Contoh Undangan Jed-jedan Maca Puisi Tegalan. Acara tersebut berlangsung Rebo, 31 Mei 2008 Jam Setengah Wolu Bengi, nang Gedung Kesenian Kota Tegal (Foto: Dok Lanang Setiawan)
Mengembalikan Kebesaran Bahasa Tegal
ALUNAN suara musik ini sudah jarang terdengar di kota kelahirannya Tegal, Jawa Tengah. Balo-balo namanya. Kesenian khas Tegalan ini nyaris punah seiring dengan masuknya seni musik modern.
Musik Balo-balo berkembang di Tegal sejak zaman perjuangan tahun 1913. Dahulu, musik ini digunakan para pejuang sebagai sarana untuk menyamar.
Dalam dua tahun terakhir ini, musik balo-balo mulai diangkat kembali. Sekumpulan masyarakat kecil di sebuah kelurahan yang gemar bermain musik, mengawali terbentuknya sebuah kelompok musik ini.
Menurut Walikota Tegal, Adi Winarso, pihaknya menyediakan anggaran melalui APBD untuk mendukung tumbuhnya kesenian di Tegal. Musik balo-balo modern berbeda dengan aslinya.
Balo-balo zaman dahulu penuh dengan nuansa kepahlawanan dan semangat perjuangan. Musiknya sangat dekat dengan rakyat, syairnya kental dengan nasehat untuk mengingat Tuhan. Alunan musiknya juga dimeriahkan dengan tari-tarian, yang didominasi para pria. Alat musik yang digunakan hanya terbangan atau sejenis rebana yang terbuat dari kulit, calung dan tik tok. Pada musik balo-balo modern ada tambahan alat musik gitar. Penambahan alat musik gitar ini telah merubah irama musik balo-balo yang khas pesisiran.
Meski demikian, menurut Ketua Dewan Kesenian Kota Tegal, Nur Ngidono, meski berubah sesuai perkembangan zaman, musik balo-balo tidak meninggalkan nyawa aslinya. Musik balo-balo modern lebih menonjolkan syairnya yang penuh sindiran dan berisi pesan-pesan sosial.
Grup musik balo-balo modern terdiri dari 22 personil pria dengan empat penyanyi wanita. Personil grup ini tumbuh di lingkungan yang sama, Kelurahan Panggung. Anggotanya berasal dari masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah.
Mahyudin misalnya. Pria yang sudah satu tahun bergabung di grup musik balo-balo sebagai pemetik gitar ini menghidupi keluarganya dengan membuka sablon kecil-kecilan di rumahnya.
Penghasilannya tak menentu, kadang ia bisa mendapatkan uang 20 ribu rupiah sehari, namun terkadang tidak dapat sama sekali. Karena tergolong miskin, dia termasuk penerima bantuan langsung tunai dari pemerintah senilai 300 ribu rupiah.
Menurut Mahyudin, anggota grup musik balo-balo, dirinya tidak mengharapkan imbalan apa-apa dari bermain musik balo-balo. Tapi kalau ada yang memberikan imbalan berupa materi dia tidak menolak.
Lain lagi dengan pemuda bernama Dedi Maulidin ini. Pemuda lajang berusia 24 tahun ini sudah dua tahun bergabung dengan grup balo-balo. Sehari-hari dia berdagang makanan di depan stasiun kereta api Tegal.
Meski baru tiga tahun terbentuk, grup ini serius mengangkat kembali keberadaan musik balo-balo ke tengah kancah kesenian di Tegal. Tegal berada di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat. Hal ini menjadikan dialek bahasa Tegal sangat khas, berbeda dengan daerah lainnya di Jawa Tengah.
Tapi sayangnya kebanyakan orang salah mengerti tentang bahasa Tegal. Dialek Tegal lebih banyak dikenal sebagai bahasa dagelan, sehingga bahasa Tegal mendapat citra sebagai bahasa orang yang tidak berpendidikan. Padahal bahasa Tegal cukup kaya dan menarik.
Puisi berbahasa Tegal ini berjudul Dadiya Siji Tlembuk-tlembuk Neng Jakarta karya penyair WS Rendra. Puisi dengan judul asli Pelacur-pelacur Kota Jakarta ini dibacakan seorang Budayawan Tegal, Tambari Gustam dalam acara Musikalisasi Puisi Jed-jedan, di Gedung Kesenian Kota Tegal. Puisi ini bercerita tentang para pelacur yang bersatu karena digusur aparat.
Pembacaan puisi yang diselenggarakan kelompok Warung Puisi Tegalan ini, sebagai salah satu cara untuk membuktikan pada publik bahwa bahasa Tegal memiliki nilai sastra yang tinggi.
Selain budayawan, pejabat daerah seperti Walikota Tegal Adi Winarso juga membaca puisi Tegalan. Dengan tampilnya sejumlah seniman dan birokrat secara bersama-sama diharapkan keberadaan bahasa Tegal dalam kancah kesenian bisa lebih diterima masyarakat (Sup)
KETERANGAN :
ALUNAN suara musik ini sudah jarang terdengar di kota kelahirannya Tegal, Jawa Tengah. Balo-balo namanya. Kesenian khas Tegalan ini nyaris punah seiring dengan masuknya seni musik modern.
Musik Balo-balo berkembang di Tegal sejak zaman perjuangan tahun 1913. Dahulu, musik ini digunakan para pejuang sebagai sarana untuk menyamar.
Dalam dua tahun terakhir ini, musik balo-balo mulai diangkat kembali. Sekumpulan masyarakat kecil di sebuah kelurahan yang gemar bermain musik, mengawali terbentuknya sebuah kelompok musik ini.
Menurut Walikota Tegal, Adi Winarso, pihaknya menyediakan anggaran melalui APBD untuk mendukung tumbuhnya kesenian di Tegal. Musik balo-balo modern berbeda dengan aslinya.
Balo-balo zaman dahulu penuh dengan nuansa kepahlawanan dan semangat perjuangan. Musiknya sangat dekat dengan rakyat, syairnya kental dengan nasehat untuk mengingat Tuhan. Alunan musiknya juga dimeriahkan dengan tari-tarian, yang didominasi para pria. Alat musik yang digunakan hanya terbangan atau sejenis rebana yang terbuat dari kulit, calung dan tik tok. Pada musik balo-balo modern ada tambahan alat musik gitar. Penambahan alat musik gitar ini telah merubah irama musik balo-balo yang khas pesisiran.
Meski demikian, menurut Ketua Dewan Kesenian Kota Tegal, Nur Ngidono, meski berubah sesuai perkembangan zaman, musik balo-balo tidak meninggalkan nyawa aslinya. Musik balo-balo modern lebih menonjolkan syairnya yang penuh sindiran dan berisi pesan-pesan sosial.
Grup musik balo-balo modern terdiri dari 22 personil pria dengan empat penyanyi wanita. Personil grup ini tumbuh di lingkungan yang sama, Kelurahan Panggung. Anggotanya berasal dari masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah.
Mahyudin misalnya. Pria yang sudah satu tahun bergabung di grup musik balo-balo sebagai pemetik gitar ini menghidupi keluarganya dengan membuka sablon kecil-kecilan di rumahnya.
Penghasilannya tak menentu, kadang ia bisa mendapatkan uang 20 ribu rupiah sehari, namun terkadang tidak dapat sama sekali. Karena tergolong miskin, dia termasuk penerima bantuan langsung tunai dari pemerintah senilai 300 ribu rupiah.
Menurut Mahyudin, anggota grup musik balo-balo, dirinya tidak mengharapkan imbalan apa-apa dari bermain musik balo-balo. Tapi kalau ada yang memberikan imbalan berupa materi dia tidak menolak.
Lain lagi dengan pemuda bernama Dedi Maulidin ini. Pemuda lajang berusia 24 tahun ini sudah dua tahun bergabung dengan grup balo-balo. Sehari-hari dia berdagang makanan di depan stasiun kereta api Tegal.
Meski baru tiga tahun terbentuk, grup ini serius mengangkat kembali keberadaan musik balo-balo ke tengah kancah kesenian di Tegal. Tegal berada di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat. Hal ini menjadikan dialek bahasa Tegal sangat khas, berbeda dengan daerah lainnya di Jawa Tengah.
Tapi sayangnya kebanyakan orang salah mengerti tentang bahasa Tegal. Dialek Tegal lebih banyak dikenal sebagai bahasa dagelan, sehingga bahasa Tegal mendapat citra sebagai bahasa orang yang tidak berpendidikan. Padahal bahasa Tegal cukup kaya dan menarik.
Puisi berbahasa Tegal ini berjudul Dadiya Siji Tlembuk-tlembuk Neng Jakarta karya penyair WS Rendra. Puisi dengan judul asli Pelacur-pelacur Kota Jakarta ini dibacakan seorang Budayawan Tegal, Tambari Gustam dalam acara Musikalisasi Puisi Jed-jedan, di Gedung Kesenian Kota Tegal. Puisi ini bercerita tentang para pelacur yang bersatu karena digusur aparat.
Pembacaan puisi yang diselenggarakan kelompok Warung Puisi Tegalan ini, sebagai salah satu cara untuk membuktikan pada publik bahwa bahasa Tegal memiliki nilai sastra yang tinggi.
Selain budayawan, pejabat daerah seperti Walikota Tegal Adi Winarso juga membaca puisi Tegalan. Dengan tampilnya sejumlah seniman dan birokrat secara bersama-sama diharapkan keberadaan bahasa Tegal dalam kancah kesenian bisa lebih diterima masyarakat (Sup)
KETERANGAN :
Diambil dari Indosiar.com, dan acara tersebut di tayangkan pada Rabu, 12 Juli 2008, pukul 12.00 Wib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar