Senin, 28 September 2009

ALBUMFOTO KELUARGA

Laras sedang panyungan di depan rumah neneknya, Salamah, di Dukuh Sabrang, Desa Pangkah, Kecamatan Pangkah, Kabupaten Tegal. Bersama ibu dan aku bertandang ke rumah nenek waktu hari lebaran tahun 2009. (Foto :Lanang Setiawan)

Laras (berkacamata hitam) dan para ponakanku di rumah Kalibuntu, Kelurahan Panggung,Kota Tegal waktu hari lebaran pertama tahun 2009.

Laras dan Vira
Vira dan Laras
Laras berziarah di makam kakaknya, Ken Narendra Mediasah Muhammad saat hari lebaran 2009, di pemakaman Pasir Luhur, Kelurahan Slerok, Kecamatan Tegal timur, Kota Tegal,Jawa Tengah, Indonesia (Foto :Lanang Setiawan)

Laras sedang panyungan di depan rumah neneknya, Salamah, di Dukuh Sabrang, Desa Pangkah, Kecamatan Pangkah, Kabupaten Tegal. Bersama ibu dan aku bertandang ke rumah nenek waktu hari lebaran tahun 2009. (Foto :Lanang Setiawan)

Foto Keluargaku

Ken Ayu Laras Queena (berkacamata hitam) dan ponakan-ponakanku di hari lebaran.

Reza (anak nomor dua Lintang Sandi Alam) dan Laras. Mereka saling lirik. Manis sekali dan akrab.
Ken Rezar Setiawan,anak pembarepku.

Laras sedang panyungan di depan rumah neneknya, Salamah, di dukuh Sabrang, Desa Pangkah, Kecamatan Pangkah, Kabupaten Tegal. Bersama ibu dan aku bertandang ke rumah nenek waktu hari lebaran. (Foto :Lanang Setiawan)

Foto-Foto Keluarga Kalibuntu

Ken Ayu Laras Queena di tengah-tengah antara ponakanku, Lintang Sandi Alam dan istrinya. Membelakangi kamera Vira, saat bersilahturami di rumahku pada hari lebaran (Foto: Lanang Setiawan)
Laras (berkacamata) dengan saudar-saudaranya (ponakanku) berkumpul saat hari lebaran pertamadi Kampung Kalibuntu, Kelurahan Panggung, Kecamatan Tegal Timur, kota Tegal, tempat kelahiranku (Foto :Lanang Setiawan)
Ken Ayu Laras Queena dan Vira (anak pembarep dari Lintang Sandi Alam -ponakanku) memperlihatkan buah maja, saat hari lebaran di rumahku (Foto : Lanang Setiawan)

Selasa, 22 September 2009

Baca Sajak 4 Bahasa Lokal Untuk Mendiang Rendra

Baca Sajak 4 Bahasa 40 Hari Wafatnya Rendra Puncak Acara Kesenian Spektakuler

MALAM pembacaan terjemahan puisi karya Rendra, Selasa (15/9) lalu menjadi puncak acara spektakuler diantara pagelaran kesenian yang pernah diadakan. Pada malam “Mengenang Kematian Rendra” dan “40 Hari Wafatnya Rendra” yang digelar Dewan Kesenian Kota Tegal sebelumnya, tak lebih dari sekadar aksi pentas tanpa memiliki getaran apa-apa karena dilakukan hanya bertumpu pada teks-teks bahasa aslinya, seperti pembacaan puisi pada umumnya yang sama sekali tidak melahirkan geliat kebudayaan baru. Lain sekali pada malam 40 kematian Rendra yang digeber oleh komunitas Asah Manah bekerjasama dengan Sanggar Putik 99 Slawi, dan Komite Seni – Sastra Dewan Kesenian, Kabupaten Tegal, justru melahirkan aura pembaharuan. Tidak tanggung-tanggung, pagelaran malam itu mengusung 4 bahasa. Bahasa Tegal, Banyumas, Solo, dan Aceh. Demikian penyair Banyumas, Ekadila Kurniawan mengatakan hal itu seusai membacakan sajak Rendra “Sajak Wong-wong sing pada Kecot” dalam terjemahan Banyumasan dari sajak asli berjudul “Sajak Orang-orang Lapar”. Acara tersebut digeber di pelataran parkir Gedoeng Rakyat Balai Kesenian Kabupaten Tegal dalam rangka “Pengètan Patangpuluh Dina Tilar Donyané WS. Rendra”.


Keterangan Foto : Dinda Kharisma, Lanang Setiawan, dan Ekadila Kurniawan saat meramaikan acara mengenang 40 hari kematian Rendra


Menurut Ekadila, pagelaran tersebut benar-benar diluar jangkauan pikirannya karena dikemas sangat langka dan baru pertama kali di nusantara. “Ini benar-benar acara spesifik dan berbobot. Baru kali saya menemui pagelaran cukup unik, karena hanya dengan bilangan satu malam sajak Rendra diterjemahkan dalam 4 bahasa,” tuturnya. Eka mengaku antusias mengikuti acara tersebut, berkaitan dengan materi yang diangkat itu memiliki tantang. Masing-masing penyair diwajibkan menterjemahkan sajak Rendra dalam bahasa lokal. Ia sendiri harus bersusah payah menterjemahkan sajak Rendra dalam Bahasa Banyumasan. Bagi Eka, menterjemahkan dan membawakan sajak tersebut tidaklah mudah. Ia musti berlatihan secara mendalam untuk bisa fasih menggunakan bahasa ibu-nya. “Rasanya beda sekali ketika saya membacakan sajak alsinya. Saya sendiri waktu menterjemahkan sajak itu ke dalam Bahasa Banyumasan membutuhkan waktu satu minggu lebih,” kata Eka. Hal yang sama dirasakan juga oleh penyair Solo, Sosiawan Leak. Meski dia sudah berpengalaman melakukan lawatan budaya dengan pembacaan puisi, namun ketika menghadapi sajak terjemahan, ia mengaku harus berlatih beberapa hari. “Membaca dan menterjemahkan sajak Rendra dalam bahasa lokal Solo, ternyata tidak gampang. Saya kesulitan mencari padanan kata agar tidak menggusur makna dari sajak aslinya,” kata Leak. Ketika Leak membacakan sajak “Donga Nom-noman Rangkasbitung ing Rotterdam” dari sajak asli berjudul “Doa Pemuda Rangkasbitung di Rotterdam”, ia tampak kikuk pada awal pembacaan. Leak mengaku tak biasa membawakan sajak Rendra dalam teks-teks bahasa ibu-nya. “Pada tanggal 13 September lalu saya baca sajak Rendra di Kota Tegal dalam teks aslinya, malam ini saya dihadapkan pada teks terjemahan Bahasa Solo, saya merasakan ada nuasa lain yang asing. Tapi pagelaran di Slawi malam ini sangat menarik dan kreatif sekali,” akunya. Penyair Abu Ma’mur, Mi’raj Andhika, Dinda Kharisma, Yaskur Parondina, dan Linda Manise yang baru pertama kali membaca sajak terjemahan Tegalan, juga mengaku kerepotan. “Jebulé tak gampang baca sajak dalam bahasa lokal, ya?” ujar Linda Manise yang malam itu membawakan sajak terjemahan Diah Setyawati berjudul “Sajak Mané” dari sajak asli berjudul “Sajak Ibu”. Sementara itu ‘Si Pelukis Setan’, Indraning yang membacakan sajak “Kangen” terjemahan Solo-nan, menjadi pengalaman pertama yang mengasyikan. “Seumur-umur saya baru malam ini baca sajak, apalagi pakai Bahasa Solo luar biasa sulit.,” katanya. Ia mengaku, kendati merasa sulit namun asyik juga baca sajak terjemahan. Menurutnya, seperti ada pengalaman yang asing ketika ia melantunkan bait-bait puisi itu. Begitu juga ketika dia mendengarkan sajak-sajak Rendra yang diterjemahkan dalam Bahasa Tegalan, Aceh, dan Banyumasan. “Bener-bener penuh greget yang tak bisa diperoleh dari sajak-sajak yang menggunakan bahasa nasional. Saya merasakan pagelaran ini menjadi acara tiada dua dari acara-acara serupa,” tandasnya. Membaca sajak terjemahan dari bahasa ibu-nya, diakui oleh para penyair yang malam itu tampil, memiliki satu keindahan khusus meski mereka mengaku agak kikuk. Meski demikian, acara yang mengundang banyak pengunjung itu berlangsung cukup gayeng. Selama pagelaran, para penonton tak satupun beranjak dari tempat mereka duduk lesehan. Mereka antusias mengikuti jalannya acara. Bahkan ketika penyair dan penulis buku Hamidin Krazan membawakan sajak “Seonggok Jagung di Kamar”, penonton turut berdendang ketika dia membangkitkan suasana pentas dengan tembang dolanan. Bahasa ‘ngapak-ngapak’ Banyumasan yang dia pakai, mampu menciptakan suasana penuh greget dan sorak. Tak kalah menarik juga ketika muncul penyair Mi’roj Adhika membawakan sajak “Rick sing Coronna” dalam terjemahan Tegalan, aplaus penonton berkepanjangan karena Bahasa Tegalan yang dia bawakan cukup medok dan sangat memikat “Saya bangga dengan Bahasa Tegalan, mas Lanang sangat pas menterjemahkan sajak Rendra Rick Dari Coronna itu. Saya jadi ingin membawakan lagi pada even lain,” kata Mi’roj yang kondang ‘Si Burung Wambie’ itu usai pembacaan. Tak mau kalah penyair Abu Ma’mur. Dengan membawakan sajak “Wong Wadon sing Kesisih” dari sajak Rendra berjudul “Perempuan yang Terusir”, Ma’mur tampil menghentak dengan logat Tegalannya yang menggigit. Ia menguasai pembacaan dengan penghayatan penuh, kadang-kadang juga seperti lolongan srigala di malam buta seakan-akan merasakan kepedihan penderitaan kaum wanita yang nasibnya disingkirkan oleh kesewenangan. Sebagai pembaca puisi, Ma’mur tampil amat utuh memberikan nuasa Tegalan yang memiliki kekuatan pukau. Ia mengaku, Bahasa Tegalan sebagai bahasa sastra membawa gairah kebudayaan di jagat khazanah sastra nasional. “Baca sajak dengan bahasa nasional, orang awam pun bisa. Tidak perlu hafalan, langsung bisa. Tapi baca sajak dengan bahasa lokal, sungguh penuh tantangan!” katanya. Pada puncak acara, tampil novelis ‘Pengendara Badai’ Lanang Setiawan. Dengan melantunan lagu tegalan “Tragedi Jatilawang” ciptaannya, ia ‘menghipnotis’ penonton untuk tetap terpaku. Aransemen musik orkestra yang dikemas oleh violis Bintoro Tanpo Aran, menjadikan lagu itu semakin berkelas. Apalagi ketika Bupati Tegal Agus Riyanto tampil membacakan Catatan Putu Wijaya tentang konsisten Rendra sebagai tokoh pembahru, acara tersebut melipat-gandakan makna pagelaran. Dan ketika kemudian Agus didesak penonton untuk menyanyikan satu tembang dari album miliknya, para penonton turut berdendang bersama. Usai penampilan bupati, sederetan musikalisasi puisi oleh grup musik Asah Manah, melengkapi malam itu seperti dipenuhi sihir pukau, karena kelompok ini tampil prima dengan garapan musik tak sekadar muncul, tidak seperti kelompok musik yang mengaku sebagai kelompok musik sastra. Grup pimpinan Diah Setyawati itu membawakan sajak-sajak Diah Setyawati dan Nganti Wani Wiji Thukul, dinyanyikan oleh Bintoro dan Dinda Kharisma. Menurut ketua penyelenggara, Diah Setyawati, puisi-puisi terjemahan yang dibacakan malam itu ada 25 buah. Selain diterjemahkan oleh Lanang Setiawan, Diah Setyawati, Sosiawan Leak, Hamidin Krazan, Ekadila Kurniawan, Indraning, Abu Ma’mur, dan lain sebagainya. ”Ini luar biasa, puisi Rendra disulap dalam berbagai bahasa lokal menjadi semakin akrab dengan kita. Enak, lugas dan menyenangkan,” ujar Diah. Ditambahkan, kegiatan ini dimaksudkan untuk menyemarakkan geliat berkesenian dengan berpijak pada spirit Rendra dan spirit Tegal. “Diharapkan kegiatan ini tidak sebatas seremonial mengenang almarhum melainkan untuk menambah daya dalam berkarya seni apapapun bentuknya. Ppengangkatan bahasa ibu sebagai media penerjemahan sajak-sajak Rendra, antara lain agar penyair lebih intens dalam olah bahasa,” tandas Diah. Selain mereka, panitia juga mengundang penyair Haryono Sukiran (Purbalingga), Lukman Suyanto (Brebes), Cak Kacung (Padepokan Bengkel Teater Rendra), Bukhori (Pemalang), dan secara khusus panitia mengundang Cik Firmansyah dari Aceh yang malam itu membawakan sajak Rendra dalam kemasan budaya Aceh. Dia tampil dengan diiringi seruling dan tari etnis yang dibawakan Wahyu Boled Cs (*)

Jumat, 11 September 2009

SASTRA TEGALAN SEBAGAI 'ANJING PENJAGA'


Sastra Tegalan sebagai ‘Anjing Penjaga’

Oleh Lanang Setiawan

Sastra tegalan kian booming di ranah sasterawan Tegal. Pencitraan dan penguatan jatidiri ini tampak kentara ketika beberapa waktu lalu digelar acara “Malam Mengenang Rendra” dibeberapa tempat di Kota Tegal. Tidak sedikit para penyair menyuarakan sajak-sajak Rendra dalam diterjemahan bahasa Tegal.

Sastra tegalan sebagai ikon Tegal yang makin diusung mereka agar lebih agresif, aktif, dan moncer di wilayahnya, tak bisa dipungkirin mulai melangkah dan menggebrakadalah ketika mereka melakukan pembacaan antologi “Roa, Kumpulan Sajak Penyair Indonesia Terjemahan Tegalan” di Taman Budaya Surakarta tahun 1994 silam. Gerakan pembrontakan ini kemudian disusul lewat undangan lawatan pembacaan puisi tegalan ke Indramayu, “Jèd-jèdan (adu) Maca Puisi Tegalan” antara Walikota Tegal Adi Winarso, Bupati Tegal Agus Riyanto, Ketua DPRD Tegal Ghautsun, plus dua anggota dewan, para birokrat, dan para seniman di Gedung Kesenian Tegal, diteruskan gerakan Bupati Tegal dan para seniman mendobak pembacaan “Tembangan Banyak” ketika kami diundang ke “Wapres”, di Bulungan, Jakarta. Belakangan kami tidak tanggung-tanggung merayakan “Hari Sastra Tegalan” yang kami peringati tiap tanggal 26 Nopember dengan melakukan pembacaan puisi tegalan di Semarang dan TBS. Sejak itu, sastra tegalan pun makin menjadi booming.

Gerakan kebudayaan yang kami dikibarkan itu, oleh sebagian kalangan dinamai sebagai gerakan pembrontakan memperjuangakan bahasa ibu yang selama ini bahasa Tegal kerap diidentikan sebagai bahasa pinggiran, norak, udik atau kampungan, dan tak bertatakarma, ternyata mampu menjadi hulu ledak di ranah kasusastraan nasional. Sekaligus menjadi sebuah breaking news yang memaksa para sasterawan untuk menyimak gerakan kami.

Tak dipungkiri, dengan lahirnya terjemahan puisi “Nyanyian Angsa” karya WS. Rendra yang diobrak-abrik ke dalam bahasa Tegal menjadi “Tembangan Banyak”, suasana keanehan terasa menghentak dan memancing luapan gelombang pro dan kontra di kalangan para sasterawan. Toh, kami tetap melakukan kebinalan bersastra ria demi kepedulian kami mendudukan kebesaran bahasa lokal. Kami sepakat ingin menunjukkan bahwa bahasa kami lebih demokratis dan membumi sebagai alat penyampai sastra, sakaligus menjadi ‘pembangkang’ dari dominasi bahasa ‘wetanan’. Kami sadar, berabad silam kami menjadi daerah ‘jajahan‘ atas domonasi bahasa wetan sejak jaman nenek moyang. Kami ingin mandiri dengan produk kebudayaannya sendiri sekali pun kebudayaan kami dinilai urakan, namun itu lebih baik ketimbang harus menjadi parasit berbilang abad.

Kami tak rela kalau karya sastra Jawa harus diarahkan menjadi seragam menggunakan bahasa ‘wetanan’. Kami tak rela kalau puisi Jawa itu parameternya berkiblat pada Solo, itu artinya karya sastra Jawa tidak beranjak dari estetika lama. Kami ingin menentukan teks-teks baru yang lebih berkarakter dan membebaskan diri dari gaya dan estetika para pendahulu.

Sebagai anak muda kami harus berani tampil. Kita ambil contoh, keberhasilan Soekarno membangun Indonesia disebabkan karena dia memulai kepemimpiannya dalam usia yang masih sangat muda. Bukan orang yang sudah sunset generation. Ibaratnya, yang muncul tengah hari seperti matahari yang sedang garang-garangnya, begitu juga kami. Kami mau muncul pada saat matahari sedang terik meluap-luap. Kalau mendekati ashar, mendekati magrib, itu sama artinya mendekati hampir gelap dan tidur. Kami betul-betul dilanda birahi dalam proses kesumat pencarian obsesi gebrakan ini. Kami serius sekali memikirkan hal ini agar bahasa ibu kami bener-benar menjadi ikon di kota kami.

Dalam pikiran kami, perkembangan kebudayaan itu tidak harus menyempit. Memberikan pemahaman habitat dan citra seni ini harus bergeser. Begitu juga dalam pagelaran baca puisi. Dulu, yang namanya baca puisi hanya menggunakan teks-teks sastra berbahasa nasional, tanpa melirik perkembangan kesusastraan yang sedang terjadi. Oleh karenanya, wacana pemikiran semacam itu perlu didobrak, karena akan mempersempit gerak dan pekembangan kebudayaan secara global.

Sastra tegalan harus lahir dan menjadi hulu ledak, tentu dibutuhkan perjuangan tanpa kenal lelah, lesu, dan anget-anget tai ayam. Tapi kenapa harus sastra tegalan yang musti dilahirkan dan eksis?

Kami kira, memahami dinamika kebudayaan itu tak cukup senantiasa berkutat pada pemahaman yang sempit. Lebih lagi untuk sastra tegalan yang sedang kami bangun, sebagai sebuah produk kebudayaan diharapkan agar tidak statis beku atau tidak mengenal perkembangan. Memahami kebudayaan dengan cara demikian, hanya akan membuat kita kalap dan ribut besar, seolah ada entitas yang bisa dirampok dari kebudayaan itu. Ranah kebudayaan bernama tegalan harus dibuka lebar-lebar, mblusuk-mblukus ke segala lini dan mrembes pada tataran status apa saja.

Bagi kami, memperjuangkan gerakan tegalan itu harus jumbuh pada pengamalan UUD 45, ini yang pertama. Yang kedua, kami ingin memberi pemahaman bahwa sesungguhnya soal kebahasaan itu tidak ada yang lebih “tinggi” atau “adiluhung”. Dengan demikian, yang namanya sekat-sekat kebudayaan jadi mencair: tak ada bedanya antara yang “serius” dan “pop”, antara yang dianggap “tinggi” dan “rendah”, antara yang “gedongan” dan “jalanan” (Kompas, halaman 12, Minggu 30 Agustus 2009).

Bahasa tegalan sebagai bahasa lisan yang kerap dipandang nyinyir dan dianggap sebagai buah karsa kaum marjinal, sangat berkeinginan menjadi bahasa sastra yang berkelas dan punya daya sengat.

Kedua, gerakan ‘pembrontakan’ kebudayaan kami ini dimaksudkan agar bahasa tegalan kami menjadi ‘anjing penjaga’ dari kepunahan bahasa lokal sebaimana yang dimaui oleh UUD 1945. Tahukah saudara?

Dalam terminologi politik kebangsaan, kata bahasa terkait dengan pasal 36 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa bahasa negara ialah Bahasa Indonesia. Sedangkan mengenai bahasa daerah disebutkan dalam pasal 32 (ayat 2) bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya Nasional. Dalam penjelasan pasal 36 UUD 1945 juga disebutkan bahwa ‘di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik, --misalnya Bahasa Jawa, Sunda, Madura dan seterusnya sebagainya. Bahasa-bahasa itu dihormati dan dipelihara juga oleh negara. Bahasa-bahasa itupun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup. Dan sebagai warisan budaya, bahasa lokal itu telah diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 36 dan UU Otonomi Daerah 2004 ps. 22 huruf m jelas-jelas seluruh komponen masyarakat lokal hendaknya memelihara dan melestarikan warisan sosial budaya. Salah satu warisan tersebut adalah bernama Bahasa Tegal. Jadi, apa yang kami lakukan bukannya sesuatu yang nganeh-nganehi atau ngawur. Tapi berpijak pada UUD 45 maupun UU Otonomi Daerah.

Pelajaran Penting

Sebagai sebuah gerakan memperjuangkan bahasa lokal, terus terang saja kami ingin sekali memberikan pelajaran penting tentang nuansa demokrasi kepada siapapun agar mereka bisa menghapus sikap rasialisme terhadap perbedaan bahasa. Karena apapun alasannya, yang namanya bahasa itu memiliki kekuatan sendiri-sendiri, tidak ada yang lebih “unggul”, “mapan”, atau ”terendahkan”. Soal kebasaan itu berkedudukan sama rendah dan mulia. Pemahaman inilah yang memaksa kami untuk tetap memperjuangkan bahasa tegalan, biarpun para sastrawan pada puyeng, terperangah, dan klenjengan layaknya tersengat kalajengking dengan antupnya yang garang. Atmosfer polemik biar terjadi diantara kritikus, pengamat seni, pemerhati sastra, budayawan, paus sastra atau wader sastra, saling beradu argumentasi dalam kegaduhan pro dan kotra. Sedang kami akan selalu terobsesi untuk menebar virus tegalan sebagai bentuk kreativitas dalam pemberontakan berkesenian.

Kredo kami; siapa pun orangnya akan kami goda untuk terlibat dalam sastra tegalan. Dan semakin kami disepelekan, kami akan menindas dengan karya sastra tegalan. Kami ingin berkeliaran ke mana-mana dengan kemungkinan-kemungkinan yang tak bisa ditebak dan dipasung. Kami ingin menembus ruang dan waktu, mengalir, merembes ke seluruh wilayah dan status sosial hingga terbit fajar baru (*).



MI' ROJ PENYAIR 'SI BURUNG WAMBIE'


Mi’roj Adhika AS, Penyair ‘Si Burung Wambie'

Garis keturunan dia tergolong agamis. Bapaknya, H. Abd Shomad adalah kiai terpandang di wilayah Pekiringan, Kecamatan Talang. Juga ibunya, Nyai Sarisah, ustadjah. Sementara 9 saudara kandungnya berprofesi sebagai ustad. Namun jalur hidup dia justru berbelok menapaki dunia syair. Moch. Mi’roj Adhika AS, demikian nama lelaki kelahiran 14 Januari Desa Pekiringan, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal itu, malah lebih kerasan memilih menjadi seorang penyair.

Baginya, antara profesi ustad dan penyair sama saja. Keduanya memiliki kesamaan menyampaikan kebenaran. “Antar penyair dan ustad itu, perbedaannya sangat tiois, cuma sekulit ari. Keduanya sama-sama menyampaikan kebenaran,” tutur Mi’roj yang kesohor dengan julukan ‘Si Burung Wambie’ karena ketika dia membacakan sederet puisi, suara dia mirip melengking burung Wambie, mengkristal dan mampu menembus keriuhan. Demikian pula kibasan tangannya seolah kepakan sayap Wambie.

Mi’roj -demikian biasa disapa, adalah putra ke 7 dari 11 bersaudara pasangan KH. Abd. Shomad dan Nyai Sarisah. Mi’roj mengaku menekuni dunia kepenyairan sejak kelas satu MTs Negeri Slawi. Sajak-sajak sufinya yang dia tulis sarat dengan tema sosial, banyak dimuat di berbagai media massa nasional maupun lokal.

Tidak sedikit pula sajaknya terangkum di beberapa antologi seperti Antologi Puisi Indonesia (API) penerbit Angkasa Bandung tahun 1997, Jentera Terkasa tahun 1998 terbitan Taman Budaya Surakarta, Potret Negeri Londok Kasmaran, 1998, Juadah Pasar 1998 terbitan media Tegal Tegal dan Dewan Kesenian Tegal, 1998, Potret Reformasi Dalam Ruh Puisi Tegalan 1998, Sajak Cinta Bulan Tembaga 1999, Manusia Angin 2000, Tusukkan-tusukkan Ilalang 1999, Puisi Cinta terbitan Teater KITA, 2002 dan masih banyak lagi.

Bagi Mi’roj, menulis puisi adalah panggilan nurani. Ia merasa dengan berpuisi dirinya telah berbuat kebajikan. “Aku seperti berkhalwat dan terbang jauh ke alam ilahiyah dengan sajak-sajak yang suci yang benar-benar keluar dari rohani,” katanya mantap.

Meski dia punya kegilaan menulis puisi, namun tidak serta-merta dia menumpahkan bait-bait puisinya dengan sembarangan. Karena menurutnya, proses penciptaan puisi dibutuhkan suasana sublim yang tepat. Baginya, satu puisi bisa ditempuh berbulan-bulan lamanya seperti pada sajak berjudul Renungan Sukma; //……/rembulan tertegun/di atas/batu nisan//Sambil/menghitung-hitung/tasbih/memuji-Nya//.

Menurut dia, puisi di atas dicipta dengan proses sangat sublimasi. Dalam bahasa penyair, proses tersebut diperjuangan dengan ‘berdarah-darah’. “Saya menulis puisi itu setelah berkhalwat selama 40 jumat di makam Pangeran Purbaya Syeh Abd Ghofar di Kalisoka,” katanya.

Mi’roj tidak hanya menulis puisi. Di wilayah Slawi dan Tegal, dia tergolong sebagai pembaca puisi yang sudah bilang tahun dan diperhitungkan. Prestasi yang diukirnya pernah menjadi pembaca puisi terbaik di PC NU Kabupaten Tegal, pemenang juara Lomba Cipta Puisi Cinta di Pekalongan, dan beberapa kejuaraan lainnya.

Sebagai pembaca puisi, dia kerap diundang dalam berbagai pertemuan penyair se-Indonesia, termasuk membacakan sejumlah karyanya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta 1997. Tahun 1998 diundang diskusi dalam acara temu Penyair Angkatan Reformasi, di Solo. Ditahun yang sama dia membacakan puisinya saat peluncuran antologi puisi Jentera Terkasa di Taman Budaya Surakarta. Pada tahun 2008 diundang dalam acara Pesta Penyair Nasional, di Kediri.

Sampai sekarang, Mi’roj masih bergabung dengan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) sejak dari tahun 1997. Lelaki yang masih betah membujang ini bersama begawan dan penyair Apito Lahire menggerakan sastra di wilayah Kabupaten Tegal lewat Komunitas Sastra Tegal (KST) dan melalui Teater Pawon. Kehidupan kepenyairannya sengaja dipertahankan karena dia memandang bahwa dunia puisi perlu diperjuangkan, agar jagat sastra di wilayah Kabupaten tetap hidup dan subur.

“Kehidupan sastra, terutama dunia puisi harus tetap eksis agar ada keseimbangan ditengah-tengah kerihuhan jaman yang ukurannya senantiasa dengan takaran kebendaan,” katanya.

Baginya, dunia penyair adalah dunia kemerdekaan berpikir. Demikian pula dalam bertauhid, syaratnya adalah berfikir dengan merdeka. Tak mengherankan kalau dia selalu berpikir dan bersikap merdeka. Ini terbukti ketika banyak saudaranya menjadi ustad, dia malah memilih hidup sebagai seorang penyair.

Selain sebagai penyair, Mi’roj adalah seorang pengajar di SMA NU 01 Wahid Hasyim Talang, dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Shalahuddi Jakarta kampus Pekalongan. Juga sebagai Ketua Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia) NU Kabupaten Tegal, Pengurus Percasi Kabupaten Tegal, Pengurus Forum Guru Swasta Kabupaten Tegal divisi seni budaya, dan Sekretaris Yaysan Shofa Plus Kabupaten Tegal. Banyaknya organisasi yang dia masuki, karena ingin menunjukkan bahwa hidupnya itu harus bermanfaat bagi dimasyarakat kendati sekecil apapun. “Sekali berarti, sesudah itu mati,” tandas Mi’roj meminjam kata-kata penyair Chairil Anwar.

Dalam waktu dekat, Mi’roj akan mendeklamasikan puisi-puisi religiusnya di Kendal, Semarang, Kudus, Pati, Indramayu, dan Jakarta atas biaya sendiri (*)

BIODATA:

Nama : Moh. Mi’roj Adhika AS

Tempat/tgl lahir : Tegal, 14 Januari/27 Rajab

Ayah : KH. Abd. Shomad

Ibu : Nyai Sarisah

Pekerjaan : Pendidik

Alamat : Jl. Beji Pekiringan Rt 08/02 No 38

Kecamatan Talang Kabupaten Tegal

Organisasi : PC (Pengurus Cabang) IPNU Kabupaten Tegal 1992-2006

PC Ansor Kabupaten Tegal 2006-2009

Ketua Lesbumi Kabupaten TEgal

Ketua Komunitas Sastra Tegal di Slawi

Pengurus Percasi Kabupaten Tegal

Pengurus Forum Guru Swasta Kabupaten Tegal divisi Seni Budaya

Sekretaris Yayasan Shofa Plus Kabupaten Tegal

Prestasi : Pembaca puisi terbaik di PC NU Kabupaten Tegal

Juara Lomba Cipta Puisi Cinta di Pekalongan

Antologi : Tergabung di Antologi Puisi Indonesia (API) tahun 1997

Jentera Terkasa, tahun 1998

Potret Negeri Londok Kasmaran, 1998

Juadah Pasar, Tegal1998

Potret Reformasi Dalam Ruh Puisi Tegalan, 1998

Sajak Cinta Bulan Tembaga, 1999

Manusia Angin, 2000

Tusukkan-tusukkan Ilalang, 1999

Puisi Cinta, 2002


Minggu, 06 September 2009

Mengenang Jenate Rendra 40 Hari

40 Dina Jenate WS. Renda Hadirkan
Penyair 4 Kota Bawakan
Sajak Terjemahandan dan Lagu Tegalan

Komunitas ‘Asah Manah’ pimpinan penyair Diah Setyawati bakal usung beberapa penyair dari 4 kota dalam pagelaran “Patangpuluh Dina Jenate WS. Rendra” dalam kemasan pembacaan puisi dan gelar musik tembang-tembang tegalan. Penyair 4 kota itu terdiri dari daerah Tegal, Banyumas, Indramayu, dan Solo. Mereka adalah Apas Kafasi, Linda Manise, Apito Lahire, Moh. Mi’roj Adhika, Abu Ma’mur, Diah Setyawati, Tambari Gustam, dan lain sebagainya (Tegal). Dari Indramayu, para penyair siap hadir diantarnya Nurochman Sudibyo, Acep Syahril, Supali Kasim, dan Hadi Utomo bakal membacakan sajak Rendra terjemahan Indramayu. Dari Banyumas, yaitu Ekadila Kurniawan, dan Hamidin Krazan. Sementara dari Solo penyair Sosiawan Leak, si pelukis ‘setan’ Indraning, dan besar kemungkinan di akan tampil Ki Dalang Slamet Gundono beserta komunitas wayang suketnya. Para penyair dari 4 kota itu nantinya wajib membawakan sajak Rendra dalam terjemahan bahasa daerahnya masing-masing. Hal ini menurut Ketua Penyelenggara, Diah Setyawati, dimaksudkan agar bahasa lokal tetap hidup dan menjadi kekuatan, bukan bahasa yang senantiasa dipinggirkan. “Bahasa lokal itu mustinya menjadi bahasa yang menguatkan bahasa nasional, bukan malah dipinggirkan atau dijauhi oleh para sastrawan,” katanya. Menurut Diah, untuk membangun perkembangan kebudayaan itu tidak harus terpatok pada khasanah sastra nasional saja. Jika hal itu terjadi, perkembangan sastra akan menyempit. “Memahami kebudayaan dengan cara demikian, hanya akan membuat kita kalap dan ribut besar, seolah ada entitas yang bisa dirampok dari kebudayaan itu. Ranah kebudayaan dengan bahasa lokal harus dibuka lebar-lebar, mblusuk-mblukus ke segala lini dan merembes pada tataran status apa saja. Seperti juga dalam pagelaran baca puisi yang sedang kami gagas ini, harus menggelobal di mana usur bahasa bukan lagi menjadi permasalahan yang menggelisahkan para pelakunya,” tandasnya. Konsep itulah yang diharapkani Diah, tak lain agar ranah sastra nasional semakin beraneka ragam, tidak hanya dijejali penggunakaan bahasa nasional, namun sastra lokal pun layak dicatat dan mendapat tempat. Dia mencontohkan, dulu, yang namanya baca puisi hanya menggunakan teks-teks sastra berbahasa nasional, tanpa melirik perkembangan kesusastraan yang sedang terjadi. Oleh karenanya, wacana pemikiran semacam itu perlu didobrak, Hl itu demi kemajuan sastra yang tidak membeda-bedakan bahasa. Karena kedudukan bahasa dalam kebudayaan itu sama. Tidak ada yang lebih “tinggi” atau “adiluhung”. Oleh karenanya, sekat-sekat kebudayaan harus mencair: tak ada bedanya antara yang “serius” dan “pop”, antara yang dianggap “tinggi” dan “rendah”, antara yang “gedongan” dan “jalanan”. Acara malam mengenang “Patangpuluh Dina Jenate WS. Rendra” yang rencananya digelar, Selasa 15 September 2009 mendatang itu, selain mengusung para penyair, dimeriahkan juga penampilan Dinda dan Bintoro. Mereka akam membawakan tembang tegalan ‘Tragedi Jatilawang’ ciptaan Lanang Setiawan yang sudah diaransemen ulang oleh Bintoro dengan irama orkestra berkolaborasi dengan musik-musik etnis. Acara bertempat di Gedung Rakyat Balai Kesenian Kabupaten Tegal, pukul 20. 00 Wib (*)

KETERANGAN FOTO: Penyair Diah Setyawati berfose dibelakang lukisan salah satu karyanya (Foto : Lanang Setiawan)

Kamis, 13 Agustus 2009

EKO TUNAS PUJI PENAMPILAN TAMBARI GUSTAM


Eko Tunas:i
Tambari Memukau Penonton dengan

’Dadiya Siji Tlembuk-tlembuk Kota Jakarta’

JANJI
seniman pentolan Tegal H. Tambari Gustam mengguncang malam Mengenang Rendra, menjadi kenyataan bukan umbrusé tok (gede kosong -red). Dengan membacakan sajak ‘Dadiya Siji Tlembuk-tlembuk Kota Jakarta’, ia tampil memukau disaksikan para seniman dari berbagai kota, Rabu (12/8) malam di pelataran Gedung PKK Jalan Setiabudi, Kota Tegal. Bahkan budayawan Eko Tunas pun merasakan penampilan Tambari Gustam menjadi bintang selama berlangsungnya acara tersebut.
“Haji Tambari Gustam tampil memukau dengan pelacur-pelacur Kota Jakarta, dalam iringan musik dan konfigurasi cewek-cewek sexy. Puisi tegalan yang dibawakan dia sekaligus sebagai tanda acara Rendra yang lebih spesifik hanya di Tegal,” puji sastrawan Eko Tunas ketika mengomentari penampilan Tambari dalam pembacaan puisi ‘Dadiya Siji Tlembuk-tlembuk Kota Jakarta’ terjemahan dari sajak ‘Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta’ karya WS. Rendra.
Tambari tampil dengan mengusung cewek-cewek ABG sexy yang berperan sebagai ‘tlembuk-tlembuk Kota Jakarta’. Dengan baju yang sexy dan mengundang, serta liukan tarian diiringi kelompok Musik Wayang Sastra Balo-balo pimpinan Tambari Gustam, pementasan malam itu menjadi sebuah puncak aksi diantara para seniman Tegal, Brebes, Slawi dan dari luar Kota Tegal. Sungguh daya pukau, kejutan, dan gelegar sastra tegalan yang dibawakan dia menandai adanya kebesaran puisi Tegalan yang saat ini telah menjadi booming.
“Saya sampai merinding dan tergeriap menyaksikan sajak ‘Dadiya Siji Tlembuk-tlembuk Kota Jakarta’ yang dibawakan Tambari plus cewek-cewek sexy dan musik yang disuguhkan, serta kostum bagus, gerak tampilan teatral, vokal terjaga dalam puisi panjang. Hingga di akhir pementasan para pengunjung pun ikut berjoget bersama Tambari dan cewek-cewek sexy,” papar Eko Tunas yang bola matanya tak bekedip.
Rabu (12/8) malam Tambari Gustam memang tampil habis-habisan dengan seluruh daya ledakan ekspresi keseniman yang dia miliki, penuh gemuruh mengejutkan. Agaknya dia menyiapkan betul dan penuh kesungguhan dalam mempersiapkan pementasan itu.
Pukau kebesaran sajak-sajak tegalan yang saat ini telah menjadi ikon Kota Tegal itu, pertama kali meledak dan menggemparkan saat novelis ‘Pengendara Badai’ Lanang Setiawan mengusung sajak-sajak terjemahan karya WS. Rendra ke dalam bahasa Tegal itu terjadi di tahun 1994 bersama para seniman Tegal di Taman Budaya Surakarta. Sejak lawatan sastra tegalan itu, booming sajak tegalan mengundang kegemparan dan pada akhirnya banyak undangan yang dating bertubi-tubi. Diantaranya undangan ke Indramayu, komunitas ‘Wapres’, Bulungan Jakarta, sampai kemudian Walikota dan Bupati Tegal; Adi Winarso dan Agus Riyanto tampil dalam acara ‘Jed-jedad Maca Puisi Tegalan’ beberapa tahun silam.
Tak mengherankan pula, sejak meledaknya puisi-puisi tegalan, para seniman Tegal pun menetapkan ‘Hari Sastra Tegalan’ jatuh pada tanggal 26 Nopember. Setahun lalu, ‘Hari Sastra Tegalan’ itu dirayakan secara besar-besaran oleh para seniman Tegal di Taman Budaya Raden Saleh, Semaran, Taman Budaya Surakarta, dan di Rumah Dinas Wakil Walikota Dr. Maufur.
Tidak mengherankan ketika malam Mengenang Rendra, penampilan H. Tambari Gustam yang saat ini banyak disebut sebagai Juragan Wangsalan itu, sangat menawan dan menjadi bintang dari seluruh penampil sepanjang tiga hari acara tersebut digelar oleh Dewan Kesenian. Hal ini, menurut penyair pentolan Dwi Ery Santoso lantaran sajak yang dibuat dalam bahasa tegalan demikian akrab dengan bahasa ibunya. “Puisi yang ditulis dalam bahasa ibu, menjadi daya pukau dan sangat dekat dengan masyarakatnya. Tidak mustahil jika Tambari Gustam menjadi pusat perhatian,” ucap Dwi Ery Santoso.
Hal yang sama ketika di ‘Rumpres (rumah apresiasi) Muaratua’ H. Tambari Gustam digelar acara yang sama, sajak ‘Rick Sing Corona’, ‘Tembangan Banyak’ terjemahan Lanang Setiawan dari sajak Rendra berjudul ‘Rick Dari Corona’, dan ‘Nyanyian Angsa’ membuat kehebohan dan kejutan penuh pukau (*)

Senin, 10 Agustus 2009

KESAKSIAN DWI ERY TENTANG RENDRA


Mengenang Rendra
Kesaksian Penyair Pentolan
Dwi Ery Tentang Rendra

KESAKSIAN bagi orang yang sudah wafat menjadi momen penting sebagai sebuah catatan bahwa dia pernah hidup. Lebih lagi bagi orang sebesar Rendra yang selama hidupnya begitu konsen terhadap perkembangan sastra, budaya dan teater, tentu tak bisa dibiarkan berlalu ketika dia telah berpulang. Maka, untuk mengenang ketokohan Rendra, peristiwa kebudayaan perlu digeber meski sebelum itu di Rumpres Muaratua H. Tambari Gustam, Jumat (7/8) lalu diselenggarakan acara ‘Malam Tahlin dan Baca Puisi Tegalan’, dan Teater Qi juga menggelar acara yang sama, sehari setelah itu. Kini pada malam ke empat kematian WS. Rendra, para seniman Tegal kembali mengusung acara yang mesti dinilai latah, tapi tetap digelar acara serupa. Namun latah tidak latah, acara tersebut laik diselenggarakan mengingat ‘Si Burung Merak’ itu merupakan figur pembaru dalam dunia kesenian. Pada malam ini, Selasa (11/8) salah satu pentolan penyair tegalan Dwi Ery Santoso siap menggedor 3 buah puisi karyanya dalam dua bahasa; tegalan dan nasional. Tiga buah puisi yang akan digeber berjudul Lengang, Sepotong Jalan (bahasa nasional), dan satu puisinya yang ditulis dalam bahasa tegalan berjudul Rumah Sakit. Tiga puisi itu akan dibacakannya di depan gedung kesenian, pukul 20.00 wib.
Menurut dia, proses penciptaan 3 sajak itu didasari dari rasa priatin mendalam atas berita kematian Rendra yang terkabarakan lewat sebuah pesan singkat dari sahabat dari Jakarta. Ketika mendapat sms itu, ia merasa seluruh tulang-belulangnya serasa tercerabuti dan membuat sekujur tubuhnya lemas seperti ada yang hilang. Dari situlah maka lahirlah sepotong sajak Lengang. “Seperti ada yang hilang ketika saya mendapat sms tentang kematian seorang Rendra,” katanya.
Pada proses penciptaan puisi Sepotong Jalan, ia mengisahkah tentang kesaksian atas kepasrahan Rendra ketika memulai bersujud kepada sang khaliq atas kebesaran Agama Islam yang dia anut hingga namanya pun rela diganti menjadi Wahyu Soeleman Rendra. “Keperpindahan Rendra dari pemeluk Khatolik taat menjadi penganut Agama Islam, menjadi sebuah kecerdasan rokhani menuju ke Khaliq yang sebenarnya, karena baginya Agama Islam itulah agama yang diridhoi Allah,” tandas Ery.
Pada sajak Rumah Sakit, Ery dengan tegas mengisahkan tentang pandangan Rendra terhadap perkara sakit atau tidak sakit, bukanlah milik Rendra melainkan semua itu milik Allah semata. Nilai kepasrahan total yang dimiliki Rendra adalah sebuah kesaksian Ery saat menilai Rendra terhadap Allah yang dia yakini sebagai Tuhan Seru Sekalian alam. “Bagi Rendra, sakit tidak sakit adalah milik Allah. Aku tidak sakit. Hanya organ-organ tubuhku yang telah tua, maka ketuaan adalah rahmat” tandas Ery mengutip omongan Rendra saat ajal akan menjemput.
Dalam acara ‘Mengenang Rendra’ malam ini, ia bakal tampil dengan kekuatan vokal dan teaterikan. Semua itu bakal menjadi pijakan Ery saat membawakan 3 puisinya itu. Ia siap memberikan sajian lain dari biasanya. Pada malam yang sama, acara mengenang Rendra juga digelar di komplek Radio CBS Klonengan, menampilkan para penyair, pejabat, Bupati Tegal Agus Riyanto, dan sejumlah wartawan (LS)



Minggu, 09 Agustus 2009

TAMBARI GUSTAM dan SEABREK AKTIVITAS

Tambari Gustam dan Seabrek Aktivitasnya

KIPRAH H. Tambari Gustam sebagai penggerak budaya, melesat tidak cuma di dunia puisi, teater, lawak, tulis menulis, dan pemain film, tapi juga menjadi sosok penyampai kritik ternama yang berpengaruh saat dia memimpin demo, mendobrak kezaliman. Figur yang bisa kemana-mana dan ada dimana-mana ini, sering menjadi Tambari Gustam sebagai tempat mengadu dan tumpuhan dari seabrek strata sosial dan sekelompok orang yang berkepentingan.
Sebagai penulis puisi, ia banyak melahirkan sajak protes yang kerap kali dikemas dengan bait-bait pantun atau wangsalan tegalan. Muatan sosial dan nilai kesalehan menjadi pijakan saat dia menulis puisi. Sajak dia terangkum pada banyak antologi dan tersebar di media lokal. Ia mengaku menulis puisi karena dorongan hati nurani yang tidak rela melihat situasi yang karut-marut. “Jiwa saya sering termotivasi untuk menulis puisi protes saat melihat ketimpangan sosial yang menganga, dan kesewenang-wenangan,” katanya.
Tambari yang lahir di Tegal pada tanggal 18 Oktober 1964 itu memang memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Sebagai aktor lawak, ia pernah mengisi acara guyonan yang dikemas dalam ‘Obralan Santai (Obras)’ bersama Ki Slamet Gundono dan Agus Salim di radio RCA Tegal dari tahun 1995-1997. Acara tersebut menjadi acara unggulan karena memiliki daya sengat yang membuat para pendengar terpingkal-pingkal dengan rentetan wangsalan Tegalan yang melucu meluncur dari mulut mereka, saat acara itu mengudara.
Wangsalan-wangsalan Tegalan yang kerap diudarakan itu, oleh Tambari sempat dibukukan dalam kumpulan berjudul Pantun Warteg. Dalam buku tersebut, seorang Remy Silado bahkan berkenan memberi pengantar dan dia sangat berkesan dengan upaya Tambari mengumpulkan pantun-pantun yang bermuatan lokal jenius. Secara khusus, Remy Silado menulis bahwa kumpulan pantun Tegalan itu menjadi buku yang sangat penting sebagai kekayaan Tegal dan perlu dimiliki. Ia pun membukukan kumpulan tulisan anehdotnya berjudul Guyon Gustam dalam Wacana Politik Lokal. Dan dua karyanya yang mendapat penghargaan dari Kepala Pusat Perbukuan Indonesia berjudul Kami Cinta Indonesia dan Selamatkan Pantai Kita.
Sebagai pemain teater dan film, juga tak diragukan. Ia pernah main dibayak lakon teater. Di Teater RSPD tampil di lakon Qasidah Berzanji dan Ki Gede Sebayu sebagai pangeran Benowo versi ketoprak dengan sutradara Yono Daryono. Juga main teater bersama Teater Mbeling pimpinan Remy Silado dalam lakon Gita Cinta Anak SMA, main drama Selendang Sutra, sebagai aktor sekaligus sutradara, dan main sandiwara radio Sangkuriang Kesiangan. Sementara di Teater Massa Hisbuma main di lakon Patung Kekasih karya Emha Ainun Nadjib sutradara Dwi Ery Santoso, termasuk menjadi pemain dilakon Sebayu Gugat dan Pengadilan Sastra Chairil Anwar karya Eko Tunas.
Kegilaannya pada pembacaan puisi membawa Tambari tak segan melakukan lawatan budaya ke kantong-kantong budaya bersama Dwi Ery Santoso, diiringi kelompok Musik Wayang Sastra Balo-balo yang dia pimpin. Baca sajak spektakuler berbahasa Tegalan pada acara ‘Jèd-jèdan Maca Puisi Tegalan’ di Gedung Kesenian Tegal dan di ‘Wapres’ Bulungan, Jakarta, dia lakukan dengan membawakan puisi terjemahan karya WS. Rendra berjudul Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta yang dipremak habis-habisan menjadi Dadiya Siji Tlembuk-tlembuk Kota Jakarta. Ia melakukan pembacaan sajak terjemahan itu bersama Bupati Tegal Agus Riyanto dan para pentolan seniman Tegal lainnya. Begitu juga dia berkali-kali melakukan pentas drama bebahasa tegalan di Taman Mini Indonesia indah dengan menggelar lakon Mantu Poci, Lupit Slenteng Badanan, Sumadi Semedi, dan Matoloyo Matopuro. Sementara itu, sebagai pemain film ia pernah main di film Laut Aku Kembali, Ikan Sisa-sisa (produksi Bagian Humas dan Protokol Pemkot Tegal), dan Sinar Lembayung produksi film negara sebagai aktor.
“Di film garapan Limbad, saya pun didapuk sebagai tokoh Pangeran Benowo dalam film berjudul Mentari di Tlatah Tegal,” katanya.
Ada yang bilang, Tambari adalah figur yang tak pernah lelah beraktivitas di berbagai bidang. Semua bidang dimasuki, karena dia mampu bermain dengan kesungguhan yang dimiliki. Jarang sekali orang bisa berperan seperti dia dengan seabrek kegiatan. Sekali waktu dia masuk di wilayah kesenian, pada lain kesempatan dia bergerak menjadi tokoh pendemo. Tapi menurut dia, semua itu dijalani bukan dengan atas dasar dendam atau pun nafsu, melainkan rasa ingin melihat negara ini berjalan dengan tatanan yang harmonis, bukan dibangun dengan kebusukan atau kesewenang-wenangan para pemegang kekuasaan.
“Niatan saya terjun sebagai pendemo, bukan didasari rasa dendam, dengki, atau semacamnya. Saya ingin para penguasa dimanapun berpihak pada rakyat, aja dumeh menjadi penguasa berlaku tanpa batas,” tandasnya.
Tak hanya dalam dunia kesenian, teater, film, dan sebagai tokoh pergerakan, dia pun ternyata suntuk juga di dunia jurnalistik. Ia mendirikan koran mingguan hingga sekarang masih eksis, dan pernah menjadi pengurus PWI Karesidenan Pekalongan termasuk dipercaya sebagai pengurus Dewan Kesenia Kota Tegal, juga ditunjuk sebagai Dewan Pembina Paguyuban Sosial Warga Tionghoa Tegal. Pada tahun 2001 bersama Agustian Nurwanda menggagas keberadaan “Bahari Taksi” di Kota Tegal. Mendirikan LSM Cordova dan MAKs (Masyarakat Anti Korupsi), dan rela pelataran rumahnya dijadikan acara kliwonan ‘Mimbar Budaya Muaratua’ sebagai ajang pementasan, seperti yang terjadi pada acara malam Tahlil dan Baca Puisi Tegalan mengenang almarhum penyair WS. Rendra pada Jumat (7/8) pukul 20.30 Wib di Jalan Brawijaya No 46 Muarareja, Kecamatan Tegalsari, kediamannya (LS)


BIODATA
Nama : H. Tambari Gustam
Tempat/Tgl Lahir : Tegal, 18 Oktober 1964
Alamat : Jalan Brawijaya No 46 Muarareja, Kota Tegal


Karya :
Komik Tegalan; Jeritan Sing Laut
Kumpulan Pantun Warteg
Kami Cinta Indonesia
Selamatkan Pantai kita
Guyon Gustam Dalam Wacana Politik Lokal
Misteri Kalisoka
Potret Reformasi Dalam Puisi Tegalan (antologi puisi)
Ngranggeh Katuranggan (kumpulan puisi Tegalan)

Film:
Laut Aku Kembali (produksi Humas Tegal)
Sinar Lembayung (produksi Nasional)
Mentari di Tlatah Tegal (produksi Limbad)
Ikan Sisa-sisa (produksi Humas Tegal)

Jabatan :
Dewan Pembina Paguyuban Sosial Warga Tionghoa Tegal.
Ketua Badan Pengawas KUD Karya Mina
Pengawas KSU Segara Biru
Penasehat Koperasi Bahari Taksi

Organisasi:
Pengurus PWI Karesidenan Pekalongan tahun 2005-2009
Pengurus Dewan Kesenia Kota Tegal (due periode tahun 2003 – 2009)
Ketua Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia)
Mendirikan LSM Cordova dan MAKs (Masyarakat Anti Korupsi)
Turut Mendirikan Kiret (Komite Refomasi Tegal) tahun 1998
Turut Mendirikan LSM Amardaya tahun 1999
Ikut Mendirikan LSM Pencinta Merah Putih Indonesia (PMPI)
Penasehat LSM Laskar Merah Putih
Forum Buruh Bersatu

Motto :
Hidup itu seperti melempar bola ke tembok, semakin keras lemparannya semakin keras pula pantulannya. Semakin saya berbuat jahat pada orang, kejahatan itu akan menimpa saya lagi. Sebaliknya semakin kita berbuat baik pada orang, kebaikan itu akan kembali kepada kita sebanyak mungkin.

MALAM TAHLIL dan BACA SAJAK TEGALAN MENGENANG WS RENDRA

Aktor Monolog Abidin Abror


Mengenang Rendra
Abidin Abror Bawakan ‘Tembangan Banyak’

LAMA tak nongol digegap gempita panggung kesenian, monologer Abidin Abror, masih menyisakan daya pukau pada acara malam ‘Tahlil dan Baca Puisi Tegalan’ mengenang almarhum penyair WS. Rendra yang digelar di “Rumpres Muaratua” H. Tambari Gustam, Jalan Brawijaya No 46 Muarareja, Kecamatan Tegalsari, Jumat (7/8) pukul 20.30 Wib kemarin.
“Aku memimpikan acara semacam ini, karena WS Rendra sang maestro tidak hanya sebagai penyair, teaterawan, tapi dia adalah juga figur yang memukau yang diakui dunia. Acara mengenang almarhum Rendra menjadi momen penting, dan aku mau tampil karena acara ini,” ucap Abidin sebelum tampil.
Pada malam itu dia tampil dengan membawakan sajak Nyanyian Angsa karya Rendra yang telah dialih bahasakan tegalan menjadi Tembangan Banyak. Dengan mengenakan baju lengan panjang warna biru dan berkaca mata, Abidin menyalakan bait-bait sajak itu://Jam telu awan/srengèngèné trus ngobong/semromong kaya pati angin/Maria Zaitun mlaku/minggring-minggring kemlopok/nang dalan garing ring//ujug-ujug mbeneri dèwèké nyabrang/keplèsèt tai asu/ora nganti tiba mung getihé metu/sing borok plakangané/lan ndlèwèr maring sikilé…//.
Saat membacakan sajak tersebut, Abidin sanggup menghadirkan aura tataran sosial dan politik lewat sosok Maria Zaitun sebagai pelacur tua berpenyakitan, lewat letupan vokalnya yang kadang meledak, melemah, tapi tiba-tiba kembali syahdu menghujam. Abidin piawai mengolah gejolak tokoh Maria Zaitun, suasana pencemoohan sajak Tembangan Banyak yang ditujukan bagi kaum politisi dan agamawan yang biasa berpidato dan berkhotbah tetapi tidak bisa menyelesaikan masalah, divisualisasikan lewat penghayatannya yang dalam. Tak mengherankan sepanjang pembacaan itu, penonton yang banyak dihadiri wartawan dari media cetak dan elektronik, merasakan sesuatu nilai sosial, relijius, dan sekaligus sayatan luka Maria Zaitun yang dibangun dengan pengalaman pentasnya selama ini. Sungguh, malam kali pertama Abidin tampil kembali dalam acara tersebut, sanggup menyumbangkan ruh puisi terjemahan tegalan atas sajak-sajak Rendra dengan menawan (LS)




DUET – Dengan gayanya yang teaterikal aktor teater Slamet Ambari berduet bareng Vera Sandrayani membacakan sajak ‘Rick Sing Corona’, di acara malam ‘Tahlil dan Baca Puisi Tegalan’ mengenang almarhum Rendra di “Rumpres Muaratua” H. Tambari Gustam, Jumat (7/8) malam kemarin (Foto: Lanang Setiawan)


Malam Tahlil dan Baca Puisi Tegalan
untuk (Alm) WS. Rendra

BERTEPATAN malam tahlil hari pertama kematian penyair WS. Rendra di Padepokan Bengkel Teater Rendra, di Kota Tegal, Jumat (7/8) pukul 20.30 Wib berlangsung acara ‘Tahlil dan Baca Puisi Tegalan’ bertempat di ‘Rumpres (rumah apresiasi) Muaratua’ H. Tambari Gustam, jalan Brawijaya No 46 Muarareja, Kecamatan Tegalsari.
Sebelum pembacaan puisi digeber, para seniman, wartawan dan puluhan warga Muarareja memenuhi halaman ‘Rumpres Muaratua’ untuk melakukan tahlil, dipimpin oleh ustadz H. Tarjani.
Dalam sambutan Tambari mengatakan, acara tersebut diselenggarakan untuk mengenang dan mendo’akan sang maestro ‘Si Burung Merak’ Rendra yang selama hidupnya banyak berjasa bagi kebesaran kesusastraan, teater, dan kebudayaan nasional pada umumnya. “Rendra adalah pahlawan yang tak pernah menyimpang dari hati nurani. Sajak-sajak Rendra berperan sangat penting atas lahirnya sastra tegalan yang ditandai dengan munculnya sajak Tembangan Banyak yang cukup popular dari sajak aslinya berjudul Nyanyian Angsa karya Rendra,” terang Tambari.
Dari kedekatan emosional semacam itu, para seniman Tegal dan masyarakat sekitar menggelar ‘Tahlil dan Baca Puisi Tegalan’. Tidak tanggung-tanggung seniman pentolan Tambari Gustam menghadirkan juga kelompok Musik Wayang Sastra Balo-balo (MWSB) sebagai pengiring.
Tampil sebagai pembuka acara kelompok MWSB dengan mengusung puji-pujian tegalan yang mampu memberikan nuansa trasendental hingga meresap dan menggedor-gedor ulu hati. Kelompok tersebut selanjutnya memberikan juga sentuhan-sentuhan sakral saat mengiringi Tambari Gustam lewat pembacaan sajak terjemahan Dadiya Siji Tembuk-tlembuk Kota Jakarta dari sajak karya WS. Rendra berjudul Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta.
Selanjutnya pembacaan sajak Rick Sing Corona dibawakan aktor teater Slamet Ambari dan wartawan Vera Sandrayani. Duet tersebut mampu menghadirkan situasi asmara menggila antara Rick dan Betsy, dan karut-marutnya suasana sajak yang dibangun sedemikian rupa dengan derapan dentam musik balo-balo. Puncaknya adalah penampilan monologer Abidin Abror membawakan sajak Nyanyian Angsa karya Rendra yang telah dipremak habis-habisan dalam bahasa Tegal menjadi Tembangan Banyak. ‘Malam Tahlil dan Baca Puisi’ mengenang almahum Rendra itu, sungguh menjadi fragmen religi yang mendalam bagi semua pengunjung (LS)


Seniman Tegal Kenang WS. Rendra

NAMA Rendra bagi kalangan seniman Kota Tegal tak asing lagi. Pada tahun 1950-an ia pernah bolak-balik ke Tegal melihat kiprah komunitas Ikatan Seniman Muda Tegal pimpinan Woerjanto saat aktor teater Sudjai S menyutradarai dan main dalam satu lakon. Kala itu WS. Rendra mengagumi betul seniman-seniman Tunas terutama kesemsem pada dedengkot teater Sudjai S saat dia main dalam lakon Malam Jahanam karya Motinggo Busye di Gedoeng Tawang Samudra tahun 1960 bersama Parto Tegal.
Dari ketertarikan itu, langsung saja Rendra menawarkan pada mereka untuk bergabung di Bengkel Teater Yogyakarta. Parto Tegal akhirnya suntuk di teater pimpinan Rendra sedang Sudjai S menolak dengan alas an untuk menjaga kelangsung dunia perteateran di Kota Tegal (baca: novel Pengendara Badai).
Keakraban Rendra dengan para seniman teater di Kota Tegal, menyebakan dia menjuluki Kota Tegal sebagai ‘kota yang tak pernah tidur’, dalam artian Tegal sebagai ‘kota teater’. Hingga beberapa tahun lalu, Rendra kembali menyempatkan diri ke Tegal dalam rangka baca puisi dan melakukan acara diskusi. Termasuk datang di Kabupaten Tegal untuk even pembacaan puisi pada HUT Kemerdekaan, di Pendapa Ki Gede Sebayu Kabupaten Tegal.
Tak heran kalau kemudian secara emosional kalangan seniman Tegal serentak menggelar pbegitu mendengar kematian ‘Si Burung Merak’ pada (6/8) kemarin, Teater Qi menyelenggareristiwa budaya akan acara ‘Doa dan Mengenang WS. Rendra’ di halaman gedung kesenian, Sabtu (8/8) pukul 20.00 Wib.
Menurut Rudi Iteng selaku ketua penyelenggara menuturkan, maksud dan tujuan digelar acara tersebut yakni untuk merefleksikan karya-karya Rendra sebagai spirit dan kontemplasi agar karya Rendra tetap hidup. “Bagaimanapun, Rendra itu tokoh pembaharu yang namanya tidak hanya dicat pada tingkat nasional tapi dunia,” kata Rudi.
Pada malam itu, acara dibuka dengan diskusi bersama menampilkan Nurhidayat Poso dan Yono Daryono dengan melempar satu makalah berjudul Jejak Rendra pada Sastra Tegal, Nana Ernest memilih tema bahasan Rendra, Spirit dan Motivator Kawula Muda dalam Berkarya.
Acara memakin menarik ketika para seniman Tegal melanjutkannya dengan pembacaan puisi karya-karya Rendra. Mereka yang tampil pada pembacaan itu diantaranya Bramanthi S. Riyadi, HM. Enthieh Mudakir, Nana Ernets, Albadruasykin, Apas Khafasi, Linda, Atho, Titis Hening, dan teaterikal puisi oleh Teater Qi. Penampilan mereka rata-rata menarik dan suntuk mendalami karya-karya Rendra sang maestro penyair itu. Sebelumnya, Jumat (7/8) pukul 20.30 Wib berlangsung juga acara ‘Tahlil dan Baca Puisi Tegalan’ bertempat di ‘Rumpres (rumah apresiasi) Muaratua’ H. Tambari Gustam, jalan Brawijaya No 46 Muarareja, Kecamatan Tegalsari (LS )





Kamis, 06 Agustus 2009

KARENA SAJAK WS. RENDRA, LANANG BIKIN NOVEL PENGENDARA BADAI


Karena Sajak WS. Rendra
Novel Pengendara Badai Lahir

Majikan umah tlembukan
ngomong kambèn dèwèké:
"Wis rong minggu kowen mung
bisané ngatang-ngatang
tur larané tambah ndadi
ora ngasilna pisan
kiyé nggawé mlarat tok
ngentong-ngentongna beras bibit
aku ora sanggup/saiki raimu lunga, mèrad kana"....


Itu sajak WS. Rendra yang cukup popular. Tapi oleh Lanang Setiawan sajak yang aslinya berjudul Nyanyian Angsa, dipremak habis-habisan menjadi Tembangan Banyak dalam Bahasa Tegalan. Sajak terjemahan itu pertama kali diterbitkan di media local ‘Kontak’ tahun1994.Dalam perkembangan selanjutnya, sajak tersebut kemudian diusung ke berbagai kantong-kantong budaya seperti Taman Budaya Surakarta, Indramayu, sampai kemudian Bupati Tegal Agus Riyanto membawakan puisi tersebut di Gedung Kesenian Tegal dan diundang ke ‘Wapres’ Bulungan Jakarta.Dengan dasyatnya sajak Rendra dan lawatan seniman-seniman Tegal menggeber puisi-puisi terjemahan itu, sebuah novel yang ditulis Lanang Setiawan segera hadir ditengah-tengah masyarakat. Novel yang rencananya terbit pada bulan Agustus ini berjudul Pengendara Badai. Novel ini berkisah tentang heroik lawatan para seniman Tegal dengan membawakan sajak-sajak terjemahan salah satu diantaranya sajak Tembangan Banyak yang sempat menghetak dan cukup menghebohkan dalam kazanah kesusastraan nasional.
Menurut penulis novel Pengendara Badai, Lanang Setiawan, ia mengaku lahirnya novel tersebut salah satunya dipicu oleh sajak Rendra yang diterjemahakan dalam bahasa Tegalan itu. Ia menilai bahwa sajak Nyanyian Angsa yang diterjemahkan itu memiliki nuasa kesamaan dengan kondisi di daerah Tegal. Karena sajak itu bercerita tentang seorang pelacur yang di Tegalan banyak terdapat lokalisasi.
“Terus terang saja, ilmah yang menguatkan saya menulis novel Pengendara Badai karena sajak yang ditulis WS. Rendra yang saya terjemahkan dalam bahasa Tegal,” katanya.
Dalam novel tersebut, juga dikisahkan tentang eksistensi para seniman Tegal di era tahun 50-an. Betapa gegap gempitanya para teaterawan Tegal masa itu, menggerakan kehidupan kesenian di Kota Tegal. Sampai Rendra pun kerap mampir ke Tegal dan menjuluki Tegal sebagai ‘kota yang tak pernah mati’. Ada juga kisah-kisah pilu, heroik, sekaligus sendu dalam percintaan yang dialami oleh penulisnya, bisa dinikmati dalam novel tersebut. Oleh sang penulisnya, rencananya novel Pengendara Badai bakal terbit pada bulan Agustus ini. Tunggu saja (EK)

Sabtu, 01 Agustus 2009

YOLLA Pamela, SENENG BANGET MAIN FILM


Yolla dan H. Tambari Gustam saat main di Film Ikan Sisa-sisa, Sabtu (01/8) lalu di Tempat Pelelangan Ikan Jongor, Kota Tegal (Foto : Lanang Setiawan)

Yolla Pamela, Seneng Banget Main Film

BARU pertama kali main film, gadis manis karyawan Bagian Humas dan Protokol Pemkot Tegal ini, seperti layaknya bintang film yang sudah biasa terjun di dunia akting. Di hadapan kamera, ia tak canggung. Pembawaannya tenang, dialog tokoh yang diperankan meluncur wajar tanpa halangan berarti, meski harus berhadapan dengan lawan main yang berpengalaman. Kira-kira seperti itu kesan mendalam ketika, Sabtu (01/8) siang lalu menyaksikan dia memerankan tokoh Yanti dalam pembuatan film Ikan Sisa-sisa.
Yolla Pamela, demikian nama gadis itu, mengaku main film karena diajak Yono Daryono untuk melakukan uji casting. Dari uji tersebut, dia kemudian dinyatakan figur paling pas sebagai tokoh Yanti. Ia sendiri, sebetulnya tidak punya skill dalam urusan akting.
“Sejak kecil hobi saya menyanyi. Dulu saya paling sering nyanyi pas kuliah di Jakarta, dan waktu kerja di Pekalongan. Sebenarnya kalau ikut produksi film sih udah pernah beberapa kali untuk tugas-tugas kampus, tapi jadi pemain film baru pertama kali,” ujar jebolan D3 UI Jurusan Penyiaran Departemen Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di sela-sela syuting, di TPI Jongor, Kota Tegal, Sabtu (01/8) siang kemarin.
Gadis asli kelahiran Tegal itu mengaku, waktu di Jakarta betapa suntuknya menggembleng diri lewat event festival demi festival paduan suara. Begitu pun saat di Pekalongan kerap berlaga di gelar festival atau parade band, dan bahkan ngeband regular di kafe amatlah sering.
“Di Tegal juga punya band, tapi nggak terlalu diseriusi karena personelnya kerja semua di luar kota, jadi kumpul kalau ada waktu aja terus cuma festival. Kalau untuk solo, saya paling sukanya ikut lomba nyanyi atau karaoke, tapi sayangnya akhir-akhir ini di Tegal jarang ada event lomba lagi,” katanya panjang lebar.
Sebagai penyanyi solo, Yolla pernah ikut Rita Idol mendapat juara 3 dan favorit, trus kebanyakan menyabet juara pada paduan suara. Tapi main di film? Awalnya sempat kawatir karena takut jelek banget aktingnya.
“Pertamanya kaku tapi waktu pra produksi kan di situ ada proses reading, ditambah sang astrada Marjo telaten ngajari, dan pas mulai produksi ternyata sutradaranya baik, ngga marah-marah. Pak Yono juga kasih saran dan kritik, didukung pemain-pemain yang sudah pengalaman memotivasi supaya akting saya nggak terlalu njomplang. Mereka baik-baik dan rendah hati, malah seringnya mereka ngajak latihan duluan,” katanya.
Masih mau main film? Ditanya soal itu, gadis kelahiran 4 Oktober 1985 itu dengan tegas menjawab:
“Main film seneng banget. Tapi masalahnya harus banyak belajar kayanya, kalau pengin main lagi” (LS)






MAUFUR TILIK PEMBUATAN FILM IKAN SISA SISA

MENINJAU - Mantan Wakil Walikota Tegal Dr. Maufur (tengah) saat meninjau langsung pembuatan film Ikan Sisa-sisa bersama H. Tambari Gustam (paling kiri), penulis naskah Yono Daryono, dan dua tamunya dari Bandung, Sabtu (01/8) siang di TPI Jongor (Foto : Lanang Setiawan)


Mantan Wakil Walikota Tegal
Tilik Syuting ‘Ikan Sisa-sisa’

PEMBUATAN film Ikan Sisa-sisa tidak saja menyedot daya tarik masyarakat umum, mantan Wakil Walikota Tegal Dr. Maufur pun menyempatkan diri untuk tilik syuting di lokasi TPI Jongor, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal, Sabtu (01/8). Kedatangan mantan Wakil Walikota Tegal yang tiba-tiba itu sungguh diluar dugaan, dan membuat para seniman dan pekerja film seperti Yono Daryono, H. Tambari Gustam, Moch. Azizi, Slamet Ambari, Bramanti S Riyadi, Damayanthi, dan pedangdut Atika Tegal tergopoh-gopoh menyambut kehadiran dia.
Dalam kunjungan itu, Maufur tidak datang sorang diri melainkan bersama rombongan dari Bandung. Ia mengaku datang ke lokasi syuting itu karena ingin melihat proses pembuatan film tersebut dari dekat, sekaligus berkeinginan bersilaturahmi dengan para seniman Tegal. “Kami dari terminal langsung ke lokasi syuting, karena kebetulan lagi menjemput tamu dari Bandung. Saya ingin silaturahmi sama kawan-kawan seniman sambil melihat proses pembuatan film,” kata Maufur.
Ia menilai, proses pembuatan film dengan upaya mengangkat potensi lokal seperti yang dilakukan Humas cukup bagus. Hanya, menurutnya, hal itu perlu peningkatan pendistribusian hasilnya. “Selama ini pendistribusiannya masih terbatas di acara syukuran 17-an dan perwakilan pelajar,” katanya.
Mestinya, katanya lebih lanjut, bisa dilakukan lebih luas dan seyogyanya potensi lokal itu diupayakan diangkat sampai ke tingkat nasional. Maksudnya, Pemkot Tegal ada upaya membuat film yang bisa diangkat ke TV atau ke layar lebar. Dengan demikian, gaung potensi lokal bisa menasional.
Ia juga sepakat dan sepaham dengan apa yang diomongkan sastrawan Eko Tunas, bahwa novel Pengendara Badai karya Lanang Setiawan merupakan tema kelokalan yang layak diangkat ke dalam layar lebar atau TV. Karena disana banyak mengetengahkan kegigihan para seniman Tegal dengan mengangkat budaya Tegalan. “Kalau novel tersebut diangkat ke dunia film, orang akan tahu potensi para seniman Tegal,” katanya.
Sekadar diketahui, hari kedua pembuatan film Ikan sisa-sisa, mengambil beberapa scene adegan pemeran Bik Rohilah (Damayanthi), Dul Jalil (H. Tambari Gustam), Yanti (Yolla), Bu Imroh (Atika Tegal), dan beberapa pemain pendukung lainnya. Syuting dimulai dari pukul 08.00 s/d malam hari. Pada hari yang sama, hadir pula Walikota dan Wakil Walikota Tegal, H. Ikmal Jaya dan H. Habib Ali meninjau pembuatan film tersebut bersama para pejabat Pemkot Tegal.
Menurut sang penulisnya, Yono Daryono, film Ikan Sisa-sia mengisahkan seorang ibu bernama Bik Rohilah (45) memiliki dua anak cerdas yakni Yanti (18) dan Unggul (15). Sepeninggal Katono suaminya, akibat diterjang badai, praktis Bik Rohilah banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup dua anaknya. Mereka tinggal di perkampungan nelayan di pesisir Tegal. Dia yang berpendidikan rendah hanya bisa bekerja di tempat Pak Duljalil (55) sebagai buruh pengolah ikan yang mengurusi pembuatan ikan asin. Karena kekreatifan dan keuletannya itu, mendorong dirinya untuk kreatif dengan membuat ikan-ikan sisa yang tidak diolah di tempat kerjanya agar tidak terbuang percuma. Ia mengumpulkan ikan-ikan itu untuk dibuat makanan ringan seperti kerupuk dan lainnya. Bersama kedua anaknya, dia merangkai kerang laut atau membuat jala ikan mini untuk dijadikan hiasan. Kesemuanya dia titip jual-kan di warung Bik Kodrah.
Sebagai ibu, Bik Rohilah sering merasa sedih karena ketika anaknya Yanti terancam tidak bisa masuk kuliah karena harus membayar uang sumbangan pembangunan yang cukup besar. Keinginan yang besar agar bisa menyekolahkan Yanti sering jadi omongan para tetangga, mereka menganggap dia tidak berkaca diri. Tapi dengan tekad besar dia menambah porsi kerja. Dibantu oleh dua anaknya, ia mengumpulkan ikan sisa tak hanya dari tempatnya bekerja, tapi diambil dari tempat lain. Produksi kerupuk ia naikkan dan dipasarkan kemana-mana. Tapi akibat kerja kerasnya ia jatuh sakit. Dalam kesusahannya itu, datanglah Pak Duljalil bermaksud membantu, namun secara terang-terangan ia mengajukan syarat untuk menikahi Yanti. Bik Rohilah menolak secara sopan. Yanti yang prihatin akan keadaan itu mengatakan untuk tidak usah kuliah. Namun Bik Rohilah menolak dengan bermacam alasan. Dalam kegalauannya itu, ia pun sempat tergoda untuk kembali meminjam uang dari Ibu Imroh, rentenir yang beberapa kali menawari pinjaman dalam jumlah besar. Namun bila teringat beratnya mengembalikan utang yang berbunga-bunga, ia mengurungkan niat itu. Lalu bagaimana kelanjutan kisah Bik Rohilah yang berkeinginan menyekolahkan Yanti sampai keperguruan tinggi? Putusan terakhir dan satu-satunya jalan terbaik, adalah dengan usaha mandiri. Itulah potongan kisah Ikan Sasa-sisa (*)