Selasa, 14 April 2009

PENGENDARA BADAI BAGIA SATU


Lanang Setiawan
Pengendara Badai
(Sebuah Ensiklopedi Gerakan Tegalan)

Tegal 1950

ALUN-ALUN Tegal malam hari merintih dan merana. Cahaya lampu mercury tumpah-ruah menghambur di jalan beraspal tampak berpedar-pedar, namun tak sedikitpun sanggup menjangkau lingkaran alun-alun yang luas. Pusat malam jadi seperti mengental dalam kegelapan. Dalam balutan keremangan itu aku berdiri tegak lurus sejajar dengan langit di tengah-tengah kepungan kesunyian gulita. Helai-helai rambutku berkibar-kibar ditampar hembusan angin. Suara cekikikan dari pasangan orang yang berpacaran di bawah keremangan pohon kedawung menusuk-nusuk daun telingaku. Di bawah tiang bendera tidak jauh dari Masjid Agung, kulihat bocah-bocah cilik berkejaran. Penjual mainan anak-anak, tukang bakso, kupat glabed, wedang ronde, pangsit, nasi goreng, bakul rokok, kancang godog, roti bakar, dan para penjual minuman bercokol di trotoar. Lalu lalang kendaraan dari tiga penjuru yang lewat perempatan A. Yani, melintas lingkaran utara alun-alun. Di pertigaan tugu garuda kendaraan ambil jalur ke timur menuju arah Stasiun Kereta Api. Sebagian kendaraan yang melaju dari arah berlawanan itu melintasi jalan depan balai kota dan merayap ke barat pada pertigaaan Jalan Diponegoro. Ada juga menikung ke kiri memasuki Jalan KH. Ahmad Dahlan di sebelah kanan Gedung Bioskop Dewa.
Mengamati geriap kesibukan pusat kota kelahiranku ini tidak hanya membawa pada suasana yang mengasyikan namun sesuatu yang hilang sedang berdesakan dalam alam pikiranku dan oleh karena hatiku ditudungi kelu. Pada jarak pandang dua ratus meter, aku masih bisa dengan jelas melihat gedung tua yang remang kusam di depan mataku; Gedung Dewa! Ya gedung bioskop kebanggaan masyarakat Tegal itu, membuat pikiranku terlempar jauh pada kenangan masa silam.
Dulu, gedung itu bernama Rex tapi entah tahun berapa nama tersebut diganti. Yang kutahu, gedung itu bernama Dewa, tiap malam ratusan masyarakat dari golongan ekonomi lemah berjubel menunggu dibukanya loket penjualan karcis. Mereka berdatangan dari berbagai pelosok kampung seperti semut yang mudal ketika segayung air ditumpahkan dalam lubang rumah mereka.
Masyarakat itu berduyun-duyun menyerbu Bioskop Dewa selepas magrib dengan tujuan ingin menonton film India yang menjadi daya pikat dan sihir bagi mereka. Ketika aku masih SD, aku seperti juga mereka menyandui film-film India sampai aku mengenal betul nama-nama aktor dan artis seperti Rajesh Khanna, Dimple Kapadia, Jeetendra, Dharmendra, Hemamalili, Rabidranath Tagore, Helen, Ray Kapoor, Sashi Kapoor, Sunil Dutt, dan pemeran yang paling nggemesi adalah tokoh antagonis Prem Chopra. Jika salah satu dari pesohor itu beraksi dalam sebuah film, bukan main Bioskop Dewa penuh sesak penonton seperti pasar tiban pada hajatan Pilkades. Tak terkecuali aku, selepas magrib sudah rapi berdandan. Rambut kuolesi minyak wangi bermerk tanco dengan kusisir klimis. Bersama teman sebaya, aku kemudian bergegas menyerbu gedung itu dengan berjalan kaki. Jarak antara kampungku dengan Gedung Dewa memang tak seberapa jauh, kurang lebih setengah kilo meter.
Penyerbuan kami ke gedung itu bukan untuk berdesak-desakan di loket pembelian karcis, melainkan menghadang orang-orang yang hendak menonton.
“Mèlu oh Um, nyong dianggap adi atawa keponakan. Tiket satu bisa untuk dua orang ka…”
Begitu cara kami merayu penonton. Dan bagi para penonton bioskop yang baik, hal itu bukan masalah. Dengan senang hati mereka akan menggandeng tangan kami untuk bersama masuk melewati penjagaan karcis. Begitu sampai di dalam gedung, kami memisahkan diri untuk mencari tempat duduk yang kosong. Dengan cara seperti itu aku dan kawan-kawan menikmati tontonan film India secara gratis.
Di sini kalau bukan film India yang diputar, dapat dipastikan film nasional seperti pada kebanyakan pemutaran film di bioskop-bioskop kelas pinggiran atau kelas kerotak. Jangan berharap kalau di sini memutar film Hongkong atau Hollywood. Tak ada cerita di bioskop ini menyuguhkan film-film semacam itu. Kalau pun ada, dua tahun kemudian baru bisa kami tonton. Toh, meski demikian setiap hari penonton di Bioskop Dewa tak pernah sepi, mereka tumpah ruah seperti ramainya malam lebaran.
Aku merasakan sekali gairah mengasyikan mereka turut meramaikan kehidupan malam di kotaku lewat gambar hidup, walau mereka harus berdesakan runtung di loket pembelian karcis seperti ular naga. Loket karcis untuk klas I berada di depan gedung, sedang loket pembelian karcis klas II berada di belakang. Bukan perkara mudah jika Anda bisa mendapatkan seri-seri karcis berkelas balkon karena sebelum loket dibuka, seri karcis tersebut sudah habis diborong para calo yang ‘berkolaborasi’ dengan pihak bioskop. Alhasil, karcil yang tersisa hanya seri-seri tempat duduk di deretan depan. Jika Anda memaksa menonton dengan seri-seri tersebut, posisi kepala seperti bersandar di kursi malas dengan kepala mendongak ke langit-langit, sedang gambar film seakan mau ambruk menimpa wajah karena saking dekatnya posisi pandang dari layar pemantul film. Mata rasanya pedas berkunang-kunang dan kepala pusing tujuh keliling.
Ya! Betapa asyik aku mengingat memori masa kecil yang kini berputar-putar dalam batok kepala. Sayang, semua itu tinggal kenangan yang membuat hatiku dihantam kelu. Gedung Dewa kini seperti gadis yang merana dan merintih ketika dikhianati kekasih karena tragedi perselingkuhan. Kejayaan gedung itu musnah sudah, suram, kusam, gelap gulita dan berkesan menakutkan lantaran gedung yang dulu megah dan bercokol di pusat kotaku itu telah bangkrut. Dua teras di sirip jendela kiri dan kanan lantai dua, tampak juga berlumut dan bermunculan tanaman liar. Cat brown di trali besi mengelupas dan besinya berkarat.
Mengenaskan dan menggelepar-gelepar nasib tragis yang menimpa gedung itu, ternyata sama halnya melindas kondisi Gedung Bioskop Dewi. Gedung tua yang bercokol di belakangku itu, tampak kokoh berdiri seperti ketangguhan Gedung Dewa. Posisi bangunan menghadap ke selatan, di sirip kiri dan kanan bagian depan berbentuk benteng berjendela kaca. Pada bagian kanan digunakan sebagai tempat penjualan tiket klas II sementara di sirip kiri untuk klas I. Bagian tengah di atas dua bangunan itu, dibuat dinding kokoh sebagai tempat membentangkan poster film yang akan diputar.
Gedung ini semula bernama Roxi. Tapi seperti halnya pergantian nama Dewa menjadi Rex, aku pun tak tahu sejak kapan nama Roxi menjadi Dewi. Yang kutahu, film-film pilihan yang diputar di bioskop ini senantiasa berasal dari Hongkong dan Hollywood seperti sengaja menandai sebuah simbol kelas masyarakat yang berjuis. Film India? Nehi maharad dunia dipatil lèlé! Artinya sama sekali tak mungkin terjadi. Kejomplangan terhadap harga tiket masuk pun terasa menyengat sekali untuk ukuran kelas bawah. Jika di Dewa mematok harga sebesar 350 rupiah untuk klas I, maka di bioskop Dewi bisa terpaut sampai tiga atau empat kali lipat. Di Bioskop Dewi ini boleh dikata sebagai gedung ‘perlawanan’ dari kaum priyayi, orang-orang Tionghoa, jetset dan mereka yang berkantong tebal. Tak pernah aku melihat ada orang kampung mampu menembus masuk menikmati tontonan berkelas di Bioskop Dewi. Dan jangan harap anak-anak bisa nebeng nonton pada kebaikan penonton, karena tanda masuk untuk anak-anak sudah ditentukan separoh harga. Penjagaan di pintu masuk pun sangat ketat didampingi dua anggota CPM sehingga tak memungkinkan anak-anak bisa nyeluduk atau masuk ke dalam bioskop di tengah berjubelnya penonton.
Aku menarik nafas dalam-dalam mengenang delapan belas tahun silam. Angin malam kurasakan semakin mendera dingin. Aku masih saja berdiri di tengah pusat kota dalam bundaran kegelapan alun-alun. Entah kenapa malam ini aku merasakan ada kerinduan berkilas balik.
Kubakar sebatang rokok untuk menahan rasa dingin sambil duduk mengunyah permen jahe. Jalanan mulai sepi, baru jam sepuluh lewat seperempat menit tapi para pejalan kaki dan orang-orang yang duduk di trotoar, berangsur pergi. Pasangan anak muda yang tadi berpacaran dan cekikikan di bawah keremangan pohon kedawung itu telah lama berlalu. Bangunan menara water ledeng berdiri angkuh di Jalan Pancasila menuju arah Stasiun Kereta Api tampak menghitam dikelam malam seperti hantu. Hanya kelap-kelip lampu bagai bintang kejora di atapnya sebagai penanda bangunan itu bisa aku tatap dari kejauhan.
Di sini ya di sini! Di tengah bundaran alun-alun kotaku yang sepi dan remang, siapa sangka pada tahun 50-an pernah menjadi pusat kebudayaan yang menggelegar sebagai tanda sebuah kota yang tak pernah tidur. Ibarat ladang pertunjukan, kehidupan malam di bundaran Alun-alun Tegal penuh dengan kompetisi rombongan kesenian rakyat dari kaum urban yang datang seperti pusaran lisus bergulung-gulung.
“Hampir setiap malam bukan main ramainya dayoh kesenian tradisional datang ke pasar malam Alun-alun Tegal. Lusdruk, sulap, sintren, joget jantoek, doger, atau apa saja bebas mengisi di ringin kurung termasuk kesenian tandak” ungkap Karno Wibowo suatu ketika.
Kata-kata itu aku dengar tujuh tahun yang lalu ketika aku bertandang di rumahnya. Karno Wibowo adalah tetangga sekampungku, dia pelukis, penggemar keroncong dan kepala sekolah SD. Aku bertandang ke rumah dia karena aku penyuka hasil lukisannya dan secara diam-diam aku banyak menyerap cara bagaimana dia memuntahkan pewarnaan gelap terang pada lukisan yang dia bikin. Pada dunia lukis, aku pun sedikit memiliki hobi. Tapi kesenian tandak, apa pula?
Kata Um Karno -begitu aku suka memanggil dia, kesenian tandak itu tidak jauh beda dengan pementasan ronggeng. Ketika kesenian itu ndapuk di bundaran ringin kurung, tak kalah heboh menyedot khalayak ramai karena kesemuanya bertitik sentral pada figur ledek atau tandaknya yang banyak menampilkan dimensi rayuan dan kerling mata pada diri perempuan yang menjadi primadona, entah kepiawian langensuara, tarik suara atau dalam langenbeksa, bersendratari, bisa pula kecantikan dan keluwesan.
“Biasanya, tugas sang primadona tandak akan berjalan kesana kemari mendekati konsumen dengan segala tutur kata penuh daya pikat,” ujar Um Karno.
Pada konsumen lelaki yang terjerat rayuan dan kerling mata, dia bakal langenbeksa atau joget bareng bersama sang tandak. Pada ujung pementasan, antara tandak dan konsumen laki-laki akan melangsungkan ‘langenbeksa yang sesungguhnya’ di sebuah losmen seperti halnya biduan-biduan dangdut yang banyak mengumbar nafas-nafas birahi.
“Tak beda dengan para pendangdut, tandak pun bisa diboking seusai pementasn. Deraan ekonomi yang menghimpit, akhirnya memaksa dia merelakan untuk menempuh jalan pintas di luar kerja seninya,” tandas Um Karno.
Dari Um Karno, aku juga memeperoleh kejelasan tentang pusat-pusat kebudayaan yang dimiliki kotaku. Selain di tiga tempat itu, geriap kesenian yang lebih prestisius bercokol di Gedoeng Rakjat. Gedung warisan Belanda ini berada di wilayah Tegalsari, 5 kilometer dari kegiatan perkotaan alun-alun. Tepatnya bersemayam di sebelah barat pelabuhan, gedung tersebut dibangun sebagai sarana penyeimbang antara kesenian marjinal dan gambar hidup.
Gedoeng Rakjat ini dulunya bernama Gedung Sositet (society de Slamat) merupakan gedung sejarah yang menjadi saksi gaya hidup baru dibawa kolonial Belanda untuk berpesta pora dan berdansa-dansi. Salah satunya terdapat ballroom yang kemudian orang menyebutnya sebagai Kamar Bola karena di sana kerap digunakan bermain billiard. Ukuran gedung pertunjukannya 8 x 10 meter dengan kapasitas 600-700 orang. Disamping untuk pertunjukan musik, juga sandiwara keliling, tonil. Di depan Gedung Sositet ada Taman Bunga yang kadang kala digunakan untuk pesta kebun.
Orang-orang Belanda menyebut tempat plesiran itu Gedung Sositet, artinya gedung ‘rakyat’. Meskipun disebut sebagai Gedung Rakyat namun tidak semua orang pribumi bisa masuk kecuali kaum menak, priyayi dan orang-orang Tionghoa. Gedung ini menjadi simbol kelas dalam interaksi sosial di kalangan masyarakat Tegal, dalam bahasa Inggris society diartikan sebagai sekelompok manusia yang hidup bersama, saling berhubungan dan mempengaruhi, saling terikat satu sama lain sehingga melahirkan kebudayaan yang sama.
Gedung Sositet juga menjadi simbolis megapolis masyarakat kolonial di Tegal, menjadi tempat in grup feeling yang begitu kuat dari golongan kolonial, sehingga menjadi tembok pengalang asimilasi dengan masyarakat biasa. In grup feeling artinya suatu perasaan yang kuat sekali bahwa individu tertentu terikat pada kelompok dan kebudayaan yang bersangkutan dan hal ini ditegaskan Sositet sebagai ruang publik.
Pada era Pemerintah Pendudukan Jepang, gedung ini diganti dengan nama yang lebih familiar yaitu Gedoeng Rakjat, sebagai tempat para dramawan Tegal untuk memompa gairah semangat mereka berkarya sampai kemudian lahir aktor dan sutradara berkelas nasional Soedjai S.

*

Tema Sosial
Soedjai S adalah seorang dramawan dan sutradara. Nama Jai -sapaan akrabnya, cukup kondang di tengah masyarakat. Jai mendirikan grup senidrama Pelajar Tegal sebagai bentuk pengenalan terhadap masyarakat agar mereka tahu apa yang dinamakan senidrama. Bagi Jai, senidrama adalah bentuk pementasan yang tidak sekadar memainkan lakon namun perlu ada latihan, intonasi suara, setting, tata lampu, tatarias, bloking, kostum, musik, dan penghayatan karakter tokoh yang satu dengan yang lain. Semua itu diramu secara harmonis oleh sang sutradara sebagai kerja kreatif sebuah pementasan.
“Pemahaman senidrama itu sangat lain dengan bentuk pementasan sandiwara tradisional yang kerap dibawakan oleh seniman tempo doeloe. Kesenian Kècrèt misalnya, tidak perlu naskah, latihan, tata lampu, setting, kostum, atau pendalaman karakter tokoh. Sandiwara Kècrèt juga tidak membutuhkan penata laku atau sutradara. Para pemain dijor klowor, dibiarkan begitu saja tanpa arahan sutradara. Mereka bermain asal pentas tanpa detail-detail sebuah tontonan,” ujar Jai pada suatu hari di rumah kontrakan Jalan KH. Nahrawi, Pedukuhan Sentanan, Tegal.
Jai dilahirkan di Tegal 2 Januari 1930. Dia mulai dikenal sejak pergulatan masa mudanya begitu suntuk di ladang keaktoran. Hari-hari dia dihabiskan untuk berkesenian. Kegilaan tokoh yang satu ini tak asing bagi masyarakat Tegal karena luapan karyanya kerap digelontorkan di Gedoeng Rakjat. Lakon Korban Demoralisasi merupakan salah satu karya dia yang digelar beberapa hari di gedung tersebut dengan mendapat respon penonton yang cukup membludak. Drama ini memberikan nuasa baru berkisah tentang kehidupan remaja yang tersungkur dalam kubangan lumpur maksiat; berbagai macam minuman alkohol dan seks bebas menjadi nyanyian lumrah akhir pekan mereka. Sisi kelam adalah pilihan hidup para tokoh yang digambarkan Jai lantaran di dalam kekelaman itu ada segenggam kenikmatan seperti persenggamaan binal. Dan itu menjadi konsep pergaulan mereka; merupakan imbalan kelalaian orang tua yang mengukur kemuliaan hidup dengan limpahan harta yang didapat dari hasil colongan. Norma-norma agama cuma dogma dari suara sumbang yang tak pantas didengar. Demoralisasi itu akhirnya berdampak pada keturunan mereka karena otak, pikir, hati, daging, jiwa dan darah anak-anak dibentuk dari hasil kejahatan korupsi. Tema itu sangat langka namun berhasil diangkat Jai ke dalam pentas dari efek pergaulannya yang multietnis.
Tema serupa seperti lakon Terkutuk Masa, Bumantara dan Ratapan Si Miskin. Tiga lakon karya Jai ini sarat pula dengan ketajaman kritikan sosial. Pikiran Jai muda, senantiasa tak pernah lepas dari kesalehan sosial. Keberpihakan pada tingkatan masyarakat kelas bawah dan kebusukan moral para pejabat, menjadi ide utama. Eksistensi Jai seperti diakui aktris Ida Sri Maedah sewaktu aku berkunjung ke rumah dia di wilayah Randugunting.
“Lakon-lakon yang ditulis Jai, hampir semuanya bertumpu pada realita hidup penuh dengan kritik sosial. Jangkauan pemikiran Jai melampaui pikiran kebanyakan orang. Lakon Korban Demoralisasi atau Terkutuk Masa, menarik sekali karena kentalnya nilai sosial. Lakon itu tidak hanya ditonton oleh anak-anak remaja melainkan ditonton oleh kebanyakan masyarakat Tegal. Dimainkan tidak cukup sekali tapi sampai lima pementasan. Penontonnya selalu penuh. Jai muda, menjadi bintang, dambaan dan pementasannya selalu ditunggu-tunggu,” kata Maedah.
Kesaksian Maedah bukan bualan tanpa realita karena semasa mudanya, dia salah satu awak kelompok dari senidrama Pelajar Tegal. Dia sendiri menjadi tokoh sentral sekaligus lawan tanding Jai yang berbakat. Tak pelak kalau dia tahu betul bagaimana sepak terjang Jai sebagai penulis lakon dan sutradara jenius. Hingga suatu siang di tahun 1954, Ketua Bidang Senibudaya Tegal, Woerjanto mengundang para seniman. Mereka dikumpulkan di Kantor Jawatan Penerangan untuk membentuk organisasi ISMT kepanjangan dari Ikatan Seniman Muda Tunas. Belakangan organisasi tersebut lebih kondang disebut Tunas di bawah pimpinan Woerjanto. Salah satu usul yang dicetuskan Jai adalah pembentukan senidrama di komunitas Tunas.
“Saya setuju sekali kalau di Tegal ini ada wadah organisasi para seniman muda. Tapi hendaknya di kelompok Tunas ini tidak hanya kesenian musik, wayang orang, ketoprak atau kesenian tari saja. Saya usul harus ada wadah ekspresi keseniaan lainnya” kata Jai.
“Terima kasih saudara punya gagasan lain. Tapi kami ingin tahu usul saudara Jai apa?” ujar Woerjanto sebagai pemimpin penentu kebijakan.
“Dalam forum ini, yang hadir ada banyak aktor dan aktris senidrama. Oleh karenanya kelompok senidrama jangan sampai ditinggalkan!”
Usulan Jai mendapat dukungan penuh. Pimpinan rapat kemudian memutuskan untuk membentuk sebuah kelompok senidrama. Nama Tunas akhirnya dipilih sebagai ajang mereka untuk berkiprah. Dan Jai didaulat untuk membuat naskah sekaligus sebagai sutradara pementasan.

*
Menjaring Ilham
Jai merasa mendapat tantangan. Apakah ia bakal berhasil membuktikan pada orang-orang Tunas dan mempertaruhkan reputasinya sebagai seniman jenius? Apakah ia benar-benar seorang dramawan profesional yang akan mengharumkan nama komunitas Tunas?
Sejak Jai diserahi tugas, dia banyak begadang, nongkrong di warung-warung dengan tukang becak, semacam menyadap dan menyaring cerita-cerita pedih. Atau duduk berkontemplasi di pantai Tegal untuk menjaring ilham. Tak jarang Jai nampak murung. Jika di tengah obrolan kawan-kawan, Jai lebih banyak diam ketimbang bersuara. Sikap Jai yang demikian sudah dipahami oleh kawan-kawan.
Seniman jika sedang bekerja memang suka bersikap aneh. Orang awam sering tidak mengerti bagaimana mereka bekerja dengan otak kanannya. Perenungan, pencarian ide, mengolah pikir, rasa, dan kontemplasi, dimatangkan penuh kesungguhan, membuat pekerjaan itu bukan persoalan sepele. Melahirkan sebuah karya serius menyedot energi cukup banyak karena menyangkut harkat diri. Karya adalah sebuah pertaruhan, eksistensi, prestisius yang harus diperjuangakan oleh seniman. Dan Jai tahu soal itu, oleh karenanya ia tidak main-main dalam memburu ilham. Melahirkan karya master piece memang menjadi dambaan setiap pelaku seni.
Suatu siang yang berawan, wajah Jai tampak berseri-seri, sumringah. Dia datang ke Kantor Jawatan Penerangan menemui Woerjanto. Di batok kepalanya sarat ilham yang dia gali dari jalanan dan pantai. Ia sudah tak tahan menanggung beban itu ingin segera dia tumpahkan dalam naskah.
Woerjanto yang kerja di sana menyambut kedatangan Jai dengan suka cita. Mereka duduk berhadapan. Jai membakar rokok putih, dihisapnya dalam-dalam.
“Mau minum apa Kang Jai?” kata Woerjanto.
“Kopi”
Woerjanto mengundang salah satu anak buah untuk memesan minuman. Lima menit kemudian pesanan datang.
“Tumbèn sampeyan ke sini, apa yang bisa saya bantu?” kata Woerjanto.
“Saya mau andon ngetik di sini Woer, mesin ketiku lagi diservis”
“Oh silakan, sampeyan pakai. Mau sekarang apa kita ngobrol dulu Kang?”
“Sekarang Woer, saya sudah amat tersiksa mengandung luapan ilham”
Jai diantar ke satu ruangan khusus. Di ruangan paling barat, ada dua mesin ketik besar bertengger di atas meja.
“Sampeyan bebas mengetik di sini. Kertas dan karbon tinggal ambil di lemari itu,” Woerjanto menunjuk ke arah almari.
“Ya Woer, makasih”
Woerjanto berlalu, kembali masuk ruangan kerja. Jai bergegas mengambil kertas dan karbon. Lima lembar kertas buram dijepitkan di mesin ketik dengan empat karbon sekaligus dipasang di sela-sela kertas. Jari-jari lentik Jai kemudian menari-nari di atas tut-tut mesin ketik. Selembar demi selembar Jai menghabiskan waktu di ruangan itu. Berhari-hari Jai bolak-balik mendatangi Kantor Jawatan Penerangan untuk menyelesaikan naskahnya. Tidak jarang ia melembur.
Menghadapi mesin ketik, kegilaan Jai menggebu. Ia akan menghabiskan waktunya berjam-jam sampai apa yang dia tulis tuntas. Sebuah lakon berjudul Kandas akhirnya terselesaikan. Inti cerita adalah perebutan cinta segi tiga.
Hari-hari berikutnya Jai mendatangi Sri Ida Maedah dan Imam Sumarto untuk melakonkan tokoh dalam naskah Kandas. Jai sendiri merangkap sebagai pemeran utama dan tiga pemain lainnya menjadi figuran. Latihan pun berderap, langsung berbulan-bulan penuh gelora.

*

Kandas
Sebuah panggung pementasan dengan kain putih lebar yang kedua ujungnya dijepit bambu, membujur dari langit-langit atap menjuntai ke bawah seperti asap putih tebal sisa pembakaran pesawat terbang menggantung di awang-awang. Suasana panggung gelap gulita, sorot lampu berwarna merah memusat di kain putih. Di tengah-tengahnya bergelantung seutas tambang panjang ditimpa cahaya lampu melahirkan siluet garis, menambah giris suasana. Sayup-semayup suara musik gesek merayap-rayap ditingkah dentuman genderang, dan musik gesek itu menyalak lebih keras lagi seperti jeritan pelaku curamon yang disuruh lari Polisi untuk ditembak. Rayapan rebana kencèr berbareng menghentak ditingkah musik gesek yang semakin lama semakin menggila. Kemudian break. Tiupan seruling lamat-lamat. Dari balik kain itu kemudian muncul siluet bayangan perempuan.
Berdiri di tengah-tengah kain putih, perempuan bayangan itu melontarkan kalimat dengan nada berat seperti memanggul beban hidup.
“Hidupku berlumpuran dosa. Kekasihku lenyap pada masa pergolakan Jepang ketika aku mengandung benih darinya. Harapan membangun maligai berantakan sampai aku melahirkan si orok. Aku diusir orang tua ketika mereka tahu diriku mengandung. Aku menggelandang dari satu kota ke kota lain hingga terdampar di komplek pelacuran Barasid. Mas Hardi adalah orang pertama yang meniduriku. Berpuluh lelaki hidung belang silih berganti menghisap sari kenikmatan tubuhku. Pada Mas Hardi aku jatuh cinta tapi tak kalah dasyat aku menjalin hubungan gelap dengan Mas Tikno. Keduanya sulit aku lepaskan. Cinta segitiga ini sama gilanya dan mereka saling memperebutkan diriku. Aku tak bisa memilih satu diantara dua kekasihku itu. Separo hatiku digenggam Mas Hardi dan separonya lagi direngkuh Mas Tikno. Aku bimbang, sulit sekali aku memutuskan. Dada ini seolah disayat sembilu berbulan-bulan bahkan menahun, menimbulkan kedukaan panjang…. ”
Perempuan yang ada dalam siluet itu tak kuat lagi menahan prahara batinnya. Perempuan itu kemudian merengkuh tali yang menggantung. Seketika lampu padam, ruangan gelap. Musik menyayat, gesekan biola dan suara seruling berpadu di antara kegelapan menimbulkan suasana mistis. Ada tiga menit, lampu di balik kain putih itu samar ramyang-ramyang berpijar. Sosok bayangan tergambar di tiang gantungan. Bunyi kentongan dipukul berulang-ulang menandai adanya raja pati. Perempuan itu membeku, menjadi mayat. Muncul tokoh Hardi dan Tikno saling melolong dan berebut ingin memeluk perempuan yang menggantung. Mereka akhirnya saling tikam dengan sebilah pisau ketika tahu perempuan yang ada dalam siluet itu adalah kekasih mereka.
Itulah lakon Kandas yang digelar komunitas Tunas di Gedoeng Rakjat dengan gemuruh tepuk tangan penonton mengiringi akhir pertunjukan. Sebagai tontonan, pementasan itu amat memukau dan menteror. Secara dramatis, tokoh Hardi behasil dimainkan Jai. Sebagai sutradara sekaligus pemeran lenggaong Pasar Sore, Jai telah menunjukkan sebuah tontonan yang segar, menyergap, dan berkelas. Ditangan Jai, pertunjukkan Kandas itu berhasil menciptakan persona yang penuh imajinatif. Karakter Hardi misalnya, ketika harus melakukan adegan senggama dengan Indah --perempuan yang ada dalam siluet itu, tidak serta merta divisualisasikan secara vulgar. Dengan cerdas, Jai mengalihkan adegan mesum itu dengan cukup manis. Ia mengajak penonton untuk berpikir keras, menafsirkan peristiwa apa yang sedang dilakukan oleh kedua pemain itu saat mereka berada dalam bilik peraduan.
Awalnya kedua tokoh itu masuk dalam bilik bambu yang dimaksudkan sebagai setting kamar. Ke dua alas kaki mereka di lepas di depan pintu bilik. Tak lama, dari dalam bilik berhamburan secarik gaun, rok, celana panjang, kolor, baju sampai BH. Dari adegan ini saja, penonton sudah cukup mengerti lebih dari nafsu birahi menggebu yang melanda perasaan daripada mereka membaca sebuah novel stensilan. Penggambaran seperti itu, sungguh baru kali pertama terjadi dalam sebuah pementasan di Tegal.
Kali lain, Jai menciptakan hal spektakuler. Misalnya ketika adegan tokoh Hardi dikeroyok oleh tiga lelaki begal, Jai menampilkan peristiwa itu dengan bayangan siluet di sebuah bilik empat persegi panjang, terbuat dari kertas putih. Sebelum membentuk sebuah kotak bilik, kertas putih itu turun perlahan-lahan dari langit-langit panggung bersamaan dengan tiga pemeran begal berhamburan mengepung Hardi. Begitu membentuk bilik, sorot lampu seketika membuncah dan mereka pun berkelahi habis-habisan. Gerakan perkelahian diekspresikan dengan tarian. Adakalanya mereka berputar-putar seperti anak-anak kampung bermain komedi putar di antara dentuman musik keras yang harmoni. Akhir dari adegan ini, tokoh Hardi merobek satu bilik dengan lolongan panjang memekakan telinga. Dan Jai memerankan tokoh itu amat memukau penonton.
Sebagai sutradara berbakat, Jai pun mampu mengemas Imam Sumarto sebagai tokoh Kirno sama seperti Sri Ida Maedah memerankan tokoh Indah. Kedua pemain itu tak sia-sia digojlog Jai selama dua bulan menjalani proses latihan. Tak pelak, mereka mendapat applaus dari penonton.
Malam perdana pementasan Tunas, perasaan Jai diliputi kegembiraan penuh seluruh. Woerjanto tak segan memeluk Jai dengan mata berbinar-binar dan wajah berseri-seri.
“Sukses, sukses, selamat buat kamu, Kang. Sampeyan telah memulai pementasan Tunas dengan gemilang. Rasanya tak salah aku memilih sampeyan sebagai sutradara di kelompok Tunas. Aku merasakan kemampuan bakatmu sebagai seniman luar biasa. Sukses Kang, sukses!” kata Woerjanto dengan pelukan yang erat.
Malam ini Jai telah membuktikan reputasinya sebagai seniman yang jenius. Imajinasinya liar, baru, segar, dan tak terjangkau oleh seniman lain. Tak sedikit orang-orang menyalami dia. Juga menyalami Imam Sumarto dan Sri Ida Maedah sebagai tanda keberhasilan pementasan.
“Selamat…sukses luar biasa”, ucap kawan-kawan kepada Jai dan kedua pemeran.
Sebagai tanda kepuasan, malam itu Jai dan para seniman Tunas begadang, nongkrong sampai pagi di warung Tegal. Dan aku tahu cerita ini seperti dituturkan Soekarno Wibowo, tetangga sekampung di Kalibuntu yang menjadi anggota Tunas pada bidang seni lukis.

*


Multietnis
Kiprah Jai sebagai dramawan tetap meledak-ledak. Ia tak pernah puas bersemayam di satu kelompok. Konsep hidup Jai bukan seniman yang memiliki paham semangat primordialisme, melainkan konsep pergaulan multiras yang dia tanamkan karena dengan konsep itu dia serasa merengkuh keindahan sejati. Bertahun-tahun ia meyakini konsep itu dan berkeinginan melebarkan sayap kesenimannya dengan mendekati orang-orang Cina keturunan.
Pada suatu sore yang diguyur hujan, Jai, Tsai Ching Sin dan Liem Tek Giap bertemu di warteg. Mereka menikmati minuman teh poci dalam suasana dingin yang menggiris. Dua hari lalu mereka telah berjanji bertemu untuk satu kesepakatan membentuk sebuah komunitas yang tak membedakan golongan atau ras.
“Hidup berdampingan dengan berbagai kelompok etnis, bukanlah sebuah dosa tapi keindahan. Aku ingin di Tegal ini ada persatuan antara kelompok Cina keturunan dan orang-orang pribumi. Persatuan ini musti diwujudkan melalui kelompok seni budaya, karena kita adalah seniman. Kamu Sin dan kamu Liem, apa sepakat dengan gagasanku ini?” kata Jai seraya memandang wajah Tsai Ching Sin dan Liem Tek Giap secara bergantian.
“Secara pribadi saya setuju dengan gagasanmu. Saya sendiri sering omong-omong dengan Tsai Ching. Hidup berdampingan dengan sesama insani menjadi keinginan bersama,” kata Liem Tek Giap.
Jai mantuk-mantuk. Sementara Tsai Ching Sin menarik nafas. Ia mengiakan apa yang diomongkan Liem Tek Giap.
“Pendapatmu bagaiman Sin?” tanya Jai diantara detis hujan yang mulai mereda.
“Aku sepaham apa yang diomongkan Liem Tek Giap. Kita ini seniman, dan hidup berdampingan dengan sesama adalah keindahan. Aku tak bisa menolak kecuali bersepakat,” tegas Tsai Ching Sin.
Sore itu menjadi hari yang paling indah dalam hidup Jai. Keinginan membentuk kelompok seni budaya pembauran yang dibekap bertahun-tahun, kini menjadi kenyataan. Kelompok itu disepakati dengan menggunakan nama Seni budaya CCS (Chiao Chung She) dibawah pimpinan Tsai Ching Sin. Mereka yang berkiprah sejak tahun 1956 itu seperti Lie Soen Hiem, Lie Yap Pie, Loe Lian Twan, Tjia Giok Lie dan masih banyak lagi.
Batu Merah Lembah Merah adalah drama satu babak karya Bachtiar Siagian. Lakon itu menandai awal kiprah CCS dalam gelanggang senidrama di Tegal, sekaligus menandai pula orang-orang Tionghoa memandang Jai sebagai dramawan yang mumpuni. Dia ditunjuk sebagai sutradara dan ringkas kata, nama Jai menjadi jaminan sebuah keberhasilan. Nyatanya begitu, pementasan Batu Merah Lembah Merah menyedot penonton. Jai dielu-elukan seperti Megawati Soekarno Putri menyambangi orang-orang desa dengan sambutan meriah dan tebaran senyum yang berhamburan karena melihat dewi pujaannya turun ke bumi. Dari sinilah rupanya awal pembauran terjadi. Jai merasakan hidupnya semakin berarti dan membuktikan kalau dirinya memiliki paham pergaulan multietnis. Hal mana juga dibuktikan dengan kemampuan dia dapat menyatukan empat keturunan saat menggeber drama kolosal Bunga Bangsa.
Lakon itu karya dan sutradara Jai, melibatkan etnis Cina, Arab, Jawa dan orang Belanda. Drama spektakuler itu pun digelar di halaman depan Balai Kota Jalan Pemuda dari mulai Kantor Polresta memanjang ke selatan hingga ujung Kantor Pos dan Giro. Sebuah pementasan yang kontroversi mengundang banyak perhatian dan decak kagum. Itu terjadi pada tahun 1960.

*

Bersambung......

Tidak ada komentar: