Impian Dari Pesisir
Adong wis teka waktuné enyong
nyong trima sapa baé blèh perlu
pada miul/apa maning kowen
Blèh susah nangis kebo-kamisesegen
sewaktu kuwé
Enyong kiyé kèwan liar
saka grombolané baé, kesisih
Pan-pora pèlor nembus kulité enyong
nyong tetap ngamuk mbanggel nglabrag......
BAGI yang tidak mengerti bahasa puisi di atas, niscaya akan bertanya-tanya puisi siapakah gerangan sehingga perlu dikutip di awal tulisan ini? Jawabnya, ini adalah bagian dari puisi terkenal berjudul “Aku” karya Chairil Anwar.
Masih bingung? Puisi tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Tegalan, yang sering dianggap sebagai bahasa Jawa pesisir, pinggiran, tersisih sekaligus tak diperhitungkan dalam percaturan bahasa di bumi Nusantara.
Dan justru berangkat dari “cap” seperti itulah, sejumlah penyair kota Tegal mencoba menerjemahkan 12 puisi karya para penyair terkemuka Indonesia, yaitu Chairil Anwar, Taufiq Ismail, Yudhistira ANM Massardi, WS Rendra, F. Rahardi dan Hartojo Andangdjaja. Buku berisi ke-12 puisi yang diberi judul “Roa, Kumpulan Sajak Penyair Indonesia Terjemahan Tegalan” ini diterbitkan (Juni 1994) oleh Mimbar Pengajian Seni Budaya Tegal yang dimotori antara lain Lanang Setiawan. Selain Lanang, sastrawan lainnya yang menerjemahkan puisi di buku tersebut adalah Hartono Ch Surya, Nurhidayat Poso, Nurngudiono, Roffie Dimyati, Suriali Andi Kustomo dan Yono Daryono.
Karena Chairil Anwar sudah meninggal, tak jelas apakah dia setuju puisinya “dirusak” seperti itu Kontak (sekarang berubah jadi Warta Tegal “Porem”), Nurhidayat, cara tersebut ditempuh tak lain untuk mengangkat bahasa Tegal.
Seperti juga umumnya bahasa pesisir, bahasa dari negeri poci ini dikenal luas memiliki banyak kosa kata atau istilah umpatan yang khas, keras, lucu memahami karya sastra terjemahan, terutama puisi, tidak hanya diperlukan kemampuan berbahasa, melainkan juga perlu pengetahuan kebudayaan, sejarah, agama, dan wawasan geografis.
Belum lagi soal estetika atau “aturan” dalam berpuisi. Juga, bukankah bahasa daerah –bahkan seperti bahasa Jawa (Kraton) atau Sunda sekalipun, yang bukan bahasa pesisir- saasekaligus lugu. Karena itulah, salah seorang penyair generasi baru Tegal, Suriali Andi Kustomo mengaku sering terperangah saat menyaksikan penonton teater di kotanya yang gembuyu ngakak bila di atas pentas terdengar bahasa atau logat Jawa Tegalan.
“Pengalaman itu membuat saya berkesimpulan ternyata melihat diri kita (bahasa kita) di panggung begitu asing. Kita tak pernah sadar melakukan dialog keseharian penuh umpatan khas, keras, lucu dan wagu,” tulisnya dalam pengantar buku Roa.
Bahasa Tegal berangkali memang merupakan sesuatu yang “asing” bagi para penuturnya sendiri, termasuk para sastrawan. Sebab, sebagaimana diakui Suriali, ternyata sangat sulit menemukan penulis, pengarang atau penyair di kotanya yang konsisten menggunakan bahasa Ibu mereka dalam karya-karya sastra.
Kalau demikian, untuk apakah puisi para tokoh penyair itu diterjemahkan ke dalam bahasa setempat? Bukankah penerjemahan, terutama karya sastra, selalu merupkan sesuatu yang sangat kompleks karena bukan sekedar menerjemahkan kata-kata atau kalimat, tetapi juga budaya, pikiran, dan bahkan perasaan yang sangat personal.
Estetika
Bahkan penerjemah karya sastra dari Jerman, Berthold Damshauser pernah mengatakan, untuk ini harus berjuang keras untuk pertahankan eksistensinya. Dalam Kongres Bahasa Sunda akhir tahun lalu, tokoh bahasa Sunda Wahyu Wibisana menyinggung makin sempitnya lingkup penggunaan bahasa daerahnya. Untuk saat ini, katanya, bahasa Sunda lebih banyak Dipakai sebagai alat untuk membicarakan aspek pergaulan sosial, bukan bahasa ilmiah.
Pendeknya, adakah manfaat dari usaha “nekad” kelompok Lanang ini? Atau , jangan-jangan keinginan untuk mengangkat bahasa pesisir itu sebagai impian di siang bolong? Tetapi hasil penelitian kecil-kecilan yang dilakukan Nurhidayat memperlihatkan sedikit harapan. Dalam angket yang disebarkan ke sejumlah pembaca, khususnya kalangan masyarakat bawah tentang rubrik berbahasa Tegal, Diketahui bahwa mereka sangat menyukai rubrik tersebut. Alasannya, mudah sekali untuk dicerna oleh pikiran dan (sekaligus) perasaan mereka.
“Dengan demikian, mereka punya sastranya sendiri” ujarnya, sambil menyebutkan bahwa langkah serupa juga dilakukan oleh Harian Pikiran Rakya yang menerbitkan PR edisi Cirebon (menggunakan bahasa daerah setempat, red).
Selanjutnya, salah seorang tokoh seniman Tegal, Woerjanto –yang sudah 40-an tahun mengikuti perkembangan sastra di kotanya melihat langkah Lanang sebagai tanda kepedulian yang amat tinggi terhadap nasib bahasa daerah sendiri. Dia malah menyebutnya sebagai langkah berani yang tak terkirakan dan tak terjangkau oleh pikirannya.
Memang, tahun 1970-an Woerjanto pernah menggunakan bahasa Tegal di radio untuk menjelaskan masalah pendidikan masyarakat. Tapi, sekali lagi, itu adalah bahasa lisan dengan masalah yang relatif ringan. Sebaliknya, dalam diskusi yang cukup intens di kalangan seniman setempat pun, biasanya bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia, meskipun itu adalah “diskusi warung poci”. Yang juga tak boleh dilupakan adalah kenyataan bahwa bahasa pengantar yang dipakai di sekolah setempat –seperti juga di daerah lain- adalah bahasa Indonesia. Namun, melihat mulai banyak sastrawan muda Tegal yang memiliki perhatian terhadap bahasa daerahnya, Woerjanto berharap, suatu saat bahasanya akan mampu menghadirkan ungkapan yang bernilai sastra. tentu saja diakuinya, hal itu butuh proses yang amat panjang.
Sementara itu, Suriali lebih jauh mengingatkan, puisi terjemahan dalam Roa bisa jadi sampah jika upaya itu sekedar cari efek komedikal Tegalan. Lebih-lebih jika upaya itu tak memperhitungkan nuasa dan makna puisinya. Tapi di lain pihak diakuinya bahwa “gerakan” tersebut menjadi teramat penting bagi Tegal untuk menumbuhkan “bahasa Ibu yang kalah” untuk menziarahi kembali bahasa dirinya yang tercerabut, walaupun harus melalui medium atau karya “orang lain”.
Menjadi Picu
“Puisi terjemahan ini menjadi picu sekaligus pembangkit gerakan bahasa yang tak tertuliskan. Dia menumbuhkan “nasionalisme” Tegal tanpa mengesampingkan faktor di luar dirinya” jelas Suriali.
Sementara itu, khusus untuk teater, sutradara Teater RSPD Yono Daryono merasa yakin bahwa bahasa daerahnya bisa dipakai secara maksimal. Lantas dia menyebut pementasannya di Padang beberapa waktu lalu yang banyak menggunakan bahasa Tegal.
“Karena itulah Arifin C Noor menyebutnya sebagai “teater keras kepala”, dalam arti tegar”, tuturnya. Yono melihat, bahasa Indonesia sendiri pun tidak cukup kaya sehingga bahasa daerah manapun bisa memberikan sumbangannya.
Lagi pula, “Kalau wayang golek, wayang kulit, serta pementasan Arifin dan Putu bisa dipahami penonton mancanegara yang juga banyak menggunakan bahasa Ibu atau bahasa Indonesia, mengapa tidak dengan teater RSPD?”
Sementara itu, Nurhidayat mengangkat, secara semangat dirinya setuju terhadap usaha menghidupakan bahasa Tegal. Alasannya, bahasa Indonesia tak bisa menampung semua ungkapan Tegal. Namun dia sendiri masih bertanya-tanya, apakah bahasa daerahnya bisa menampung kekayaan puisi-puisi seperti Rendra atau penyair (berbahasa) Indonesia lainnya.
Padahal, usaha terjemahan ini cuma “salah satu” dari usaha menghidupkan bahasa Tegal, antara lain lewat bidang sastra. Artinya, para sastrawan Negeri Poci ini tentu ingin agar suatu saat semakin banyak diantara mereka yang menulis dalam bahasa daerahnya.
Sebab, seperti kata Suriali, “Menulis dan membaca dengan menggunakan ungkapan dan pengucapan bahasa ibu sendiri, mungkin kikta lebih bisa menemukan diri kita meskipun kelihatan norak, lucu, wagu (aneh) dan ngisin-ngisini (memalukan) Syah Sabur
Catatan:
Dikutip dari Harian Umum SUARA PEMBAHARUAN, Rabu, 20 Juli 1994 Th VIII No 2718.
Puisi Rendra Diterjemahkan
dalam Bahasa Tegal
TEGAL, REPUBLIKA
Bagaimana kalau puisi karya penyair terkenal, dialih bahasakan ke dalam bahasa Tegal? Coba simak petikan puisi WS Rendra Nyanyian Angsa.
.............................
Malèkat sing nunggu sorga
rainé mbesengut ala pisan
kambèn nggegem pedang sing
kemerlob nggilani
nuding maring enyong nganti
enyong mengkirig panik
Maria Zaitun arané enyong
tlembuk kapiran kurang ayu radan tuwa....
Puisi aslinya yang dalam bahasa Indonesia, terasa serius dan bahkan seram, dalam bahasa Tegalan ternyata menjadi berkesan menggelikan.
Oleh Lanang Setiawan, salah satu dari sekian banyak penyair muda asal Tegal Jawa Tengah, puisi itu memang diterjemahkan ke dalam bahasa Tegal. Menurutnya, pengalihbahasaan ini dimaksudkan untuk lebih mempopulerkan puisi-puisi karya penyair besar di kalangan masyarakat Tegal.
“Tentunya di samping juga untuk menaikkan harkat dan martabat bahasa Tegal,” katanya kepada Republika minggu yang lalu.
Karya terjemahan puisi-puisi dalam bahasa Tegal ini, awal Juli lalu diluncurkan oleh sekelompol penyair muda Tegal yang menamkan dirinya Mimbar Pengajian Seni Budaya Tegal. Dalam buku tipis berjudul “ROA’ yang hanya setebal 25 halaman ini, puisi-puisi karya Taufif Ismail, Chairil Anwar, Yudhistira ANM Marssadi,WS Rendra. F . Rahardi, dan Hartojo Andandjaya, diterjemahkan ke dalam bahasa Tegal. Hal ini dilakukan oleh beberapa penyair muda Tegal misalnya Lanang Setiawan, Hartono Ch Surya, Nurhidayat Poso, Nurngudiono, Suriali Andi Kustomo dan pengasuh Teater RSPD Yono Daryono.
Bahasa Tegal memang terkenal sebagai bahasa yang dianggap pinggiran, yang oleh orang luar kadang-kadang dianggap konyol dan norak.
Terbukti, beberapa pelawak yang sering menyampaikan ungkakpan dalam bahasa Tegal, hanya untuk memancing tawa pemirsanya. Bahasa Tegal dapat disebut cermin sikap masyarakatnya yang hampir mirip dengan warga Banyumas bertemperamen kasar, lugas, dan polos. Kesan itu dapat kita tangkap jika memperhatikan percakapan di warteg.
Seorang pengamat kesenian Tegal yang sudah bergelut dengan kesenian Tegal puluhan tahun Woerjanto, menilai langkah para seniman muda ini patut dihargai. Langkah yang dianggapnya cukup berani itu, merupakan kegiatan berkarya yang layak dikembangkan. “Dari langkah awal ini, diharapkan akan lahir karya-karya asli puisi Tegalan yang mampu memberi arti positif bagi tanah kelahirannya.” katanya Wid
Catatan: Dikutip dari Harian Umum REPUBLIKA, Minggu 7 Agustus 1994, halaman I.
Bahasa Tegal pun Mampu Menghujat
Rayat kuwé enyong kowen kabèh
pirang-pirang juta sing kedebugan
nyambut gawé
neng dunya neng panggonan sing
disenengi
pirang-pirang juta nggoyang tangan
bareng
mbabad alas-alas alang-alang dadi
kebon-kebon
sing ngembang........
DIALEK Tegal sebagai bahasa ungkap, memang sesuatu yang sangat langka. Lebih-lebih dijadikan wahana untuk menyampaikan bahasa terjemahan dalam jagad perpuisian, itu sangat tak terbayangkan. Sebab Bahasa Tegalan yang kerapkali dicap sebagai Bahasa Jawa pesisiran, nyleneh dan barangkali tersisih dari khasanah kesusastraan Indonesia, cuma dijadikan sebagai bahan guyonan. Akan tetapi inilah kenyataan bahwa ditangan para seniman Tegal, bahasa “ibu”-nya justru dijadikan bahasa ungkap untuk menterjemahkan beberapa puisi milih penyair Indonesia yang sudah kita kenal. Itu bisa kita lihatdari cuplikan terjemahan puisi “Rakyat” karya Hartojo Andangdjaja yang diterjemahkan Yono Daryono dengan judul “Rakyat”.
Langkah pertama penerjemahan Tegalan ini ketika Lanang Setiawan memulai menerjemahkan puisi karya Chairil Anwar berjudul “Aku” jadi “Enyong”, “Doa” jadi “Donga”, dan “Nyanyian Angsa” karya Rendra jadi “Tembangan Banyak” di dalam Lembaran Tegal “Kontak” yang dimotori SL. Gaharu, Hartono Ch Surya dan Lanang Setiawan.
Lebih dari sekadar sebagai bahasa ungkap, keinginan para seniman Tegal dan terutama Lanang Setiawan selaku pelopor terjemahan, yaitu agar bahasa Tegalan tidak selalu dilecehkan sebagaimana yang dilakukan beberapa “oknum” pelawak di tive-tive. Sebab sesungguhnya Bahasa Tegalan bukanlah sebagai bahasa komedikal, melainkan mampu juga untuk mengungkapkan segala perasaan. Kecuali itu, upaya terjemahan puisi kedalam Bahasa Tegalan dikandung maksud agar masyarakat Tegal bisa memahami puisi-puisi Chairil Anwar, Rendra dan lainnya. Dengan demikian masyarakat memiliki sastranya sendiri sebagaimana yang telah pernah dilakukan oleh masyarakat Sunda.
Barangkali dari situ, tanggal 28 Juli lalu di Teater Arena Taman Budaya Surakarta (TBS), sederet sajak-sajak terjemahan yang terkumpul dalam buku berjudul “ROA, Kumpulan Sajak Penyair Indonesia Terjemahan Tegalan” terbitan Mimbar Pengajian Seni Budaya Tegal (MPSBT) Juli 1994, digelar sebagai fenomena baru bagi masyarakat Surakarta. Sajak-sajak yang dibacakan meliputi: “Tembangan Banyak” terjemahan Lanang Setiawan dari puisi “Nyanyian Angsa” karya Rendra, “Balèkna Indonesia Mènèh” terjemahan Hartono Ch Surya dari puisi “Kembalikan Indonesia Padaku” karya Taufiq Ismail, “Rakyat” karya Hartojo Andangdjaja terjemahan Yono Daryono, “Rick sing Corona” terjemahan Roffie Dimyati dari sajak “Rick Dari Corona” karya Rendra, dan sajak “Sajak Wong Tuwa Tikruk-tikruk Soal Bandung Segara Geni”
terjemahan Nurngudiono dari sajak “Seorang Tua Tentang Bandung Lautan Api” karya Rendra dan beberapa sajak F. Rahardi terjemahan Nurhidayat Poso.
Kecuali pembacaan puisi tersebut, menampilkan juga seorang monolog Abidin Abror membawakan karya Ida S berjudul “Abab”, bercerita tentang tukang jual obat yang pada akhirnya mampus karena terjerat kata-katanya sendiri.
Sepanjang pementasan satu setengah jam, rata-rata penampil cukup mampu memberikan suasana penekanan-penekanan pada karakter puisi yang mereka bawakan. Artinya ketika kandungan isipuisi itu harus disajikan dengan serius, merekapun sanggup mengungkapkan dengan sebaik mungkin. Hal ini dapat dilihat ketika Nurngudiono membawakan “Sajak Wong Tuwa Tikruk-tikruk Soal Bandung Segara Geni”, Ridwan Rumaeni membacakan puisi “Balèkna Indonesia Mènèh” dan pula ketika Bramanti S Riyadi membacakan “Tembangan Banyak” suasana serius, kenestapaan, dan getaran-getaran yang terasa menciptakan kesenyapan dalam kegetiran karakter tokoh Maria Zaitun dalam puisi tersebut. Atau ketika Dhenok harti yang berpasangan dengan M. Enthieh Mudakir membawakan “Rick Sing Corona”, suasana guyon, ganjen, nyleneh, sesekali ungkapan jorok dan wagu yang dibutuhkan pada kandungan puisi itu, pengunjung dibuatnya terpingkal-pingkal. Begitu pula ketika Abidin Abror menyuguhkan monolog “Abab”, suasana yang sama sangat terjaga mewarnai malam pertunjukan.
Pada akhirnya, Bahasa Tegalan itu tidak selamanya cuma sekadar dijadikan bahan lawakan, tapi Bahasa Tegalan cukup mampu menempatkan dimana situasi yang ada dan pada kondisi yang bagaimana. Bahasa Tegalan pendekata pleksibel.
Majikan umah tlembukan
ngomong kambèn dèwèké:
“Wis rong minggu kowen mung
bisané ngatang-ngatang
tur larané tambah ndadi-dadi
ora ngasilna pisan
malah kowen karo aku utangé njeblug
kiyé nggawé mlarat tok
ngentong-ngentongna beras bibit
aku ora sanggup
saiki raimu lunga, mèrad kana”
............................
Adakah ungkapan yang ada dalam sajak terjemahan “Tembangan Banyak” di atas berkesan guyon? Sama sekali tak ada kesan bermain-main. Kalau toh pendengar atau pemerhati sastra merasa uangkapan itu memancing ketawa, barangkali
mereka itu belumlah mengerti Bahasa Tegalan. Ungkapan tersebut sebenarnya hanya begitu polos, lepas dan sedikit kurangajar. Dan justru dari sinilah uniknya Bahasa Tegalan yang sangat jarang kita jumpai pada dialek daerah lokal yang lain. Tapi yang terpenting, bukan masalah bahasanya yang harus kita ributkan, melainkan bahwa wong Tegal telah melangkah dengan berani dan memberikan sebuah fenomena di dalam khasanah kesustraaan nasional Roro Endang Sukmawati
Catatan:
Dikutip dari Harian Umum PELITA, Minggu 18 September 1994/12 Rabiul Akhir 1415 H.
“Pentas Sastra Tegalan” di Indramayu
Kegelisahan Sosial Dalam Warna Lokal
RENDRA berdiri di tengah-tengah saung, belakang Pendopo Pemda Indramayu. Sorot lampu hanya tertuju kepadanya dalam cahaya merah, kuning, dan jingga. Selebihnya hitam dan hitam. Dan kebeningan malam bertambah oleh gemericik air yang mengucur dari cadas taman. Tiba-tiba suara tandas meluncur dari bibirnya. Meluncur dan mengalir, menerjang dan menggelegar!
.......................
Jam duabelas siang hari
matahari terik di bawah langit
tak ada angin, tak ada mega
Maria Zaitun keluar dari rumah pelacuran
tanpa koper
tak ada lagi miliknya
teman-temannya membuang muka
sempoyongan ia berjalan
badanya demam
sipilis membakar tubuhnya
penuh borok diklangkangan
di leher, di ketiak dan di susunya.....
Puisi di atas sebuah penggalan dari sajak Rendra berjudul “Nyanyian Angsa”. Tapi ditangan Lanang Setiawan menjadi :
..................
Jam rolas awan
srengèngèné panas ngentak-entak
laka angin laka awan
Maria Zaitun ngloyor nggendong pejaratan
metu sing umah tlembukan
Kanca-kancané nglengos pada ngina
gentoyoran dèwèké ngglandang
nyangga awaké sing lagi lara
kena rajasinga sing ora mung
nang plakangan tapiné ana
nang gulu ana nang kèlèk
lan ana nang susuné.....
Lewat puisi “Nyanyian Angsa” Rendra seolah menjungkirkan sikap yang digenggam kelompok masyarakat tertentu, yang dipandang terhormat. Dan Rendra ternyata tidaklah mengada-ada. Lewat matanya yang jeli ia memotret kondisi sosial sekitaranya, yang ternyata telah demikian jauh dari rasa “kemanusiaan”.
Balada seorang pelacur yang sudah uzur, renta dan penyakitan, yang tentu saja terjerumus sekian “dosa” dengan kental diungkap Rendra. Ironinya, Maria Zaitun (nama pelacur itu) telah tersingkir dari kelompoknya. Apalagi di luar komunitasnya. Masyarakat tak menerimanya, dokter menyingkirkannya, bahkan Pastor pun menjauhinya.
.........................
“Kowen pan perlu apa?”
mbak sripit, mambu inungan anggur
saka cangkemé
slèmpangé saka kulit baya
Maria Zaitun njawab:
“Pan ngaku dosa”
“Kiyé dudu jam ngomong
kiyé waktuné aku dedonga”
“Enyong pan mati”
“Kowen lara?”
“Yaul, enyong penyakiten
kena rajasinga”
Krungu sing kaya kuwé
pastor mundur rong langkah
rainé mengkered
akhiré rada kèder, dèwèké nyrocos maning:
“Apa kowen - mm – bocah nakal?”
“Dudu. Enyong tlembuk, ya”
...........................................
Akan tetapi di malam panjang itu (28/1) ternyata Rendra tidaklah tampil seutuhnya. Raganya terwakili dan menitis dalam diri aktris Teater Puber, Dhenock Harti. Dan puisinya pun telah berganti wujud dalam bahasa Jawa “Tegalan” yang berjudul “Tembangan Banyak” yang diterjemahkan Lanang Setiawan.
Gugatan Rendra yang diproses oleh Dhenok dan Lanang ternyata mampu menyedot perhatian apresiator. Apalagi Dhenock memperlengkapi dirinya dengan pernik-pernik yang terasa pas banget: celana ketat, baju you can see, make up dan gincu yang mencolok, sebatang rokok. Gambaran fisik ini makin dipertegas dengan puisi yang diterjemahkan, yang dalam Bahasa Tegalan terdengar cukup vulgar.
Kata tlembuk (pelacur), nyipoki (mencium), wuda (telanjang) diterjemahkan dan diucapkan tanpa tedeng aling-aling. Menggema, sangat menggema, di malam bening belakang pendopo. Tak pelak spontanitas publik pun bersahut dengan bersuit-suit hingga nyenggaki.
Impresi yang demikian kuat dalam puisi bisa jadi telah lama menggendap dalam area tertentu. Bahkan mungkin telah menjadi kegelisahan-kegelisahan yang bertumpang-tindih dengan persoalan-persoalan baru, yang pada tahap berikutnya menjadi kegelisahan sosial. Bukan lagi individual ataupun interpersonal.
Potret buram yang disodorkan ini ternyata telah lama menjadi panorama yang kasatmata. Maka kegelisahan pun makin melimbungkan, bahkan lebih dari itu meneriakkan gugatan. Dan penyair memang menggugat. Bahkan gugatan lewat puisi itu sebenarnya bernilai paradoksal. Maka beramai-ramailah para penyair, penerjemah puisi, dalang, dramawan, dan aktor monolog Tegal berteriak-teriak, Ki Bagdja, dalang Tutur Tegalan, bermain “politik” dengan menggoyang kemapanan Kerajaan Singosari lewat lakon “Anusapati” karya Lanang Setiawan. “....bangkèné mau dibuang kang adoh, rèoook bleng. Bablas.....”, serunya.
Dramawan Nurngudiono bahkan dengan kesengajaan penuh membuat reportase tentang situasi lingkungan di sebuah Desa di Tegal, yang oleh karena kebijakan yang tak dimengerti, kesengsaraanlah yang diperoleh warga desa tersebut.
“Bayangkan, untuk buang hajat besar, penduduk mesti ke tempat WC umum yang jauhnya sekitar 500 meter,” kata Nur dalam pengantarnya. Dan bisa jadi monolog yang ia bawakan dari sepenggal drama “Jobong” merupakan reportase yang tak pernah diberitakan.
Kegelisahan, kepedihan, dan nuansa gugatan inilah yang pada akhirnya menjadi perspektif yang muncul dalam “Pentas Sastra Tegalan” di Kota Mangga. Dan kalau pun publik Indramayu merasa “diteror” dengan realitas ini, tak lebih disebabkan kesamaan “nasib” yang melingkupi.
Apalagi dilema sosial yang tengah mencuat, yakni pelacuran dengan jitu pula diungkap Abidin Abror. Lewat karya “Kandang Bèbèk Mambu Bèbèk”, aktor monolog itu menelanjangi dengan seksama dunia hitam tersebut. Dan pengungkapan ini menjadi demikian relevan ketika dihadapkan di Indramayu. Di wilayah yang selama ini memiliki citra negatif akan maraknya dunia pelacuran. Akan fenomena sulitnya pemberantasan terhadap keberadaan dunia hitam tersebut. Yang ternyata, konon antara lain, banyak oknum pejabat dan tentara yang menjadi backing-nya.
Warna lokal inilah, selain juga Bahasa Tegal memiliki banyak kemiripan dengan Bahasa di Indramayu, demikian menggelembung untuk selanjutnya menjadi suatu keindahan tersendiri. Terasa betapa wilayah ungkap kesastraan bisa bebas menukik ke bawah, melambung ke atas, dan menghantam kemapanan dengan garang.
Dan para aktivis sastra Tegal telah demikian manis menggedor-gedor urat nadi Kota Indramayu, di malam Minggu tersebut. Seperti juga kemenawanan penyair gaek Widjati, dengan pembacaan (lebih tepatnya pengucapan, karena beliau sangat hafal akan seluruh karyanya) beberapa puisinya. Ya, malam itu kakek Widjati ternyata demikian arif mengajarkan bagaimana menjadi seorang penyair. Mengalir, mengalir saja Supali Kasim
Catatan:
Dikutip dari Pikiran Rakyat edisi Cirebon, Cirebon/Bandung - Minggu II Februari 1995/Ramadhan 1415 H Puasa 1927 Halaman 7.
Sabtu, 20 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar