Senin, 13 Juli 2009

TANPA di-VCD-kan PEMENTASAN SENI KAYA PEMENTASAN ORGAN TUNGGAL


Penyair Nurochman Sudibyo YS
Tanpa Di-VCD-kan Pementasan Seni
Ibarat Pementasan ‘Organ Tunggal’

BACA
puisi atau pementasan seni di panggung pertunjukan, tak ubahnya seperti pementasan organ tunggal karena tak membekas dan cepat berlalu. Demikian Penyair Indramayu Nurochman Sudibyo YS mengungkapan hal itu ketika Sabtu (11/7) malam mampir di Tegal. Dia menyampaikan hal itu, mengingat bahwa pembacaan puisi atau pementasan seni sastra lainnya sudah saatnya tak hanya berbangga-bangga di pentas seni.
“Tanpa di-CD-kan atau VCD, pementasan seni ibarat pementasan organ tunggal. Mangkanya, sudah saatnya para seniman tak hanya bangga atau berpuas hati melakukan pementasan, karena setelah itu ternyata tidak ada apa-apanya. Tapi untuk ini pun, musti diedarkan pada masyarakat,” kata penyair yang lahir di Tegal 24 Januari 1963.
Bagi Nurochman yang juga kesohor dengan nama Ki Tapa Kelana, untuk saat ini dirinya tak sekadar menulis atau berakting dalam even baca puisi, namun dalam era industri kreatif dewasa ini, para penyair sudah saatnya memanfaatkan tehnologi digital untuk memproduksi karyanya dalam bentuk CD atau VCD.
Menyadari cepatnya perubahan semacam itu, Nurochman tak tanggung-tanggung memulai melangkah membuat VCD pembacaan Gurit Dermayon bertajuk “Bahtera Nuh” seperti yang tertera dalam sampul dengan sub judul ‘Habis Gelap Terbenamlah Terang’. Langkah ini, menurut dia dipandang punya banyak arti. Selain sebagai prasasti kepenyairannya bagi anak cucu, juga merupakan bentuk promosi efektif dalam mengembangkan karya puisi yang dia tulis dalam Bahasa Dermayon agar lebih meluas dinikmati masyarakat pecinta seni.
“Dengan baca sajak lewat VCD, setidaknya upaya memperluas pengenalan penyair pada masyarakat jadi semakin melebar. Dan bentuk pembacaan lewat CD atau VCD itu semacam prasasti di atas batu yang musti dilakukan. Lebih praktis dan mudah diapresiasi oleh siapapun wabil khusus anak cucu, dimana mereka mau memutar VCD itu dengan sesuka hati. Sementara keuntungan lain yang kita dapat adalah proses regenerasi seniman bisa tercipta,” katanya.
Dia juga menekankan, lewat VCD upaya mendekat pada masyarakat bisa lebih simpel dan satu-satunya jalan memanfaatkan dunia industri. Hal ini menurutnya, kalau saja mereka tidak ingin dilibas oleh keganasan industri yang serba praktis. “Pementasan memang perlu, tapi kalau hanya mandek di situ, ya tak ubahnya seperti pementasan organ tunggal. Tidak ada apa-apanya!” tandasnya.
Menurut dia, pada awal pembuatan VCD Gurit Dermayon “Bahtera Nuh”, dia cetak sebanyak 500 keping. Jumlah itu ternyata laku keras tidak hanya di daerah Indramayu, tapi Cirebon, Surakarta, dan dimana Nurochman melakukan pembacaan, VCD yang dia buat dengan biaya sendiri itu diserbu konsumen. “Sekarang sedang cetak 500 keping lagi,” katanya.
Ia mengaku, tak menyangka upayanya itu ternyata mendapat sambutan yang cukup menggembirakan. Dan bagaimana dia kemudian mempopularkan sajak-sajak b erbahasa Indramayunan, secara terus terang Nurochman ingin mengangkat Bahasa Dermayonan ke dataran yang lebih bergengsi seperti para seniman Tegal yang sudah lebih dulu eksis dengan Puisi Tegalannya.
“Saya merasa kepenyairan saya dibangkitkan oleh para seniman Tegal yang tidak malu menggunakan Bahasa Tegalan saat membuat dan mengekspresikan lewat puisi Tegalan,”
Dia bahkan salut dengan eksisnya puisi Tegalan yang banyak dicipta. Tidak saja para senimannya yang mempromosikan Sajak Tegalan, melainkan walikota dan bupati serta anggota dewan, dan pejabat laiinya tidak sungkan-sungkan membawakan Puisi Tegalan.
“Saya iri dengan Tegal dan belajar banyak pada mereka,” aku Nurochman mengakhiri obrolan dengan harian Nirmala Post (LS)

Tidak ada komentar: