Senin, 13 Juli 2009

SANG KIAI A. AZIZ FADIL MAHIR BACA PUISI


KH Aziz Fadil

Sang Kiai yang Juga Mahir Baca Puisi
Oleh Lanang Setiawan dan Hamidin Krazan

TAK lagi muda, namun KH. A. Aziz Fadil masih tetap memiliki semangat menulis puisi seperti kumpulan puisinya berjudul Baja Membara. Kiai dari Desa Kajen Talang yang lahir di Tebuireng, Jombang, Robiul Awal 1358 H atau 1 Mei 1938 M itu, sepertinya tak mau berpangku tangan. Di usianya yang sudah merangkak 71 tahun lebih dua bulan ini, tak mampu menghentikan kegiatannya sebagai seorang penulis, dan pembaca puisi yang masih tangguh. Bukan cuma itu, tapi diusia senjanya itu dia tetap eksis menyelenggarakan kegiatan Lomba Baca Puisi ‘Baja Membara’. Tidak tanggung-tanggung, beberapa waktu lalu lomba tersebut sudah berjalan hingga 9 kali.
“Saya ingin menyemarakan khazanah sastra nasional lewat lomba baca puisi Baja Membara,” tutur Aziz Fadil, saat memberi alasan tentang kegigihannya menyelenggarakan kegiatan lomba baca puisi yang dilaksanakan 2 tahun atau maksimal 3 tahun sekali.
Kegigihan Pak Kiai ini memang tidak sekonyong-konyong melaju begitu saja. Namun perjalanan menjadi seorang penyair dan penggerak sastra, sudah dia tekuni sejak masih berusia muda. Diakuinya, kegemarannya menulis puisi sejak dia nyantri di Pondok Gontor dan dilanjutkan dalam pengembarannya di daerah Jawa Timur, juga di seluruh Pulau Jawa bagian utara. “Dunia kepenyairan saya bahkan lebih mematangkan watak dan jiwa saya adalah saat-saat menghadapi tragedi pengkhianatan G30S/PKI,” katanya.
Katanya, pada waktu itu, ia mendirikan ISC (Islamic Study Club ) dan aktif dalam Gerakan Pemuda Ansor Cabang Tegal, serta merintis dan memimpin Drum Band Ansor, sehingga judul demi judul puisinya lahir hingga tak terhitung.
“Pada saat itu banyak lahir karya puisi saya, namun banyak juga yang terserak dan tercecer, tidak diketahui rimbanya,” katanya.
Pada bulan Mei 1987, katanya lebih lanjut, baru ada usaha penerbitan antologi puisinya yang diberi judul Baja Membara sebagai hadiah ulang tahun ke-49. “Sekarang antologi puisi Baja Membara sudah tiga kali naik cetak,” katanya.
Dan dengan berbekal itulah, Aziz Fadil pun mulai menggelar lomba baca puisi. Sebuah keberanian yang patut diacungi jempol karena materi lomba baca puisi diangkat dari karyanya. Sungguh, sebuah langkah berani yang tak pernah dilakukan oleh para seniman yang bercokol di wilayah Tegal. Keberanian itu terus dia setiai hingga pelaksanaan lomba baca puisi Baja Membara sudah 9 kali.
Aziz Fadil bertutur, kegigihannya memperjuangkan baca puisi sebetulnya tidak saja ingin
menyemarakan khazanah sastra nasional belaka, melainkan memberi ruang kebebasan pada para penyair untuk berekspresi.
“Taman Ismail Marzuki itu cukup jauh dari Tegal, keberadaannya di Jakarta. Kenapa harus jauh-jauh ke Jakarta hanya untuk lomba baca puisi?” demikian dia berpikir ketika dirinya ingin memberi ruang kebebasan pada para pembaca puisi. Makanya, dengan pemikiran yang jitu itu, dia pun mencoba menempatkan Taman Penawaja untuk ajang adu kebolehan para remaja dalam lomba baca puisi.
Kiprah ke sana, akhirnya pun dia buka, bertepatan menyambut Haris Sumpah Pemuda dan Bulan Bahasa pada bulan Oktober 1987. Dan ternyata usahanya itu berhasil. Kemudian Lomba Baca Puisi Baja Membara berlanjut untuk kedua kalinya pada tahun 1989, dilanjut lagi pada bulan Oktober 1991 hingga sekarang lomba tersebut sudah menginjak 9 kali.
Kegairahan Aziz Fadil pada dunia sastra ternyata tidak hanya terbatas pada penulisan puisi, namun beberapa naskah drama dia lahirkan. Hanya saja, menurut pengakuannya, kumpulan drama yang dia tulis terserak dan tercecer. “Tak sehelai naskah pun yang masih ada,” akunya.
Meski demikian, di tahun 60-an, naskah drama karya A. Azmof (KH.A. Aziz bin Haji Mohammad Fadil) yang dia sutradarai, mampu menyedot banyak pengunjung setiap kali tampil dari lereng Gunung Slamet sampai daerah Pesisir Tegal.
Pada usianya yang sudah senja ini, Aziz mengaku bahwa menulis puisi itu tidak harus ngoyo. Baginya, sebuah proses penciptaan puisi butuh pengendapan dan perenungan. “Saya tidak ngoyo mencipta puisi sehingga tidak jadi beban. Satu hal lagi, karya puisi itu bukan produk dari sebuah pabrik,” tandasnya.
Seperti juga menulis puisi, saat dia tampil baca puisi tak mau sembarang di setiap acara. Baginya saat dia tampil bukan karena nafsu, melainkan menuruti bagaimana gerak hatinya, dan itu pun khusus pada momen-momen tertentu saja. Satu contoh di acara lomba baca puisi Baja Membara IX, dan pada acara penting lainnya seperti saat Deklarasi Lembaga Swadaya Peduli Pendidikan Indonesia (LSPPI) di Slawi. “Yang menggerakan saya menulis puisi dan membaca puisi adalah Pengeran dan panggilan hati,” pungkasnya (*)

Kisah Menuai Jawaban dari Sang Jenderal
Oleh Hamidin Krazan dan Lanang Setiawan

BUKU yang ditulis KH A Aziz Fadil ini menceritakan tentang berbagai situasi kondisi terkini secara blak-blakan. Seperti pada cetakan kedua dibahas persoalan krusial yang dihadapi masyarakat, seperti tentang kasus lumpur Lapindo, Tsunami bahkan tentang presiden Amerika George Bush. Lantas bagaimana latar belakang terkait dengan situasi genting yang terjadi pada masa antara tahun 1960-1965, di mana bangsa Indonesia tengah di bawah ancaman kekuasaan PKI. Tak terkecuali nasib makalah yang menjadi cikal bakal buku tersebut nyaris dimusnahkan.
Dikisahkan, A Aziz semasa muda aktif di Gerakan Pemuda Anshor. Ia sering diundang di beberapa tempat untuk mengisi ceramah. Pada suatu ketika sepulang mengikuti kegiatan di Karang Ampel, ia dapatkan sepucuk surat dari kakaknya yang dinas di Kodim Bojonegoro. Isi surat itu, kakaknya meminta agar A. Aziz segera datang ke asrama Kodim Bojonegoro untuk melatih drumband.
Dirinya bersedia ke Bojonegoro, tetapi tidak untuk melatih drumband, melainkan sekedar ingin refreshing di sana. Selama beberapa hari di Asrama Kodim A Aziz memanfaatkan waktu untuk menulis ide-ide pemikiran keislaman ke dalam sebuah makalah. Kelak makalah ini menjadi buku berjudul Islam Menuju Dunia yang Diridhoi Tuhan.
Sepulang dari Bojonegoro, A Aziz di rumahnya ada acara pertemuan IPNU. Adiknya menunjuk A Aziz agar memberikan sambutan untuk mewakili keluarga. Isi sambutan itu tidak lain mengenai isi makalah yang masih hangat karena baru beberapa hari ia tuangkan dalam makalah yang ditulis selama di Bojonegoro itu.
Setelah kegiatan berakhir, tiba-tiba ada seorang tetangga bernama M Yusuf yang meberikan warning atas isi ceramahnya. M Yusuf karyawan di bagian penerangan Kecamatan Talang. Dia mengingatkan agar A Aziz dalam ceramahnya jangan lagi mengungkit-ungkit tentang ideologi Nasakom.
Menurut M Yusuf, ideologi Nasakom pada saat itu ibarat setali tiga uang. Jika dalam dada seorang dibelah, maka di dalamnya terdapat tiga unsure Agama, Nasional dan Komunis yang tak bisa dipisahkan.
Sejak mendengar peringatan itu, A Aziz merasa gelisah dan pikiran menjadi galau. Sebab apa yang menjadi buah pikirnya, ternyata dianggap bisa mengancam stabilitas kehidupan berbangsa pada saat itu. Sehingga dirinya memutuskan untuk membakar makalah hasil karya tulisnya itu.
Ketika hampir sudah menyalakan korek, tiba-tiba muncul satu pertanyaan: Apakah di jaman Bung Karno ini ada perang dan pergolakan apa tidak? Jika ada perang berarti isi makalah yang ia tulis benar. Alias tidak boleh dibakar. Sebaliknya jika pada masa Bung Karno ternyata tidak terjadi perang dan pergolakan, berarti isi makalah yang telah ditulisnya tidak benar. Artinya boleh dimusnahkan.
Lantas dari mana agar bisa mengetahui jawaban persoalan itu? Tanya kepada siapa? Tetangga atau kiaipun tentu tidak tepat sebagai sumber mencari jawaban. Akhirnya terpikir bahwa dirinya ingin menemui Jenderal A Yani di Jakarta.
Setelah terkumpul ongkos, A Aziz siap berangkat ke Jakarta pada tanggal 26 September 1965. Selain agenda untuk bertemu dengan Pak Yani, sebenarnya ada dua agenda organisasi yang diembannya. Pertama ia ditelpon pengurus Muslimat NU agar ke Jakarta untuk mengundang Ibu Wahid Hasyim agar berceramah dalam acara Rajaban di Tegal. Agenda kedua ada manat dari IPNU untuk memintakan dokumentasi foto karyawan Duta Masyarakat. Agenda ketiga barulah bersifat pribadi, terkait dengan kegelisahan A Aziz sebagai ahli tafakur, maksudnya untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu. Jawaban itu manjadi kata kunci: Apakah makalah yang telah ditulisnya pantas dibakar atau harus tetap dilestarikan menjadi buku.
Ternyata setelah di Jakarta selama dua hari, antara Kamis-Jumat ia menunaikan tugas organisasi, situasi Ibu Kota dalam keadaan genting. Namun A Aziz dengan lugu menjalani tugasnya tanpa mengetahui apa yang tengah terjadi di tingkat elite politik. kemudian pada hari Sabtu, berniat ingin menemui Jendral A Yani. Namun keinginan itu kandas. Karena pada keesokan harinya, A Aziz ketika di Tanjung Priok mendengar berita dari RRI jam 05.00 WIB yang mengabarkan: Tujuh putera terbaik Indonesia telah diculik orang-orang yang tidak ebrtanggung jawab. Harap dikembalikan dalam keadaan hidup atau mati. Tertanda Kolo. Soeharto. Sedangkan Bung Karno dalam keadaan baik.
“Ternyata salah satu dari jenderal itu adalah Pak Yani. Dan saya tidak sampai bertemu beliau. Memang jawaban secara lisan tidak saya dapatkan, namun peristiwa yang terjadi pada 30 September 1965 itu justru sebagai ajwaban kongkrit,” tandasnya (*)

Biodata:
Nama : KH. A.Aziz Fadil
Tempat Tanggal Lahir : Tebuirieng Jombang 1 Mei 1936
Istri : Hj. Aliyah Aziz
Anak : Abdul Basit SAg
Lili Nurlaely SAg
Firdaus, SE
Intan Zulaekha S.Sos
Arif Rahchman (kuliah)
Agama : Islam
Alamat : Desa Kajen, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal

Oraganisasi :
1. Mendirikan ISC (Islamic Study Club)
2. Aktif di Gerakan Pemuda Ansor Cabang Tegal
3. Merintis dan memimpin Drum Band Ansor
4. Mendirikan Taman Penawaja (Taman Pendidikan Ahlussunnah wal-Jama’ah)
5. Ketua Cabang Maarif NU Kabupaten Tegal, Oktober 1987


Karya:
Antologoi Puisi Baja Membara
Teologi Islam
Islam Menuju Dunia Yang Diridloi Tuhan
Sejarah Islam jilid I II, dan III
Kumpulan Khutbah Jumat, Iedul Fitri dan Iedul Adha
Doa Keluarga Besar Penawaja
Tajwidul Quran
Sejarah Haji di Baitullah
Himpunan Doa Ibadah Haji


Motto : Hidup Bermanfaat



Tidak ada komentar: