Sajak-sajak Machroni MI
Kasih
(persembahan buat hari ibu)
Dicium mesra adik dipangkuan ibu
pagi, sore, ditimang nyanyi kasih
adik senyum seperti tahu arti cinta
sama lelap mimpi – ibu cium pipi
Sekali adik Tanya di mana bapa
ibu cuma banjir air mata
adik nangis tidak mengerti
kapan adik ingin kenal bapa
cuma sampai batas airmata bunda
dan didekap dada hati sendu
lalu kenallah adik, pilu dan derita
- kasih bapa takkan ada
kejambon, des limalapan
Ciliwung
Selendang berona coklat
semampir di dada ibukota
indahnya, manisnya ciliwung
Kolam pemandian umum
tawa bocah dan perawan kota
gedebur air lupakan duka
Mandi di bibir ciliwung
tontonkan sekujur tubuh
berleret merenda selendang kota
indahnya, manisnya oi
ciliwung kala senja dan pagi
kejambon
pertngahan nov, 58
Kang Dasmad
Kang dasmad, ketika pertama
datang ke Jakarta
modalnya cuma otot tubuh yang kekar
siap menggenjot becak, dari
stasiun Senen
sampai Tanah Abang, Kebayoran
Lama, Jatinegara
sarat penumpang dari pagi hingga senja
malam hari “slonjor” menghitung
uang
setiap lembar rupiah, hasil cucuran
keringat
sepanjang hari
Kang dasmad, oi kang dasmad
anak istri bersorak-sorai
ketika pulang mudik
menyambut lebaran di kampung
berkumpul keluarga
bertumpuk kaleng susu dan roti
bertumpuk stelan pakaian baru
sebuah radio transistor
dengan dendang lagu dangdut
semarak di malam lebaran
Kang dasmad, oi kang dasmad
kenapa tubuh lunglai
ketika pulang mudik
menyambut lebaran di kampung
tak sekaleng susu maupun roti
tak lagi bawa radio atau tape
yang ada wajah cemberut dan
sendu
karena becak di Jakarta telah
digusur
tergusur pula kang dasmad pulang
kampung
Kang dasmad, oi kang dasmad
kepulanganmu tetap disambut
tak akan menggusur abang becak
dalam mengais rejeki
di kota kelahiran, Tegal Bahari
Kang dasmad, kang dasmad oi saying
kini tak lagi mikir pulang mudik
berdesak dan berhimpit di bordes
kereta api
masuk lewat jendela berebut
tempat duduk dalam bus
Kini hidup nyaman dan tentram
meski tetap menggenjot becak
di siang bolong, atau malam hari
mengangkut penumpang yang
pulang mudik
dari ibukota Jakarta
di stasiun kereta, atau di terminal
bus
Tegal, 9 Oktober 1997
(persembahan buat hari ibu)
Dicium mesra adik dipangkuan ibu
pagi, sore, ditimang nyanyi kasih
adik senyum seperti tahu arti cinta
sama lelap mimpi – ibu cium pipi
Sekali adik Tanya di mana bapa
ibu cuma banjir air mata
adik nangis tidak mengerti
kapan adik ingin kenal bapa
cuma sampai batas airmata bunda
dan didekap dada hati sendu
lalu kenallah adik, pilu dan derita
- kasih bapa takkan ada
kejambon, des limalapan
Ciliwung
Selendang berona coklat
semampir di dada ibukota
indahnya, manisnya ciliwung
Kolam pemandian umum
tawa bocah dan perawan kota
gedebur air lupakan duka
Mandi di bibir ciliwung
tontonkan sekujur tubuh
berleret merenda selendang kota
indahnya, manisnya oi
ciliwung kala senja dan pagi
kejambon
pertngahan nov, 58
Kang Dasmad
Kang dasmad, ketika pertama
datang ke Jakarta
modalnya cuma otot tubuh yang kekar
siap menggenjot becak, dari
stasiun Senen
sampai Tanah Abang, Kebayoran
Lama, Jatinegara
sarat penumpang dari pagi hingga senja
malam hari “slonjor” menghitung
uang
setiap lembar rupiah, hasil cucuran
keringat
sepanjang hari
Kang dasmad, oi kang dasmad
anak istri bersorak-sorai
ketika pulang mudik
menyambut lebaran di kampung
berkumpul keluarga
bertumpuk kaleng susu dan roti
bertumpuk stelan pakaian baru
sebuah radio transistor
dengan dendang lagu dangdut
semarak di malam lebaran
Kang dasmad, oi kang dasmad
kenapa tubuh lunglai
ketika pulang mudik
menyambut lebaran di kampung
tak sekaleng susu maupun roti
tak lagi bawa radio atau tape
yang ada wajah cemberut dan
sendu
karena becak di Jakarta telah
digusur
tergusur pula kang dasmad pulang
kampung
Kang dasmad, oi kang dasmad
kepulanganmu tetap disambut
tak akan menggusur abang becak
dalam mengais rejeki
di kota kelahiran, Tegal Bahari
Kang dasmad, kang dasmad oi saying
kini tak lagi mikir pulang mudik
berdesak dan berhimpit di bordes
kereta api
masuk lewat jendela berebut
tempat duduk dalam bus
Kini hidup nyaman dan tentram
meski tetap menggenjot becak
di siang bolong, atau malam hari
mengangkut penumpang yang
pulang mudik
dari ibukota Jakarta
di stasiun kereta, atau di terminal
bus
Tegal, 9 Oktober 1997
Sebuah Sajak
Oi
ada bulan ranum di hatimu
cahayanya jingga di kamar pengantin
terbesit jelaga di matamu
kau kunyah sampai lumat
sebuah sajak
terbaring nyaman
Oi
ada bulan bulan telur
menampar-nampar pipimu
elok di wajahmu merah jambu
kau peluk erat-erat
sebuah sajak
tergolek di ranjang pengantin
Oi
ada bulan menjelaga
di telapak tanganmu
kau tegakkan tonggak beton
sebuah sajak
telah menjadi milikmu
terbaring nyaman
di kamar pengantin
semerbak aroma
kembang melati
cinta sejati telah terpateri
tegal april 1993
Nelayan Tua
Berkacalah pada laut
seperti mentari pagi yang bersolek
menari-nari di atas perahu sopek
mengayuh dayung, menebar jala
tak p ernah merenung di ujung sepi
karena berharap sekaleng susu dan sepotong roti
tetapi menanti tuk menanak nasi
Berkacalah pada laut
yang tak p ernah jemu dengan gelombang
yang menerjang setiap penghalang
menarik jala, oi dapat ikan cakalang
hari ini anak dan istri
akan dibelikan sekaleng susu dan sepotong roti
serta siap menanak nasi
Menjelang fajar di ufuk timur
nelayan tua selesai menyebut asma-Mu
anak dan istri selalu makmum
selalu mengucap syukur
mentari selalu bersinar tiap pagi
yang mandi telanjang sambil bermain gelombang
perahu sopek melaju dengan tenang
menebar jala, menebar harapan
yang selalu memuji keagungan-Mu
tegal, 08 Oktober 1977
Yu Romlah
Ketika orang lain tidur lelap
ketika orang lain menikmati mimpi indah
bang mi’un buruh kontrak penyapu jalan
meninggal karena mengidap paru-paru basah
tak mampu menebus resep obat
terbujur kaku di pembaringan
dipan reyot tanpa kasur
tak satu rupiahpun mendapat pension
cuma dapat santunan sekedar untuk penguburan
jenazah yang tinggal kulit dan tulang
Ketika angina malam menerpa wajah ayu
ketika dingin menembus sumsum
ketika embun malam menusuk paru-paru
yu romlah janda bang mi’un
tetap menyapu jalan dengan terbatuk-batuk
dari ujung perempatan sampai tikungan pertigaan
demi satu kilo gram beras
untuk menyambung hidup dan dua anaknya
Yu romlah malam ini mangkir
absen tak menyapu jalan
badannya panas membara
dadanya sesak, batuk-batuk muntah darah
seperti almarhum suaminya bang mi’un
yu romlah tak mampu berobat ke dokter
tak lagi punya duit
cuma pasrah keharibaan-Nya
menunggu waktu
siapa peduli?
Tegal, 9 Oktober 1997
MACHRONI MI lahir di Tegal 21 Desember 1938, menekuni sstra sejak tahun 1956. Pernah menjadi juara lomba cipta puisi dan prosa tingkat SMP. Tahun 1953 puisi petamanya dimuat di Koran duta Rakyat pada kolom Tunas Mekar dengan judul “Kenangan”. Kemudian di mingguan Berita Minggu tahun 1957 pda ruang Kunctjup harapan juga di ruang Putra Merdeka harian “Merdeka minggu”. Pernah dimuat di Koran “Sin Po Minggu” dan Republika Minggu. Ia dikenal sebagai wartawan senior tiga jaman. Mengabdi di harian “Sinar harapan” kemudian diteruskan ke harian “Suara Pembaharuan”, “Harian Terbit” dan pernah menjadi pengasuh di tabloid “Sembada” terbitan Tegal. Dia adalah juga salah satu pendiri lembaran Koran “Tali” taun 60-an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar