Moch. Hadi Utomo – Budayawan:
Para Penyair Dilayang Baca Sajaknya Sendiri
DALAM era industri kreatif, sudah saatnya para penyair tidak saja menerbitkan antologi puisi. Tapi di era semacam itu, hendaknya mereka memproduksi karyanya dalam bentuk digital berupa CD atau VCD.
Budayawan Moch. Hadi Utomo mengungkapkan hal itu mengingat upaya para penyair menerbitkan antologi pun belum tentu laku. Satu-satunya upaya yang harus direbut dengan kemasan yang lebih praktis.
“Upaya para penyair menerbitkan antologi puisi pun belum tentu laku. para seniman seharusnya memanfaatkan iklim yang sudah dikondisikan oleh pemerintah. Mereka sudah saatnya memasuki dunia itu,” tandasnya.
Hadi mencontohkan, karya seni kriya atau kerajinan batik misalnya, sudah menyadari arti penting dunia digital. Karena dalam dunia yang serba praktis ini, promosi lewat VCD lebih menjangkau masyarakat luas. Demikian juga pada sebuah karya novel jauh-jauh sudah melesat menembus dunia film. Sebut saja novel-novel best seller seperti Gita Cinta Dari SMA karya Eddy D. Iskandar, Arjuna Mencari Cinta karya Yudhistira ANM Massardi, Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih karya Habibburahman El Shirazy, dan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.
Dengan cara mempromosikan karya puisi dalam bentuk CD atau VCD, maka sayap apresiasi masyarakat terhadap dunia puisi jadi semakin melebar. Orang mau mengerti bagaimana karya Rendra makin dikenal masyarakat, tidak cukup hanya melalui antologi puisi namun dia telah membuktikannya lewat Sajak-sajak Cinta-nya yang dipita-kasetkan.
“Misalkan, orang mau dengar suara penyair Apito Lahire, apakah kita harus menunggu dia pentas. Tentu perlu dicarikan format yang lebih praktis dengan jalannya ya seperti itu tadi, di buatkan CD atau bila perlu VCD,” katanya.
Lebih jauh Hadi mengatakan, untuk menarik pasar, perlu mengundang atau melibatkan para bintang dan sudah tentu para sineas yang ahli dalam bidangnya. “Penyair tidak harus membaca puisinya sendiri, karena sudah ada Poetry Reader dengan penampilan bagus punya daya tarik. Dan ini sudah dibuktikan oleh Bupati Tegal Agus Riyanto, dia bukan penyair tapi saat dia membaca puisi begitu memikat,” katanya.
Untuk upaya semacam itu, Hadi memberi kiat, hendaknya dewan kesenian dimana pun, perlu ada Komite Seni Pertunjukkan, maupun Komite Produksi Seni (LS)
Para Penyair Dilayang Baca Sajaknya Sendiri
DALAM era industri kreatif, sudah saatnya para penyair tidak saja menerbitkan antologi puisi. Tapi di era semacam itu, hendaknya mereka memproduksi karyanya dalam bentuk digital berupa CD atau VCD.
Budayawan Moch. Hadi Utomo mengungkapkan hal itu mengingat upaya para penyair menerbitkan antologi pun belum tentu laku. Satu-satunya upaya yang harus direbut dengan kemasan yang lebih praktis.
“Upaya para penyair menerbitkan antologi puisi pun belum tentu laku. para seniman seharusnya memanfaatkan iklim yang sudah dikondisikan oleh pemerintah. Mereka sudah saatnya memasuki dunia itu,” tandasnya.
Hadi mencontohkan, karya seni kriya atau kerajinan batik misalnya, sudah menyadari arti penting dunia digital. Karena dalam dunia yang serba praktis ini, promosi lewat VCD lebih menjangkau masyarakat luas. Demikian juga pada sebuah karya novel jauh-jauh sudah melesat menembus dunia film. Sebut saja novel-novel best seller seperti Gita Cinta Dari SMA karya Eddy D. Iskandar, Arjuna Mencari Cinta karya Yudhistira ANM Massardi, Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih karya Habibburahman El Shirazy, dan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.
Dengan cara mempromosikan karya puisi dalam bentuk CD atau VCD, maka sayap apresiasi masyarakat terhadap dunia puisi jadi semakin melebar. Orang mau mengerti bagaimana karya Rendra makin dikenal masyarakat, tidak cukup hanya melalui antologi puisi namun dia telah membuktikannya lewat Sajak-sajak Cinta-nya yang dipita-kasetkan.
“Misalkan, orang mau dengar suara penyair Apito Lahire, apakah kita harus menunggu dia pentas. Tentu perlu dicarikan format yang lebih praktis dengan jalannya ya seperti itu tadi, di buatkan CD atau bila perlu VCD,” katanya.
Lebih jauh Hadi mengatakan, untuk menarik pasar, perlu mengundang atau melibatkan para bintang dan sudah tentu para sineas yang ahli dalam bidangnya. “Penyair tidak harus membaca puisinya sendiri, karena sudah ada Poetry Reader dengan penampilan bagus punya daya tarik. Dan ini sudah dibuktikan oleh Bupati Tegal Agus Riyanto, dia bukan penyair tapi saat dia membaca puisi begitu memikat,” katanya.
Untuk upaya semacam itu, Hadi memberi kiat, hendaknya dewan kesenian dimana pun, perlu ada Komite Seni Pertunjukkan, maupun Komite Produksi Seni (LS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar