Ngamen, Why Not?
Cerpen: Ken Ratu
MUNGKIN ini pengalaman paling gila buatku. Sebelumnya ini tak pernah terbesit dalam otak. Tapi karena suatu alasan aku nekat melakukanya. Pastinya ku timbang dulu untung plus ruginya kalau melakukan hal ini. Tak lazim memang! Kesannya terlalu murahan. But, aku kan lagi kepepet! Terpaksalah.
“What your say my brother? Ibu pergi ke Semarang, ngapain?” sontakku kaget.
“Sok bule banget sih lo! Mana gue tau ibu mo ngapain ke sana. Katanya kalo Agis pulang bilangin, ibu pergi ke Semarang 3 hari, trus kalo kita mo jajan ‘n makan minta di Tante Tyas” tegas Rico kakaku.
Oya! Kita belum kenalan kan, namaku Agisya Retno Wulan kelas satu SMK 2 Pemalang. Kakakku namanya Rico Saputra kelas SMK (STM) 1 Pemalang. Hobinya main gitar sembari nyanyi-nyanyi tak jelas.
Setelah itu aku bergegas mencari makanan di dapur buat menyumpel perut yang sedari tadi keroncongan. Maklum aku baru pulang sekolah.
“Oh my God!” celetuk aku sambil nepuk dahi. Rasanya aku harus nunda keinginan menyumpel perut. Bagaimana tidak, masa jam 14.00 segini tak ada satu makanan di meja. Cuma nasi putih dalam baki. Sungguh terlalu! Mana perut sudah tak bisa diajak kompromi lagi! Ya sudah mau tak mau aku harus masak sendiri. Nasi goreng, tapi pas aku mencari cabe eh, si cabenya tak ada. Pas rebus air eh, air bersihnya habis. Ampun seribu ampun! Sungguh tega ibuku membiarkan anaknya kelaparan. Otomatis langsung kusambangi kakak di teras yang lagi mengobrol sama sepupu, Shita namanya.
“Mas, ko di meja ga ada apa-apa sih! Makanannya diabisin ma lo ya?” tanyaku sewot.
“Nuduh aja bisanya! Dari tadi aja gue belon makan” jawabnya santai. Terus dilanjutkan :
“Ya udah sana lo ke Tante Tyas minta duit buat beli lauk”
“Shit, temenin gue ke Tante Tyas yuk?” ajakku pada Shita sembari nuntun sepeda. Maklumlah rumah Tante Tyas tak terlalu jauh jadi bisa dijangkau cukup dengan sepeda.
“Ok!”
*
Tak berapa lama aku dan Shita sampai di rumah Tante Tyas uluk salam, ketuk pintu dulu pastinya. Ternyata yang membuka Om Sandi suaminya. Setelah dipersilakan duduk, kucoba menjelaskan maksud ingin bertemu Tante Tyas. Tapi aku sontak shock mendengar jawaban dari Om Sandi yang bilang kalau Tante Tyas lagi pergi ke Semarang bareng ibuku. Edan tenan! Akhirnya kuputuskan langsung pulang. Sambil membonceng aku terus mengomel menyalahkan ibu.
*
Ketika sampai rumah, langsung aku marah sama kakak.
“Lo gimana sih! Katanya suruh minta duit di Tante Tyas tapi ko kata suaminya pergi ke Semarang ma ibu” bentakku sambil duduk di teras.
“Apa?! Tante Tyas ke Semarang ma ibu? Bagaimana si ibu, plinplan sekali” ternyata kakakku baru tahu kalau Tante Tyas pergi ke Semarang juga.
“Trus kita gimana donk! Gue laper banget nih” keluhku ingin menangis.Lantas aku, Rico dan Shita mulai berpikir bagaimana cara mendapat uang.
“Gimana kalo kita ngamen aja, lumayan tuh buat isi perut” ajak Rico.
“Sèdèng ya lo! Perut gue aja kosong melompong gini suruh ngamen? OGAH!!” jawabku teriak.
“Mo makan darimana kalo ga ngamen, apalagi ibu 3 hari di Semarang. Mo mati kelaperan lo” sentaknya.
“Bener juga tuh kata Mas Rico” sambung Shita.
“Tapi,..... aaahhh ..... sebel!” teriakku bingung.
“Gimana? Mo ga?” tawar Rico lagi.
“Ya udah, ga ada pilihan lain”
Akhirnya dengan sangat-sangat terpaksa mau melakukan hal gila ini. Kita mengamen bertiga.
*
Pertama kita mulai mengamen di rumah-rumah yang pastinya jauh dari rumahku. Terlalu malu rasanya! Tapi, tak apalah.
Sampai tak terasa kita telah menapaki jalan sangat jauh . Rasa lapar itu perlahan pudar saat aku berjalan mencari rumah yang pintunya terbuka. Saat itu aku dan Shita bertugas menyanyi sedang Rico bertugas main gitar. Meski suaraku sengak-sengak begini rupanya laku juga dijalanan. Ha ha ha ... tak terasa senja mulai merangkak menggantikan siang yang gersang. Untung saat maghrib kita sudah sampai rumah. Hasil mengamen hari ini lumayan, tapi dibagi tiga dan dipakai untuk beli makanan plus rokok tuk ayah mulai mikir :
“Cukup ga ya buat tiga hari? Ah pasti cukup. Hemat Agis!” desis batinku.
Maklumlah tiga tahun ini ayahku menganggur, tak tau kenapa dia tak cari kerja. Ayah yang aneh! Tapi seaneh-anehnya dia, dia tetap ayahku tersayang. Sedang untuk menyambung hidup, ibuku bekerja baby sister. Akhirnya malam ini aku tidur dalam keadaan perut yang super kenyang. Sesaat sebelum tidur sempat terpikir:
“Ko gue nekat banget jadi pengamen ya? Rasanya ga percaya deh gue bisa ngamen ‘n ngedapetin duit, bisa makan pula. Harusnya gue dapet rekor MURI kategori “SATU-SATUNYA PENGAMEN WANITA” ha ha ha ... ngkhayal gue!” Tapi aku patut berbangga diri. Jarang sekali ada wanita mau mengamen di jalanan untuk mencari makan. Kayaknya wanita sekarang kan identik pergi ke mall dan menyalon, duitnya tinggal minta lagi. Baru kusadari ternyata mencari uang itutak mudah. Wanita-wanita itu pasti tak tahu orang tuanya mencari uang jungkir balik, eh anaknya cuma bisa foya-foya.
Dari perjalanan hari ini juga, aku mendapat pelajaran kalau pekerjaan mengamen itu tak nista. Kita kan menjual suara. Aku bangga dengan diriku karena bisa mencari uang meski dengan mengamen. Yang penting kan jerih payah sendiri. Secara tak langsung aku sudah meringankan beban orang tua.
“So, ngamen why not gitu loh?” Batinku berucap.
Sambil tersenyum, kumulai baca doa tidur dan berharap mimpi kali ini lebih indah dari perjalananku siang tadi.
*
KETERANGAN:
Cerpen di atas dibikin saat Ken Ratu masih duduk di kelas 2 SMP Negeri 2 Kota Tegal. Sekarang Ken Ratu duduk di kelas 3 SMK Negeri Kota Tegal. Novel 'Pelangi Tiga Minggu' yang dia tulis saat kelas tiga SMP menjadi Cerita Bersambung pada Harian Suara Merdeka.
Cerpen: Ken Ratu
MUNGKIN ini pengalaman paling gila buatku. Sebelumnya ini tak pernah terbesit dalam otak. Tapi karena suatu alasan aku nekat melakukanya. Pastinya ku timbang dulu untung plus ruginya kalau melakukan hal ini. Tak lazim memang! Kesannya terlalu murahan. But, aku kan lagi kepepet! Terpaksalah.
“What your say my brother? Ibu pergi ke Semarang, ngapain?” sontakku kaget.
“Sok bule banget sih lo! Mana gue tau ibu mo ngapain ke sana. Katanya kalo Agis pulang bilangin, ibu pergi ke Semarang 3 hari, trus kalo kita mo jajan ‘n makan minta di Tante Tyas” tegas Rico kakaku.
Oya! Kita belum kenalan kan, namaku Agisya Retno Wulan kelas satu SMK 2 Pemalang. Kakakku namanya Rico Saputra kelas SMK (STM) 1 Pemalang. Hobinya main gitar sembari nyanyi-nyanyi tak jelas.
Setelah itu aku bergegas mencari makanan di dapur buat menyumpel perut yang sedari tadi keroncongan. Maklum aku baru pulang sekolah.
“Oh my God!” celetuk aku sambil nepuk dahi. Rasanya aku harus nunda keinginan menyumpel perut. Bagaimana tidak, masa jam 14.00 segini tak ada satu makanan di meja. Cuma nasi putih dalam baki. Sungguh terlalu! Mana perut sudah tak bisa diajak kompromi lagi! Ya sudah mau tak mau aku harus masak sendiri. Nasi goreng, tapi pas aku mencari cabe eh, si cabenya tak ada. Pas rebus air eh, air bersihnya habis. Ampun seribu ampun! Sungguh tega ibuku membiarkan anaknya kelaparan. Otomatis langsung kusambangi kakak di teras yang lagi mengobrol sama sepupu, Shita namanya.
“Mas, ko di meja ga ada apa-apa sih! Makanannya diabisin ma lo ya?” tanyaku sewot.
“Nuduh aja bisanya! Dari tadi aja gue belon makan” jawabnya santai. Terus dilanjutkan :
“Ya udah sana lo ke Tante Tyas minta duit buat beli lauk”
“Shit, temenin gue ke Tante Tyas yuk?” ajakku pada Shita sembari nuntun sepeda. Maklumlah rumah Tante Tyas tak terlalu jauh jadi bisa dijangkau cukup dengan sepeda.
“Ok!”
*
Tak berapa lama aku dan Shita sampai di rumah Tante Tyas uluk salam, ketuk pintu dulu pastinya. Ternyata yang membuka Om Sandi suaminya. Setelah dipersilakan duduk, kucoba menjelaskan maksud ingin bertemu Tante Tyas. Tapi aku sontak shock mendengar jawaban dari Om Sandi yang bilang kalau Tante Tyas lagi pergi ke Semarang bareng ibuku. Edan tenan! Akhirnya kuputuskan langsung pulang. Sambil membonceng aku terus mengomel menyalahkan ibu.
*
Ketika sampai rumah, langsung aku marah sama kakak.
“Lo gimana sih! Katanya suruh minta duit di Tante Tyas tapi ko kata suaminya pergi ke Semarang ma ibu” bentakku sambil duduk di teras.
“Apa?! Tante Tyas ke Semarang ma ibu? Bagaimana si ibu, plinplan sekali” ternyata kakakku baru tahu kalau Tante Tyas pergi ke Semarang juga.
“Trus kita gimana donk! Gue laper banget nih” keluhku ingin menangis.Lantas aku, Rico dan Shita mulai berpikir bagaimana cara mendapat uang.
“Gimana kalo kita ngamen aja, lumayan tuh buat isi perut” ajak Rico.
“Sèdèng ya lo! Perut gue aja kosong melompong gini suruh ngamen? OGAH!!” jawabku teriak.
“Mo makan darimana kalo ga ngamen, apalagi ibu 3 hari di Semarang. Mo mati kelaperan lo” sentaknya.
“Bener juga tuh kata Mas Rico” sambung Shita.
“Tapi,..... aaahhh ..... sebel!” teriakku bingung.
“Gimana? Mo ga?” tawar Rico lagi.
“Ya udah, ga ada pilihan lain”
Akhirnya dengan sangat-sangat terpaksa mau melakukan hal gila ini. Kita mengamen bertiga.
*
Pertama kita mulai mengamen di rumah-rumah yang pastinya jauh dari rumahku. Terlalu malu rasanya! Tapi, tak apalah.
Sampai tak terasa kita telah menapaki jalan sangat jauh . Rasa lapar itu perlahan pudar saat aku berjalan mencari rumah yang pintunya terbuka. Saat itu aku dan Shita bertugas menyanyi sedang Rico bertugas main gitar. Meski suaraku sengak-sengak begini rupanya laku juga dijalanan. Ha ha ha ... tak terasa senja mulai merangkak menggantikan siang yang gersang. Untung saat maghrib kita sudah sampai rumah. Hasil mengamen hari ini lumayan, tapi dibagi tiga dan dipakai untuk beli makanan plus rokok tuk ayah mulai mikir :
“Cukup ga ya buat tiga hari? Ah pasti cukup. Hemat Agis!” desis batinku.
Maklumlah tiga tahun ini ayahku menganggur, tak tau kenapa dia tak cari kerja. Ayah yang aneh! Tapi seaneh-anehnya dia, dia tetap ayahku tersayang. Sedang untuk menyambung hidup, ibuku bekerja baby sister. Akhirnya malam ini aku tidur dalam keadaan perut yang super kenyang. Sesaat sebelum tidur sempat terpikir:
“Ko gue nekat banget jadi pengamen ya? Rasanya ga percaya deh gue bisa ngamen ‘n ngedapetin duit, bisa makan pula. Harusnya gue dapet rekor MURI kategori “SATU-SATUNYA PENGAMEN WANITA” ha ha ha ... ngkhayal gue!” Tapi aku patut berbangga diri. Jarang sekali ada wanita mau mengamen di jalanan untuk mencari makan. Kayaknya wanita sekarang kan identik pergi ke mall dan menyalon, duitnya tinggal minta lagi. Baru kusadari ternyata mencari uang itutak mudah. Wanita-wanita itu pasti tak tahu orang tuanya mencari uang jungkir balik, eh anaknya cuma bisa foya-foya.
Dari perjalanan hari ini juga, aku mendapat pelajaran kalau pekerjaan mengamen itu tak nista. Kita kan menjual suara. Aku bangga dengan diriku karena bisa mencari uang meski dengan mengamen. Yang penting kan jerih payah sendiri. Secara tak langsung aku sudah meringankan beban orang tua.
“So, ngamen why not gitu loh?” Batinku berucap.
Sambil tersenyum, kumulai baca doa tidur dan berharap mimpi kali ini lebih indah dari perjalananku siang tadi.
*
KETERANGAN:
Cerpen di atas dibikin saat Ken Ratu masih duduk di kelas 2 SMP Negeri 2 Kota Tegal. Sekarang Ken Ratu duduk di kelas 3 SMK Negeri Kota Tegal. Novel 'Pelangi Tiga Minggu' yang dia tulis saat kelas tiga SMP menjadi Cerita Bersambung pada Harian Suara Merdeka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar