Linda Manise
BACA SAJAK - Tak peduli panas menyentak, penyair Abu Mamur MF menyalakan satu puisi ‘Metamorfosa Waktu’ karya terbarunya, Minggu (28/7) di halaman Kampus Politeknik Harapan Bersama Jalan Dewi Sartika Kota Tegal, seusai mengisi pembacaan sajak di acara Diskusi Budaya dan Pelatihan Junarlistik (Foto: Lanang Setiawan)
BACA SAJAK - Tak peduli panas menyentak, penyair Abu Mamur MF menyalakan satu puisi ‘Metamorfosa Waktu’ karya terbarunya, Minggu (28/7) di halaman Kampus Politeknik Harapan Bersama Jalan Dewi Sartika Kota Tegal, seusai mengisi pembacaan sajak di acara Diskusi Budaya dan Pelatihan Junarlistik (Foto: Lanang Setiawan)
Penyair Abu Mamur dan Apas
Gebrak Baca Puisi di Forum Lingkar Pena
DENGAN merentang kedua tangan, penyair Abu Mamur MF menyalakan satu pembacaan puisinya berjudul Metamorfose Waktu. Di hadapan puluhan peserta ‘Diskusi Budaya dan Pelatihan Jurnalistik’ yang digelar oleh Forum Lingkar Pena, Abu menghetakan vocalnya penuh penghayatan total. Kadang dia mengaum seperti macan kesakitan, beberapa selang kemudian memelas seperti pelari yang terengah-engah karena kehabisan tenaga. Di Kampus Politeknik Harapan Bersama Jalan Dewi Sartika No 71 Kota Tegal itu, suasana penonton seperti ditenggelamkan pada masa purba, masa di mana kenangan di alam kandungan yang sepi, gelap gulita, dan tanpa cahaya, sampai pada akhirnya lahir dan manusia terjebak oleh lingkaran dunia yang busuk, lantaran lupa akan waktu dan Tuhannya.
DENGAN merentang kedua tangan, penyair Abu Mamur MF menyalakan satu pembacaan puisinya berjudul Metamorfose Waktu. Di hadapan puluhan peserta ‘Diskusi Budaya dan Pelatihan Jurnalistik’ yang digelar oleh Forum Lingkar Pena, Abu menghetakan vocalnya penuh penghayatan total. Kadang dia mengaum seperti macan kesakitan, beberapa selang kemudian memelas seperti pelari yang terengah-engah karena kehabisan tenaga. Di Kampus Politeknik Harapan Bersama Jalan Dewi Sartika No 71 Kota Tegal itu, suasana penonton seperti ditenggelamkan pada masa purba, masa di mana kenangan di alam kandungan yang sepi, gelap gulita, dan tanpa cahaya, sampai pada akhirnya lahir dan manusia terjebak oleh lingkaran dunia yang busuk, lantaran lupa akan waktu dan Tuhannya.
//..Ada yang menghamburkan waktunya dengan membuat deretan catatan keluhan/Ia mengira takdir adalah pahatan Tuhan yang tak bisa kita ukir../Ia bilang, kemiskinan adalah takdirku, penderitaan adalah takdirku../ah, jika benar demikian, Tuhan macam apa yang menciptakan kerangkeng/pada hamba-Nya?/Terus saja debu-debu dosa menebal dan melekat pada jiwanya../padahal Tuhan telah bersajak/Innallaha la yughoyiru.../“Aku tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sampai kaum itu/mengubah dengan tangannya sendiri”…//
Sepenggal potongan sajak Metamorfosa Waktu milik penyair Abu Mamur MF itu, ternyata tak hanya dia bacakan di dalam acara itu. Sesudah bubaran pun, Abu kembali membacakannya di bawah kobaran siang bolong yang terik. Ia membacakan puisi itu dengan tanpa teks, di lapangan kampus tersebut.
Tak kalah menarik juga ketika tampil penyair Apas Kafasi saat mengusung dramalisasi puisi Tegalan Tak Jaluk dengan melibatkan Linda Manise dan Zaki Payla, dilanjutkan dengan monolog Latihan Teater oleh Apas. Pada dramalisasi puisi Tak Jaluk, figur Linda Manise berperan sebagai wanita murung yang menunggu sambil memainkan kerudung cinta. Sementara Zaki Payla berperan sebagai lelaki menghamba terhadap cinta Linda agar tetap setia memegang cintanya. Puncak pementasan ini, Linda menghampiri Zaki yang berdiri tegak dan mencium jempol kaki Zaki, di tengah suara Apas yang terus menggebu dan merayap-rayap. Usai dramalisasi puisi tersebut, Apas kembali membawakan lakon monolog bertajuk Latihan Teater. Suasana siang itu, sungguh seperti milik Apas dan Abu yang sedang unjuk gigi.
Acara yang sedianya di gelar di Pendapa Ki Gede Sebayu itu, dialihkan karena berbenturan dengan acara lain. Sehingga diusung ke Kampus Politeknik Harapan Bersama, menampilkan novelis SN Ratmana sebagai nara sumber dan narasumber dari koran harian lokal Tegal (LS)
Sepenggal potongan sajak Metamorfosa Waktu milik penyair Abu Mamur MF itu, ternyata tak hanya dia bacakan di dalam acara itu. Sesudah bubaran pun, Abu kembali membacakannya di bawah kobaran siang bolong yang terik. Ia membacakan puisi itu dengan tanpa teks, di lapangan kampus tersebut.
Tak kalah menarik juga ketika tampil penyair Apas Kafasi saat mengusung dramalisasi puisi Tegalan Tak Jaluk dengan melibatkan Linda Manise dan Zaki Payla, dilanjutkan dengan monolog Latihan Teater oleh Apas. Pada dramalisasi puisi Tak Jaluk, figur Linda Manise berperan sebagai wanita murung yang menunggu sambil memainkan kerudung cinta. Sementara Zaki Payla berperan sebagai lelaki menghamba terhadap cinta Linda agar tetap setia memegang cintanya. Puncak pementasan ini, Linda menghampiri Zaki yang berdiri tegak dan mencium jempol kaki Zaki, di tengah suara Apas yang terus menggebu dan merayap-rayap. Usai dramalisasi puisi tersebut, Apas kembali membawakan lakon monolog bertajuk Latihan Teater. Suasana siang itu, sungguh seperti milik Apas dan Abu yang sedang unjuk gigi.
Acara yang sedianya di gelar di Pendapa Ki Gede Sebayu itu, dialihkan karena berbenturan dengan acara lain. Sehingga diusung ke Kampus Politeknik Harapan Bersama, menampilkan novelis SN Ratmana sebagai nara sumber dan narasumber dari koran harian lokal Tegal (LS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar