Suripto Pahing
Peniup Seluring Jadi Pelukis
PENIUP seruling Suripto kepencut dunia seni rupa. Baginya, dunia seni rupa sangat menggoda untuk dijamah dan ditekuni karena mampu menumbuhkan daya prima dalam mengusung orisinalitas imajinasi yang sedang berkembang di lingkungan masyarakat.
PENIUP seruling Suripto kepencut dunia seni rupa. Baginya, dunia seni rupa sangat menggoda untuk dijamah dan ditekuni karena mampu menumbuhkan daya prima dalam mengusung orisinalitas imajinasi yang sedang berkembang di lingkungan masyarakat.
“Media lukis punya semangat prima orisinalitas gagasan yang mampu menangkap realita yang berkembang di lingkungan sekitarnya secara jujur, lugas, dan tak kalah penting menjadi lebih bernilai dan bermakna,” ujar Suripto memberi alasan ditengah kesibukan mengikuti pameran lukisan di Gedung Rakyat, Slawi.
Menurut Pahing, sebelum dirinya menekuni dunia lukis, kehidupannya suntuk sebagai peniup seruling. Tak hanya dikontrak oleh satu group dangdut tapi harus pula ngladeni job yang datang dari pemain organ tunggal agar mau mengikuti pemanggungan. Bagi lelaki yang baru tiga tahun bergabung di Sanggar Lukis Putik ini, job pementasan macam itu tak bisa dia tolak. Keahlian memainkan seruling yang sudah dibilang cukup kawakan di wilayah Slawi ini, menyebabkan banyak job berdatang dari para player maupun group dangdut.
Tapi sejalan usianya yang terus merangkak pasti hingga setengah abad ini, kehidupan hura-hura di panggung hiburan dangdut, dirasakan semakin tak lagi pantas untuk dirinya. Ia akhirnya banting stir mendalami dunia seni rupa. Dasarnya karena sejak kecil suka corat-coret. “Waktu saya masih SD, saya memang suka corat-coret. Sekarang baru kesampaian menggeluti dunia seni lukis. Saya ingin total mendalami dunia ini karena mengasyikan dan memang menggoda” tandasnya.
Tiga tahun dia masuk di Sanggar Putik, tiga kali pula dia ikuti pameran. Kali pertama dia pameran pada tahun 2007 bersama Sanggar Putik di Gedung Rakyat, Slawi. Pameran bersama dalam rangka HUT Kabupaten Tegal 2008. Beberapa bulan lalu, dia pun ikut pameran bersama dalam rangka HUT Kota Pekalongan, dan HUT Kota Pemalang. Kini, bersama para pelukis Slawi yang tergabung di Komite Seni Rupa Kabupaten Tegal, turut juga pameran lukisan yang digelar sepekan dari mulai 30 Mei s/d 7 Juni, di Gedung Rakyat Balai Kesenian Kabupaten Tegal.
Menyimak satu lukisan Pahing yang digelar di pameran ‘Warna-warni 2009’ ini, ada satu karya lukisnya yang sangat menggelitik. Perupa beraliran realis rada-rada surealis ini menumpahkan gagasan misi sarkatisnya dengan melalui sebuah lukisan mulut menganga yang di ambang lubang mulutnya terdapat burung kicau. Lukisan itu menjadi sebuah simbol dari budaya banyak bicara tetap karya tak ada alias omong kosong. Istilah Tegalnya; ‘kakèhan cocot’ yang banyak menudungi kehidupan dewasa ini.
Substansi yang sarat nilai itu, dengan jitu dibidik Pahing. Ia mampu mevisualisasikan gambarnya begitu menggigit. Orang-orang yang kerjanya cuman umbar janji itu, cukup disimbolkan dengan mulut dan burung kicau. “Ide lukisan itu, lama sekali saya dapatkan,” ucap Pahing yang mengaku siap menerima pesanan lukisan apa saja (LS)
Menurut Pahing, sebelum dirinya menekuni dunia lukis, kehidupannya suntuk sebagai peniup seruling. Tak hanya dikontrak oleh satu group dangdut tapi harus pula ngladeni job yang datang dari pemain organ tunggal agar mau mengikuti pemanggungan. Bagi lelaki yang baru tiga tahun bergabung di Sanggar Lukis Putik ini, job pementasan macam itu tak bisa dia tolak. Keahlian memainkan seruling yang sudah dibilang cukup kawakan di wilayah Slawi ini, menyebabkan banyak job berdatang dari para player maupun group dangdut.
Tapi sejalan usianya yang terus merangkak pasti hingga setengah abad ini, kehidupan hura-hura di panggung hiburan dangdut, dirasakan semakin tak lagi pantas untuk dirinya. Ia akhirnya banting stir mendalami dunia seni rupa. Dasarnya karena sejak kecil suka corat-coret. “Waktu saya masih SD, saya memang suka corat-coret. Sekarang baru kesampaian menggeluti dunia seni lukis. Saya ingin total mendalami dunia ini karena mengasyikan dan memang menggoda” tandasnya.
Tiga tahun dia masuk di Sanggar Putik, tiga kali pula dia ikuti pameran. Kali pertama dia pameran pada tahun 2007 bersama Sanggar Putik di Gedung Rakyat, Slawi. Pameran bersama dalam rangka HUT Kabupaten Tegal 2008. Beberapa bulan lalu, dia pun ikut pameran bersama dalam rangka HUT Kota Pekalongan, dan HUT Kota Pemalang. Kini, bersama para pelukis Slawi yang tergabung di Komite Seni Rupa Kabupaten Tegal, turut juga pameran lukisan yang digelar sepekan dari mulai 30 Mei s/d 7 Juni, di Gedung Rakyat Balai Kesenian Kabupaten Tegal.
Menyimak satu lukisan Pahing yang digelar di pameran ‘Warna-warni 2009’ ini, ada satu karya lukisnya yang sangat menggelitik. Perupa beraliran realis rada-rada surealis ini menumpahkan gagasan misi sarkatisnya dengan melalui sebuah lukisan mulut menganga yang di ambang lubang mulutnya terdapat burung kicau. Lukisan itu menjadi sebuah simbol dari budaya banyak bicara tetap karya tak ada alias omong kosong. Istilah Tegalnya; ‘kakèhan cocot’ yang banyak menudungi kehidupan dewasa ini.
Substansi yang sarat nilai itu, dengan jitu dibidik Pahing. Ia mampu mevisualisasikan gambarnya begitu menggigit. Orang-orang yang kerjanya cuman umbar janji itu, cukup disimbolkan dengan mulut dan burung kicau. “Ide lukisan itu, lama sekali saya dapatkan,” ucap Pahing yang mengaku siap menerima pesanan lukisan apa saja (LS)
1 komentar:
Sukses untuk seniman Lukis Slawi...
Posting Komentar