Peluncuran Buku Tegalan
Momen Penundaan Kepunahan Bahasa Tegal
GAIRAH berpuisi Tegalan, sejatinya sebuah kehangatan dalam pelukan seorang ibu. Bahasa yang kita dengar pertamakali sesaat setelah kita menghirup udara kehidupan. Bahasa yang mengajarkan kita mengenal dan memahami dunia dan lingkungan kita. Bahasa ibu adalah bahasa yang paling dekat, paling kuat berakar dalam diri seseorang.
Demikian pentolan budayawan Tegalan, Moch Hadi Utomo saat menyampaikan Narasi Budaya dalam acara Peluncuran Buku Kumpulan Puisi Tegalan Ngranggèh Katuranggan dan novel tegalan Oreg Tegal serta Baca Puisi, di Pendapa Ki Gede Sebayu Kota Tegal, Kamis (12/3/2009) malam pukul 19.30 WIB.
“Bahasa adalah karya tertinggi dari umat manusia. Bahasa bukanlah hanya sederet atau sekumpulan kosakata belaka. Bahasa adalah rumah kebudayaan dan ruang kesadaran bagi penuturnya,” tandas Hadi di depan tamu udangan.
Menurut dia, Bahasa Tegal yang digunakan untuk sebuah karya sastra berupa puisi dan novel malam itu, adalah sebuah bahasa yang unik, berbeda, dan berkarakter. Ia mencontohkan, ketika dia memasukkan kosakata untuk Kamus Tegalan tak kunjung selesai. Ia pun sempat terkagum-kagum pada para leluhur Tegal saat merekonstruksi gagasan menjadi sebuah kata. “Begitu rinci dan teliti. Antara teles dan garis kita mengenal kata cepel. Ada cebrik, bècèk, paluh, mblekuk, bula-bula, mboran, kongseb, hampad, pèh, rog, mar, jog, , ceg, cul, srog, sat dan seterusnya, adalah sedikit dari ratusan kata yang belum berhasil saya terjemahkan dengan tepat” akunya.
Disadari oleh Hadi, Bahasa Tegal memang tidak seluruhnya murni hasil karya para leluhur. Meski demikian agar Bahasa Tegal tidak punah perlu adanya kesepakatan pe ngembangan. Karena, menurutnya, punahnya suatu bahasa akan menyebabkan hilangnya berbagai bentuk warisan budaya, warisan tradisi dan ekspresi oral/bicara masyarakat penuturnya seperti sajak, cerita, novel, peribahasa, lelucon, wangsalan, suluk, mantra, tembang dan puji-pujian. “Kepunahan sebuah bahasa, memang sebuah keniscayaan. Dari 742 bahasa di Indonesia, 169 diantaranya terancam punah karena penuturnya kurang dari 500 orang. Hanya 13 bahasa saja yang penuturnya lebih dari satu juta orang, mudah-mudahan termasuk diantaranya adalah Bahasa Tegal” tegasnya.
Sebagaimana Bahasa Manx, yang dipakai penduduk kepulauan Manx di Inggris, punah pada tahun 1974 setelah Ned Maddrel penutur terakhir meninggal dunia. Sama seperti Bahasa Eyak di Alaska setelah penutur terakhirnya, Marie Smith Jones, meninggal pada tahun 2008. “Menurut ramalan saya Bahasa Tegal akan punah pada tahun 2109, setelah penuturnya terakhir meninggal dunia. Ternyata penjutur terakhir Bahasa Tegal bernama Jawul Saputra, dan ia adalah cucu terakhir seorang Begawan Bahasa Tegal,” ramalnya.
Dalam malam peluncuran antoloji puisi tegalan Ngranggèh Katuranggan dan novel tegalan Oreg Tegal adalah sebuah momen kesepakatan bersama untuk menunda kepunahan Bahasa Tegal, ungkas Hadi Utomo.
Selain peluncuran dua buku dan baca puisi, malam tegalan itu diramaikan pula tampilnya konser musik KMSWT. Hadir dalam acara itu Ketua Pengadilan Negeri Brebes Sigit Purwoko SH, Sri Wahyu Eko (Bank Jateng) dan Kabid Kebudayaan Dinas Pariwisata Kabupaten Brebes Sri Rubiyatun SH dan tamu udangan lain (LS)
KETERANGAN FOTO: - Pentolan budayawan Tegalan, Moch Hadi Utomo saat menyampaikan Narasi Budaya dalam acara Peluncuran Buku Kumpulan Puisi Tegalan Ngranggèh Katuranggan dan novel tegalan Oreg Tegal serta Baca Puisi, di Pendapa Ki Gede Sebayu Kota Tegal, Kamis (12/3) malam pukul 19.30 WIB (Foto: Lanang Setiawan)
GAIRAH berpuisi Tegalan, sejatinya sebuah kehangatan dalam pelukan seorang ibu. Bahasa yang kita dengar pertamakali sesaat setelah kita menghirup udara kehidupan. Bahasa yang mengajarkan kita mengenal dan memahami dunia dan lingkungan kita. Bahasa ibu adalah bahasa yang paling dekat, paling kuat berakar dalam diri seseorang.
Demikian pentolan budayawan Tegalan, Moch Hadi Utomo saat menyampaikan Narasi Budaya dalam acara Peluncuran Buku Kumpulan Puisi Tegalan Ngranggèh Katuranggan dan novel tegalan Oreg Tegal serta Baca Puisi, di Pendapa Ki Gede Sebayu Kota Tegal, Kamis (12/3/2009) malam pukul 19.30 WIB.
“Bahasa adalah karya tertinggi dari umat manusia. Bahasa bukanlah hanya sederet atau sekumpulan kosakata belaka. Bahasa adalah rumah kebudayaan dan ruang kesadaran bagi penuturnya,” tandas Hadi di depan tamu udangan.
Menurut dia, Bahasa Tegal yang digunakan untuk sebuah karya sastra berupa puisi dan novel malam itu, adalah sebuah bahasa yang unik, berbeda, dan berkarakter. Ia mencontohkan, ketika dia memasukkan kosakata untuk Kamus Tegalan tak kunjung selesai. Ia pun sempat terkagum-kagum pada para leluhur Tegal saat merekonstruksi gagasan menjadi sebuah kata. “Begitu rinci dan teliti. Antara teles dan garis kita mengenal kata cepel. Ada cebrik, bècèk, paluh, mblekuk, bula-bula, mboran, kongseb, hampad, pèh, rog, mar, jog, , ceg, cul, srog, sat dan seterusnya, adalah sedikit dari ratusan kata yang belum berhasil saya terjemahkan dengan tepat” akunya.
Disadari oleh Hadi, Bahasa Tegal memang tidak seluruhnya murni hasil karya para leluhur. Meski demikian agar Bahasa Tegal tidak punah perlu adanya kesepakatan pe ngembangan. Karena, menurutnya, punahnya suatu bahasa akan menyebabkan hilangnya berbagai bentuk warisan budaya, warisan tradisi dan ekspresi oral/bicara masyarakat penuturnya seperti sajak, cerita, novel, peribahasa, lelucon, wangsalan, suluk, mantra, tembang dan puji-pujian. “Kepunahan sebuah bahasa, memang sebuah keniscayaan. Dari 742 bahasa di Indonesia, 169 diantaranya terancam punah karena penuturnya kurang dari 500 orang. Hanya 13 bahasa saja yang penuturnya lebih dari satu juta orang, mudah-mudahan termasuk diantaranya adalah Bahasa Tegal” tegasnya.
Sebagaimana Bahasa Manx, yang dipakai penduduk kepulauan Manx di Inggris, punah pada tahun 1974 setelah Ned Maddrel penutur terakhir meninggal dunia. Sama seperti Bahasa Eyak di Alaska setelah penutur terakhirnya, Marie Smith Jones, meninggal pada tahun 2008. “Menurut ramalan saya Bahasa Tegal akan punah pada tahun 2109, setelah penuturnya terakhir meninggal dunia. Ternyata penjutur terakhir Bahasa Tegal bernama Jawul Saputra, dan ia adalah cucu terakhir seorang Begawan Bahasa Tegal,” ramalnya.
Dalam malam peluncuran antoloji puisi tegalan Ngranggèh Katuranggan dan novel tegalan Oreg Tegal adalah sebuah momen kesepakatan bersama untuk menunda kepunahan Bahasa Tegal, ungkas Hadi Utomo.
Selain peluncuran dua buku dan baca puisi, malam tegalan itu diramaikan pula tampilnya konser musik KMSWT. Hadir dalam acara itu Ketua Pengadilan Negeri Brebes Sigit Purwoko SH, Sri Wahyu Eko (Bank Jateng) dan Kabid Kebudayaan Dinas Pariwisata Kabupaten Brebes Sri Rubiyatun SH dan tamu udangan lain (LS)
KETERANGAN FOTO: - Pentolan budayawan Tegalan, Moch Hadi Utomo saat menyampaikan Narasi Budaya dalam acara Peluncuran Buku Kumpulan Puisi Tegalan Ngranggèh Katuranggan dan novel tegalan Oreg Tegal serta Baca Puisi, di Pendapa Ki Gede Sebayu Kota Tegal, Kamis (12/3) malam pukul 19.30 WIB (Foto: Lanang Setiawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar