Selasa, 28 April 2009

Di TBS PENAMPILAN PENYAIR TEGAL LUAR BIASA


Temu Penyair 5 Kota di TBS
Penampilan Apito Lahire Berkelas


APITO Lahire semakin matang sebagai penyair dan monologer. Penampilan Apito dalam Perhelatan Temu Penyair 5 Kota Jateng, di Taman Budaya Surakarta (TBS), Selasa (28/4) malam, luar biasa dan berkelas.Mantan Kepala TBS Jawa Tengah, KRT. Murtijono mengutarakan hal itu seperti dituturkan penyair Abu Ma’mur MF yang juga terlibat dalam perhelatan tersebut. Menurut Kanjeng Raden Tumenggung itu, penyair Apito Lahire mampu menggabungkan antara tehnik-tehnik pembacaan puisi dan monolog.
“Saya sering mendengar nama Apito Lahire, tapi baru kali ini saya melihat langsung penampilannya luar biasa. Apito menjadi penyair yang berkelas, mampu menggabungkan gaya penampilan antara pembacaan puisi dan monolog,” katanya serius.
Pada acara tersebut, Apito tampil urutan ke 14 dari 14 penyair. Ia membawakan dua buah puisi; Ronggeng Roh dan Tangan Angin. Dengan baju dan celana hitam-hitam, Apito berputar mengelilingi panggung berenergi penuh, vokal mantap, dan tempo yang kuat. Mulutnya mendesis dan berdengung-dengung menciptakan sebuah musik di antara sela, awal dan akhir bait pada pembacaan puisi Ronggeng Roh. Sebuah perjalanan roh manusia dalam mencapai kejejatian. //Tanpa apa kau pun bisa berbisa/tanpa susuk kejantanan bisa setangguh banteng rimba/tak perlu mak erot/sebab mak erot telah musnahkan ilmunya…//.
Menyaksikan Apito berpuisi, penonton di Teater Arena TBS tercekam. Mereka menyimak dan melototi sang penyair beraksi. Tehnik suara Apito meneror dan pencapaian penghayatan pembacaan sangat kokoh hingga mampu menyedot mata penonton tak sanggup berkedip. Mereka seperti disihir dengan deru gema bunyi mulut magis dari suara-suara purba di rimba-rimba yang dia ciptakan. Malam itu Apito beraksi total seperti pelaku kuda lumping yang sedang trance. Hal yang sama juga ketika dia membawakan sajak Tangan Angin. Sebuah perjalanan pedih ketika seorang manusia terlunta-lunta memburu kesejatian manusia yang belum sampai pada tataran kepasrahan terhadap Sang Illahi;//Dahan cinta yang bergeser itu/aku/tangan angin//Aku sudah menulis isyarat di langit/manusia akan melambung tanpa sayap kecuali yang mengisi jantungnya dengan marifat//.
Selain Apito, tujuh penyair Tegal lainnya Abu Ma’mur MF yang tampil pada awal pertunjukkan. Kemudian diacak penyair-penyair dari Semarang, Solo, Cilacap, dan Ungaran. Tampil pada urutan ke 4, 7, 9, 11, dan 13 penyair Nana Eres, Julis Nur Hussein, Igho, Diah Setyawati, dan M. Enthieh Mudakir. Rata-rata penampilan mereka menguasai pembacaan dengan kehebohan masing-masing. Lebih lagi ketika pembacaan sajak Chesa yang dibawakan Dwi Ery Santoso dan dua sajak Persetubuah Kata-kata dan satu sajak Tegalan Kidung Sewaliké Gunung karya Diah Setyawati dibawakan oleh sang penyairnya dalam kemasan musikalisasi Komunitas Musik Asah Manah, penonton turut mengentak-hentakkan kaki karena kemasan musik yang diramu dengan irama campuran atara Jawa, blues dan orkestra.
Sungguh, sepertinya malam pementasan di Teater Arena TBS itu milik penyair Tegal. “Malam ini saya terkesan dengan penyair-penyair Tegal,” komentar Murtijono seperti yang ditirukan penyair Abu Ma’mur (LS)

Foto : APITO

1 komentar:

Ethie mengatakan...

Salam kenal, blognya keren... :)

http://cerita-kita.com