Cerpen : Ken Ratu
SEHARUSNYA aku tak pernah merasakan ini. Semestinya rasa ini tak pernah ada. Dan seharusnya waktu enggan menemukan kita. Sampai akhirnya rasa ini tumbuh dan menjalar dalam relung hati kita. Sekarang, haruskah kudustai perasaan ini? Menutup bisu mulut hati dan menghalanginya mengucap sepatah katapun. Tak adil rasanya! Mungkin hanya sebatas bait lagu yang mampu ungkap misteri hatiku. Kuharap kau mengerti lewat alunan nada dan melodi ini.
Menatap indahnya senyuman diwajahmu, membuatku terdiam dan terpaku .... Begitulah ungkapan kekagumanku. Saat pertama kali menatap wajah sendu dan menangkap kilauan senyum nan kau persembahkan untukku. Sungguh tak mampu kumaknai getaran ini. Aku bisu dan kaku, senyummu hanya kubalas dengan senyuman khas sang Ratu. Diriku bagai mahluk terbodoh yang seharusnya tak layak dan tak perlu lahir di dunia. Bagaimana mungkin aku tiada mampu mendefinisikan perasaan sendiri. Yang kutahu pasti syair ini mengisyaratkan kebimbangan palung hati.
Cinta sejati senantiasa memberi. Seperti itulah cintaku untuk dirimu tulus dan apa adanya. Datang dari sebuah rasa sucinya hati, atas nama cinta sejati ....
Baru kusadari rasa ini Cinta. Saat kau bantu aku mengartikan getaran itu. Kau yakinkan dengan paket cinta yang tersembahkan bagiku. Ruang hati ini tertutup ragu. Aku takut dicampakkan seperti kulit kacang. Dan aku tak ingin merasakan apa itu sakit hati yang kata sahabat lebih sakit dari penyakit apapun. Diriku juga tak mungkin terus berdusta, rasa itu memang ada. Tapi aku tak yakin kado cinta yang kau beri untukku tulus atau bersyarat? Tingkahmu seolah mengisyaratkan ketulusan cinta yang menjalar dalam hati masing-masing. Sampai akhirnya kegalauan dalam hati mampu ku tepis, meski tak yakin sepenuhnya. Namun hidup perlu dicoba dan tanpa dicoba kita tak pernah tahu makna hidup sesungguhnya.
Akhirnya ku menemukanmu.... Penantian lama yang makin tertunda kini terjawab sudah. Memang kaulah yang pantas menjadi Raja dihatiku. Selayaknya aku tahu cintamu memang tulus dan apa adanya sedari dulu. Senyum dibibirku tak pernah pudar. Bahkan aku seperti orang gila yang senantiasa mengumbar senyum kebahagiaan untuk semua manusia. Apa aku memang gila? Karena dia aku jadi begini. Rasanya seribu tahun lagi aku masih ingin bernyawa. Dan menikmati keindahan hidup bersamamu.
Setiaku ku persembahkan untukmu semoga takkan terkikis oleh waktu .... Rasa itu kian membara. Sampai aku tak ingin melepasnya untuk orang lain. Hanya aku yang boleh miliki rasa ini. Kebahagiaanku semakin memuncak dan rindu rupanya tak mau lenyap dari sisi kita. Sumpah kesetiaan telah kita persembahkan dan bintang menjadi saksi. Diriku mandi kegembiraan. Sampai di suatu saat kuungkapkan: Hidup ini begitu indah. Terima kasih Tuhan telah kau ciptakan dia teruntukku.
Apa yang kau lakukan dibelakangku, mengapa tak kau lakukan dihadapanku... Pintu ragu itu terbuka kembali. Sumpah setia telah kau ingkari. Sebegitukan kejam dirimu dan ingatkah sumpah yang kita dendangkan? Itukah dirimu sebenarnya yang tega khianati rasa ini. Yang sengaja menikamku dari arah lawan? Tak kusangka itu benar dirimu. Kedokmu terbuka sudah. Sang pengirim paket cinta berisikan kue kekecewaan. Sakit yang paling kutakuti akhirnya membelenggu. Aku tak mampu mencegahnya. Patah sudah hati yang kupupuk untuk orang tersayang. Inikah balasan kesetiaanku? Kado dari orang tersayang yang paling menyakitkan dan kan kusimpan tuk memenuhi bingkai kehidupanku.
Tak seharusnya aku yang terluka karena diriku yang pertama mencintaimu. Tak semestinya dia yang kau terima jadi milikmu jadi yang kau mau .... Tak adil memang. Sepertinya aku tak terima atas perlakuanmu. Karena kau telah sempurnakan ranjang kehidupanku. Kenapa kau tak katakan bahwa aku tak bisa menjadi seperti apa yang kau mau? Jika kau katakan, tanaman hati ini tak akan layu karena aku kan menjaga dan senantiasa memupuknya dengan kasih sayang tulus dari hati terdalam. Racun apa yang kau taburkan untuk tanaman hatiku. Sampai aku layu dan tak ingin hidup. Rindu yang dulu ada dihati, kini coba tak kuobati meski harus diakui ini menyiksa batin. Aku lunglai, percuma ku rawat rasa ini.
Sejak engkau mendua entah apa yang ku rasakan memendam perih rasa dihati .... Mungkin sudah saatnya kukubur dalam kenangan yang tak berarti itu. Hati ini tak ingin terus kau lukai. Cukup! Cukup sekali kuterima kepalsuan cintamu. Aku hafal tabiatmu. Dan aku tak ingin larut dalam kekeruhan sungai cintamu. Pergilah dengan kekasih barumu, karena kuyakin rasa ini telah salah menilai. Berjanjilah demi aku yang pernah singgah dalam pelabuhan dan mendarat dihatimu tak akan kau taburkan lagi racun yang dapat membuat orang merasa hidup itu kejam. Tuhan memang Maha Adil. Dia bantu aku melupakan sesuatu yang begitu berharga. Sampai akhirnya aku bisa tanpa cinta darimu.
Maafkanlah sayang malam ini ku tak bisa datang, karena kumengerti memang tak pantas kau dicintai .... Kini kau memintaku tuk benihkan cinta lama. Maaf, hati ini tak mungkin tertipu kedua kalinya. Kau masa laluku yang pertama membuatku merasakan apa itu sakit hati. Seharusnya ku ikuti kata hati yang dulu. Keraguan itu rupanya terbukti. Mestinya aku sadar. Cinta telah membuatku buta sehingga tak bisa kupadukan hati dan logika. Aku tak ingin menyesali apa yang kuperbuat karena inilah keputusan terbijak dari hati nan lara. Aku hanya ingin kau tahu bahwa kau telah ajari sesungguhnya hidup itu indah jika kita nikmati. Dan memang tak ada yang abadi di dunia ini. Terima kasih kau telah beri aku cinta, sayang dan kebahagiaan. Meski aku tak tahu asli atau palsukah pemberianmu itu ....
Untukmu,
Pengirim Paket Cinta
dibulan Oktober 2006
KETERANGAN:
Cerpen di atas dibikin saat Ken Ratu masih duduk di kelas 2 SMP Negeri 2 Kota Tegal. Sekarang Ken Ratu duduk di kelas 3 SMK Negeri Kota Tegal. Novel 'Pelangi Tiga Minggu' yang dia tulis saat kelas tiga SMP menjadi Cerita Bersambung pada Harian Suara Merdeka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar