Jumat, 17 Juli 2009

BEGAWAN PANTUN TEGALAN TAMBARI GUSTAM

Begawan Pantun Tegalan - Tambari Gustam
Seribu Jalan Cara Melestarikan Sastra Tegalan

MELESTARIKAN sastra lisan Tegalan tidak cukup hanya dibukukan dan dibacakan saja. Sebagaimana yang dilakukan para seniman Tegal selama ini. Salah satunya sebagaimana yang dilakukan Begawan Tegal, Lanang Setiawan dengan buku, syair lagu dan kamus berbahasa tegalannya. Namun masih banyak cara dan peluang untuk turut serta mempopulerkan dan melestarikan sastra lisan tegalan sebagai bagian dari budaya Tegal. Hal itu dikatakan penulis buku Pantun Warteg, H Tambari Gustam kepada harian Niramala Post, Rabu (15/7).
“Salah satu pemasyarakatan bermacam bentuk warisan budaya tegalan itu bisa melalui media T Shirt, seperti kutipan idiom, wangsalan atau petikan kata berhikmah dengan tegalan pada kaos yang dipakai seseorang, itu relatif dapat dibaca banyak orang sehingga orang lain tertarik,” ujar H Tambari yang kesohor dengan sebutan Begawan Pantun Tegalan menyontohkan.
Lantaran itu, H Tambari semakin semangat untuk mewujudkan ide yang terinspirasi oleh sejumlah kiat serupa yang dilakukan seperti Joger di Bali, Dagadu di Jogyakarta atau Dadung di Bandung. Melalui studio Tambari T Shirt, melalui disain seorang sarjana Seni rupa, Slamet Riyadi, kini tengah diproduksi kaos dengan berbagai cetakan yang isinya kosa sastra lisan kata tegalan yang penuh pesan. Dicontohkan, kata seperti Blakasuta, Mblampakempus, Mlekesunu, Pakrakora dan lain sebagainya itu sebagai idiom yang nyaris punah dan tidak terdapat di daerah lain.
“Bahasa Tegal sebagai khasanah budaya lokal jenius dan lokal wisdom yang perlu dilestarikan sebagai bagian dari keutuhan NKRI,” tandasnya. Melalui kiat yang prospektif satu ini diharapkan juga seni budaya lokal kembali dipopulerkan dan bisa lestari.
Dijelaskan, sekarang jaman sudah berbalik 180 derajat. Dimana orang yang menghujat orang lain kadang malah dianggap hebat, begitu juga orang yang membuka aib orang lain seringkali dianggap pahlawan.

“Sekiranya tepat jika kini saatnya kita mengkritisi persoalan yang ada di sekitar dengan bahasa yang santun, seperti menggunakan sastra lisan lokal yang syarat pesan,” pungkasnya (Hamidin Krazan)

Tidak ada komentar: