Tradisi Bedah Buku Tegalan Perlu Dilestarikan
PENTOLAN budayawan Tegalan, M. Hadi Utomo menilai, acara diskusi buku antologi puisi Tegalan Ngranggèh Katuranggan yang digelar Komunitas Roti Bakar Dian Gendut di Lesehan sebelah selatan Masjid Agung Kota Tegal itu, sangat penting untuk memperluas wawasan.
“Silakan saja setiap komunitas bikin acara diskusi. Topik dan nara sumber harus gonti-ganti. Tapi jangan digunakan untuk ajang pembantaian” tandasnya.
Menurut dia, diskusi Kamis (19/3/2009) malam itu mustinya dibutuhkan moderator yang bisa mengendalikan acara. Hal ini karena suasananya dikemas secara santai dan informal jadi kadang-kadang melebar ke mana-mana.
“Kalau topiknya tentang sebuah buku ya namanya bedah buku. Biasanya penyelenggara membagikan buku” katanya.
Keliaran dan kelinglungan arah diskusi terasa sekali bagi peserta karena diskusi yang menghadirkan nara sumber Eko Tunas dan Imam Chumaedi Ssos kehilangan arah. Para peserta cuma mendapatkan panduan makalah dari Eko Tunas yang mengupas satu puisi milik Atmo Tan Sidik. Mereka tidak mendapatkan gambaran secara utuh keseluruhan puisi yang terangkum dalam antoloji Ngranggèh Katuranggan. Tak ada pilihan lain memaksa diskusi melebar kemana-mana dan tidak fokus.
“Terus terang saja, saya bingung. Saya tidak mendapat gambaran utuh dari puisi-puisi yang terangkum dalam antologi Ngranggèh Katuranggan. Bedah buku kok yang dibedah cuma satu puisi” keluhnya.
Dia berharap, kalau nanti digelar diskusi serupa, hendaknya panitia jangan segan-segan membagikan buku yang akan dibahas. Antoloji puisi tersebut sebetulnya ada 59-an judul puisi yang ditulis dari berbagai kalangan, dari Walikota dan Wakil Walikota Tegal, anggota DPRD, guru, seniman, sampai kalangan masyarakat kelas bawah. Cukup beragam warna dan tema puisi yang termuat dalam bukut itu. Namun karena kecekakan penulis makalah mengupas bait-bait puisi yang ada, menjadikan audien kehilangan pegangan.
“Saya menyayangkan pemakalah yang kurang memberikan gambaran dari isi puisi yang ada pada buku antoloji itu. Parahnya lagi, panitia juga tidak membagikan buku yang sedang kita diskusikan. Tapi secara penyelenggaraan udah bagus, gayeng dan hidup. Makanya tradisi macam ini perlu dilanjutkan” kata audien.
Hal serupa juga dikatakan HM. Yamin SH perlunya kesinambungan diskusi serupa. ”Saya usul diskusi serupa perlu ditindaklanjuti. Kita diskusi di ruang terbuka macam ini cukup bagus,” katanya yang diamini juga oleh Ir.H. Teguh Juwarno.
Atmo Tan Sidik selaku pihak penyelenggara merencanakan, diskusi berikutnya segera membedah novel Tegal Oreg yang ditulis oleh seniman Tegal (*)
SERIUS - Suasana diskusi antologi puisi Tegalan Ngranggèh Katuranggan, Kamis (12/3) malam di Lesehan sebelah selatan Masjid Agung Kota Tegal, tampak gayeng dan serius (Foto: Ekadilah Kurniawan)
PENTOLAN budayawan Tegalan, M. Hadi Utomo menilai, acara diskusi buku antologi puisi Tegalan Ngranggèh Katuranggan yang digelar Komunitas Roti Bakar Dian Gendut di Lesehan sebelah selatan Masjid Agung Kota Tegal itu, sangat penting untuk memperluas wawasan.
“Silakan saja setiap komunitas bikin acara diskusi. Topik dan nara sumber harus gonti-ganti. Tapi jangan digunakan untuk ajang pembantaian” tandasnya.
Menurut dia, diskusi Kamis (19/3/2009) malam itu mustinya dibutuhkan moderator yang bisa mengendalikan acara. Hal ini karena suasananya dikemas secara santai dan informal jadi kadang-kadang melebar ke mana-mana.
“Kalau topiknya tentang sebuah buku ya namanya bedah buku. Biasanya penyelenggara membagikan buku” katanya.
Keliaran dan kelinglungan arah diskusi terasa sekali bagi peserta karena diskusi yang menghadirkan nara sumber Eko Tunas dan Imam Chumaedi Ssos kehilangan arah. Para peserta cuma mendapatkan panduan makalah dari Eko Tunas yang mengupas satu puisi milik Atmo Tan Sidik. Mereka tidak mendapatkan gambaran secara utuh keseluruhan puisi yang terangkum dalam antoloji Ngranggèh Katuranggan. Tak ada pilihan lain memaksa diskusi melebar kemana-mana dan tidak fokus.
“Terus terang saja, saya bingung. Saya tidak mendapat gambaran utuh dari puisi-puisi yang terangkum dalam antologi Ngranggèh Katuranggan. Bedah buku kok yang dibedah cuma satu puisi” keluhnya.
Dia berharap, kalau nanti digelar diskusi serupa, hendaknya panitia jangan segan-segan membagikan buku yang akan dibahas. Antoloji puisi tersebut sebetulnya ada 59-an judul puisi yang ditulis dari berbagai kalangan, dari Walikota dan Wakil Walikota Tegal, anggota DPRD, guru, seniman, sampai kalangan masyarakat kelas bawah. Cukup beragam warna dan tema puisi yang termuat dalam bukut itu. Namun karena kecekakan penulis makalah mengupas bait-bait puisi yang ada, menjadikan audien kehilangan pegangan.
“Saya menyayangkan pemakalah yang kurang memberikan gambaran dari isi puisi yang ada pada buku antoloji itu. Parahnya lagi, panitia juga tidak membagikan buku yang sedang kita diskusikan. Tapi secara penyelenggaraan udah bagus, gayeng dan hidup. Makanya tradisi macam ini perlu dilanjutkan” kata audien.
Hal serupa juga dikatakan HM. Yamin SH perlunya kesinambungan diskusi serupa. ”Saya usul diskusi serupa perlu ditindaklanjuti. Kita diskusi di ruang terbuka macam ini cukup bagus,” katanya yang diamini juga oleh Ir.H. Teguh Juwarno.
Atmo Tan Sidik selaku pihak penyelenggara merencanakan, diskusi berikutnya segera membedah novel Tegal Oreg yang ditulis oleh seniman Tegal (*)
SERIUS - Suasana diskusi antologi puisi Tegalan Ngranggèh Katuranggan, Kamis (12/3) malam di Lesehan sebelah selatan Masjid Agung Kota Tegal, tampak gayeng dan serius (Foto: Ekadilah Kurniawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar