Kamis, 09 Oktober 2008

folklor KALIPAN



Kalipah
Oleh Lanang Setiawan

HATTA! Tersebutlah orang sakti mandraguna Sutadirana. Lebih dikenal dengan panggilan Mbah Suta. Seorang pendatang yang tengah melakukan perjalanan spiritual dari arah Barat menuju ke Timur.
Dalam perjalanan, sampailah dia di lapangan Dwi Windhu Pangkah, Kabupaten Tegal. Di lokasi itu Mbah Suta melihat ada lubang mata air sebesar pipa di bawah pohon rindang dan berhawa lembab. Mbah Suta tertarik akan lokasi itu karena ada getaran tertentu. Di situ, akhirnya dia melakukan tapa.
Ternyata, tanpa disadari oleh Mbah Suta, lubang tersebut merupakan pintu keluar masuk singgasana Ratu Siluman Buaya Putih. Tak heran kalau lama ke lamaan hawa di dalam Kerajaan Siluman menjadi panas.
“Bumi bawah tanah bagai terbakar. Panas, panas….” teriak para siluman bertelanjang dada sambil belarian.
“Ada apa ini? Matahari seperti tak bersinar, gelap dimana-mana. Angin tak berhembus, panas sedemikian rupa rasanya mau membakar seluruh isi istana”
Di dalam kegerahan, mereka berlari saling bertabrakan. Satu sama lain ingin mengetahui asal penyebab masalah. Keriuhan dan kebisingan menghampar ke seluruh sudut-sudut istana.
Di tempat pembaringan, Ratu Silumah Buaya Putih merasakan juga hal yang sama. Panas membakar dan kekisruhan anak buahnya mengganggu benar tidur siang Sang Ratu. Dengan marahnya, dia segera ke luar dari kamar. Di lihatnya para anak buah berkelojotan dan berlari-lari pontang-panting.
“Hai, hai! Kenapa kalian saling berlarian. Apa yang terjadi?!” teriak sang Ratu pada mereka.
“Mohon ampun Kanjeng Ratu, apakah Kanjeng Ratu tidak merasakan hawa di dalam kejaraan ini demikian panas? Bumi rasanya seperti dikucur bara timah yang meleleh begitu deras,” kata salah satu dari mereka.
Sang Ratu tanggap sasmita. Ia segera mengheningkan cipta, mematikan rasa, pikir dan seluruh panca indra. Sesudah itu, ia menyuruh anak buahnya menyelidiki apa yang terjadi di luar kerajaan. Bagai anak panah yang melesat dari busurnya, seluruh anak buah berhaburan ke atas. Tapi berulangkali menembus atas bumi, mereka gagal. Bumi seakan dilapisi berton-ton baja tanpa mampu ditembus. Mereka akhirnya kembali menghadap Kanjeng Ratu.
“Mohon ampun Kanjeng Ratu. Kami tak sanggup menembus lapisan bumi. Lapisan bumi serasa terlapisi baja dan tak dapat dilewati oleh kami,” ujar mereka.
Kanjeng Ratu terpaksa turun tangan. Dengan kekuatan yang dimiliki, ia menembus pori-pori bumi. Sampai di atas, dilihatnya Mbah Suta sedang duduk bersila dengan mata terpejam dan kedua tangan bersedekap.
“Hai manusia! Kenapa kau berani melakukan tetapamu di atas lubang air ini? Tidakah kamu tahu kalau lubang itu satu-satunya pintu ke luar masuknya istana kami?! Hentikan tapamu dan segera menyingkir dari tempat ini sebelum kemarahanku memuncak!”
Tapi teriakan Kanjeng Ratu Siluman Buaya Putih itu tak mampu mengusik tapa Mbah Suta. Dia tak pedulikan, tetap saja melakukan tiwikrowo. Yang demikian itu membuat sang Ratu semakin tak bisa meredam amarah. Kejengkelan membuncah, ia menghantam Mbah Suta dengan ekornya. Tidak hanya itu, Kanjeng Ratu pun menyerang dan menerjang dengan kuku-kuku tajam kaki dan tangannya. Tapi dengan mudah serangan itu dihalau Mbah Suta.
Pertempuran sengit terus berlangsung. Bumi seakan menggemuruh menimbulkan gonjangan dasyat. Tak terkecuali dalam istana Siluman Buaya Putih, seluruh penghuninya terbanting-banting dan berkelojotan dengan hawa panas yang semakin meranggas. Tanah dan rumah-rumah di dalam Istana Siluman retak. Tak sedikit runtuh karena goncangan yang disebabkan dari pertempuran mereka.
Selama pertempuran, tak sejengkal pun posisi Mbah Suta berubah. Ia tetap pada posisi sikap bersilah. Hanya berulangkali kedua tangan mengibas untuk menghalau sepak terjang Kanjeng Ratu.
Berkali-kali sekor siluman Buaya Putih menyerang Mbah Suta. Tapi kembali dihalau bahkan berkali pula sang Ratu terpelanting dan jatuh terjerebab di atas bumi karena serangan Aji Pupuh Banyu dari Mbah Suta. Kesaktian apa saja yang dikeluarkan Kanjeng Ratu, tak sanggup melumpuhkan kesaktian Mbah Sutah. Kesaktian Mbah Suta sedemikian tak tertandingi, hingga bersujudlah Kanjeng Ratu Siluman Buaya Putih.
Seperti kerbau dicocok hidungnya, Kanjeng Ratu pun akhirnya mengikuti apa maunya perintah Mbah Suta. Dalam satu perbincangan, Mbah Suta bertutur.
“Ni Mas Kanjeng Ratu, kelak apabila ada seorang lelaki mawujud buaya berhasrat meminangmu, mintalah bebondo atau mas kawin bangkai manusia. Kalau benar-benar bebondo itu mawujud bangkai manusia, hendaklah Ni Mas tolak. Sebab artinya ia bukan datang melamar dengan ketulusan hati, melainkan hanya karena kemolekan tubuhmu….”
Kecantikan Kanjeng Ratu Siluman Buaya Putih itu, siapapun tak bakalan mengingkarinya. Orang akan kesengsem tiap kali dia berubah ujud menjadi seorang putri. Kemulusan tubuh dan kecantikan wajahnya sang Ratu, senantiasa membius siapapun. Tak mengherankan kalau banyak lawan jenis tergila-gila ingin mempersunting.
Suatu hari, datanglah seorang pemuda ganteng dari Pekalongan. Dengan berkendaraan kereta kencana, pemuda itu menghadap Kanjeng Ratu di singgasana. Pemuda itu membawa bebondo berupa bangkai manusia. Lamaran pun ditolak dan terjadi kericuhan. Mereka bertanding adu kesaktian. Keduanya menjelma menjadi Siluman Buaya Putih.
Adu kesaktian antar kedua siluman itu berlangsung sengit. Akhir dari pertikaian, Siluman Buaya Putih asal Pekalongan kewalahan dan melarikan diri hingga ke Pelawangan -perbatasan Kabupaten Tegal dan Pemalang.
“Baiklah Sang Ratu, saat ini aku mengaku kalah. Tapi nanti pada masa yang akan datang, anak cucu keturunganmu bakal menjadi tumbal balas dendamku ketika mandi di Kaliloji Pekalongan…” katanya sebelum berlalu.
Seperti halnya dia, Kanjeng Ratu Siluman Buaya Putih pun balik bersumpah, barangsiapa anak cucu dia mandi di Kalipah, bakal juga mengalami hal yang serupa. Sebab di Kalipah yang berada di jalur pantura wilayah Desa Padaharja Kecamatan Kramat itu, merupakan sungai angker yang airnya berasal dari lubang mata air sebesar pipa yang ada di lapangan Dwi Windhu Pangkah itu.
Konon kabarnya, pada malam-malam tertentu di jembatan Kalipah itu sering muncul wanita jadi-jadian. Sebagian orang percaya bahwa wanita tersebut merupakan jelamaan dari Siluman Buaya Putih.
Kalipah sendiri asal muasalnya dari sumber mata air sebesar ‘pipa’. Dari aliran itu kemudian membentuk sebuah sungai kecil yang lama ke lamaan membesar hingga ke laut. Dari sanalah muncul nama ‘Kalipah’, gabungan dari kata ‘pipa’ dan ‘kali’
*
KETERANGAN GAMBAR:
Salah satu lukisan karya Indraning, perupa wanita asal Kabupaten Tegal







Tidak ada komentar: