Minggu, 05 Oktober 2008

WAWANCARA dengan Tokoh Tegalan NAJEEB B


Najeeb B – Pencipta & Penyanyi Lagu Tegalan
Bahasa Tegalan Itu Membumi, Kang!

SOAL lagu Tegalan tanyakan saja dengan Najeeb B (Bahresy). Dialah salah satu peletak tonggak sejarah lagu Tegalan di era tahun 70-an. Lagu-lagu Najeeb yang membumi seperti Man Draup Tèol, Man Pian, Teh Poci Gula Batu, Mènèk Pucang, dan lain sebagainya. Dipertengahan 2005 diapun melahirkan album Ratu Gendut.
Dari dialah pula sebutan ‘Man Daup’ bagi tukang becak cukup melekat di wilayah Tegal hingga sekarang. Kini setelah Tegalan makin moncèr dan menjadi ikon di kota kelahirannya, ia merasa bersyukur karena perjuangannya mendapatkan tempat. Dan semua itu membuat dirinya bangga karena bahasa Tegalan terus bergerak tak hanya dipakai sebagai ekspresi sebuah lagu atau banyolan, melainkan sudah menjadi alat penyampai letupan jiwa lewat puisi Tegalan. Terlebih lagi para pejabat dari mulai bupati Tegal dan Walikota Tegal sampai pejabat dibawahnya, pernah ‘jèd-jèdan’ dalam even acara ‘Maca Puisi Tegalan’. Ini pertanda bahwa Tegalan makin diterima di hati masyarakat dan menjadi tuan rumah di daerahnya sendiri.
Nah, untuk mengetahui sejauhmana Najeeb B memperjuangkan bahasa Tegal hingga sekarang berkembang, redaktur dan wartawan Nirmala Post, Lanang Setiawan mewawancarainya. Di bawah ini adalah petikannya.
Sejak tahun 79 anda begitu getol membawakan lagu-lagu Tegalan. Kenapa?
Pertama karena saya ini lahir di Tegal, sudah barang tentu bangga dengan bahasa tanah kelahiran saya sendiri. Ini sebagai bentuk ekspresi dan ‘pemberontakan’ saya yang pada saat itu bahasa Tegal hanya digunakan sebagai bahan ejekan di Jakarta. Bahkan orang Tegal sendiri pun merasa malu menggunakan bahasa Tegal.
Sambutan masyarakat pada saat itu bagaimana?
Ternyata orang di luar Tegal bisa menerima lagu Tegalan saya. Ini membuat saya makin getol mempopulerkan bahasa Tegal.
Anda yakin jika lagu Tegalan bisa menjadi sebuah ikon?
Saya sangat yakin sekali. Sebab dengan banyaknya sastrawan Tegal menulis puisi Tegalan, merupakan tanda kebangkitan bahasa Tegal semakin moncèr dan marak. Apalagi, saat ini banyak pejabat di kota maupun di Kabupaten Tegal tak malu-malu lagi membawakan puisi-puisi Tegalan. Ini sungguh sesuatu yang membanggakan dan merupakan bukti bahwa Tegalan itu sudah diterima oleh kalangan terhormat. Belum lagi dengan maraknya iklan di radio dan spanduk-spanduk promosi atau himbauan-himbauan yang berkibar di sepanjang jalan besar, tidak mustahil bahasa Tegalan menjadi sebuah ikon di tengah pergaulan kebudayaan yang majemuk. Bahasa Tegalan itu membumi, Kang!
Oleh sementara orang, bahasa Tegalan dinilai kasar. Komentar anda?
Anggapan apapun yang mereka katakan itu, untuk saya tidak sepaham karena setiap daerah memiliki ciri khas tersendiri dan Tegal pun memiliki ciri khasnya.
Bisa diceritakan tonggak sejarah awal keberangkatan anda mempopulerkan lagu-lagu Tegalan?
Saya mengembara di Jakarta sekitar tahun 1970-an. Saya mencoba mengadu nasib di sana sebagai penyanyi dan pencipta lagu. Pada tahun 1979 saya bersama teman arranger Yusridi mencoba tawarkan lagu-lagu Tegalan pada produser rekaman. Kami menempuh perjalanan dari Grogol sampai Pluit dengan berbekal lagu. Kami naik kendaraan umum menuju produser rekaman pada MGM Record. Waktu itu kami tidak langsung ketemu, tapi kami sabar menanti sampai datangnya produser rekaman. Saat bertemu, saya tawarkan album Tegalan dan ternyata dia menyambutnya dengan antusias. Dia bilang, lagu-lagu Tegalan saya punya prospek, ini terbukti ketika dia meminta saya menyanyikan pada sejumlah abang becak di Jakarta, sambutan mereka sedemikian menggembirakan. Tak berapa lama saya masuk dapur rekaman berduet dengan Tri Widarti, penyanyi asal Tegal yang waktu itu lagi ngetop-ngetopnya. Dari situ kemudian lahir album Tegalan perdana saya bertajuk Teh Poci I (Gula Batu) meledak. Di antara lagu-lagu Tegalan saya yang paling ngetop dan bahkan menjadi trade mark di kalangan masyarakat bawah yaitu lagu ‘Man Draup Tèol’. Lagu tersebut menceritakan suka duka seorang tukang becak dalam mengais rejeki sebagai perwujudan masyarakat dalam strata sosial paling bawah.
Perkembangan lagu-lagu Tegalan dewasa ini, bagaimana?
Sangat menggembirakan sekali. Kita bisa dengar di radio-radio swasta di kawasan pantura ini lagu Tegalan banyak diputar. Para komponis Tegal yang dulu antipati sekarang berlomba-lomba menciptakan lagu Tegalan. Mereka tidak sungkan lagi bikin album. Para sastrawan muda Tegal pun banyak meramaikan dengan mencipta lagu-lagu Tegalan seperti Moch. Hadi Utomo, Lanang Setiawan, Nurngudiono, Ipuk NM Nur, termasuk juga Dhimas Riyanto dan Bram Moersas dan masih banyak lagi yang peduli dengan Tegalan. Saya sangat bersyukur dengan munculnya pencipta-pencipta lagu Tegalan. Paling tidak, setelah saya meletakkan tonggak sejarah Tegalan di era tahun 70-an, ada regenerasi atau penerus yang tak kalah bobotnya.
Saat ini anda tengah melakukan apa?
Masih tetap mencipta, menyanyi dan bikin album. Tahun 2005 saya bikin album Ratu Gendut berduet dengan Pety Kombor. Album tersebut cukup mendapat sambutan masyarakat luas di wilayah pantura (*)



Dikutip dari Nirmala Post terbitan, jumat, 20 Juli 2007

Tidak ada komentar: