Jumat, 24 April 2009

PENYAIR SUFISTIK DHARMADI


Penyair Darmadi:
Lewat Sajak
Saya Mengolah Spiritual

SALAH satu persoalan yang melanda dan mendera para penyair nasional dewasa ini, adalah keterpakuan pada kata atau frase keindahan kebahasaan. Namun semua itu sering tidak memberikan arti sama sekali atau bahkan membuat puisi itu kehilangan kepekaan terhadap nilai-nilai religius. Karena mereka terpuruk dan terikat pada keindahan semata.
Dharmadi, penyair kelahiran Semarang 30 September 1948 sejak tahun 1968 menetap di Purwokerto, kini bolak-balik Jakarta, Tegal dan Purwokerto, bicara banyak tentang proses kreatif puisi-puisinya yang digolongkan bernuansa sufistik. Bagaimana dia digolongkan sebagai penyair semacam itu, wartawan Lanang Setiawan mewancarainya ketika dia melancong di Kota Tegal. Berikut ini petikannya:
Bisa jelaskan kenapa banyak penyair menilai puisi anda digolongkan bernuasa sufistik?
Sesungguhnya saya sendiri awam dengan sufisme. Mungkin yang kebetulan membaca puisi-puisi saya itu menangkap suasana religius.
Bagaimana anda bisa mengungkapkan warna religius dalam puisi tanpa mendasarkan pada suatu agama, Islam misalnya?
Pada waktu kecil saya tidak pernah disuruh-suruh orang tua untuk salat tetapi saya sering melihat dan mengikuti ritual yang dilakukan oleh orang tua saya tiap waktu tertentu seperti misalnya pada malam Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon atau weton saya dan saudara-saudara saya meski membakar kemenyan sambil menyediakan seperangkat alat ritual itu tadi. Ada sebatang rokok, secangkir kopi, gelas yang berisi air putih di dalamnya kembang telon; kantil, mawar dan kenanga. Juga saya sering diajak ibu saya ke suatu tempat pasar tradisional yang di tengah-tengahnya tumbuh pohon beringin besar. Di situ membakar kemenyan dan menabur bunga di pokok pohon. Pengalaman itu, membuat saya terbiasa membaca kehidupan dan beranggapan Tuhan itu ada dimana-mana.
Lalu bagaimana anda menuangkan pengalam religius ke dalam puisi?
Dalam proses kreatif saya berpuisi, saya memandang atau beranggapan bahwa alam itu mempunyai daya. Daya yang ada pada alam itu menurut saya adalah daya yang berasal dari Tuhan atau Kuasa Tuhan. Di situlah saya menggunakan diksi-diksi alam sebagai symbol ritual atau metafora seperti contoh dalam buku kumpulan puisi saya Aku Mengunyah Cahaya Bulan pada sajak berjudul Dalam Kemarau; //Demi hujan langit menjaring awan yang/digiring angina sambil mengat bumi/. Sajak itu sesungguhnya ingin saya katakana bahwa Tuhan selalu mencintai umatnya dan alam seisinya. Tetapi kenapa kita sebagai umat Tuhan tidak saling menghormati, mengasihi sesama maupun alam itu sendiri. Lewat sajak itu saya sedang berusaha mengolah jiwa ditataran spiritual dan mencoba untuk membumikan Tuhan dalam kehidupan lewat puisi. Mungkin inilah yang ditangkap oleh pembaca puisi-puisi saya digolongkan ke dalam puisi sufistik.
Pendapat anda tentang perkembangan puisi dewasa ini bagaimana?
Secara keindahan dalam arti bahasa memang estetikanya cukup tinggi. Tetapi apakah puisi itu hanya mengejar keindahan di dalam kebahasaan semata? Sebab menurut pengertian atau pemahaman saya, karya seni seperti puisi disamping indah mesti mengandung makna (*)



Tidak ada komentar: