé Dasmad.
“Dong tak anyang 10 éwu, olih?” omongé Dasmad.
“Mboten angsal,” jawab anaké Um Wapèk.
“Sawelas éwu wis.”
“Tetep mboten angsal,”
“Pat belas éwu limangatus, olih?”
“Saètu mboten angsal. Pas 15 éwu. . . .”
“Wis gagiyan 20 éwu…,” omongé Dasmad radan kesel.
“Mboten angsal, saéstu mboten angsal!” semauré anaké Um Wapèk.
“Bisané mboten angsal?” Dasmad tambah kesel.
“Enggih. Mangkè diganyami Abah! Pokoké 15 éwu . . . .”
“Wah dasar anaké Wapèk. Tetep baé wapèk!” (Lanang Setiawan)

Bakul Obat
GLÈMBOH critané dodol obat rambut nang pelataran cedek Terminal Bis Tegal. Kaya biasané bakul obat, dèwèké trus ngècap.
“Sedulur-sedulur, nyong nggawa obat rambut ramuan tradisional saka Mesir kuno, langka éfèk samping...laka obat sing hèbaté kaya kiyé. Tak jamin, saminggu wong-wong sing botak bakal tukul rambut! Coba dicacak sabotol mung 150 éwu, tapi tuku loro 25 éwu...”
Diantara gerombolan, ana salah siji uwong sing tliti. Dèwèké ngongkon Glèmboh topiné dicopot. Glèmboh gyayapan.
“Coba Kang, topiné rika dicopot,” omongé. Lan karena dipaksa, akhiré topiné Glèmboh dicopot. Wong-wong sing ndeleng, sanalika nyekakak weruh endasé Glèmboh botak.
“Nah, pibèn sedulur-sedulur percaya? Wong sing dodol bé botak endasé?” omongé .
Wong-wong nyekakak. Tapi ora let suwé, Glèmboh nyuwara.
“Tenang sedulur, endasé enyong pancèn botak. Tapi kiyé sengaja, kanggo mbèdakna...Endi sing nganggo obat kambèn sing ora! Tapi sedulur-sedulur, sampèyan kabèh ndeleng sing kiyé ….”
Glèmboh mlintir kumis, jenggot, rambut kèlèk, lan dadané sing ombèr rambut ketel.
“Nah, sedulur-sedulur, dadi bener-bener beda, antara sing diolèsi obat kambèn sing ora” omongé Glèmboh ora kalah akal.
“Ah, dasar bakul obat, jan umbrusé ora gelem kalah…” (Lanang Setiawan)

Ceramah
ABAH Kapèr critané lagi nyeramahi anak mbontoté sing mèsih kelas 1 SMP. ”Waktu George Washington saumuran kowen, puluhan kilo mèter dèwèké mlaku maring sekolah” omongé Abah Kapèr.”Bener Bah! Waktu George Washington saumur Abah, dèwèké wis dadi presiden!!" semauré anaké Kapèr (Lanang Setiawan)


Rijèk Ya?
KAPÈR bener-bener wong sing uripé kuciwa, akhiré mblandrang ngembara. Kerjané ora liya manjing metu alas, jawané pan golèt keadilan. Critané sauwisé lèklok mayeng-mayeng, Kapèr ndèprok nang wit ringin kambèn lèyèh-lèyèn turon.”Wah kiyé bener-bener Pengeran ora adil! Ilokèn uwit sagedé-gedé, uwohé saupil? Sedeng uwit semangkas sing cilik, uwohé gedé?” omongé Kapèr nang jero ati.Waktu dèwèké pan ngliyep, ketiban who wit ringin pas nang cunguré. Kagèt ora ketulungan Kapèr ngomong.
“Wah sory ya, Tuhan? Panjenengan pancèn adil! Coba dong, woh-wohan wit ringin gedèné sakebo, rijek ya? Kik kik kik…” (Lanang Setiawan)


Dèwi Sèksi
KAPÈR critané dadi tukang servis TV. Tapi rada-radané duwé ati karo Dèwi Sèksi sing njaluk tulung kon teka nang umahé. Gayap ora kira-kira Kapèr maring umahé Dèwi Sèksi.
“Kang Kapèr, bisa bantu enyong?” omongé Dèwi Sèksi.

”Oh….bèrès! Apa sing dijaluk mba Dèwi, Kang Kapèr siap dua puluh empat jam!” semauré Kapèr ngagul.
”Kaya kiyé Kng, sehubungan lakiné enyong duwé kelemahan fisk . . . hmmm . . . nyong mikir-mikir kudu njaluk tulunga maring Kang Kapèr, sebab kayané Kang Kapèr cukup rosa tenagané,”
“Wahh…dong soal kuwé tah…aja watir! Enyong siap mbantu pan pirang ronde? Tenagané enyong tikel pitu! Jos temen lah….” Kapèr bangga.

”Wah enyong senang nemen ! Wis saiki aja kesuwèn, sampèyan langsung mlebu kondong” omongé Dèwi Sèksi.
”Oh…bèrès!”
Critané wis nang kondong Dèwi Sèksi ngomong:
“Hmmmmmm . . .Kang, mendingan klambiné dibuka sisan. Masalahé dong angkat junjung lemari sing nang pojok kaé, klambiné bisa kotor kena lebu kambèn sawang!” (Lanang Setiawan)


Nyisih
KAPÈR nglegleg weruh Jayèng lagi usung-usung kasur, bantal, seprèi, uga pakèan nang becak. Samana uga Kapèr pan nguduna barang-barang kaya sing lagi diunjal-unjal Jayèng.
“His! Énté maring yanu nggawa barang peturon pan apa Pèr?” takoné Jayèng kagèt ora ketulungan.
“Enyong pan tetirah nang umahé kowen Yèng,” omongé Kapèr sauwisé mudun saka bècak sing nggawa kasur, sprèi, sarung, bantal, uga sandangan.
“Maksudé énté pan manggon nang umahé yanu, maksudé apa?” takoné Jayèng.
“Nyong mbekok maring undangan koleman. Saben dina, undangan kayong laka pedoté. Mogané luwih énak enyong mèrad, nyisih maring umahé kowen, Yèng,” semauré Kapèr.
“Pada! Yanu ya pan nyisih maring umahé Dasmad. Wis saiki kowen balik baé, gawa maning barang-barangé énté! Daaahhhh….”
Kapèr ditinggal, Jayèng agé-agé numpak bècak langsung maring umahé Dasmad. Tapi barang anjog nang umahé Dasmad, Jayèng weruh Dasmad lagi bèrès-bèrès ngusungi barang-barang peturoné.
“His, his, his….! Énté usung-usung barang peturon pan maring endi, Mad?” omongé Jayèng sauwisé mudun saka bècak.
“Enyong pan tetiran maring mertuwa, ngindari undangan hajatan sing porèté nemen. Wis ya? Kowen tak tinggal. Daaahhhh…..”
Jayèng nglegleg, weruh Dasmad ninggal prul ora iya ora embuh. “Bangsèt ndèyan!” omongé Jayèng nang jero ati (Lanang Setiawan)

Gemblung Kabèh
SABEN bengi gawèané Kapèr mendem baé, tapi njaluké indehoy kambèn bojo. Ésuké Kapèr ngelèdèk maring bojoné.
“Mau bengi kowen kayong anta,” omongé Kapèr.Liya dina, Kapèr kliru manjing kondongé pembantu. Ésuké komentar. ”Jempol ah, mau bengi kowen kaya biduan dangdut” Kapèr ngalem.”Malah enyong éram ka, sampèyan saiki wis mandeg nginungé. Ajib ah!” omongé bojoné.
Padahal Kapèr saben bengi mègin angot nginung (Lanang Setiawan)

Susu Jaran Binal
DASMAD critané dadi Dokter Sèksolog. Salah siji dina ketekan pasièn wong wadon ayu, pan konsultasi.
“Dokter, enyong jaluk tulung dimèin obat ampuh sing bisa cepat kanggo ‘kukuluruké’ lakiné enyong,” omongé si Pasièn.
“Ana obat sing top marko top, hèbat por-poran tapi kudu ati-ati, Bu.”
“Obat apa Dok?”
“Susu Jaran Binal. Sadina kur satètès maring inungané lakiné sampèyan,” sarané Dokter Dasmad.
“Sadina mung satètès Dok?” takoné si Pasièn.
“Iya. Aja kosih over dosis”
Si Pasièn akhiré njajal nyoba mraktèkna omongané Dokter Dasmad. Latan saminggu sauwisé dicoba, dèwèké teka maning maring Dokter Dasmad.
“Pibèn Bu hasilé?” takoné Dokter Dasmad.
Si Pasièn rainé abang campur melasi.
“Hmmm …anu Dokter, ora sengaja nyong numplekna Susu Jaran Binal maring inungan lakiné enyong sagendul full. Saiki nyong butuh obat penawaré,” omongé.
“Maksudé?”
“Peti jenazah lakiné enyong ora bisa ditutup!” (Lanang Setiawan)

Warisan Jacko
TEGAL gègèr, Kapèr ketiban pulung olih warisan saka The King of Pop, Michael Jackson alias Jacko. Ujud warisan saka Jacko, dèlat maning anjog. Nang plataran umahé Kapèr, wartawan, tetangga-tetangga, termasuk Jayèng, Um Wapèng, Glèmboh, Um Brindil, uga Rani Pèsèk, lan Kang Dasmad ora ketinggalan pada kumpul. Kampung Kalibuntu kebek menungsa kaya semut rangrang sing mudal saka umahé.
Embuh kepibèn critané Kapèr bisa olih warisan saka Jacko, jalan critané blèh ngarti. Jelasé baé, wis tahunan Kapèr pancèn seneng nganggo topi laken, kacamata ireng, uga rambut lurusé dikriting kaya mié pangsit. Jan, gayané Kapèr kepentut-pentut maring Jacko jan laka padané. Kondong kosih WC-né uga kebek poster Jacko jèjèran karo dèwèké, ndadèkna Kapèr olih julukan Kapèr Jacko!
Saiki, berkat kesemsemé maring Jacko, ana buahé. Pas Jacko mati, salah siji uwong Indonesia sing olih warisan saka Jacko, mung Kapèr. Gègèr, Kota Tegal dadi bener-bener gègèr!
Gelisan crita, warisan saka Jacko anjog nang umah Kapèr, dianter nganggo mobil travel. Wujudé dus cilik, ana tulisané; to Mr Kapèr of Kalibuntu, Jawa Tengah, Indonesia.
“Wis aja kesuwèn Pèr, dibuka. Mbokan isiné cèk karo surat-surat penting!” wong-wong kampung pada gemboran. Akhiré dus dibuka, tapi ujug-ujug wong-wong pada nyekakak gemunyu, kaku saporèté. Sebab apa? Jebulé, warisan saka Michael Jackson kanggo Kapèr, ora liya mung Cawet putih sing biasa dienggo pentas gonèng Jacko! (Lanang Setiawan)

Compong Kabèh
TEKA-TEKA Kapèr culag maring bojoné. Ulaté kaya barongan, matané mendelik, lan cangkemé ngomnyah.
“Dongé masalahé apa sih Kang? Teka-teka kok ngromnyah. Kas klayaban maring endi sih, rika? Wong wadon kesel, ora dipijeti malah digomnyah!” omongé bojoné Kapèr.
“Ya iya ya. Dong kowen bener, ora bakalan dingromnyah oh. Kowen kas maring endi sih? Hèr-hèr?”
“Yèn ngomong sing bener, Kang. Aja asal metu. Nyong kesel Kang, kas golèt utangan nggo bocah sekolah,” bojoné Kapèr nyentak-nyentak.
“Aja alesan. Jayèng miki ngomong, moniné kowen bar digawa wong lanang. Nyong kurang apa sih? Saben bengi takeloni. Kurang malek?” semproté Kapèr maring bojoné.
Krungu omongan ora ngènaki, bojoné Kapèr culag.
“Sembarangan rika! Duwé cangkem asal njeplak!. Tak tinggal mèrad sisan, rika klabakan. Jayèng ngomongapa, baé sih?”
“Wis ngaku baé. Kowen kas digawa wong lanang ohya? Ngaku, ngaku….”
“Ngaku kepibèn.? Jajaté digawa tukang bècak nganter maring Slèrok, ilokèn rika cemburu? Compong apa ya?”
“Éh…kurang aja ya kaé si Jayèng?”
“Rikané baé sing gelem diobong. Dasar pada compong kabèh!” (Lanang Setiawan)

Nyontèk
SALAH siji dina Kapèr kon ngadep Kepala Sekolah. Pasalé, anaké didakwa nyontek kertas ujian duwèké Dapuk waktu ujian.
“Apa buktiné dong anaké enyong nyontek?”
“Buktiné yach kiyé, waktu ujian sejarah pitakon nomer 1 : Sapa pengarang buku Habis
GelapTerbitlah Terang? Dijawab gonéng Dapuk: R.A. Kartini. Sedeng dijawab anaké sampèyan: R.A. Kartini uga,” omongé Kapala Sekolah.
“Lha, jawabané pancèn kaya kuwé. Aja ndakwa-ndakwa anaké enyong nyontèk oh,” bèla Kapèr.
“Tapi coba Bapak deleng pitakonan nomer 2: Nang endi R.A. Kartini dilahirna? Dijawab Dapuk: Nang Jepara. Samana uga dijawab gonèng anaké sampèyan; nang Jepara.”
“Lho, pancèné jawabané kudu kaya kuwé. Pibèn sih sampèyan? Tuduhané sampèyan ora cukup bukti. Bisa baé malah si Dapuk sing nyontek!” suarané Kapèr radan sèwot.
“Bapak bener, tapi cacak wacanen pitakonan nomer 3: Taun pira Perang Diponegoro?" Dijawab Dapuk: Enyong ora paham. Sedeng anaké sampèyan dijawab: Apa maning enyong. Wong kowen bé, ora bisa!” (Lanang Setiawan )


Jon Dilah
KANG Dasmad alias KD duwé jakwir anyar. Ora pèré-pèké jakwir anyaré KD, wartawan harian, arané Jon Dilah. Bocahé gering, kulité sawo mateng, rambuté kriting, lan matané amba. Adong mlaku ngètèk kaya layangan tugel.
Salah siji dina KD bener-bener butuh Jon Dilah. Masalahé nang kampungé pan ana peresmian ‘Mushola Narendra’, gonèng Pak Camat. Gonèng panitia, KD diserahi tugas ngundang wartawan. KD kèmutan maring Jon Dilah.
“Jon Dilah, ngko jam 9 nang RT-né enyong pan ketekan Pak Camat. Acarané peresmian mushola. Teka ngliput ya?” omongé KD lèwat SMS kanggo Jon Dilah.
“Okèh, bos! Sing penting jelas…” jawabé Jon Dilah mbales SMS-é KD.
Acara peresmian molai. KD ngentèni Jon Dilah, tapi ora anjog-anjog. KD coba telpon, hapèné Jon Dilah ora aktif. KD bener-bener kèder, lan bingungé kosih Pak Camaté teka, Jon Dilah ora nongol.
“Pibèn sih kaé bocah? Jaré pan teka, ganing laka jebabulé. Brèngsèk ndèyan…” KD ngodor dèwèkan.
Acara peresmian Mushola Narendra akhiré bener-bener bubar. Kahanan sepi temenan, tapi ujug-ujug lagi KD énak-énakan lèyèh-lèyèh nang tèras umah, Jon Dilah jumedul nganggo pit.
“Aduh…pibèn Ka? Aya-mèné kowen pan ngliput apa? Acarané wis bubar, Jon Dilah,” omongé KD rada sèwot.
“Sing Benjaran tak lawani nyong ngebut nganggo pit daning bubar.”
“Lha? Kowen saka Benjaran nganggo pit?”
“Iya Kang! Dong ngliput, nyong nganggo pit!”
“??!!” matané KD mendelik, hèran. Ana wartawan harian ngiputé nganggo pit (Lananang Setiawan)

Jacko Tegalan
KOITÉ The King of Pop, Michael Jackson atawa kondangé kasebut Jacko, dadi arti penting kanggo Kapèr sing saiki dadi penyanyi Tegalan. Maring kanca batir, dèwèké tebar sms.
“Dobol ka si Kapèr, jawané gaya ulu abis, Yèng” omongé Glèmboh maring Jayèng liwat sms.
“Maksudé?” takoné Jayèng lèwat sms-é Glèmboh.
“Kowen olih sms saka Kapèr ora?”
“Sms apa?”
“Arané Kapèr, saiki ganti,” jawabé Glèmboh.
“Ganti pibèn?”
“Barang saiki dadi penyanyi Tegalan, ora gelem diundang Kapèr maning!”
“Sih apa?”
“Kyèh, sms-é Kapèr tak balakna maring kowen….”
Ora suwé, Glèmboh sms maring Jayèng. Isiné kaya kiyé:
“Hai! Jakwir-jakwir; molai dina kiyé, arané enyong gudu Kapèr gèl! Acara launching arané enyong sukiki. Hiburan dangdut Tegalan, penyanyiné Kapèr Jacko Tegalan, yakuwé aran anyaré enyong! Aja wani-wani ngundang nyong Kapèr. Nyong ora bakalan ngaruh. Undang baé Jacko Tegalan!”
“Waduklah! Jacko…Jacko endas dilembag!” Jayèng ngundel maca sms saka Glèmboh (Lanang Setiawan)

Lata Lata
KD alias Kang Dasmad, Kapèr uga Glèmboh lagi ngentèni sepur, tapi wong telu mègin asyik ndopok. Ora dirasa sepur sing dientèni bablas ngrayap ninggal stasiun. Wong telu kagèt ora ketulungan. Agé-agé wong telu gemboran karo ngoyok-ngoyok sepur.
Kapèr kambèn Glèmboh brasil ngudak sepur, latan mencolot maring jero. KD tènang-tènang malahan nyekakak lata-lata.
Wong-wong sing pada ndeleng kedaian kuwé éram, latan takon maring KD.
“Bisané sampèyan malah gemuyu lata-lata? Mustinya kuciwa, sebab sampèyan gagal ngejar sepur.”
“Ya iya ya? Wong saluguné sing pan numpak sepur kuwé enyong. Wong loro kaé, mung pan ngantar, ora pan lunga….” jawabé KD kambèn lata-lata (Lanang Setiawan)

Anak
KIYÉ crita zaman orba. Waktu kuwé, Dasmad dadi penjaga pintu tol nang Jakarta. Salah siji bengi ana mobil Timor disupiri Tommy, mandeg nang adepané kambèn mèkena duwit 50 éwu. Waktu pan dijuduli,Tommy nolak.
“Enyong blèh butuh jujulan, kowen ngerti? Enyong kiyé anak Presidèn. Jujulé nggo kowen baé!”
Dasmad seneng por-poran olih duwit 47 éwu. Ora suwé, Tutut liwat nganggo mobil Mercedez Benz, latan mandeg nang adepané kambèn mèkena duwit 50 éwu. Waktu pan dijuduli Tutut nolak.
“Enyong blèh butuh jujulan, kowen ngerti? Enyong kiyé anak Presidèn. Jujulé nggo kowen baé!”
Dasmad seneng por-poran olih duwit 47 éwu. Let pirang menit, Soeharto liwat nganggo BMW sing paling anyar lan mèkena duwit 5 éwu pèrak. Dasmad sengaja ora njujuli.
“Hèi, jujul 2 éwu pèraké, endi?!!” sruwangé Soeharto
“Pak, tembé baé anak-anaké bapak; Tutut karo Tommy liwat kèné tapi ora njaluk jujul,” omongé Dasmad.
“His! Kowen ngarti?! Tutut karo Tommy kuwé anak sapa? Anak Presidèn toh?! Sedeng enyong, kuwé mung anak petani, bol!!” (Lanang Setiawan)


Bocah Ngablu
ANAKÉ Kapèr diundang nang kepala sekolah. Gara-garané njukut duwit kanca-kancané. ”Bisané kowen njukut duwité kanca-kanca? Kowen pancèn butuh duwit, apa kepibèn?"”Mboten, Bu..." jawabé Anaké Kapèr.”Toli kenangapa? Gagiyan ngomong! Dong ora gelem ngomong tak laporna bapané kowen!!" ancam Bu Kepala Sekolah.”Iya Bu, lapor mawon ...soalé Abahé enyong sing ngajari…” (Lanang Setiawan)

Bisa Telat
CRITANÉ Saddam kepèngin kabèh negara nang jagad kiyé pada wedi kambèn dèwèké. Carané, dèwèké ngundang panglima-panglima kepercayaan. Salah sijiné ana Panglima Kapèr. Embuh kepribèn critané, Kapèr dadi panglima kepercayaanné Saddam uga. Sing jelas baé, waktu samana Saddam ngongkon adong pesawat sing mangkal nang lapangan terbang Bagdad dipasangin bom waktu, bèn pada mledak!
“Kabèh dipasangi bom waktu, pak Saddam?” takon salah siji panglima.
“Kecuali pesawat Irak aja,” pesené Saddam.
“Tapi nyong usul Pak Saddam,” ujug-ujug Panglima Kapèr ngajukna usulan.
“Usul apa, Pèr?” takoné Saddam.
“Tulung, aja wani-wani pasang nang Garuda.”
“Bisané?” takoné Saddam.
“Bisa rugi dèwèk, Pak Saddam.”
“Bisané énté ngomong kaya kuwé?”
“Soalé Pak Saddam, Garuda kuwé biasa telat. Ngko bom waktuné mledaké nang kèné . . ..!!” (Lanang Setiawan)

Sweet Seventeen
ANAKÉ Kapèr takon maring Manèné.
“Né, ngko pas umuré enyong sweet seventeen, olih nganakna pèsta nang umah ya?”

”Ya…ngko Mané siap-siap,” semauré Manèné.
”Né, ngko pas sweet seventeen ngundang kanca-kanca ya?”
”Ya…kapan maning kowen bisa kumpul kambèn kanca-kanca? Ngko Mané siap-siap uleman,” semauré Manèné.
”Né, ngko enyong olih nganggo klambi anyar ya?” anaké Kapèr takon maning.
”Olih, ngko Mané tuku sandangan anyar.
”Pas dina ulang tauné, kanca-kanca pada teka. Anaké Kapèr nganggo sandangan anyar. Maring Manèné, dèwèké takon maning.
”Né . . Né, enyong olih nganggo lipstick?”
”Ora kena!” semaur Manèné.
“Ah Mané, kiyé mung sapisan salawasèn enyong urip, Né. Ilokèn dilarang nganggo gincu? Olih ya?” rèngèk anaké Kapèr.
“Ora! Kowen tak idini nganakna pèsta, kowen olih ngundang kanca-kanca, kowen olih nganggo sandangan anyar, tapi ora kena nganggo gincu!”

”Sapisan baé, kur bengi kiyé tok, Né. Olih ya?” anaké Kapèr ngedrèl maksa.
”Jon Dolah…!!! Sampé kowen nangis njengking-njengking, Mané ora bakal ngolihi, titik!” (Lanang Setiawan)

Kasir Buta
KAPÈR critané buta dadi kasir nang supermarket. Dèwèké ahli ngètung, cukup ngungokna barang sing tiba nang mèja kerjané, Kapèr ngarti apa baé barang sing dituku pelangganné. Salah siji dina ana ABG wadon sing pan ngetès, nibakna barang-barang sing dituku. Tapi jalaran kakèhen mangan atawa lara weteng, dèwèké ora sengaja ngentut.

Sauwisé barang-barang ditibakna nang mèja kasir, Kapèr ngomong:
“Kabèhané 40 éwu, Nona.”

”Bisané larang nemen Kang? Enyong mung tuku 5 pulpèn karo telung iji permèn karèt, mustiné kur 15 éwu? Bisané 40 éwu” takoné si ABG.
”Pulpèn kambèn permèn karèt, pancèn 15 éwu, tapi ‘gas bayu mata’ sing tembé baé ditès Nona, kuwé regané 25 éwu!” (Lanang Setiawan)

Limbad (seri siji)
GLÈMBOH dadi wartawan harian ‘Emblak Embluk’, kepencut pengin wawancara karo Limbad, si The Mas­ter. Gelisan crita, Glèmboh ngadep Limbad nang umahé Dèsa Dukuh Salam, Slawi.
“Critané pibèn Mbah Lim, bisané sampèyan mèlu The Master?” Glèmboh mbuka wawancara.
Limbad alias Mbah Lim meneng getem. Mung matané sing mandeng maring dèwèké.
“Apa kepèngin dadi wong terkenal, Mbah?”
Limbad mèsih meneng getem.
“Mungkin Mbah Lim kepèngin ngangkat nama Tegal bèn tambah moncèr?”
Maning-maning Mbah Lim, kur meneng. Matané baé sing mandeng kaya Manuk Kukuk Beluk, si Burung Hantu kesayangané Limbad kaé.
“Mbah Lim, ditakoni ka meneng baé, sih?”
Mbah Lim tetep meneng getem. Dèwèké kur ngunjal ambekan.
“Mbah Lim lagi lara untu?”
Posisi Mbah Lim ajeg baé meneng getem. Blèmboh waduké kaku. Jebulé, pancèn Mbah Lim lagi lara untu. Gusiné pada mletèk kabèh (Lanang Setiawan)